Perubahan Ekologi KEPEMIMPINAN DAN PERUBAHAN EKOLOGI; SUATU PEMIKIRAN TENTANG PERUBAHAN EKOLOGI DAN PERAN PEMIMPIN DI MINANGKABAU ipi258191

57 | P a g e oleh seorang labia lebai dan seorang pakiah fakih. Lebai dan fakih merupakan suluh bendang dalam kaum yang bertugas member pencerahan dalam bidang keagamaan. Jika di dalam suatu kaum terjadi peristiwa kematian, maka lebai dan fakih akan bertanggung jawab terhadap semua proses penyelenggaraan jenazah mulai dari memandikan jenazah, mengafani,menguburkan dan sampai kepada penyelenggaraan upacara-upacara kematian yang biasanya masih dilaksanakan di sebagian kampung. Hulubalang atau dubalang adalah seorang yang bertugas membantu seorang penghulu dalam hal keamanan kampung. Kalau terjadi keributan atau keramaian maka hulubalang harus bisa mengatasinya agar keributan itu jangan sampai mengganggu ketenteraman masyarakat. Karena tugasnya berhubungan dengan masalah keamanan, maka seorang hulubalang biasanya diangkat dari orang memiliki keberanian atau memiliki kepandaian dalam bidang bela diri. Dari paparan yang disampaikan di atas,dapat dilihat bahwa pada dasarnya suatu kaum atau suatu suku merupakan suatu kesatuan yang sangat mendasar dan juga merupakan sumber dari semua kemajuan yang ada di dalam masyarakat. Semua unsur yang terlibat dalam suku ini merupakan sumber dari segala ketertiban yang ada di dalam suatu nagari. Walau pun ada jenis peminpin yang lain, seperti wali nagari beserta perangkat-perangkatnya, tidak banyak membawa pengaruh di dalam masyarkat. Mereka lebih banyak berperan sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah dibandingkan dengan fungsi dan perannya di dalam masyarakat. Oleh karena itu, di dalam tulisan ini masalah pemimpin yang berbasis dari kekuasaan pemerintahan ini tidak akan dibahas lebih lanjut.

V. Perubahan Ekologi

alau dirujuk semenjak zaman antah berantah ketika gunung Marapi sebesar telur itik, ketika air mulai menyentak turun dan gunung menyentak naik, ketika manusia ranah bundo ini baru mulai berkembang, banyak perubahan yang terjadi. Ketika itu penduduk masih sedikit, belum banyak lahan yang digarap. Pada masa itu beredarlah cerita-cerita tentang perjuangan dan usaha keras dari nenek moyang orang Minangkabau bagaimana mereka membuka hutan untuk dijadikan lahan pertanian. Dari zaman itu cerita kemudian berkembang kepada kisah penyebaran orang Minangkabau dan terbentuknya luhak-luhak dan daerah perantauan serta terbentuknya kerajaan di Pagaruyung, sampai pula kepada datangnya penjajahan Belanda dan jJepang, serta zaman kemerdekaan, telah banyak perubahan yang terjadi. Dikatakan perubahan karena apa yang ada dahulu tidak lagi dijumpai pada masa sekarang. Apa yang dilakukan oleh nenek moyang orang Minangkabau masa itu, sudah tidak lagi dilakukan oleh para penerus dan pewarisnya. Ini adalah suatu fakta sejarah yang tidak bisa dipungkiri, walaupun kebanyakan orang di Minang kabau ini tidak terbiasa menuliskan sejarahnya. Mereka hanya bisa bercerita dan bertutur dari mulut ke mulut. Tentu saja apa yang dituturkan sudah tidak lagi lengkap karena sudah tidak banyak lagi yang bisa diingat, dan sebagian sudah hilang bersamaan dengan meninggalnya sang penutur. Jadi apa yang ditulis di sini hanyalah berupa penggalan-penggalan yang tidak lagi utuh. Daerah Minangkabau pada dasarnya merupakan suatu daerah yang dijumpai banyak gunung dan daerah perbukitan. Dengan demikian dari segi topografi, negeri orang Minangkabau dilintasi oleh Bukit Barisan yang seolah-olah K 58 | P a g e menjadi tulang punggung dari negeri ini, yang memanjang dari utara ke selatan. Luas daerahnya kira-kira 42.000 kilometer persegi, yang terdiri dari dataran tinggi dan dataran rendah di dekat pantai yang sempit menghadap ke Samudera Hindia Naim, 1984:14. Dataran tingginya bergunung-gu nung dengan tujuh buah puncak gunung berapi berjajar dari Utara ke Selatan, yang kebayakan masih aktif. Darah ini