Aklimatisasi Komposisi zat pengatur tumbuh untuk organogenesis dan induksi Kalus Pometia coriaceae secara In Vitro
29
Gambar 14 Jumlah daun tanaman pada saat aklimatisasi 7MST. A : Tanaman
yang berasal dari perlakuan MS0; B : Tanaman yang berasal dari perlakuan MS + NAA 0.5 ppm + Kinetin 1 ppm; C : Tanaman yang
berasal dari perlakuan MS + NAA 1 ppm + Kinetin 1.5 ppm; D : Tanaman yang berasal dari perlakuan MS + NAA 1.5 ppm +
Kinetin 2 ppm; E : Tanaman yang berasal dari perlakuan MS + NAA 2 ppm + Kinetin 2.5 ppm
Jumlah daun yang dihasilkan dari setiap tanaman semuanya mengalami penambahan dari jumlah daun awal. Hasil analisis menunjukkan tanaman yang
berasal dari perlakuan D media MS ditambah NAA 1.5 ppm dan Kinetin 2 ppm dan perlakuan C media MS ditambah NAA 1 ppm dan Kinetin 1.5 ppm yang
berbeda nyata dari tanaman yang berasal dari perlakuan lainnya dengan memiliki jumlah daun terbanyak 12 dan 10 helai Gambar 14.
Gambar 15 Tinggi tanaman 7MST. A :Tanaman yang berasal dari perlakuan
MS0; B : Tanaman yang berasal dari perlakuan MS + NAA 0.5 ppm + Kinetin 1 ppm; C : Tanaman yang berasal dari perlakuan
MS + NAA 1 ppm + Kinetin 1.5 ppm; D : Tanaman yang berasal dari perlakuan MS + NAA 1.5 ppm + Kinetin 2 ppm; E : Tanaman
yang berasal dari perlakuan MS + NAA 2 ppm + Kinetin 2.5 ppm
6,5c 6c
10b 12a
7c
2 4
6 8
10 12
14
A B
C D
E Ju
m lah
d au
n
Perlakuan media
3.5b 3.6b
3.5b 4.1a
4.4a
1 2
3 4
5
A B
C D
E T
in g
g i
tan am
an cm
Perlakuan media
30 Tinggi tanaman yang dihasilkan tanaman yang berasal dari perlakuan A
MS0, B media MS ditambah NAA 0.5 ppm dan Kinetin 1 ppm, C media MS ditambah NAA 1 ppm dan Kinetin 1.5 ppm dan tidak berbeda nyata satu sama
lain namun berbeda nyata terhadap perlakuan D media MS ditambah NAA 1.5 ppm dan Kinetin 2 ppm dan E media MS ditambah NAA 2 ppm dan Kinetin 2.5
ppm dimana pada perlakuan D dan E yang memiliki tinggi tanaman tertinggi masing-masing yaitu 4.1cm dam 4.4 cm Gambar 15 dan penampakan dari
masing-masing planlet tersebut terlihat pada Gambar 16.
Gambar 16
Penampakan tanaman pada saat aklimatisasi berumur 4 MST: A Tanaman yang berasal dari perlakuan MS0; B Tanaman yang
berasal dari perlakuan MS + NAA 0.5 ppm + Kinetin 1 ppm; C Tanaman yang berasal dari perlakuan MS + NAA 1 ppm + Kinetin
1.5 ppm; D Tanaman yang berasal dari perlakuan MS + NAA 1.5 ppm + Kinetin 2 ppm; E Tanaman yang berasal dari perlakuan MS
+ NAA 2 ppm + Kinetin 2.5 ppm A
B C
D E
31 Planlet yang diaklimatisasi pada minggu ke delapan memperlihatkan gejala
terserang cendawan dimana planlet tersebut menjadi layu dan pada bagian batangnya menjadi kering hingga akhirnya mati. Cendawan yang menyerang
planlet tersebut berwarna putih seperti terlihat pada Gambar 17.
