110
7. RANCANG BANGUN APLIKATOR CAIRAN Pendahuluan
Pada praktek pertanian presisi peralatan digunakan untuk membawa dan mendistribusikan bahan cair dan padat. Pendistribusian bahan padat bisa berupa
bibit tanaman, pupuk, fungisida dan bahan pengkondisi kesuburan tanah. Sedangkan pendistribusian bahan cair adalah berupa air untuk irigasi, herbisida,
insektisida dan pupuk cair. Dalam kegiatan pengendalian gulma keberadaan aplikator cairan sangat penting mengingat metode pemberantasan gulma biasa
dilakukan dengan cara mendistribusikan bahan aktif pemberantas gulma yang dilarutkan dalam air.
Penyemprotan cairan pengendali gulma pada praktek pertanian presisi membutuhkan peralatan yang memiliki kemampuan untuk mendistribusikan
herbisida yang tepat lokasi dan tepat dosis, sehingga kegiatan yang dilakukan mampu mengendalikan gulma dengan efektif dan ramah lingkungan.
Penelitian Real-time VRA Variable Rate Application dengan teknologi PWM untuk pengendalian gulma pada lahan terbuka telah dilakukan di Thailand
dengan memanfaatkan webcam sebagai sensor dan pengatur kerja pompa penyemprot. Pada penelitian tersebut masih banyak kekurangan terutama dari
segi ketelitian hasil kerja yang diakibatkan oleh penentuan luas satu perlakuan. Hasil dari penelitian tersebut masih membuka peluang bagi penelitian lanjutan
dengan menggunakan metode kerja sistem yang baru, yaitu dengan membagi citra menjadi beberapa bagian yang lebih kecil, serta penggunaan aktuator ganda untuk
meningkatkan ketelitian kinerja Real-time VRA. Tujuan penelitian ini adalah merancang alat aplikator cair dengan pengontrol
PWM Pulse Width Modulator dan merancang aplikasi penyemprotan ganda untuk meningkatkan ketelitian kerja sesuai dengan kondisi di lapangan, dengan
input yang berasal dari aplikasi untuk menduga kepadatan gulma.
Metode
Rancang bangun aplikator cairan berbasis sensor dilakukan sebagai langkah akhir setelah penembangan sistem pendeteksi kepadatan serangan gulma baik
111 pada lahan terbuka maupun lahan tertutup selesai dilakukan. Alat dan bahan yang
digunakan antara lain : -
Komputer jinjing -
Mikrokontroler AT89S51 -
DT HiQ UBB ISP AT89S sebagai uploader program ke mikrokontroler. -
EMS H-Bridge 30A sebagai modul penggerak motor listrik -
Motor listrik CCB SUMO, 12 Volt. -
Baterai 12V-7A -
Kamera digital -
Sensor Magnet dan magnet lempengan -
Bahasa pemrograman C untuk pembuatan program pengolah citra -
Bahasa Assembler untuk pengaturan kinerja mikrokontroler Adapun tahapan perancangan yang dilakukan meliputi perancangan perangkat
lunak, rancangan struktural, rancangan fungsional, penentuan mekanisme pengiriman dan penerimaan data, dan penentuan nilai PWM Pulse Width
Modulator. Mekanisme kerja rancangan alat yang akan dibangun adalah sebagaimana diagram alir yang ditampilkan pada Gambar 58.
Hasil dan Pembahasan Perancangan Perangkat Lunak
Perangkat lunak yang dibangun adalah aplikasi penentu tingkat kepadatan gulma pada lahan terbuka. Aplikasi dibangun dengan bahasa
pemrograman C C Sharp. Gambar 59 menunjukkan tampilan aplikasi pada saat penentuan tingkat serangan gulma pada lahan terbuka.
