27
Tempat tamu
3.3.3 Ragam Hias
Dari survey yang kita lakukan kami menemukan beberapa ragam hias yang ada dalam rumah joglo ini, diantaranya adalah sebagai berikut :
A. Ragam hias ukiran pada dinding pringgitan
28
B. Ragam hias ukiran pada tumpang sari
C. Ragam hias lung-lungan pada konsul
3.3.4 Makna Filosofi
Berdasarkan pada pandangan hidup orang Jawa bahwa kehidupan manusia tidak terlepas dari pengaruh alam semesta, atau dalam lingkup yang lebih terbatas
adalah dari pengaruh lingkungan sekitarnya, maka keberadaan rumah bagi orang Jawa harus mempertimbangkan hubungan tersebut. Joglo sebagai salah satu simbol
kebudayaan masyarakat Jawa merupakan media perantara untuk menyatu dengan
29
Tuhan kekuatan Ilahi sebagai tujuan akhir kehidupan sangkan paraning dumadi, berdasar pada kedudukan manusia sebagai seorang individu, anggota keluarga dan
anggota masyarakat. Nilai filosofis Joglo merepresentasikan etika Jawa yang menuntut setiap orang Jawa untuk memiliki sikap batin yang tepat, melakukan
tindakan yang tepat, mengetahui tempat yang tepat dapat menempatkan diri dan memiliki pengertian yang tepat dalam kehidupan.
a.
Rumah bagi individu Jawa
Sebagai personifikasi penghuninya, rumah harus dapat menggambarkan kondisi atau tujuan hidup yang ingin dicapai oleh penghuninya. Rumah Jawa
dihadapkan pada pilihan empat arah mata angin, yang biasanya hanya menghadap ke arah utara atau selatan. Tiap arah mata angin menurut
kepercayaan juga dijaga oleh dewa, yaitu: -
arah timur oleh Sang Hyang Maha Dewa, dengan sinar putih berarti sumber kehidupan atau pelindung umat manusia, merupakan lambang kewibawaan
yang dibutuhkan oleh para raja.
- Arah barat oleh Sang Hyang Yamadipati, dengan sinar kuning berarti
kematian, merupakan lambang kebinasaan atau malapetaka.
- Arah utara oleh Sang Hyang Wisnu, dengan sinar hitam berarti penolong
segala kesulitan hidup baik lahir maupun batin, merupakan lambang yang
cerah, ceria dan penuh harapan.
- Arah selatan oleh Sang Hyang Brahma, dengan sinar merah berarti
kekuatan, merupakan lambang keperkasaan, ketangguhan terhadap bencana
yang akan menimpanya.
Rumah bagi individu Jawa sangat penting untuk menunjukkan bahwa seseorang memiliki kontrol teritorial, yang selanjutnya akan mendefinisikan
keberadaan dan statusnya. Sebuah rumah merupakan bentuk eksistensi bagi pemiliknya. Sehingga rumah Jawa sebagai personifikasi penghuninya juga
ditunjukkan melalui dimensi antropometrik yang mengacu pada dimensi tubuh
penghuni, yaitu kepala rumah tangga.
30
Rumah merupakan pelindung dari kekacauan dan kesialan yang berada di luar rumah. Hal ini ditunjukkan oleh keberadaan sumur yang letaknya
berdekatan dengan regol. Seseorang akan membasuh kakinya ketika masuk rumah untuk melepaskan emosi dan kesialan yang mungkin menempel pada
tubuhnya di jalanan. Di rumahlah orang menemukan ketenteraman terlindung
dari dunia luar yang merupakan sumber kekacauan.
b.
Rumah bagi keluarga Jawa
Rumah bagi keluarga Jawa mempunyai nilai tersendiri, yaitu sebagai suatu bentuk pengakuan umum bahwa keluarga tersebut telah memiliki kehidupan
yang mapan. Ini menegaskan kondisi ideal bagi orang Jawa yaitu memiliki rumah tangga sendiri.
Kepemilikan terhadap rumah dan tanah merupakan hal yang selalu lebih utama dari pada kepemilikan terhadap benda-benda lainnya.
Meskipun konstruksi rumah Jawa memungkinkan untuk dibongkar-pasang, namun kecenderungan dalam praktik sehari-hari adalah membiarkan sebagian
besar pintu dan jendelanya dalam keadaan tertutup sehingga menjadi gelap. Kondisi ini menghindari kekurangan-kekurangan dalam rumah terlihat dari luar
oleh orang lain. Selain itu juga untuk memberikan privasi dan kebebasan bagi keluarga yang menghuni.
Peran utama rumah adalah sebagai tempat menetap, melanjutkan keturunan serta menopang kehidupan sebuah keluarga. Seringkali di depan senthong
kamar dapat dipasang foto-foto leluhur sebagai simbol kesinambungan keturunan.
Secara khusus, senthong tengah berfungsi sebagai kuil kemakmuran keluarga dalam kaitannya dengan kedudukannya sebagai titik penghubung
antara rumah, sawah dan dunia nenek moyang melindungi keduanya. c.