Gambar 17
Penampakan tanaman yang terserang cendawan 7 MST. A Tanaman yang berasal dari perlakuan MS0; B Tanaman yang
berasal dari perlakuan MS + NAA 0.5 ppm + Kinetin 1 ppm; C Tanaman yang berasal dari perlakuan MS + NAA 1 ppm + Kinetin
1.5 ppm; D Tanaman yang berasal dari perlakuan MS + NAA 1.5 ppm + Kinetin 2 ppm; E Tanaman yang berasal dari perlakuan MS
+ NAA 2 ppm + Kinetin 2.5 ppm A
B
E D
C
32
5 PEMBAHASAN
Keberhasilan kultur jaringan dipengaruhi banyak faktor, salah satunya ialah kontaminasi oleh cendawan dan bakteri yang dapat terjadi setiap saat dalam
waktu kultur. Sumber kontaminasi dalam kultur jaringan dapat berasal dari lingkungan kerja, alat dan media yang digunakan, dan bahan tanaman. Oleh
karena itu ketiga hal tersebut perlu diperhatikan keaseptikannya Gunawan 1992. Sterilisasi merupakan suatu teknik untuk mengkondisikan lingkungan eksplan
dalam keadaan bebas mikroba sehingga menghasilkan kultur yang bebas dari kontaminan. Inisiasi kultur yang bebas dari kontaminan adalah langkah yang
sangat penting. Kontaminasi pada bahan tanaman yang dikulturkan dapat terjadi akibat adanya infeksi secara eksternal maupun internal. Usaha pencegahan
kontaminasi eksternal dapat dilakukan dengan sterilisasi permukaan bahan tanaman sedangkan infeksi internal tidak dapat dihilangkan dengan sterilisasi
permukaan Widiastoety 2001. Setiap bahan tanaman mempunyai tingkat kontaminasi eksternal yang bervariasi bergantung pada jenis tanaman, bagian
tanaman yang digunakan, morfologi permukaan, lingkungan tumbuhnya, musim waktu pengambilan dan kondisi tanaman itu sendiri. Hal tersebut menyebabkan
sulitnya menentukan prosedur sterilisasi standar yang berlaku untuk semua tanaman. Dalam teknik sterilisasi bahan tanaman hal yang harus diperhatikan
adalah bahwa sel tanaman dan kontaminan merupakan benda hidup. Teknik yang digunakan harus hanya menghilangkan kontaminasi tanpa mematikan sel tanaman.
Bahan sterilisasi yang sering digunakan untuk sterilisasi permukaan adalah dengan memberikan perlakuan antibiotik atau fungisida sistemik.
Jenis bahan sterilisasi dan konsentrasinya sangat mempengaruhi keberhasilan pertumbuhan eksplan steril. Menurut Sathyanarayana 2007
sterilisasi eksplan merupakan suatu tindakan untuk menentukan konsentrasi dan lama perlakuan yang berpengaruh dalam memperkecil tingkat kematian jaringan.
Sterilisasi eksplan biasanya dilakukan dengan menggunakan bahan-bahan kimia berupa sabun, bakterisida dan fungisida seperti deterjen, benlate, dithane M-45,
agrimicyn, HgCl
2
dan NaOCl. Teknik sterilisasi yang diujicobakan dalam penelitian ini ialah penerapan
fungisida dan bakterisida dalam beberapa konsentrasi dan lama pengocokan. Semua perlakuan sterilisasi menghasilkan 100 eksplan daun matoa steril
Gambar 5. Eksplan daun yang ditanam pada media MS mengeluarkan zat tertentu yang membuat sekitar eksplan daun berubah warna dari bening menjadi
keunguan. Hal ini diduga disebabkan pada daun matoa mengandung saponin, flavonoid, dan polifenol Praptiwi dan Harapini 2004. Perlakuan fungisida 0.4
g100 mL dan bakterisida 0.4 g100 mL yang dikocok selama 5 menit Gambar 4, 6 dan 7 secara konsisten menghasilkan eksplan pucuk, embrio, endosperma
matoa steril tertinggi. Persentase eksplan embrio steril yang dihasilkan ialah 90 Gambar 6. Penggunaan bakterisida dan fungisida sebagai bahan sterilisasi juga
digunakan pada kultur embrio P. pinnata yang menghasilkan persen eksplan steril 100 pada konsentrasi 0.2 g100 mL dengan pengocokan selama 15 menit Tanur
2008.
Perendaman eksplan sengon dalam 0.10 HgCl
2
selama 3 menit, menghasilkan eksplan steril sebesar 42.5 Yuliani 2001 sedangkan untuk
33 eskplan tunas aksilar bambu tali, perendaman dalam bayclin 20, 10, 5 dan
HgCl
2
0.01 selama 10 menit menghasilkan tingkat persen hidup eksplan hingga 70 Widaningrum 2000. Dari hasil kedua penelitian terlihat bahwa penggunaan
bahan yang sama tetapi pengaturan komposisi dan waktu perlakuan yang berbeda, berpengaruh pada keberhasilan eksplan steril yang diperoleh. Purnawati 2012
mencari sterilisasi yang cocok bagi tunas jabon dengan menggunakan beberapa perlakuan bahan sterilisasi dan hasilnya kurang memuaskan, salah satunya akibat
proses karantina tanaman yang diterapkan belum tepat, menyebabkan tingkat kontaminasi sangat tinggi. Perendaman dengan antibiotik juga tidak mampu
mengurangi tingkat kontaminasi eksplan karena dosis dan waktu perendaman yang dilakukan masih kurang tepat. Menurut Setiyoko 1995 87.5 eksplan
kontaminan disebabkan oleh cendawan dan bakteri. Cendawan yang mengkontaminasi media dan eksplan biasanya menyelimuti media atau eksplan
dengan miselium berbentuk kapas berwarna putih. Cendawan yang biasa ada di laboratorium adalah Aspergillus sp. Monilla sp. dan Penicillium sp. Bakteri yang
mengkontaminasi biasanya berupa lendir di sekitar eksplan yang berwarna kuning dan sebagian melekat pada media membentuk gumpalan. Hal tersebut ditemukan
juga pada eskplan yang terkontaminasi dalam penelitian ini, seperti terlihat pada Gambar 8.