Rancangan Struktural
1. Dudukan Penyemprot Bagian rangka dudukan penyemprot merupakan bagian penentu dari
posisi nozzle dari atas permukaan tanah. Terdapat tiga sumbu gerak bebas pada bagian ini. Batang horizontal dapat digeser maju mundur
disesuaiakan dengan pembacaan sinyal magnet untuk keperluan penentuan waktu aktivasi penyemprotan. Batang vertikal memiliki gerak bebas naik
atau turun agar dapat mengatur tinggi semprotan yang sesuai dengan target
112 penyemprotan dan overlapping yang diinginkan. Komponen terakhir yaitu
batang dudukan nozzle terbuat dari besi siku dengan lubang-lubang berjarak 5 cm sebagai tempat nozzle, tujuannya agar nozzle dapat
disesuaikan apabila dibutuhkan overlapping spraying.
Gambar 58. Diagram alir mekanisme kerja alat penyemprot berbasis sensor.
Penangkapan citra lahan dengan CCD kamera
Pulsa magnet Pendeteksian jarak tempuh
dengan pulsa magnet Pemicu
pemotretan tiap 6 pulsa
Pemicu penyemprotan
tiap 3 pulsa Filterisasi citra
Pemecahan citra menjadi 4 bagian
Klasifikasi kepadatan serangan gulma tiap bagian citra
Penentuan nilai kombinasi penyemprotan pada nozzle kiri dan kanan 2 kombinasi tiap
citra hasil tangkapan Data kombinasi
penyemprotan
Pembacaan dan Penerjamahan data kombinasi penyemprotan dalam bahasa mesin oleh
Mikrokontroler Persiapan penyemprotan
Penentuan PWM kiri Penentuan PWM kanan
Motor driver 1 Motor driver 2
Penyemprotan presisi
113 Gambar 59. Desain antarmuka perangkat lunak pengolahan citra dan
klasifikasi serangan gulma. 2. Komponen Mekatronika
Perangkat mekatronika merupakan bagian yang mengatur kapan citra lahan akan diambil dan kapan penyemprot diaktivasi serta mengatur
seberapa besar tingkat penyemprotannya. Proses pemotretan dan penyemprotan dilakukan dengan mengaplikasikan algoritma kerja alat
berdasarkan desain yang telah dibuat. Adapun perangkat lunak digunakan untuk mengolah citra yang telah diambil dan hasil olahan tersebut menjadi
penentu tingkat penyemprotan yang akan dilakukan pada lahan. Nilai kombinasi yang dihasilkan oleh aplikasi penduga kepadatan
gulma selanjutnya dijadikan sebagai perintah pada sistem kontrol. Mikrokontroler AT89S51 akan mengolah nilai tersebut kembali menjadi 2
buah nilai kepadatan gulma untuk bagian kiri dan kanan A dan B. Setelah itu, mikrokontroler akan mengatur duty cycle dari modulasi lebar
pulsa dan mengirimkan pulsa tersebut ke modul penggerak pompa DC yaitu EMS 30 A.
Rancangan Fungsional
1. Pencacah jarak tempuh Pencacah jarak digunakan sebagai pencacah jarak yang telah
ditempuh dan sekaligus sebagai pemicu proses yang lain. Pencacah jarak tempuh bekerja dengan menggunakan sensor magnet. Sensor ini akan
mengalirkan arus dengan tegangan sebesar 5V ke salah satu pin IO dari
114 mikrokontroler ketika magnet dekat dengannya. Sebaliknya, arus dan
tegangan tersebut tidak akan diteruskan ke mikrokontroler jika tidak ada magnet yang berdekatan dengannya.
Pemicu diletakkan tepat di samping roda yang telah terpasang piringan akrilik dengan 10 buah magnet. Penentuan jumlah magnet
didasarkan garis tengah roda yaitu 54 cm. Sehingga setiap sensor terdeteksi mengartikan bahwa jarak yang telah ditempuh roda adalah : 54
cm x 3.14 10 = 16.96 cm. Dari perhitungan tersebut, dalam keadaan steady, setiap 3 kali sensor terbaca, proses penyemprotan harus dilakukan,
sedangkan untuk pengambilan dan pengolahan citra dilakukan setiap pembacaan sensor dengan kelipatan angka 6.
