Pertanggungjawaban Pidana PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU YANG MELAKUKAN

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU YANG MELAKUKAN

TINDAK PIDANA DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH

A. Pertanggungjawaban Pidana

1 Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Alf Ross, pernah mengemukakan pendapatnya sekitar apakah yang dimaksud dengan seseorang bertanggungjawab atas perbuatannya, on guilt, Responsibility and punishment. Kesalahan, pertanggungjawaban dan pidana adalah ungkapan-ungkapan yang terdengar dan digunakan dalam percakapan sehari-hari, dalam moral, agama, dan hukum. Tiga unsur itu berkaitan satu dengan yang lain, dan berakar dalam satu keadaan yang sama, yaitu adanya suatu pelanggaran terhadap suatu sistem aturan- aturan. Sistem aturan itu dapat bersifat luas dan aneka macam hukum perdata, hukum pidana aturan moral dan sebagainya. Kesamaan dari ketiganya adalah bahwa mereka meliputi suatu rangkaian aturantentang tingkah laku yang diikuti oleh suatu kelompok tertentu. Jadi sistem yang melahirkan konsepsi kesalahan, pertanggungjawab dan pemidanaan itu adalah sistem normatif. 23 Berpangkal tolak pada sistem normatif yang melahirkan konsepsi kesalahan, pertanggung jawab dan pemidanaan itu, dicobanya menganalisa tentang pertanggung jawab pidana. Yang dimaksud dengan bertanggung jawab atas dilakukannya perbuatan pidana berarti yang bersangkutan secara sah dapat dikenai pidana karena 23 Roeslan Saleh, Pikiran-pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana, PT Ghalia Indonesia,Jakarta,1982 hal 33 Universitas Sumatera Utara perbuatan itu. Bahwa pidana itu dapat dikenakan secara sah berarti bahwa untuk tindakan itu telah ada aturannya dalam suatu sistem hukum tertentu dan sistem hukum itu berlaku atas perbuatan ini. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa tindakan ini dapat dibenarkan oleh sistem hukum tersebut. Inilah dasar konsepsinya. Seperti telah diterangkan dimuka, Alf Ross berpendapat bahwa keadilan adalah kesamaan. Syarat kesamaan berarti bahwa tidak seorangpun diperlakukan sewenang- wenang atau tanpa dasar berbeda dari orang-orang lain. Sedangkan arti kesamaan itu ditentukan berdasarkan ukuran-ukuran norma kesusilaan dan nnorma-norma hukum yang berlaku. Oleh karenanya ia berpendapat bahwa keputusan yang patut dan adil adalah keputusan yang terjadi sesuai dengan norma yang berlaku. Dan kini, pendapatnya tentang keadilan diterapkannya dalam rumusannya tentang pertanggungjawab pidana, yaitu adalah patut dan adil seseorang dijatuhkan pidana karena perbuatannya jika memang telah ada aturannya dalam sistem hukum tertentu dan sistem hukum itu berlaku atas perbuatan tersebut. Persoalan pertanggung jawab pidana termasuk dalam persoalan keadilan. Perlu dicatat keterangan Ross lebih jauh, bahwa dalam penegasan tentang pertanggungjawab itu dinyatakan adanya suatu hubungan antara kenyataan-kenyataan yang menjadi syarat dan akibat-akibat hukum yang diisyaratkan. Hubungan antara keduanya ini tidak bersifat kodrat atau tidak bersifat kausal, melainkan diadakan oleh aturan hukum. Jadi pertanggungjawab itu adalah pernyataan dari suatu keputusan hukum. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana. Apakah orang yang melakukan perbuatan kemudian juga Universitas Sumatera Utara dijatuhi pidana, sebagaimana telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan, sebab azas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana ialah: tidak dipidana jika tidak ada kesalahan Geen staf zonder schuld; Actus non facit reum nisi mens sir rea 24 Penulis seperti pompe mengatakan bahwa ada kesalahan jika perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa “verwijtbaar” dapat dicela dan “vermijdbaar” dapat dihindari. Sedangkan mezger menerangkan bahwa kesalahan adalah syarat-syarat yang mendasarkan celaan peronlijk terhadap orang yang melakukan perbuatan. Sedangkan yang dirumuskan oleh Simons bahwa: “kesalahan adalah adanya keadaan psychis yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan yang sedemikian rupa, hingga orang itu dapat dicela karena melakukan perbuatan tada”. A.A.G. Peters dalam bukunya Opzet en scld in het strfrecht, deventer 1966 kesalahan dikemukakannya sebgai suatu pengertian instrumental. Dan dalam hubungan tulisan ini yang lebih penting lagi adalah bahwa pandangan Peters ini olehnya dikaitkan dengan pemikiran tentang kepatutan keadilan dan demokratisnya keputusan. 