Media dasar yang sering digunakan dalam kegiatan kultur jaringan adalah media Murashige dan Skoog MS. Media MS ini merupakan media yang paling
sering disebut sebagai media dengan garam anorganik tinggi karena kandungan K dan N yang relatif tinggi dibandingkan dengan media lain. Pengaturan zat
pengatur tumbuh di dalam media sangat menentukan keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan kultur. Respon tumbuhan terhadap zat pengatur tumbuh yang
ditambahkan ke dalam media berbeda-beda tergantung pada jenis tanaman yang dikulturkan. Efisiensi dan efektivitas dari zat pengatur tumbuh juga berbeda
terhadap jenis tanaman yang berbeda. Auksin dengan konsentrasi rendah akan menghasilkan pertumbuhan akar dan pada konsentrasi tinggi akan menghasilkan
pertumbuhan kalus, sedangkan sitokinin dengan konsentrasi rendah dapat memacu tunas dan pada konsentrasi tinggi akan mampu menggandakan tunas Magoon
Singh 1995. Hasil penelitian Pardede 1992 melihat pengaruh media serbuk gergaji sengon dan zat pengatur tumbuh paclobutrazol dan benzyl adenin
terhadap produksi umbi mini kentang memberikan hasil berpengaruh nyata antara tiap perlakuan terhadap pertumbuhan umbi. Alitalia 2008 melakukan perlakuan
beberapa zat pengatur tumbuh yaitu BAP dan NAA pada tunas kantong semar memberikan hasil yang baik pada seluruh perlakuan. Hasilnya eksplan
memberikan pertumbuhan dan perkembangan tunas, daun dan kantong yang cukup signifikan.
Organogenesis eksplan pucuk matoa yang diuji pada semua perlakuan komposisi media dengan beberapa konsentrasi zat pengatur tumbuh hanya
menghasilkan terbentuknya kalus pada perlakuan media MS yang diperkaya dengan zat pengatur tumbuh NAA 1 ppm dan Kinetin 1.5 ppm Gambar 10
sedangkan pada perlakuan lainnya eskplan pucuk tidak menunjukkan perubahan apa-apa. Hal serupa juga terlihat terjadi pada tanaman merbau yang diberi auksin
dan sitokinin pada media tidak nampak pertumbuhan tunas namun pada penggunaan IBA dan NAA cenderung mendorong pembentukan kalus Nugroho
2010.
34 Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dengan penambahan NAA dan
kinetin pada media kultur memberikan hasil yang bervariasi, untuk waktu terbentuknya akar dan daun. Media MS tanpa zat pengatur tumbuh MS0
memberikan waktu yang paling cepat pada pembentukan akar yaitu 5 HST Tabel 2 serta merupakan media yang paling cepat memunculkan daun yaitu pada 14
HST Tabel 3. Hal ini diduga karena pada eksplan embrio matoa sendiri mengandung zat pengatur tumbuh endogen yang cukup untuk pembentukan kedua
organ tersebut tanpa perlu penambahan dari luar. Namun pada media MS0 jumlah daun yang dihasilkan tidak banyak sebaliknya pada perlakuan media MS yang
diperkaya dengan NAA 1.5 ppm dan kinetin 2 ppm memiliki waktu terbentuknya daun yang paling lambat Tabel 2 dan 3 namun memiliki rata-rata jumlah daun
paling banyak Gambar 10. Penambahan kinetin dalam media membuat perimbangan zat pengatur tumbuh pada eksplan embrio yang dikulturkan jauh
lebih tinggi konsentrasi sitokininnya sehingga pembelahan sel-sel embrio diarahkan untuk pembentukan daun. Peranan fisiologis dari sitokinin jenis kinetin
salah satunya menginduksi pembentukan tunas dan daun Wattimena 1987. Tanur 2008, melaporkan kultur embrio Pometia pinnata pada media MS yang
diperkaya dengan zat pengatur tumbuh NAA 1 ppm dan Kinetin 1 ppm tidak menghasilkan daun. Hal tersebut diduga karena eksplan diberi perlakuan
konsentrasi zat pengatur tumbuh dalam jumlah yang sama. Hasil penelitian Nisa Rodinah 2005 pemberian NAA dan kinetin pada kultur buah pisang tidak
berpengaruh nyata pada semua peubah yang diujikan. Penelitian pada tanaman Catharantus roseus L G. Dan dengan menambahkan NAA 0.001 M dan
0.000001 M dengan atau tanpa BAP, menurunkan kemampuan kultur untuk membentuk akar, bahkan pada awal sub kultur cenderung membentuk kalus
Mukarlina 2005. Penggunaan BAP menghasilkan jumlah tunas lebih tinggi dibandingkan dengan kinetin dan hasil pertumbuhan tunas melon lebih bagus pada
pertumbuhan yang berasal dari organogenesis tidak langsung Rohayati 2002.
