157
9. PEMBAHASAN UMUM
Beberapa metode analisa komputasi cerdas digunakan dalam penelitian pendeteksian serangan gulma. Masing-masing metode diarahkan untuk mencapai
tujuan analisa utama yaitu pendeteksian kepadatan serangan gulma. Metode tersebut antara lain adalah : 1 analisa dimensi fraktal untuk pengenalan jenis
tanaman, 2 analisa nonparametrik Bayes untuk menganalisa kepadatan serangan gulma.
Penggunaan sistem cerdas dimesi fraktal untuk pemberantasan gulma pada minggu ke-4 dapat dilakukan dengan menerapkan penggunaan kamera visi,
karena dengan penggunaan kamera visi sistem pendeteksi keberadaan gulma di lahan dapat dengan jelas membedakan antara tanaman pokok dan gulma
berdasarkan nilai dimensi fraktal masing-masing tanaman. Hasil validasi sistem pada pengenalan tanaman jagung menunjukkan akurasi 88.64 sedangkan pada
tanaman kacang tanah menghasilkan validasi 92.59. Kemampuan sistem dalam mengidentifikasi gulma memiliki akurasi 71.43, hal ini disebabkan pada kasus
gulma yang tidak dikontrol beberapa gulma akan memiliki penampakan bentuk menyerupai tanaman pokok.
Penentuan tingkat kepadatan gulma dilakukan dengan menggunakan nilai rata-rata warna hijau dari setiap citra. Citra dibagi dalam 4 kelas kepadatan yaitu
tidak ada, jarang, sedang, dan padat masing-masing dengan interval nilai rata-rata warna hijau 0.00-38.22, 38.22-76.45, 76.45-114.67, dan 114.67-255 secara
berurut. Nilai kelas kepadatan dari seluruh citra yang diolah nantinya akan menjadi dasar dalam pembuatan peta kepadatan gulma pada lahan terbuka. Hasil
training penentuan tingkat kepadatan serangan gulma dengan metode non- parametrik Bayes menghasilkan akurasi 100, dan ketelitian yang diperoleh dari
validasi dengan data citra yang berbeda menunjukkan akurasi sebesar 94. Penerapan metode pemecahan citra akan meningkatkan ketelitian aplikasi
dari segi dosis dan ketepatan lokasi. Akan tetapi fenomena ini tidak berarti penerapan secara parsial metode ini akan selalu menghasilkan penghematan,
walaupun secara keseluruhan pada kasus lahan di Laboratorium Lapangan IPB
158 hasil perhitungan matematis menunjukkan penghematan konsumsi herbisida
sebanyak 14. Pada tahap aplikasi penyemprotan meskipun rata-rata penggunaan herbisida akan sama besar metode pembagian citra akan memberikan peta aplikasi
yang akan memandu peralatan mendistribusikan herbisida lebih tepat-dosis dan tepat-lokasi
Metode pengendalian gulma pada tahapan pascatumbuh dengan menghilangkan baris tanaman utama memiliki sedikit kelemahan dalam
mendeteksi keberadaan gulma di antara tanaman dalam satu baris, karena baris tersebut tidak dimasukkan dalam perhitungan kepadatan serangan gulma. Pada
kegiatan pengendalian gulma bagian tersebut tetap mendapat perlakuan penyemprotan, karena pada tahap pascatumbuh kegiatan penyemprotan dilakukan
secara menyeluruh. Penyemprotan secara menyeluruh dengan menggunakan herbisida dimungkinkan dengan adanya herbisida selektif. Beberapa herbisida
selektif misalnya Atrazin
,
Siamazin, dan Pendimetalin adalah termasuk golongan
herbisida selektif yang efektif mematikan gulma berdaun lebar setahun tetapi aman bagi tanaman jagung .