Gambar 60. Sensor magnet pencacah jarak tempuh. 2. Pengambilan Citra
Peralatan yang dibangun didesain untuk bekerja pada panjang citra 102 cm. Format citra yang digunakan adalah 640 x 480 pixel. Dalam
penelitian ini pengambilan citra dilakukan berdasarkan trigger yang dikirim oleh pencacah jarak, yaitu setiap kelipatan 6. Hal ini didasarkan
Sensor Magnet
Magnet
115 pada perhitungan : 6 x 16.96 cm = 101.76 cm yang nilainya mendekati
102 cm dengan selisih 0.24 cm atau 0.26. 3. Proses Penyemprotan
Proses penyemprotan adalah proses terakhir dari satu siklus pekerjaan sistem ini. Setelah dipicu oleh sensor magnet, mikrokontroler
akan mengambil data tingkat kepadatan gulma yang ada pada sebuah variabel di aplikasi pengolah citra dengan sebelumnya mengirim sebuah
karakter sebagai tanda bahwa mikrokontroler meminta data tersebut dan sprayer akan mulai melakukan penyemprotan. Spesifikasi penyemprot
yang digunakan ditampilkan pada Lampiran 5.
Pengiriman dan Penerimaan Data
USB Universal Serial Bus port yang digunakan pada komputer diatur dengan menggunakan baudrate dan data bits yang sama dengan pengaturan
pada mikrokontroler. Tabel 17. menampilkan pengaturan yang diberikan pada USB Port pada komputer.
Tabel 17. Konfigurasi USB Port untuk komunikasi data Properties
Keterangan Nama Port
COM6 Baud Rate
9600 Data Bits
8 Parity
None Stop Bits
1
Penentuan Nilai Modulasi Lebar Pulsa
Penentuan nilai PWM menggunakan bentuk gelombang pulsa kotak dimana lebar pulsa adalah hasil modulasi dalam keragaman dari nilai rata-rata
bentuk gelombang. Bila pulsa dinyatakan dalam ft dengan nilai minimum y
min
dan nilai maksimum y
max
dan duty cycle dinyatakan dalam D, maka nilai rata-rata bentuk gelombang dinyatakan sebagai berikut :
116 19
y
max
pada nilai t di selang dan y
min
pada nilai t di selang ,
maka persamaan menjadi sebagai berikut :
20 Berdasarkan persamaan tersebut dapat dilihat bahwa pada y
min
= 0 maka nilai
, hal tersebut berarti nilai rata-rata sinyal tergantung secara langsung pada nilai duty cycle D.
Penentuan lebar pulsa yang digunakan didasarkan pada nilai yang digunakan dalam penelitian sebelumnya Thangkowit, 2006. Dalam
penelitian Thangkowit 2006, besar duty cycle yang digunakan dan besar debit aplikator cair dapat dijelaskan pada Tabel 18. Karena penelitian tersebut
menggunakan dua buah sprayer dengan perlakuan seragam, maka pada penelitian yang dilakukan memiliki target debit per nozzle sebesar setengah
dari debit yang dirancang oleh Thangkowit 2006. Tabel berikut menampilkan debit penyemprotan untuk masing-masing tingkat kelas.
Tabel 18. Konfigurasi nilai PWM Thangkowit, 2006 Kelas
PWM duty cycle Debit lmenit
1 2
50 1.78
3 70
2.32 4
90 2.6
Tabel 19. Desain duty cycle PWM yang digunakan dalam sistem Kelas
PWM duty cycle PWM
Debit lmenit 1
2 67
167 0.85
3 88
226 1.15
4 100
255 1.21
117
Spesifikasi Sprayer Elektrik
1. Hubungan antara Tinggi dan Lebar Penyemprotan Berdasarkan
hasil pengamatan
pola penyemprotan
pada patternometer pada beberapa ketinggian nozzle diperoleh hubungan antara
tinggi penyemprotan dengan lebar penyemprotan berbentuk garis lurus dengan persamaan :
Y = 1.883 X + 43.52 21 keterangan :
Y = Lebar semprotan cm X = Ketinggian nozzle cm
dengan nilai R
2
= 0.999.