Kalus merupakan sekumpulan sel-sel yang tumbuh tanpa mengalami diferensiasi. Kalus yang terbentuk dari suatu organ tanaman dapat membentuk
kalus yang embriogenik dan non-embriogenik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penambahan zat pengatur tumbuh NAA dan kinetin pada media MS
mampu memicu terbentuknya kalus Tabel 5. Media MS diperkaya dengan NAA 1.5 ppm dan kinetin 2 ppm memberikan waktu terbentuknya klaus paling cepat,
yaitu 27 HST Tabel 4. Kalus yang dihasilkan ialah kalus tanpa akar, kalus yang menghasilkan organ akar; dari segi warna dari kalus yang terbentuk ada yang
diduga memiliki potensi kalus embriogenik dan ada yang non-embriogenik Tabel 6. Kalus yang dihasilkan pada beberapa perlakuan memperlihatkan munculnya
akar yang cukup banyak Gambar 12 hal tersebut diduga bahwa kandungan auksin endogen yang terdapat pada eksplan endosperma matoa cukup tinggi
sehingga menghasilkan pertumbuhan ke arah pembentukan akar. Hal tersebut juga terlihat pada hasil penelitian Tanur 2008 bahwa eksplan embrio P. pinnata yang
diberikan perlakuan penambahan NAA dan kinetin dengan masing-masing konsentrasi sama yaitu 1 ppm menghasilkan eksplan tersebut hanya menghasilkan
akar tanpa membentuk organ lain seperti daun. Secara visual kalus yang dihasilkan pada perlakuan kelima diduga berpotensi membentuk kalus
embriogenik. Penampakan morfologi dari kalus yang berpotensi embriogenik yaitu berwarna putih atau bening dan remah Slater et al. 2008. Hal serupa juga
35 terlihat pada penelitian kultur kemenyan sumatrana dengan menggunakan zat
pengatur tumbuh NAA dan Kinetin, dengan hasil adanya kalus dan kalus yang berakar Nurwahyuni 2002. Kalus dari beberapa tanaman sering gagal
beregenerasi membentuk tunas atau hanya membentuk akar. Media MS yang diperkaya dengan auksin 2,4-D dan sitokinin BAP menginduksi terbentuknya
kalus yang banyak pada tanaman Kaempferia galanga L Amin 2004. Yunaini 2003 melakukan induksi embriogenesis somatik pada kultur kalus Tectona
grandis L.F pada media MS cair dengan penambahan MSB, MS2 dan MSG; hasilnya diperoleh kalus sampai tahap terbentuknya globular dan jantung.
Aklimatisasi merupakan kegiatan memindahkan eksplan keluar dari ruangan aseptik ke lingkungan luar. Pemindahan dilakukan secara hati-hati dan
bertahap, yaitu dengan memberikan sungkup. Sungkup digunakan untuk melindungi bibit dari udara luar dan serangan hama penyakit karena bibit hasil
kultur jaringan sangat rentan terhadap serangan hama penyakit dan udara luar. Setelah bibit mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya maka secara
bertahap sungkup dilepaskan dan pemeliharaan bibit dilakukan dengan cara yang sama dengan pemeliharaan bibit generatif. Hasil penelitian menunjukkan
tanaman setelah diaklimatisasi mengalami penambahan jumlah akar dan daun. Jumlah akar dan daun matoa yang terbentuk pada setiap tanaman yang berasal
dari perlakuan yang berbeda selama dikultur Gambar 13 dan 14. Namun, memasuki minggu ke delapan tanaman yang diaklimatisasi terserang jamur dan
menjadi layu dan mati Gambar 17. Belum diketahui secara pasti apakah yang menyebabkan tanaman tersebut mati. Pada penelitian Hutami 2003, tanaman
yang telah memiliki akar pada saat in vitro sangat baik untuk diaklimatisasi tanaman temu mangga yang diaklimatisasi pada media tanah dan pupuk kandang
1:1 lebih bagus daripada pada media tanah dan sekam 1:1. Pada media tanah dan sekam memberikan tinggi tanaman yang baik namun rendah pada jumlah
tunas.
36
6 SIMPULAN DAN SARAN