10
2.2.5 Aklimatisasi
Aklimatisasi merupakan saat paling kritis dalam perbanyakan tanaman secara kultur jaringan karena peralihan tanaman dari heterotrof ke autotrof.
Organisme heterotrof adalah organisme yang kebutuhan makanannya memerlukan satu atau lebih senyawa karbon organik dan tergantung dari hasil sintesis
organisme lain. Organisme autotrof merupakan organisme yang membuat makanannya sendiri dari zat-zat organik Darmono 2003. Aklimatisasi juga
dikatakan sebagai pemindahan tanaman dari lingkungan steril in vitro ke lingkungan semi steril sebelum dipindahkan ke lapangan.
Setiap tumbuhan mempunyai mekanisme adaptasi yang memungkinkan tumbuhan tersebut dapat hidup dalam lingkungannya. Faktor-faktor lingkungan
yang berinteraksi dengan mekanisme fisiologi tumbuhan untuk beradaptasi adalah suhu, lama penyinaran, angin dan kelembaban udara. Menurut Darmono 2003
penanganan yang kurang baik terhadap bibit pada saat aklimatisasi dapat mengakibatkan kematian. Hal-hal yang harus diperhatikan antara lain:
lingkungan sekitar tempat penanaman, tanaman membutuhkan naungan atau tidak untuk mengatur intensitas cahaya matahari, bibit dalam keadaan sehat
dengan perakaran yang baik dan saat dikeluarkan dari dalam botol kultur, tanaman harus dalam keadaan bersih dari media agarnya terutama bagian akar.
2.3 Zat Pengatur Tumbuh
Zat pengatur tumbuh merupakan bahan organik hasil sintesa secara alami dalam tanaman tinggi yang berpengaruh dalam pertumbuhan perkembangan
tanaman Harjadi 2009. Konsep zat pengatur tumbuh ZPT diawali dengan konsep hormon. Hormon tanaman adalah senyawa-senyawa organik tanaman
yang dalam konsentrasi yang rendah 1mM mempengaruhi proses-proses fisiologi Wiendi et al. 1992. Senyawa tersebut berperan merangsang dan
meningkatkan pertumbuhan serta perkembangan sel, jaringan, dan organ tanaman menuju arah diferensiasi tertentu. Senyawa-senyawa lain yang memiliki
karateristik yang sama dengan hormon, tetapi diproduksi secara eksogen, dikenal sebagai zat pengatur tumbuh Zulkarnain 2009.
Zat pengatur tumbuh diperlukan sebagai komponen media bagi pertumbuhan dan diferensiasi. Tanpa penambahan zat pengatur tumbuh dalam
medium, pertumbuhan sangat terhambat bahkan mungkin tidak tumbuh sama sekali. Pembentukan organ-organ tanaman ditentukan oleh penggunaan zat
pengatur tumbuh yang tepat Hendaryanto dan Wijayani 1994. Zat ini aktif pada konsentrasi rendah dan beracun pada konsentrasi tinggi. Pada saat ini dikenal
enam kelompok ZPT yaitu auksin, giberelin, sitokinin, asam absisik ABA, etilen, dan retardan Wiendi et al. 1992.
Auksin berfungsi untuk pembelahan sel, perpanjangan sel, pembesaran jaringan dan pembentukan akar. Pada konsentrasi tinggi akan merangsang
pertumbuhan kalus tetapi menghambat pertumbuhan tunas dan akar. Hormon yang paling efektif adalah 2,4 dichlorophenoxy acetic acid 2,4 D, naphthalene
acetic acid NAA, indole acetic acid IAA, indole butyric acid IBA, dan p- chlorophenoxy acetic acid pCPA.