Gambar 61. Hubungan antara tinggi dan lebar penyemprotan Penyetelan nozzle pada ketinggian 25 cm menghasilkan lebar semprot
teoritis 90.60 cm. Berdasarkan hasil pengamatan lebar penyemprotan efektif dari ketinggian nozzle 25 cm adalah antara 67.50 cm nilai
distribusi tiap titik pengamatan 2 sampai 82.50 cm nilai distribusi tiap titik pengamatan 1 , selang nilai ini sesuai dengan lebar target
penyemprotan yaitu 68 cm.
20 40
60 80
100 120
140 160
10 20
30 40
50 60
Le b
a r
sem p
rot cm
Tinggi semprot cm
118 2. Pengujian debit dan distribusi hasil penyemprotan
Pengujian distribusi penyemprotan dilakukan dengan menggunakan alat patternometer Gambar 62. Alat uji yang digunakan menggunakan
lebar amatan terkecil 7.5 cm dengan wadah gelas sebagai wadah pengumpul hasil penyemprotan. Gambar 63 dan Gambar 64
secara berturut-turut memperlihatkan pola distribusi air dari sprayer elektrik
dengan bukaan katup dan perlakuan PWM. Data selengkapnya dari uji distribusi penyemprotan dengan PWM ditampilkan pada Lampiran 6, dan
data hasil uji distribusi penyemprotan dengan bukaan katup kran ditampilkan pada Lampiran 7.
Gambar 62. Alat uji distribusi penyemprotan Patternometer. Volume dari setiap kolom pada penggunaan bukaan katup Gambar
63 menunjukkan pada umumnya volume bukaan penuh pada bagian kiri merupakan debit yang paling tinggi sedangkan pada bagian kanan, hampir
seluruh volume bukaan penuh merupakan nilai yang paling rendah. Berdasarkan fakta tersebut maka penggunaan bukaan katup sebagai metode
pengontrolan debit penyemprotan tidak sesuai dengan tujuan pengontrolan. Hal ini disebabkan oleh tidak konsistennya hasil penyemprotan bagian
kanan dan bagian kiri. Pengamatan terhadap penggunaan PWM sebagai alat kontrol
penyemprotan Gambar 64 menunjukkan hampir seluruh volume dengan PWM sebesar 255 menjadi nilai tertinggi pada setiap kolom. Pola
119 penyemprotan sisi kiri dan sisi kanan menunjukkan hasil yang lebih
konsisten. Berdasarkan hasil ujicoba pengontrolan debit penyemprotan dengan
dua metode tersebut, maka pengontrolan dengan menggunakan PWM dapat disimpulkan bahwa penggunaan PWM menghasilkan debit
semprotan yang lebih baik sesuai dengan perintah kontrol yang diberikan.
Gambar 63. Distribusi air hasil penyemprotan dengan bukaan katup
Gambar 64. Distribusi air hasil penyemprotan dengan perlakuan PWM
20
40
60 80
100 120
140 160
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 V
ol u
m e
m l
Gelas ke-n
Bukaan Penuh 23 bukaan
13 bukaan
20 40
60 80
100
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 V
ol u
m e
m l
Gelas ke-n
pwm 255 pwm 226
pwm 167
120
Uji Kinerja Sistem
a. Pengujian respon penyemprotan Pengujian respon penyemprotan dilakukan dengan menggunakan 6
buah citra secara acak dengan satu nozzle di bagian kanan. Citra yang terpilih adalah citra nomor 4, 5, 6, 5, 23, dan 25 yang kemudian disusun
berurutan sehingga menghasilkan 12 kelas kepadatan gulma bagian kanan secara berturut-turut 4, 4, 1, 1, 2, 2, 1, 1, 3, 3, 1, dan 1. Penyusunan secara
berurutan bertujuan untuk mengetahui respon sistem pada kondisi operasional secara kontinyu.