Joglo dalam kehidupan masyarakat Jawa
Ukuran dan bentuk rumah merupakan lambang kedudukan sosial keluarga yang menempatinya dalam suatu masyarakat. Hanya kaum bangsawan saja
yang awalnya diperbolehkan memiliki Joglo. Untuk orang desa pada umumnya menggunakan bentuk Srotongan atau Trojongan. Yang membedakan Joglo
31
dengan tipologi rumah Jawa lainnya adalah konstruksi atapnya yang memiliki brunjung lebih menjulang tinggi sekaligus lebih pendek dengan susunan
tumpang sari, yaitu yang ditopang oleh empat tiang utama yang disebut saka guru. Bagian saka guru dan tumpang sari biasanya sarat dengan ukiran, baik
yang rumit maupun yang sederhana. Material yang digunakan oleh Joglo juga lebih banyak dan biasanya menggunakan kayu jati, akibatnya harga Joglo lebih
mahal dari tipologi rumah Jawa lainnya. Jadi Joglo menjadi simbol bahwa pemiliknya termasuk dalam strata sosial atas.
Pertunjukan-pertunjukan seni yang diadakan oleh tuan rumah di pendhapa untuk khalayak umum, mempertegas stratifikasi sosial yang berlaku juga
menjadi bentuk ekspansi kewenangan tuan rumah terhadap lingkungan sekitarnya. Pendhapa juga digunakan bagi kaum lelaki untuk bersosialisasi
sehingga kemudian
mempertegas bahkan
membentuk nilai-nilai
kemasyarakatan. Sebagai personifikasi dari penghuninya, bagian-bagian Joglo peninggian
lantai-dinding-atap dapat dianalogikan secara fisik menurut bagian-bagian tubuh manusia kaki-badan-kepala dan secara non-fisik menurut perjalanan
hidupnya lahir-hidup-mati. Sehingga kemudian nilai-nilai filosofis yang dimiliki oleh orang Jawa juga
dapat diterapkan sebagai nilai-nilai filosofis Joglo sebagai rumah Jawa. Nilai- nilai kosmologi yang dipercaya dan diwariskan oleh orang Jawa melalui mitos,
terepresentasikan pada rumah Jawa. Dimensi atap yang dominan menunjukkan bahwa orang Jawa mengutamakan bagian kepala dan isinya pikiran dan ide
karena dengan kemampuan akal pikirnya akan dapat membawa manusia untuk mempersiapkan diri sebaik mungkin sebelum mati untuk menemui Tuhan.
Yang dimaksud dengan interior Joglo adalah tatanan secara keseluruhan segala sesuatu yang berada di bawah lingkup struktur Joglo. Karena secara non-
fisik area tersebut dapat dianalogikan sebagai ‘hidup’, maka nilai filosofis interior Joglo dapat dianalogikan pula sebagai nilai filosofis kehidupan bagi
orang Jawa. Sehingga nilai filosofis interior Joglo merepresentasikan suatu usaha dalam mencapai kesempurnaan hidup untuk mempersiapkan diri menuju
32
kepada Tuhan. Usaha mencapai kesempurnaan hidup tersebut adalah melalui etika Jawa.
d.
Konstruksi dan penataan ruang dalam kehidupan individu
Rumah joglo yang biasanya mempunyai bentuk atap yang bertingkat- tingkat, semakin ke tengah, jarak antara lantai dengan atap yang semakin tinggi
dirancang bukan tanpa maksud, tetapi tiap-tiap ketinggian atap tersebut menjadi suatu hubungan tahap-tahap dalam pergerakan manusia menuju ke rumah joglo
dengan udara yang dirasakan oleh manusia itu sendiri, sehingga hal itu menyebabkan penghuni merasa nyaman ketika berada di dalam bangunan dan
hal itu membuat penghuni lebih sering berkumpul dengan keluarga dan merasakan kebersamaan yang kuat seperti struktur yang menopang rumah Adat
Joglo ini. Atap joglo selalu terletak di tengah-tengah dan selalu lebih tinggi serta diapit oleh atap serambi. Bentuk gabungan antara atap ini ada dua macam,
yaitu: Atap Joglo Lambang Sari dan Atap Joglo Lambang Gantung. Atap Joglo Lambang Sari mempunyai ciri dimana gabungan atap Joglo dengan atap
Serambi disambung secara menerus, sementara atap Lambang Gantung terdapat lubang angin dan cahaya, dan hal ini melambangkan filosofi kehidupan
manusia, bahwa kehidupan semakin sukses berada diatas maka cobaan pun akan semakin berat, semakin kuat diterpa angin, dan selalu rawan untuk jatuh
apabila tidak hati-hati.