25 Jika ada pelanggaran norma dan sanksinya, selalu akan ada pertanggungjawab. Pertanggungjawab dapat terjadi dalam bentuk menjatuhkan denda, memenjarakan dalam rumah penjara, dimasukkan dalam rumah sakit jiwa, dijatuhi hukuman matidan dengan banyak bentuk-bentuk lain lagi. Dasar bagi pertanggungjawab ini adalah kesalahan, yang hanya ada karena keharusan adanya aksi yang harus dibenarkan pula. 24 Moeljatno, Hukum Pidana II, Rineka Cipta, Jakarta, 1995 hal 153 25 Roeslan Saleh, op cit ., hal 35 Universitas Sumatera Utara Sementara itu mempertanggungjawabkan dalam hukum pidana, jika kita ingin bersifat kemanusiaan, haruslah pula ia suatu tindakan yang masuk akal dan berkesusilaan, demikian dikemukakan Peters. 2 Kesalahan dan Kemampuan bertanggungjawab Berdasarkan teori pemisahan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana, maka tindak pidana merupakan sesuatu yang bersifat eksternal dari pertanggungjawaban pembuat. Dilakukannya tindak pidana merupakan syarat eksternal kesalahan. Namun demikian, selain syarat eksternal untuk adanya kesalahan adapula syarat internal. Dalam hal ini persyaratan yang justru terletak pada diri pembuat. Konkretnya, kondisi pembuat yang dapat dipersalahkan atas suatu tindak pidana. Syarat internal tersebut karenanya merupakan unsur pertanggungjawaban pidana. Kesalahan selalu bertalian dengan pembuat tindak pidana. Kesalahan adalah dapat dicelanya pembuat tindak pidana, karena sebenarnya dapat berbuat lain. Dicelanya subjek hukum manusia karena melakukan tindak pidana, hanya dapat dilakukan terhadap mereka yang keadaan batinnya normal. Dengan kata lain, untuk adanya kesalahan pada diri pembuat diperlukan syarat, yaitu keadaan batin yang normal. Moeljatno mengatakan, ”hanya terhadap orang-orang yang keadaan jiwanya normal sajalah, dapat kita harapkan akan mengatur tingkah lakunya sesuai dengan pola yang telah dianggap baik dalam masyarakat.” 26 Oleh karena itu, hanya orang yang keadaan 26 Moeljatno,Asas-asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, hal.160 Universitas Sumatera Utara batinnya normal memenuhi persyaratan untuk dinilai, apakah dapat dicela atas suatu tindak pidana yang dilakukannya. Keadaan batin yang normal ditentukan oleh factor akal pembuat. Akalnya dapat membeda-bedakan perbuatn yang dapat dilakukan dan perbuatan yang tidak boleh dilakukan. Kemampuan pembuat untuk membeda-bedakan perbuatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan, menyebabkan yang bersangkutan dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, ketika melakukan suatu tindak pidana. Dapat dipertanggungjawabkan karena akalnya yang sehat dapat membimbing kehendaknya untuk menyesuaikan dengan yang ditentukan oleh hukum. Padanya diharapkan untuk selalu berbuat sesuai dengan yang ditentukan oleh hukum. Dapat dipertanggungjawabkan pembuat dalam hal ini berarti pembuat memenuhi syarat untuk dapat dipertanggungjawabkan. Mengingat asas ‘tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan’, maka pembuat dapat dipertanggungjawabkan jika mempunyai kesalahan. Dengan demikian, keadaan batin pembuat yang normal atau akalnya mampu membeda-bedakan perbuatan yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan, atau dengan kata lain mampu bertanggungjawab, merupakan sesuatu yang berada diluar pengertian kesalahan. Mampu bertanggungjawab adalah syarat kesalahan adalah syarat kesalahan, sehingga bukan merupakan bagian dari kesalahan itu sendiri. Oleh karena itu, terhadap subjek