b. Perbandingan hasil penyemprotan 2 nozzle dengan perlakuan tunggal dan perlakuan ganda
Gambar 65 menunjukkan jumlah cairan yang harus disemprotkan berdasarkan hasil peta perlakuan yang ditunjukkan pada Gambar 52, dan
debit yang ada pada Tabel 19 menunjukkan bahwa dosis penyemprotan total untuk penyemprotan dengan perlakuan tunggal adalah sebesar 0.756
liter sedangkan dosis penyemprotan total untuk penyemprotan dengan perlakuan ganda adalah sebesar 0.649 liter. Kedua nilai tersebut
menunjukkan adanya penghematan penggunaan cairan hingga 14 jika sebuah citra dibagi menjadi 4 citra.
Hasil perhitungan tersebut tidak berarti bahwa penerapan Penghematan penggunaan herbisida tergantung pada
sebaran dan kepadatan gulma yang ada di lahan. Penerapan metode
pemecahan citra secara jelas menunjukkan ketelitian aplikasi dari segi dosis dan ketepatan lokasi, sehingga pemberantasan gulma akan lebih
efektif , efisien, dan ramah lingkungan. Dari analisa nilai rata-rata klasifikasi menunjukkan 9 citra memiliki
rata-rata nilai perlakuan lebih besar, 11 citra memiliki rata-rata nilai perlakuan lebih kecil, dan 6 citra memiliki rata-rata nilai perlakuan sama.
c. Uji ketepatan aktivasi penyemprotan Ketepatan aktivasi diukur dengan jarak aktivasi semprotan sprayer.
Jarak tersebut kemudian dibandingkan dengan jarak teoritis pada saat perancangan alat 102 cm. Lampiran 8 menampilkan data lengkap uji
aktivasi penyemprotan yang secara ringkas dapat dilihat pada Tabel 20.
121
a Penyemprotan nozzle tunggal b Penyemprotan nozzle ganda
dengan ukuran 102 cm x 136 cm dengan ukuran 51 cm x 68 cm
Gambar 65. Perbedaan pola nilai penyemprotan tunggal a dan pola penyemprotan ganda b dalam satuan liter.
122 Nilai error rata-rata yang dihasilkan dari pengujian ketepatan
aktivasi adalah sebesar 10.55 dengan hasil pengukuran jarak dengan pola yang sama. Hal ini dapat disebabkan oleh aktivasi yang dilakukan oleh
pemicu. Untuk mengaktivasi pengambilan citra, pencacah mikrokontroler berada pada hitungan ke-6 akan tetapi pada saat pengujian aktivasi
pengambilan citra dilakukan pada saat pencacah berada pada hitungan manual ke-5 atau pada hitungan manual ke-6. Letak magnet yang
berdekatan dan sensor magnet juga dapat mempengaruhi terjadinya hal tersebut.
Tabel 20. Hasil pengujian aktivasi penyemprotan
Ulangan Jarak Aktivasi
Rancangan cm Jarak Aktivasi Terukur cm
Rata-rata Error
1 2
3 4
5 1
102 94
85 104
88 109
9.41 2
102 110
90 102
87 106
7.65 3
102 108
85 110
86 107
10.20 4
102 114
91 111
74 111
13.53 5
102 112
87 111
85 112
11.96 Rataan
10.55
d. Uji ketelitian dosis dan respon aktuator Ketelitian dosis aplikasi dan respon aktuator dilakukan dengan
mengukur volume total yang keluar dari nozzle pada pengujian yang dilakukan secara kontinyu pada berbagai nilai PWM tanpa menggunakan
kombinasi PWM = 0, dan membandingkan dengan volume teoritis dari dosis hasil perancangan. Gambar 66 menampilkan perbandingan volume
penyemprotan hasil ujicoba dan volume secara teoritis, data lengkapnya ditampilkan pada Lampiran 8. Pada gambar tersebut terlihat bahwa
volume semprotan terukur selalu lebih kecil dari volume yang seharusnya volume teoritis, akan tetapi nilainya selalu mendekati nilai volume
teoritis. Nilai volume aktual yang lebih kecil disebabkan karena respon aktuator yang lambat, dimana suatu nilai PWM baru akan mencapai debit
yang stabil setelah 3 detik pengoperasian sedangkan lama operasi untuk
123 tiap dosis hanya 0.38 detik. Hasil pengujian dengan tidak memasukkan
variasi PWM = 0 menunjukkan bahwa rataan error yang terjadi sebesar 3.47. Bila nilai PWM = 0 dimasukkan dalam proses uji coba, maka nilai
error akan semakin besar. Hal ini disebabkan karena untuk mencapai nilai debit yang stabil dari kondisi PWM=0 membutuhkan waktu yang lebih
besar dari waktu operasi penyemprotan yang harus dilakukan. Keterbatasan respon aktuator dapat diatasi dengan cara
memperpendek pipa penghantar cairan dan penggunaan pompa air yang bekerja dengan stabil dan lebih responsif terhadap perubahan lebar pulsa
catu daya .