Setiap ruagan dalam Joglo memiliki filosofi tersendiri bagi kehidupan manusia. Misalnya, adanya soko guru yang merupakan empat tiang utama
kerangka bangunan melambangkan bahwa pada hakekatnya manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa menjalani hidup seorang diri, melainkan harus
saling bantu membantu satu sama lain, selain itu soko guru juga melambangkan empat hakikat kesempurnaan hidup dan juga ditafsirkan sebagi hakikat dari sifat
manusia.
Pada bagian pintu masuk memiliki tiga buah pintu,yakni pintu utama di tengah dan pintu kedua yang berada di samping kiri dan kanan pintu utama.
Ketiga bagian pintu tersebut memiliki makna simbolis bahwa kupu tarung yang berada di tengah untuk keluarga besar, sementara dua pintu di samping kanan
dan kiri untuk besan, hal ini melambangkan bahwa tamu itu adalah raja yang harus di hormati dan di tempatkan di tempat yang berbeda dengan keluarga inti
ataupun keluarga dari mempelai, demi menghormati kehadiran mereka dan memberi tempat yang berbeda dari keluarga sendiri dan itu adalah cara atau tata
krama yang pantas untuk menyambut tamu.
Pada ruang bagian dalam yang disebut gedongan dijadikan sebagai mihrab, tempat Imam memimpin salat yang dikaitkan dengan makna simbolis
33
sebagai tempat yang disucikan, sakral, dan dikeramatkan. Gedongan juga merangkap sebagai tempat tidur utama yang dihormati dan pada waktu-waktu
tertentu dijadikan sebagai ruang tidur pengantin bagi anak-anaknya, ruang tengah melambangkan bahwa di dalam rumah tinggal harus ada tempat khusus
yang disakralkan atau di sucikan supaya digunakan ketika acara-acara atau kegiatan tertentu yang sakral atau berhubungan dengan Tuhan, hal ini adalah
salah satu cara bagi penghuni rumah untuk selalu mengingat keberadaan Tuhan ketika berada di dalam Rumah mereka.
Ruang depan yang disebut jaga satru disediakan untuk umat dan terbagi menjadi dua bagian, sebelah kiri untuk jamaah wanita dan sebelah kanan untuk
jamaah pria. Masih pada ruang jaga satru di depan pintu masuk terdapat satu tiang di tengah ruang yang disebut tiang keseimbangan atau soko geder, selain
sebagai simbol kepemilikan rumah, tiang tersebut juga berfungsi sebagai pertanda atau tonggak untuk mengingatkan pada penghuni tentang keesaan
Tuhan.
Sistem yang terkandung dalam penataan ruang dan struktur Rumah adat joglo ini, selain menuntun manusia untuk hidup sosial dan bantu membantu
adalah menjadikan diri manusia tidak sombong dan menghormati satu sama lain, dan juga tidak pernah lupa akan keberadaan Yang Maha Kuasa.
34
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Rumah joglo merupakan bangunan arsitektur tradisional jawa tengah, rumah joglo mempunyai kerangka bangunan utama yang terdiri dari soko guru berupa empat tiang
utama penyangga struktur bangunan serta tumpang sari yang berupa susunan balok yang disangga soko guru.
Susunan ruangan pada Joglo umumnya dibagi menjadi tiga bagian yaitu ruangan pertemuan yang disebut pendhapa, ruang tengah atau ruang yang dipakai untuk
mengadakan pertunjukan wayang kulit disebut pringgitan, dan ruang belakang yang disebut dalem atau omah jero sebagai ruang keluarga. Dalam ruang ini terdapat tiga buah
senthong kamar yaitu senthong kiri, senthong tengah dan senthong kanan.
Membandingkan dari Literatur dan hasil observasi kami, Rumah Joglo yang kami observasi telah banyak memiliki perubahan. Diantaranya Joglo pada literature memiliki
tumpang sari, sementara pada joglo yang kami observasi pada bagian saka guru langsung diteruskan ke sunduk yang diikat dengan purus wedokan dan lanangan, dan diatasnya
diikat dengan blandar dan pengeret. Pada bagian pondasi, bagian umpak tidak menempel tanah karena lantai sudah diganti dengan keramik.
Pada Joglo yang kami observasi juga sudah banyak mengalami perubahan fungsi pada beberapa ruang. Selain pada bagian lantai yang telah mengalami perubahan, genting
pada sebagian rumah joglo ini telah mengalami renovasi. Pengecatan ulang juga pernah dilakukan pada rumah ini. Sebagian dinding sudah diganti menggunakan dinding bata
agar lebih awet dan tahan lama, menurut narasumber.
4.2 Kritik dan saran
Menurut kami masih banyak hal hal dalam literature yang perlu diperbaiki karena tidak semua yang ada pada literature diterapkan seutuhnya pada kehidupan .Sebagai
pembaca kita juga harus selektif , dan tidak menelan mentah mentah apa yang tertulis di literatur.
Walaupun termasuk salah satu sumber, namun apa yang tercantum di internet juga sebaiknya perlu kita saring. Bertanya pada narasumber sangat baik ketika melakukan
observasi sehingga apa yang didapat semakin nyata dan bisa dipertanggung jawabkan.