hukum manusia, mampu bertanggungjawab merupakan unsur pertanggungjawaban pidana, sekaligus syarat adanya kesalahan. Kebanyakan undang-undang merumuskan syarat kesalahan secara negative. KUHP diseluruh dunia pada umumnya tidak mengatur tentang kemampuan Universitas Sumatera Utara bertangungjawab, yang diatur ialah kebalikannya,yaitu ketidakmampuan bertanggungjawab 27 . Demikian misalnya Pasal 44 KUHP. Dalam KUHP yang sekarang berlaku, tidak mampu bertanggungjawab ditandai oleh salah satudari dua hal, yaitu: jiwa yang cacat atau jiwa yang terganggu karena penyakit. Tidak mampu bertanggungjawab adalah ketidaknormalan ‘keadaan’ batin pembuat, karena cacat jiwa atau gangguan penyakit jiwa, sehingga padanya tidak memenuhi persyaratan untuk diperiksa apakah patut dicela atau tidak karena perbuatannya. Dengan kata lain, seseorang dipandang mampu bertanggungjawab jika tidak ditemukan keadaan- keadaan tersebut. Tidak normalnya keadaan batin pembuat menyebabkan dirinya tidak dapat membeda-bedakan perbuatan yang benar dan salah atau perbuatan yang diperbolehkan atau dilarang. Tidak dapat dipertaggungjawabkan mengakibatkan tidak dapat dijatuhi pidana. Berarti, ketika ditemukan tanda sebab seseorang tidak mampu bertanggungjawab dan karenanya dipandang tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, maka proses pertanggungjawabannya berhenti sampai disini. Orang itu hanya dapat dikenakan tindakan, tetapi tidak dapat dikenakan pidana. Tidak perlu diperiksa apakah ada salah satu bentuk kesalahan dan alasan penghapusan kesalahan pada dirinya. Sementara itu, kurang dapat dipertanggungjawabkan hanya berakibat pengurangan pidana, tetapi tidak dimaksudkan untuk menghapuskan pidana. Persoalan lainnya, apakah terhadap orang yang kurang dapat dipertanggungjawabkan itu proses hukumnya diteruskan hingga diselidiki mengenai bentuk kesalahan dan ketiadaan alasan penghapus kesalahan. Sebaiknya, jika kurang 27 A. Zainal Abidin, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, hal.260 Universitas Sumatera Utara dapat bertanggungjawab tidak dimaksudkan untuk menghapuskan pidana, maka perumusannya dalam paragraph yang terpisah dengan tidak dapat dipertanggungjawabkan. 3 Bentuk-bentuk Kesalahan dan Pertanggungjawaban Pidana Diterimanya kesalahan dalam pengertian normatif, menyebabkan terbentuknya kesalahan pembuat, sangat tergantung dari hasil penilaian atas keadaan batin pembuat. Dalam hal ini keadaan batin yang kemudian mendorong pikiran pembuat untuk melakukan sesuatu, tidak melakukan sesuatu atau menimbulkan akibat yang dilarang undang-undang. Dengan demikian, kesalahan umumnya ditandai adanya penggunaan pikiran pembuat, yang kemudian dari hal itu lahir suatu kelakuan atau tidak melakukan atau timbul suatu akibat yang dilarang dalam hukum pidana. Terhadap tindak pidana yang dirumuskan secara formal, pembuat mengarahkan pikirannya untuk mewujudkan perbuatan yang dilarang. Sedangkan terhadap tindak pidana materiil, pikiran pembuat tertuju untuk menimbulkan akibat yang dilarang. Dengan demikian, kehendak dan pengetahuannya telah mendorong pikirannya untuk melakukan sesuatu, yang ternyata suatu tindak pidana. Dalam hal ini, isi kesalahan ditentukan oleh penggunaan pikiran pembuat yang diarahkan pada terjadinya tindak pidana. Penggunaan pikirannya secara salah, yaitu ditujukan untuk mewujudkan tindak pidana, merupakan pertanda adanya kesalahan. Tidak terdapat adanya pertanda kesalahan, jika tindak pidana terjadi terlepas dari pengunaan pikiran pembuatnya. Ketentuan hukum yang memungkinkan orang yang belum cukup umur anak-anak, Universitas Sumatera Utara yaitu mereka yang berusia antara delapan sampai delapan belas tahun, Pasal 1 huruf a Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang melakukan tindak pidana, juga didasarkan pada hal ini. Tidak dipidananya pembuat disini, karena pada anak-anak belum dilekatkan kewajiban untuk mengguanakan pikiran sebagaimana yang ditentukan oleh hukum. Dengan kata lain, dalam