kebanyakan ditutupi oleh rimba hujan torrential rain forest dengan lembah dan ngarai yang curam dan elevasi yang menanjak. Di sana-sini terhampar dataran tinggi yang subur yang cocok daerah persawahan dan bercocok tanam palawija. Daerah ini disebut juga sebagai jantungnya Minangkabau. Daerah ini terbagi atas tiga luhak; Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak Lima Puluh Koto.. sebelum terjadinya perluasan daerah Minagkabau ke daerah dataran rendah, setiap luhak mempunyai tanah rantau yang berse belahan. Luhak Agam mempunyai rantau yang disebut dengan rantau Pasaman yang terletak di sebelah Utaranya. Luhak Tanah Datar memiliki rantau Solok yang berada di sebelah Selatannya. Begitu juga Luhak Lima Puluh Koto mempunyai daerah rantau ke daerah Kampar di sebelah Timurnya Ibid. Dengan topografi yang bergunung- gunung yang diiringi dengan lembah yang terjal, menurut perhitungan sebayak 23 dari daerah ini tidak bisa diolah dan dihuni. Hanya sekitar 13 dari seluruh wilayah yang layak dan bisa diolah dah dihuni. Dari kenyataan tersebut, secara ekologis daerah Minangkabau merupakan suatu daerah cukup sempit, namun banyak ditemui panorama yang indah. Tidak banyak tanah yang bisa dijadikan lahan pertanian dan untuk dijadikan tempat pemukiman. Namun sebaliknya dari segi jumlah penduduk terus mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi. Menurut data yang ada, menurut sensus yang dilakukan oleh penjajah Belanda pada tahun 1930 jumlah orang Minangkabau berkisar sekitar 1.717.031 jiwa, ini merupakan jumlah orang Minangkabau yang masih bermukim di daerah asalnya tidak termasuk yang merantau. Kemudian menurut data statistik tahun 1971 jumlah orang Minangkabau yang ada di Sumatera Barat berjumlah sekitar 2.788.388 jiwa. Berdasarkan perkiraan pada saat sekarang diperkirakan jumlah penduduk Sumatera Barat yang berasal dari suku bangsa Minangkabau lebih dari 4.500.000 jiwa. Dengan demikian kelihatan angka tersebut sangat signifikan dan dapat membawa dampak yang serius terhadap kehidupan sosial dan budayanya. Terutama hal seperti ini juga dapat membawa akibat terhadap pola kepemimpinan yang ada, khususnya kepemimpinan yang bersifat tradisional seperti kepemimpinan suku. Kepimpinan di dalam masyarakat tradisional dapat dimungkinkan berjalan dengan baik karena disokong oleh tersedianya tanah pertanian yang cukup luas. Dalam masyarakat tradisional tumpuan ekonominya berbasis kepada tersedianya lahan pertanian. Aktifitas pertanian yang baik, akan menghasil produk yang baik dan berlimpah. Dengan adanya limpahan dari hasil pertanian, anggota masyarakat dapat minikmati surplus yang ada. Surplus hasil pertanian ini memungkinkan orang yang tidak terlibat langsung dengan pertanian juga akan dapat menikmatinya. Artinya, surplus hasil pertanian memungkinkan sebagian orang untuk melakukan aktifitas lain. Salah satunya aktifitas itu adalah dimungkinkannya kepemimpinan yang ada di dalam masyarakat itu dapat berlangsung melalui semacam upeti yang harus dibayarkan kepada penguasa. Di dalam masyarakat tradisional seperti masyarakat Minangkabau hal yang semacam ini dapat ditemukan. Penghulu sebagai pemimpin dari suatu kelompok masyarakat yang disebut dengan sebutan kaum atau suku, dapat menjalankan tugas 59 | P a g e karena ada semacam asuransi trasional yang menopong kekuasaannya. Seorang penghula yang diangkat oleh sebuah kaum tidak saja akan dituntut untuk melakukan tugasnya sebagai seorang pemimpin, tetapi mereka juga akan diberikan suatu asuransi berupa sebidang lahan pertanian, yang biasanya berupa sawah dan ladang. Walaupun sawah dan ladang ini seringkali tidak digarap sendiri oleh sang penghulu, tetapi hasilnya diperuntukan bagi mereka. Sawah dan ladang yang dikuasai oleh penghulu biasanya disebut sebagai tanah kagadangan atau tanah abuan. Tanah ini hanya boleh dikuasai selama sang penghulu menjabat. Kalau penghulu yang bersangkutan meninggal dunia atau