Rata-rata waktu kerja sistem untuk menyemprot sepanjang 102 cm diluar waktu aktivasi aktuator penyemprot adalah 0.76791 detik. Berdasarkan nilai
tersebut berarti kecepatan kerja sistem adalah 1.3283 mdet atau sama dengan 4.7818 kmjam dengan lebar kerja 136 cm berarti sistem penyemprot memiliki
kapasitas lapangan teoritis 0.6503 hajam. Kecepatan 1.3283 ms adalah kecepatan maksimum yang dapat dilakukan oleh sistem penyemprot yang
dibangun. Apabila sistem bekerja pada kecepatan dibawah kecepatan maksimum maka sistem dapat bekerja dengan baik, karena sistem selesai bekerja sebelum
pekerjaan berikutnya datang sehingga tersedia waktu tunggu untuk pengambilan citra lahan selanjutnya. Apabila sistem bekerja pada kecepatan diatas kecepatan
tersebut maka akan terjadi kesalahan aplikasi yang diakibatkan oleh keterlambatan pengambilan citra berikutnya karena sistem belum selesai melakukan rangkaian
proses dalam satu pekerjaan. Keterlambatan pengambilan citra pada tahapan selanjutnya akan mengakibatkan adanya ruang kosong antar citra blank spot.
159 Penerapan pada lahan dengan luasan yang kecil dapat dilakukan dengan
menggunakan traktor roda dua sebagai tenaga penggerak. Karena kecepatan gerak maju yang relatif lebih lambat dibanding traktor roda empat, maka pada
aplikasi pada lahan dengan luasan yang kecil tidak memerlukan sistem multi agen. Pada aplikasi dengan lahan yang luas, sebagai perbandingan dari kinerja
aplikator cairan berbasis sensor digunakan aplikator berbasis peta berupa boom sprayer dengan lebar kerja 12 meter. Dengan kecepatan 5 kmjam berarti boom
sprayer memiliki kapasitas kerja teoritis 6 hajam. Uji kinerja Boom sprayer dilakukan di Kabupaten Sorong dengan menggunakan peralatan milik PT. Nanco
Farming Contractor Gambar 86. Boom sprayer memiliki kemampuan yang baik dari segi kecepatan aplikasi pada dosis tunggal 2-12 kmjam. Tingkat akurasi
aplikasinya adalah per satuan lebar 12 meter, karena implemen jenis ini hanya dilengkapi dengan satu pengatur laju penyemprotan. Pada boom sprayer tipe
yang lebih maju biasanya memiliki lebar kerja 24 meter dan memiliki 4 buah pengatur tekanan pompa penyemprot yang memungkinkan untuk meningkatkan
ketelitian aplikasi pada lebar kerja lebar 6 meter. Prosedur kerja boom sprayer di lapangan biasanya didahului dengan pembuatan jalur tetap untuk traktor di lahan
Gambar 87. Selama proses budidaya jalur tersebut akan terus menerus digunakan.
Tabel 25. Spesifikasi teknis Boom sprayer Spesifikasi Teknis
Nilai Tipe
Condor M-12BX Panjang
1.35 meter Lebar
1.55 meter Tinggi
3.35 meter Berat
255 kg Kapasitas Tangki
600 liter Tekanan maksimum rekomendasi
200 psi Lebar kerja
12 meter Jumlah Nozzle
24 buah JA-2 Kecepatan kerja
2-12 kmjam
160 Gambar 86. Uji coba boom sprayer tipe gendong.
Gambar 87. Pembuatan alur boom sprayer.
161 Tabel 26. Perbandingan debit penyemprotan Boom sprayer dan kontrol PWM
Perlakuan Boom Sprayer
lmenit Aplikator Cairan dengan kontrol
PWM lmenit Rendah
0.76 0.85
Sedang 1.05
1.15 Tinggi
1.19 1.21
Hasil perhitungan teoritis penyemprotan dengan overlap 38 dan 54 memiliki lebar penyemprotan 142.5 cm dan 127.5 cm. Nilai lebar penyemprotan
tersebut telah mendekati lebar penyemprotan yang direncanakan sebesar 136 cm. Analisa penyemprotan secara overlap untuk menghasilkan lebar penyemprotan
136 dengan interpolasi diperoleh nilai overlap yang harus dilakukan sebesar 45 dengan jarak antar nozzle 53.5 cm.