hal tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak tidak dapat dicelakan terhadapnya, maka padanya tidak dapat dikatakan telah ada kesalahan. Seorang pembuat juga tidak diliputi kesalahan, jika tindak pidana terjadi karena perbuatan diluar control pikirannya. Perbuatan tersebut timbul bukan karena perintah pikiran pembuat. Dalam hal ini tidak dipidananya pembuat karena perbuatan terjadi diluar control pikirannya. Dengan demikian, dapat dikatakan tidak terdapat pertanda kesalahan. Tidak adanya pertanda kesalahan bukan karena pembuat tidakdapat menghindari tindak pidana tersebut, tetapi memang perbuatan tersebut tidak usah dihindari. Tindak pidana yang terjadi karena perbuatan yang di luar kontrol pembuatnya, umumnya dipandang sebagai defence. Dengan demikian, tindak pidana dipandang sebagai involuntary conduct dan karenanya tidak memenuhi syarat sebagai mens rea. 28 Pikiran pembuatlah yang menentukan tentang dilakukannya atau timbulnya akibat suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Dengan kata lain, seharusnya pikiran pembuat harus tertuju untuk sejauh mungkin dapat berbuat lain, selain tindak pidana. Dalam hukum pidana penggunaan pikiran yang kemudian 28 Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan menuju kepada Tiada Pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan, Kencana, Jakarta, 2005, hal.103 Universitas Sumatera Utara mengarahkan pembuatnya melakukan tindak pidana, disebut sebagai bentuk kesalahan yang secara teknis disebut dengan kesengajaan. Kesengajaan merupakan tanda yang paling utama untuk menentukan adanya kesalahan pembuat. 29 Kesengajaan dapat terjadi, jika pembuat telah menggunakan pikirannya secara salah. Dalam ha ini, pikirannya dikuasai oleh keinginan dan pengetahuannya, yang tertuju pada suatu tindak pidana. Hornsby mengatakan, “wanting, thinking, and intentinally doing as an interdependent triad conceps.” ‘Kehendak’, ‘berpikir’, ‘dengan sengaja melakukan’ merupakan konsep-konsep yang saling berhubungan. Kesengajaan ditujukan kepada terjadinya tindak pidana yang bersifat melawan hukum. Tindak pidana disini selain merupakan perbuatan atau akibat yang mencocoki rumusan undang-undang yang melarangnya, juga bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat. Termasuk tindak pidana adalah perbuatan-perbuatan yang mempunyai pertalian dengan tindak pidana yang dilakukan orang lain. Singkatnya, termasuk tindak pidana adalah percobaan dan penyertaan yang dapat dipidana. Dalam hal mana perbuatan, percobaan dan penyertaan itu bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat. 30 Dapat dicelanya pembuat justru karena dia telah mengarahkan kehendak dan pengetahuannya itu untuk melakukan tindak pidana dengan sengaja. Dengan kata lain, penilaian dapat dicelanya pembuat karena tidak berbuat lain selaintindak pidana atau berbuat yang tidak diharapkan masyarakat atau tidak menghindari terjadinya tindak pidana, terutama dilakukan dengan melihat apakah suatu tindak pidana terjadi 29 Ibid , 104 30 Ibid, hal.104 Universitas Sumatera Utara Karena kesengajaan pembuatnya. Demikian pula halnya dengan tindak pidana penyertaan. Baik dalam suruh lakukan, turut serta melakukan, penganjuran, dan pembantuan, selain dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana yang dilakukan dengan ketentuan Pasal 55 dan 56 KUHP, masih diperlukan kesengajaan untuk memepertanggungjawabkan pembuatnya. Menngerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana, baik dalam bentuk suruh lakukan maupun dalam bentuk suruh lakukan maupun dalam bentuk penganjuran, hanya dapat dipertanggungjawabkan apabila dilakukan dengan sengaja. Selain itu, untuk adanya turut serta melakukan diperlukan adanya kerjasama yang sadar, sehinnga hal ini hanya mungkin terjadi kalau ada kesengajaan. 31 Demikian pula halnya terhadap pembantuan. “Pada asasnya tiap kesengajaan memberi bantuan dapat dikualifikasi sebagai pembantuan.” 32 Kesengajaan pembantu haruslah diarahkan pada terjadinya atau dipermudahnya terjadi kejahatan. 