Sitokinin berfungsi dalam induksi tunas. Bahan yang sering digunakan antara lain: kinetin, benzyl adenine BA atau 6-benzyl amino purin BAP, zeatin,
dan isophentenyladenine 2iP. Pada konsentrasi tinggi 1 sampai 10 mgL dapat
11 mendorong pertumbuhan tunas, namun dapat menghambat pertumbuhan akar. Zat
pengatur tumbuh lainnya antara lain GA3 untuk kultur meristem, perpanjangan internode, tapi menghambat pertumbuhan tunas dan akar adventif. Absisic acid
ABA untuk induksi embriogenesis, dan etilen dapat diproduksi oleh kultur sel. 2.4 Hasil-Hasil Penelitian
Hasil-hasil penelitian tanaman matoa hingga saat ini telah banyak dilakukan namun sebagian besar hanya pada P. pinnata sedangkan untuk jenis Pometia
coriaceae belum dilakukan. Untuk jenis P. pinnata Mulyaningsih et al. 1995 melakukan upaya preservasi benih matoa melalui tahap manipulasi kadar air benih.
Penelitian preservasi juga dilakukan oleh Sudarmonowati et al. 1996 dan diperoleh hasil in vitro
tersebut dapat disimpan pada suhu rendah hingga −196 C.
Pada tahun 1995, Lisdiyanti et al. melakukan analisis genom tanaman matoa dengan teknik isoenzim untuk menetapkan pola pita namun tidak diperoleh
hasilnya.
Sumiasri et al. 1996 meneliti jenis media yang baik untuk perbanyakan tanaman matoa secara in vitro guna menghasilkan embriosomatik dari kalus
embriogenik, dan diperoleh hasil bahwa embriosomatik hanya diperoleh dari media tanpa pemberian zat pengatur tumbuh ABA. Hasil penelitian tersebut
dilanjutkan dengan melakukan regenerasi embrioid matoa oleh Imelda et al. 1997 yang memperoleh hasil bahwa regenerasi dapat ditingkatkan sebanyak
30 dengan menggunakan kertas saring pada media ½ WP Woody Plant tanpa glutamin dan ABA. Dari penelitian tersebut juga diperoleh hasil bahwa pemberian
glutamin dan ABA dapat meningkatkan kalus embriogenik tetapi tidak berpengaruh terhadap regenerasi planlet. Pada tahun yang sama juga dilakukan
penelitian lanjutan oleh Sudarmonowati et al. 1997 dengan mencari metode yang tepat untuk preservasi kalus embriogenik serta somatik matoa dan diperoleh
bahwa metode yang dapat digunakan adalah metode vitrifikasi.
Sterilisasi jarak pagar dengan menggunakan 0.15 HgCl
2
selama 25 menit dan dibilas dengan air steril memberikan persen eksplan steril yang baik Wei Qin
et al. 2004. Kultur anter dengan menggunakan media WP menghasilkan kalus namun bukan kalus yang embriogenik sedangkan untuk kultur embrio dan tunas
yang ditanam pada media MS Murashige dan Skoog hasilnya tidak dilaporkan Sudarmonowati 1998. Hasil penelitian kultur embrio matoa yang dilakukan oleh
Tanur 2008 pada media MS dengan perlakuan penambahan zat pengatur tumbuh NAA dan kinetin menunjukkan bahwa untuk menghasilkan planlet matoa media
yang sesuai adalah MS dengan penambahan kinetin 1 ppm, sedangkan media yang cocok untuk menghasilkan kalus yaitu media MS yang diperkaya dengan
NAA 1 ppm serta kombinasi NAA dan Kinetin masing-masing 1 ppm.
Kalimuthu et al. 2007 menyatakan bahwa embrio somatik pada tanaman jarak pagar didapatkan dari jenis eksplan kotiledon dan diinduksi dari media yang
mengadung zat pengatur tumbuh BAP 2 mgL. Penggunaan auksin yang tinggi akan mempercepat dan memperbanyak jumlah embrio somatik yang terbentuk.
Jenis auksin yang biasa digunakan untuk induksi embriogenesis adalah 2,4- dichlorophenoxyacetic acid 2,4-D dan napthalene acetic acid NAA. Hormon
2,4-D cenderung menginduksi embrio somatik secara tidak langsung melalui fase kalus, sehingga jumlah embrio yang dihasilkan banyak. Kelemahannya embrio
yang dihasilkan banyak yang abnormal, sehingga lebih sulit dikecambahkan