Berdasarkan hasil pengamatan dari berbagai nilai overlaping, maka bentuk persamaan linier penentuan lebar penyemprotan terhadap persentase overlaping
pada tinggi penyemprotan 25 cm adalah : y = -0.937x + 178.1 35
keterangan : x = persentase overlaping
y = lebar penyemprotan cm Persamaan linier penentuan lebar penyemprotan terhadap jarak antar nozzle
pada tinggi penyemprotan 25 cm adalah : y = x + 82.5 36
keterangan : x = jarak antar nozzle
y = lebar penyemprotan cm Berdasarkan persamaan 35 dan persamaan 36 dapat disimpulkan bahwa
lebar penyemprotan pada penyemprotan bertumpuk berbanding lurus dengan jarak antar nozzle dan berbanding terbalik dengan persentase overlaping.
162 Uji coba terhadap sistem konsultasi dengan kasus lahan dengan luas 200 ha
dan lama pengerjaan tersedia 2 hari dan volume semprot 150 lha menunjukkan keluaran berupa saran penggunaan 5 unit sistem dengan kecepatan maju 6 kmjam
dan jenis nozzle yang harus digunakan adalah nozzle berwarna biru dengan kode 110-UF-03 yang mampu melewatkan herbisida dengan debit semprotan 0.78
lmenit. Tahapan perhitungan yang dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Penentuan kecepatan maju penyemprot
Hasil analisa komputasi paralel menunjukkan bahwa hasil speedup menyebabkan kecepatan pengerjaan satu buah pekerjaan menjadi 0.204 detik
atau setara dengan kecepatan maju maksimum 18 kmjam pada kondisi dimana jumlah pekerjaan sangat banyak. Apabila kecepatan maju hanya 6
kmjam, berarti sistem mampu mengolah 3 citra sekaligus dalam waktu 0.612 detik. Pengolahan jumlah citra yang lebih banyak sekaligus akan
meningkatkan lapangan dari peralatan. 2. Penentuan lebar kerja
Berdasarkan kemampuan pengolahan 3 citra sekaligus dan lebar tiap-tiap citra adalah 1.36 m, maka diperoleh lebar kerja sebesar 4.08 m.
3. Penentuan kapasitas lapang yang dibutuhkan Kapasitas lapang yang dibutuhkan adalah sebebsar 200 ha 2x8 jam yaitu
12.5 hajam. 4. Penentuan jumlah unit yang harus dipekerjakan.
Berdasarkan kapasitas lapangan yang diinginkan, maka jumlah unit yang harus dipekerjakan pada kasus ini dapat dihitung dengan formula sebagai berikut :
J = 10 x K V x L 37
keterangan : J = Jumlah unit penyemprot
K = Kapasitas lapangan 12.5 hajam V = Kecepatan maju 6 kmjam
L = Lebar kerja tiap unit 1.36 m Berdasarkan formulasi tersebut di atas maka jumlah unit yang harus
dipekerjakan adalah 5 unit.
163 5. Penentuan debit semprotan
Nilai debit penyemprotan dilakukan dengan cara memasukkan nilai volume semprot, kecepatan maju dan jarak antar nozzle 0.535 m ke dalam rumus 5
akan diperoleh debit semprot sebesar 0.803 lmenit. Langkah-langkah yang harus dilakukan untuk menerapkan hasil penelitian ke
dalam bentuk peralatan yang siap digunakan di lapangan adalah : - Menggunakan komputer yang memiliki multi prosesor multi core
- Memasangkan 6 nozzle pada sistem penyemprot, dimana tiap-tiap 2 nozzle bekerja berdasarkan nilai tertentu yang mewakili keragaman serangan gulma
yang diterima oleh aktuator. - Mempergunakan kamera digital yang memiliki kemampuan penangkapan citra
yang baik pada kondisi pencahayaan lapangan dan kemampuan penangkapan citra yang lebih lebar.
- Memperbaiki mekanisme dudukan kamera sedemikian rupa sehingga pengaruh getaran pada gerakan maju peralatan tidak berpengaruh besar pada hasil
tangkapan citra. - Apabila penyemprot akan menggunakan sistem gendong bukan sistem tarik,
maka diperlukan modifikasi pada sistem pencacah jarak tempuh. Penempatan sensor pencacah jarak tempuh dapat dipindah pada roda depan traktor.
164
10. SIMPULAN DAN SARAN