33 Percobaan dan penyertaan hanya dapat dipertanggungjawabkan terhadap pembuat apabila pada waktu melakukan perbuatan tersebut, batin pembuat menghendaki dan mengetahui hal tersebut. Selain itu, percobaan dan penyertaan, tidak dipertanggungjawabkan terhadap pembuatnya jika pada diri pembuat terdapat bentuk kesalahan lain kealpaan. Kesengajaan sebagai pertanda adanya kesalahan menyebabkan sekalipun hai itu tidak dimuat dalam rumusan tindak pidana, tetapi selalu harus diperhatikan untuk mempertanggungjawabkan seseorang. Tidak dimuatnya unsur kesengajaan dalam hal ini, hanya mempunyai dampak dalam 31 Roeslan saleh, Op. ,cit., 31 32 Ibid., 40 33 Ibid., 42 Universitas Sumatera Utara lapangan acara pembuktian. Dalam KUHP, terkadang Undang-Undang memang secara eksplisit menentukan kesengajaan dalam rumusan tindak pidana. Kadang- kadang justru hanya secara implicit. Dengan kata lain kesengajaan ‘diobjektifkan’. Bahkan, tidak jarang kesengajaan tidak ‘tampak’ dalam rumusan tindak pidana. Perumusan secara eksplisit ataupun samar-samar tentang kesengajaan dalam rumusan tindak pidana, hanya sebagai alat bantu untuk menafsirkan rumusan tindak pidana tersebut. Tentunya juga menjadi alat bantu untuk menentukan kesalahan pembuat. Kesengajaan misalnya dirumuskan dengan berbagai istilah. ‘Dengan sengaja’ merupakan perumusan kesengajaan yang paling gamblang. Hal ini tampak misalnya dalam Pasal 187, 281, 304, 310, 333, 338, 354, dan 372 KUHP. Namun demikian, adakalanya hal tercermin dari istilah ‘yang diketahuinya’ misalnya dalam Pasal 24, 220,dan 419 KUHP, ‘sedang diketahuinya’ Pasal 110, 250,dan 275 KUHP, ‘sudah tahu’ Pasal 483 ke-2 KUHP, ‘dapat mengetahui’ Pasal 164 dan 464 KUHP, telah dikenalnya Pasal 245 dan 247 KUHP, ‘telah diketahuinya’ Pasal 282 KUHP, ‘bertentangan dengan pengetahuannya’ Pasal 311 KUHP, ‘pengurangan hak secara curang’ Pasal 397, ‘dengan tujuan yang nyata’ Pasal 310, ‘dengan maksud’, atau tersirat dari kata-kata kerja yang ada dalam rumusan tindak pidana. 34 Sementara itu, kesengajaan masih diklasifikasi dalam corak-corak tertentu. Umumnya dibedakan tiga corak kesengajaan, yaitu kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan sebagai keharusan, dan kesengajaan. Menurut Roeslan Saleh, dalam hal ini,”maksud pembuat tertuju kepada sesuatu yang lain, tetapi padanya sementara itu 34 S. R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni AHAEM-PTHAEM, Jakarta, 1986, hal.191 Universitas Sumatera Utara ada pula keyakinan, bahwa yang dimaksud ini tidak akan dapat dicapai tanpa timbulnya akibat yang sebenarnya tidak diinginkan.” 35 Dengan demikian, kesengajaan kemudian hanya dibedakan dalam corak kesengajaan sebagai keharusan dan kesengajaan sebagai kemungkinan. Kesengajaan sebagai keharusan dapat terjadi, apabila tujuan yang hendak dicapai pembuat hanya dapat terwujud dengan melakukan perbuatan tersebut. Kesengajaan karena kemungkinan dapat ditentukan, baik jika pembuat mengetahui perbuatannya juga mempunyai jangkauan untuk dalam keadaan-keadaan tertentu akan terjadi suatu akibat, ataupun pembuat berpikir ‘apa boleh buat’ untuk mencapai tujuan tertentu dia melakukan suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Pertanda kesalahan yang lain, secara teknis hukum pidana disebut dengan kealpaan. Kealpaan merupakan bentuk kesalahan yang bersifat eksepsional. Artinya, tidak semua perbuatan yang terjadi karena kealpaan pembuatnya dapat dicela. Dapat dicela pembuat terutama merujuk pada yang melakukan tindak pidana dengan kesengajaan. Sedangkan pada kealpaan adalah pengecualian. Hanya apabila undang- undang menentukan suatu perbuatan yang terjadi karena kealpaan menyebabkan pembuatnya juga dapat dicela, yang merupakan tindak pidana. Corak kealpaan terdiri dari kealpaan yang disadari dan kealpaan yang tidak disadari. Kealpaan yang disadari terjadi jika pembuat idak menggunakan pikirannyadengan baik, sehingga timbul akibat yang dilarang. Pembuatnya tidak mengetahui apa yang seharusnya dia ketahui. Sama artinya tidak mengetahui yang dapat diketahuinya, dan tidak menduga apa yang 35 Roeslan Saleh, Masih Saja tentang Kesalahan, Karya Dunia Fikir, Jakarta, 1994, hal.37 Universitas Sumatera Utara dapat diduganya. 