mereka mengundurkan diri sebagai penghulu, maka sawah atau ladang ini harus dikembalikan kepada kaum atau suku. Sealajutnya tanah atau lahan ini akan dikuasai oleh penghulu yang baru. Bagi kaum atau suku tertentu yang banyak punya kekayaan, asuransi berupa tanah ini tidak hanya diberikan kepada penghulu saja, tetapi juga kepada para pembantunya, seperti; lebai, fakih dan dubalang. Namun kebanyakan hanya kepada penghulu saja. Akibat semakin berkembangnya penduduk, tentusaja akan membawa pengaruh terhadap tersedianya makanan dan perumahan. Dalam masyarkat Minangkabau harta kekayaan kaum beruapa sawah dan ladang adalah milik komunal atau milik bersama yang disebut juga dengan tanah ulayat kaum. Semua anggota kaum yang ada berhak menikmati harta tersebut, baik sudah ada maupun anggota dari kaum yang akan lahir nanti. Dengan demikian, jika anggota kaum bertambah, maka tanah pertanian yang ada harus dibagi atau dipecah supaya semua anggota bisa diberi makan. Disamping itu mereka harus diberikan tanah perumahan. Seabagai akibatnya, lahan atau tanah yang tadinya luas semakin hari akan terasa semakin sempit karena harus menopang kehidupan anggota suku yang semakin banyak. Lahan pertanian yang tadinya terasa luas, semakin hari akan terasa semakin sempit, tidak saja karena terus dipecah, tetapi sebagian sudah berubah fungsi menjadi tanah perumahan. Di pihak lain, pada beberapa dasa warsa ini, banyak ditemukan kasus terjadi pemindahan hak atas tanah. Baik terjadi karena proses pagang gadai atau diperjualbelikan kepada pihak lain di luar sukunya, atau mungkin saja juga kepada orang lain di luar daerahnya sendiri. Sebagian ada yang harus diserahkan secara terpaksa karena menyangkut proyek- proyek pemerintah untuk membangun fasilitas jalan dan sekolah atau kantor-kantor instansi tertentu, tetapi sebaliknya justru diperjualbelikan kepada pihak pengusaha untuk dijadikan bangunan sebagai sarana bisnis. Sebagai akibatnya tanah yangsudah sempit akibat terjadinya pemecahan antara anggota kaum akan terasa semakin sempit karena telah diperjualbelkikan. Dalam proses pemindahan hak atau jual beli tanah ini tidak saja menyangkut dengan tanah-tanah yang dikuasai oleh keluarga-keluarga luas yang ada di dalam kaum itu, tetapi juga telah melebar kepada tanah yang dikuasai oleh penghulu. Pada dasarnya tanah itu hanya lah berupa tanah atau lahan yang berstatus sebagai hak pakai bagi penghulu yang bersangkutan, kenyataannya ada sebagian dari oknum penghulu itu yang merasa hal itu sebagai hak miliknya. Karena sudah merasa sebagai hak milik, maka tanah ini kemudian dijual atau digadaikan kekapa pihak lain di luar kaumnya. Akibat dari proses jual beli dan pagang gadai ini akan cenderung membuat kehidupan ekonomi suatu kaum menjadi semakin berkurang. Tanah yang tadinya berupa lahan pertanian yang hijau kemudian berubah menjadi bangunan atau tiang-tiang beton yang menjulang tinggi. Kalau dilihat dari luas daerah Minangkabau yang masuk Propinsi 60 | P a g e Sumatera Barat yang hanya berkisar sekitar 42.000 kilometer persegi dan hanya sekitar 13 nya yang bisa untuk diolah dan didiami, maka hanya sekitar 15.000 kilometer persegi saja tanah di daerah ini yang dianggap sebagai lahan yang bisa diolah. Kalau jumlah penduduk Minangakabau berjumlah sekitar 4.5 juta jiwa, maka untuk 1,5 kilometer persegi akan dihuni oleh 4.500 jiwa. Ini merupakan jumlah yang cukup padat untuk daerah yang baru berkembang. Keadaan seperti yang dilukiskan di atas tentu saja akan membawa dampak yang tidak sedikit kedalam masalah social dan budaya masyarakat Minangkabau, tidak saja pada saat ini,tetapi juga pada masa datang. Dampak yang paling jelas adalah kepada mata pencaharian penduduk yang secara trasional berbasis kepada pertanian dan juga kepada aspek lain seperti kepada aspek kepemimpinan trasional yang pada dasarnya dari awal sejarahnya disokong oleh ketersedian tanah pertanian.

VI. Peran Kepemimpinan