2.4. PCT dalam Menentukan Prognostik
Masia dkk mendapatkan bahwa nilai PCT akan meningkat sesuai dengan skor derajat keparahan PSI dan hal ini berhubungan dengan peningkatan
mortalitas dan komplikasi yang terjadi. Hal ini berbeda dengan hasil yang didapatkan oleh Beovic, dkk yang menegaskan tidak ada hubungan antara PCT
dengan nilai skor PSI Lim WS dkk, 2009. Sebagai alat prognostik, studi oleh Huang dkk, melibatkan 2.000 penderita PK yang diketahui dari klinis dan
radiologik, kemudian 1.651 pasien diikutsertakan dalam kohort selama 30 hingga 90 hari, setelah diambil serum PCT pada hari pertama. Juga dilakukan stratifikasi
derajat keparahan PK dengan Pneumonia Severity Index dan CURB-65. Hasilnya, didapatkan juga kadar PCT 0,1 ngml memiliki angka kematian hari ke-30 dan
ke-90 akibat PK yang rendah meskipun skor PSI berada pada grup IV atau V. Keadaan ini juga dijumpai pada pasien dengan skor CURB-65
≥ 3. Studi di atas menunjukkan bahwa sebagai alat prognostik, kadar PCT lebih baik dibandingkan
daripada PSI dan CURB-65 clinical scoring systems Lim WS dkk, 2009; Mandel LA dkk, 2007.
Pada studi Jean dkk, PCT dihubungkan dengan skor derajat keparahan pneumonia. Pada penderita pneumonia dengan nilai PSI yang rendah PSI, kelas
I-II, PCT ternyata dapat memprediksi kuman penyebab pneumonia. Kadar PCT akan meningkat pada pneumonia bakterial dibanding non-bakterial. Pada
penderita dengan PSI tinggi PSI, kelas III-IV PCT lebih merupakan alat prognostik dibanding diagnostik Lim WS dkk, 2009; Mandel LA dkk, 2007;
Querol-Ribeller JM dkk, 2004. Adanya inkonsistensi dalam beberapa studi yang mencoba mencari hubungan antara PCT dengan skor prognostik seperti PSI dan
CURB-65 mendorong Kruger dkk, melakukan suatu studi pada 1671 pasien PK dan melaporkan bahwa kadar PCT dapat memprediksi keparahan dan dampak
klinik PK dengan akurasi yang sama dengan skor CRB-65. Pada studi ini skor prognostik CURB-65 dimodifikasi untuk mempermudah penelitian dilakukan di
sarana kesehatan primer. Pada studi ini didapati kadar PCT ≤ 0,228 ngml pada
awal pasien masuk memiliki risiko kematian yang rendah akibat PK. Temuan ini hampir mendekati angka yang didapatkan oleh Christ Crains dkk
≤ 0,25 ngml Querol-Ribelles JM dkk, 2004.
Dalam suatu studi retrospektif mendapatkan
Universitas Sumatera Utara
kadar PCT 1,5 ngml pada pasien PK yang terinfeksi Legionella memiliki risiko kematian dan kebutuhan akan fasilitas rawatan ICU yang tinggi Schuetz P dkk,
2009. Schuetz dkk mencoba membandingkan kenaikan CRP, lekosit dengan
PCT dalam menilai risiko kematian dalam 90 hari. Hasilnya, PCT memiliki akurasi yang lebih baik akan tetapi antara pasien yang meninggal dengan yang
selama, tidak dijumpai rentang range yang besar. Sedangkan jika PK dibagi sesuai dengan derajat keparahan, maka didapatkan rentang nilai PCT yang besar
Schuetz P dkk, 2009. Peran PCT sebagai prognostik tidak hanya pada PK. Di Indonesia,
C. Martin Rumende dalam disertasinya membandingkan PCT dengan Lipopolysaccharide-Binding Protein LBP sebagai prognostik pasien dengan
ventilator associated pneumonia VAP yang dirawat di ruang rawat intensif di RSCM. Hasilnya, PCT lebih sensitif dibanding LBP 80 – 81,3 Vs 60 – 73
dalam menentukan kematian pasien VAP, akan tetapi keduanya memiliki spesifisitas yang rendah 25 – 30 . Disimpulkan bahwa peningkatan PCT dapat
menjadi petunjuk adanya respon tubuh terhadap infeksi bakteri oleh makrofag yang aktif sedangkan LBP yang dihasilkan oleh sel alveoli tipe 2 lebih
menunjukkan beratnya keterlibatan paru. Jika kedua biomarker ini digabungkan, sensitifitasnya akan meningkat menjadi 88,5–96,3 dengan spesifisitas 53,2–
66,7 untuk menentukan prognostik pasien VAP Rumende CM dkk, 2006.
2.5. Skor Klinis Pneumonia