36 Pada kealpaan yang tidak disadari, pembuat justru sama sekali tidak terpikir bahwa perbuatannya dapat mengakibatkan tindak pidana, padahal seharusnya dia memikirkannya. 37 B. Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Dalam Pemilihan Kepala Daerah menurut Peraturan Hukum Positif yang ada di Indonesia UU Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Didalam UU Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah telah mengatur secara tegas mengenai pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana dalam pemilihan kepala daerah, hal ini dapat kita lihat dalam Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, dan Pasal 119, yang mana mengatur mengenai ketentuan pidana pemilihan Kepala daerah dan wakil Kepala Daerah. Dalam Pasal 115 UU Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yang berisi : 1 Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar mengenai diri sendiri atau diri orang lain tentang suatu hal yang diperlukan untuk pengisian daftar pemilih, diancam dengan pidana penjara paling singkat 15 lima belas hari dan paling lama 3 tiga bulan danatau denda paling sedikit Rp. 100.000,00 seratus ribu rupiah dan paling banyak Rp. 1.000.000,00 satu juta rupiah. 2 Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya dan orang yang kehilangan hak pilihnya tersebut mengadukan, diancam 36 S. R. Sianturi, Op. Cit., 196 37 Chairul Huda,Op. cit., 108 Universitas Sumatera Utara dengan pidana penjara paling singkat 1 satu bulan dan paling lama 6 enam bulan danatau denda paling sedikit Rp. 200.000,00 dua ratus ribu rupiah dan paling banyak Rp. 2.000.000,00 dua juta rupiah. 3 Setiap orang yang dengan sengaja memalsukan surat yang menurut suatu aturan dalam Undang-Undang ini diperlukan untuk menjalankan suatu perbuatan dengan maksud untuk digunakan sendiri atau orang lain sebagai seolah-olah surat sah atau tidak dipalsukan, diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 tiga bulan dan paling lama 18 delapan belas bulan danatau denda paling sedikit Rp. 600.000,00 enam ratus ribu rupiah dan paling banyak Rp. 6.000.000,00 enam juta rupiah. 4 Setiap orang yang dengan sengaja dan mengetahui bahwa suatu surat sebagaimana dimaksud pada ayat 3 adalah tidak sah atau dipalsukan, menggunakannya, atau menyuruh orang lain menggunakannya sebagai surat sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 tiga bulan dan paling lama 18 delapan belas bulan danatau denda paling sedikit Rp. 600.000,00 enam ratus ribu rupiah dan paling banyak Rp 6.000.000,00 enam juta rupiah. 5 Setiap orang yang dengan kekerasan atau dengan ancaman kekuasaan yang ada padanya saat pendaftaran pemilih menghalang-halangi seseorang untuk terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilihan kepala daerah menurut undang-undang ini, diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 tiga bulan dan paling lama 18 delapan belas bulan danatau denda paling sedikit Rp. 600.000,00 enam ratus ribu rupiah dan paling banyak Rp. 6.000.000,00 enam juta rupiah. 6 Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar atau menggunakan surat palsu seolah-olah sebagai surat yang sah tentang suatu hal yang diperlukan bagi persyaratan untuk menjadi Pasangan calon kepala daerahwakil kepala daerah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 tiga bulan atau paling lama 18 delapan belas bulan danatau denda paling sedikit Rp. 600.000,00 enam ratus ribu rupiah dan paling banyak Rp. 6.000.000,00 enam juta rupiah. Dalam Pasal 116 UU Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yang berisi : Universitas Sumatera Utara 1 Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kampanye di luar jadwal waktu yang telah ditetapkan oleh KPUD untuk masing-masing pasangan calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat 2 diancam dengan pidana penjara paling singkat 15 lima belas hari atau paling lama 3 tiga bulan danatau denda paling sedikit Rp100.000,00 seratus ribu rupiah atau paling banyak Rp1.000.000,00 satu juta rupiah. 