Gambar 66. Hasil pengujian ketelitian dosis aplikasi e. Analisa penyemprotan bertumpuk
Penyemprotan bertumpuk dalam praktek pertanian terjadi pada penyemprotan dengan skala luas dimana penggunaan nozzle tunggal sudah
tidak memungkinkan. Nilai overlap yang terjadi pada penyemprotan dengan nozzle ganda biasanya berkisar antara 30 sampai 50.
Tidak hanya pola penyemprotan, penggunaan lebih dari satu nozzle, ketinggian dan jarak pemasangan aplikator cair pun dapat menentukan
ketepatan penyemprotan cairan Miller A. dan Bellinder R, 2001.
124 Gambar 67. Pengaruh ketinggian dan jarak pemasangan aplikator
cair Miller A dan Bellinder R, 2001 Analisa penyemprotan bertumpuk dilakukan untuk mengetahui
perbedaan distribusi larutan dengan penyemprotan tunggal dan distribusi larutan hasil penyemprotan dengan nozzle ganda pada beberapa nilai
overlaping. Dasar penentuan tingkat overlaping adalah dengan cara menghitung rasio jumlah titik pengamatan yang overlaping dengan jumlah
keseluruhan titik pengamatan pada pengoperasian nozzle ganda. Penggunaan nozzle ganda dimaksudkan untuk mencapai lebar semprot
sesuai rancangan sama dengan lebar tangkapan citra, yaitu 136 cm dan nilai simpangan baku sekecil mungkin. Penyemprotan nozzle ganda
dengan overlap 38 pada jarak antar nozzle 60 cm sebagaimana yang ditampilkan pada Gambar 69. menunjukkan sebaran yang masih cukup
lebar. Berdasarkan perhitungan secara teoritis Lampiran 14 overlap 38 akan menghasilkan lebar semprot 142.5 cm dengan simpangan baku hasil
penyemprotan sebesar 2.66.
125 Gambar 68. Pola distribusi penyemprotan tunggal.
Gambar 69. Pola distribusi penyemprotan dengan overlap 38. Penyemprotan nozzle ganda dengan overlap 54 dengan jarak antar
nozzle 45 cm sebagaimana yang ditampilkan pada Gambar 70. menunjukkan sebaran yang semakin seragam. Berdasarkan perhitungan
secara teoritis Lampiran 15 overlap 54 akan menghasilkan lebar semprot 127.5 cm dengan simpangan baku hasil penyemprotan sebesar
1.32.
0.00 2.00
4.00 6.00
8.00
10.00
12.00 14.00
16.00 18.00
20.00
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
11
V o
lu m
e sem
p ro
t
Titik Pengukuran
0.00
1.00 2.00
3.00 4.00
5.00 6.00
7.00 8.00
9.00 10.00
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10 11 12 13 14 15 16
V ol
u m
e sem
p rot
Titik Pengukuran
126 Gambar 70. Pola distribusi penyemprotan dengan overlap 54.
Hasil perhitungan teoritis penyemprotan dengan overlap 38 dan 54 memiliki lebar penyemprotan 142.5 cm dan 127.5 cm. Nilai lebar
penyemprotan tersebut telah mendekati lebar penyemprotan yang direncanakan sebesar 136 cm.