2 Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan larangan pelaksanaan kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e dan huruf f diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 tiga bulan atau paling lama 18 delapan belas bulan danatau denda paling sedikit Rp600.000,00 enam ratus ribu rupiah atau paling banyak Rp6.000.000,00 enam juta rupiah. 3 Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan larangan pelaksanaan kampanye pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 huruf g, huruf h, huruf i dan huruf j dan Pasal 79 ayat 1, ayat 3, dan ayat 4, diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 satu bulan atau paling lama 6 enam bulan danatau denda paling sedikit Rp100.000,00 seratus ribu rupiah atau paling banyak Rp1.000.000,00 satu juta rupiah. 4 Setiap pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri dan kepala desa yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 satu bulan atau paling lama 6 enam bulan danatau denda paling sedikit Rp. 600.000,00 enam ratus ribu rupiah atau paling banyak Rp. 6.000.000,00 enam juta rupiah. 5 Setiap orang yang dengan sengaja mengacaukan, menghalangi, atau mengganggu jalannya kampanye, diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 satu bulan atau paling lama 6 enam bulan danatau denda paling sedikit Rp. 600.000,00 enam ratus ribu rupiah atau paling banyak Rp. 6.000.000,00 enam juta rupiah. 6 Setiap orang yang memberi atau menerima dana kampanye melebihi batas yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat 3, diancam dengan pidana penjara paling singkat 4 empat bulan atau paling lama 24 dua puluh empat bulan Universitas Sumatera Utara danatau denda paling sedikit Rp200.000.000,00 dua ratus juta rupiah atau paling banyak Rp1.000.000.000,00 satu miliar rupiah. 7 Setiap orang yang dengan sengaja menerima atau memberi dana kampanye dari atau kepada pihak-pihak yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat 1, danatau tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat 2, diancam dengan pidana penjara paling singkat 4 empat bulan atau paling lama 24 dua puluh empat bulan danatau denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 dua ratus juta rupiah atau paling banyak Rp 1.000.000.000,00 satu miliar rupiah. 8 Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar dalam laporan dana kampanye sebagaimana diwajibkan oleh Undang-Undang ini, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 dua bulan atau paling lama 12 dua belas bulan danatau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 satu juta rupiah atau paling banyak Rp10.000.000,00 sepuluh juta rupiah. Dalam Pasal 117 UU Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yang berisi : 1 Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan dan menghalang-halangi seseorang yang akan melakukan haknya untuk memilih, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 dua bulan dan paling lama 12 dua belas bulan danatau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 satu juta rupiah dan paling banyak Rp. 10.000.000,00 sepuluh juta rupiah. 2 Setiap orang yang dengan sengaja memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih Pasangan calon tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya menjadi tidak sah, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 dua bulan dan paling lama 12 dua belas bulan danatau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 satu juta rupiah dan paling banyak Rp. 10.000.000,00 sepuluh juta rupiah. Universitas Sumatera Utara 3 Setiap orang yang pada waktu pemungutan suara dengan sengaja mengaku dirinya sebagai orang lain untuk menggunakan hak pilih, diancam dengan pidana penjara paling singkat 15 lima belas hari dan paling lama 60 enam puluh hari danatau denda paling sedikit Rp. 100.000,00 seratus ribu rupiah dan paling banyak Rp. 1.000.000,00 satu juta rupiah. 4 Setiap orang yang pada waktu pemungutan suara dengan sengaja memberikan suaranya lebih dari satu kali di satu atau lebih TPS, diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 satu bulan dan paling lama 4 empat bulan danatau denda paling sedikit Rp. 200.000,00 dua ratus ribu rupiah dan paling banyak Rp. 2.000.000,00 dua juta rupiah. 5 Setiap orang yang dengan sengaja menggagalkan pemungutan suara diancam dengan pidana penjara paling singkat 6 enam bulan dan paling lama 3 tiga tahun danatau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 satu juta rupiah dan paling banyak Rp. 10.000.000,00 sepuluh juta rupiah. 6 Seorang majikan atau atasan yang tidak memberikan kesempatan kepada seorang pekerja untuk memberikan suaranya, kecuali dengan alasan bahwa pekerjaan tersebut tidak bisa ditinggalkan, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 dua bulan dan paling lama 12 dua belas bulan danatau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 satu juta rupiah dan paling banyak Rp. 10.000.000,00 sepuluh juta rupiah. 7 Setiap orang yang dengan sengaja pada waktu pemungutan suara mendampingi seorang pemilih selain yang diatur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat 1, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 dua bulan dan paling lama 12 dua belas bulan danatau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 satu juta rupiah dan paling banyak Rp. 10.000.000,00 sepuluh juta rupiah. 8 Setiap orang yang bertugas membantu pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat 2 dengan sengaja memberitahukan pilihan si pemilih kepada orang lain, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 dua bulan dan paling lama 12 dua belas bulan danatau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 satu juta rupiah dan paling banyak Rp. 10.000.000,00 sepuluh juta rupiah. Universitas Sumatera Utara Dalam Pasal 118 UU Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yang berisi : 1 Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan suara seorang pemilih menjadi tidak berharga atau menyebabkan Pasangan calon tertentu mendapat tambahan suara atau perolehan suaranya berkurang, diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 dua bulan dan paling lama 1 satu tahun danatau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 satu juta rupiah dan paling banyak Rp. 10.000.000,00 sepuluh juta rupiah. 2 Setiap orang yang dengan sengaja merusak atau menghilangkan hasil pemungutan suara yang sudah disegel, diancam dengan pidana penjara paling singkat 4 empat bulan atau paling lama 2 dua tahun danatau denda paling sedikit Rp. 2.000.000,00 dua juta rupiah dan paling banyak Rp. 20.000.000,00 dua puluh juta rupiah. 3 Setiap orang yang karena kelalaiannya menyebabkan rusak atau hilangnya hasil pemungutan suara yang sudah disegel, diancam dengan pidana penjara paling singkat 15 lima belas hari dan paling lama 2 dua bulan danatau denda paling sedikit Rp. 100.000,00 seratus ribu rupiah dan paling banyak Rp. 1.000.000,00 satu juta rupiah. 4 Setiap orang yang dengan sengaja mengubah hasil penghitungan suara danatau berita acara dan sertifikat hasil penghitungan suara, diancam dengan pidana penjara paling singkat 6 enam bulan dan paling lama 3 tiga tahun danatau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 seratus juta rupiah dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 satu miliar rupiah. Sedangkan dalam Pasal 119 mengatur mengenai pidana Jika tindak pidana dilakukan dengan sengaja oleh penyelenggara atau pasangan calon, ancaman pidananya ditambah 13 satu pertiga dari pidana yang diatur dalam Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, dan Pasal 118. Universitas Sumatera Utara

BAB IV PERAN LEMBAGA PERADILAN DALAM