Selain dengan cara meningkatkan nilai overlap, metode untuk meningkatkan keseragaman penyemprotan dapat dilakukan dengan
mempergunakan nozzle yang memiliki sudut semprot yang besar. Penggunaan nozzle dengan sudut semprot yang besar akan memberikan
hasil semprot yang lebih lebar dan lebih merata. Peningkatan keseragaman penyemprotan juga dapat dilakukan dengan menambah
ketinggian penyemprotan. Pada ketinggian nozzle yang lebih besar keseragaman hasil penyemprotan akan lebih baik, karena droplet yang
dihasilkan bercampur dengan lebih baik sebelum sampai pada obyek yang disemprot.
f. Analisa pengaruh kecepatan maju terhadap debit penyemprotan Analisa pengaruh perubahan kecepatan maju penyemprot terhadap
debit penyemprotan dilakukan dengan cara menghitung target dosis penyemprotan per hektar dengan kecepatan maju yang ditargetkan
1 mdet. Tabel 21 menunjukkan hasil perhitungan dosis target
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
11 12
13
V ol
u m
e sem
p rot
Titik Pengukuran
127 penyemprotan pada tiap-tiap kelas serangan gulma. Angka dosis tersebut
selanjutnya dijadikan acuan untuk menghitung pengaruh perubahan maju penyemprot terhadap perubahan debit penyemprotan.
Tabel 21. Dosis penyemprotan tiap kelas serangan gulma Kelas
Debit semprot l menit
Lebar kerja cm
Kecepatan maju mdet
Dosis l ha 2
0.85 136
1 104.167
3 1.15
136 1
140.931 4
1.21 136
1 148.284
Tabel 21 menampilkan debit penyemprotan yang harus dioperasikan pada tiap-tiap kelas serangan gulma untuk mencapai dosis
acuan yang telah ditentukan. Untuk mendapatkan persamaan yang merepresentasikan hubungan antara kecepatan maju dan debit
penyemprotan data pada Tabel 22 diplotkan ke dalam grafik sebagaimana terlihat pada Gambar 71. Hasil analisa regresi linier diperoleh hubungan
antara kecepatan maju dan debit penyemprotan untuk masing-masing kelas serangan gulma sebagai berikut :
Q2 debit untuk kelas 2 = 0.236 x V .......................................... 22 Q3 debit untuk kelas 3 = 0.319 x V .......................................... 23
Q4 debit untuk kelas 4 = 0.336 x V .......................................... 24 keterangan : V = kecepatan maju kmjam
Q = debit penyemprotan lmenit Pengamatan terhadap kinerja aplikator cairan berbasis sensor terutama
dari segi kecepatan kerja dapat dirinci mulai dari kegiatan pengambilan citra di lapangan, pengolahan citra dan klasifikasi citra, serta kecepatan
aksi penyemprotan. Selain kecepatan kerja komponen lain yang perlu diperhatikan adalah luas kerja persatuan waktu. Berdasarkan desain awal
aplikator cairan yang dibangun memiliki luas kerja per operasi sama dengan luas tangkapan citra, yaitu 102 cm x 136 cm.
128 Gambar 71. Hubungan kecepatan maju peralatan dan debit penyemprotan
Tabel 22. Dosis penyemprotan pada berbagai kecepatan maju peralatan Kecepatan
kmjam Kelas 2
litermenit Kelas 3
litermenit Kelas 4
litermenit 1
0.236 0.319
0.336 2
0.472 0.639
0.672 3
0.708 0.958
1.008 4
0.944 1.278
1.344 5
1.181 1.597
1.681 6
1.417 1.917
2.017 7
1.653 2.236
2.353 8
1.889 2.556
2.689 9
2.125 2.875
3.025 10
2.361 3.194
3.361 11
2.597 3.514
3.697 12
2.833 3.833
4.033 13
3.069 4.153
4.369 14
3.306 4.472
4.706 15
3.542 4.792
5.042 16
3.778 5.111
5.378 17
4.014 5.431
5.714 18
4.250 5.750
6.050 19
4.486 6.069
6.386 20
4.722 6.389
6.722
1 2
3 4
5 6
7
2 4
6 8
10 12
14 16
18 20
D e
b it
li te
r m
e n
it
Kecepatan maju kmjam
Kelas 2 Kelas 3
Kelas 4
129 Rata-rata waktu kerja sistem berdasarkan 26 kali ulangan adalah
sebagaimana ditampilkan pada Tabel 23. Hasil pengukuran secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 11.
Tabel 23. Waktu kerja rata-rata tiap proses pada sistem pengendalian gulma
No. Nama Proses
Waktu kerja detik 1
Penangkapan citra 0.2045
2 Loading file
0.1712 3
Filterisasi 0.1961
4 Analisa kelas serangan
0.1062 5
Penentuan dosis 0.0899
Jumlah 0.7679
Gambar 72. Landasan perhitungan kecepatan maju alat penyemprot
Rata-rata waktu kerja sistem untuk menyemprot sepanjang 102 cm di luar waktu aktivasi aktuator penyemprot adalah 0.7679 detik. Berdasarkan
nilai tersebut berarti kecepatan kerja sistem adalah 1.3283 ms atau sama dengan 4.7818 kmjam dengan lebar kerja 136 cm berarti sistem
penyemprot memiliki kapasitas kerja 0.6503 hajam. Nilai kapasitas kerja yang diperoleh masih sangat kecil, sehingga diperlukan metode lain untuk
meningkatkan kecepatan operasi dan kapasitas kerja. Pengoperasian sistem tanpa melalui penyimpanan dan pengambilan
file citra secara teoritis akan mempersingkat waktu operasi tiap proses, yaitu menjadi 0.426 detik. Kecepatan gerak maju maksimum menjadi
8.630 kmjam dan kapasitas kerja 1.172 hajam.
Lebar tangkapan citra 136 cm Panjang
tangkapan citra 102 cm Arah maju
peralatan
130 Kecepatan gerak maju yang semakin besar menuntut pemotretan yang
lebih akurat baik dari segi ketepatan waktu pengambilan citra maupun kualitas citra yang dihasilkan. Untuk mendapatkan kualitas citra yang baik
diperlukan teknologi kamera dengan kecepatan tinggi yang dilengkapi dengan fitur anti getar, didukung dengan desain dudukan kamera yang
mampu meredam getaran yang terjadi selama proses pemotretan.
Simpulan
1. Aplikator cairan presisi berbasis PWM telah dibuat dengan masukan berupa nilai kombinasi serangan gulma hasil kerja sistem pendeteksi serangan gulma.
2. Ketepatan aktivasi penyemprotan pada lokasi yang telah ditentukan menunjukkan nilai error rata-rata yang dihasilkan adalah sebesar 10.55
3. Hasil uji kinerja ketepatan dosis dan respon aktuator pada berbagai nilai kelas kepadatan serangan gulma menunjukkan nilai yang baik dengan rataan error
yang terjadi sebesar 3.47. 4. Penyemprotan dengan nozzle tunggal menghasilkan lebar semprot 82.5 cm
dengan lebar semprot efektif 67.5 cm dengan simpangan baku 9.09. 5. Rata-rata waktu kerja sistem untuk menyemprot sepanjang 102 cm diluar
waktu aktivasi aktuator penyemprot adalah 0.76791 detik. Berdasarkan nilai tersebut berarti kecepatan kerja sistem adalah 1.3283 ms, dengan lebar kerja
136 cm berarti sistem penyemprot memiliki kapasitas lapang teoritis 0.6503 hajam.
6. Pengoperasian sistem tanpa melalui penyimpanan dan pengambilan file citra akan mempersingkat waktu operasi tiap proses, yaitu menjadi 0.426 detik.
Kecepatan gerak maju maksimum menjadi 8.630 kmjam dan kapasitas kerja 1.172 hajam.
131
8. PERANCANGAN SISTEM MULTI AGEN Pendahuluan