Tujuan Pembahasan Manfaat Penulisan Metode Pengumpulan Data Sistematika Penulisan Arsitektur Tradisional Jawa

2

1.3 Tujuan Pembahasan

Mendeskripsikan tentang Arsitektur Tradisional Rumah Adat Joglo Yogyakarta, khususnya Rumah Joglo Tanjung di Kec. Ngaglik, Sleman Yogyakarta.

1.4 Manfaat Penulisan

1. Menambah ilmu pengetahuan, wawasan umum dan luas. 2. Mendukung upaya pelestarian kebudayaan Arsitektur Tradisional Rumah Adat Joglo Yogyakarta. 3. Dapat menjadi salah satu referensi bagi penulisan mengenai rumah adat Joglo Yogyakarta.

1.5 Metode Pengumpulan Data

Pada laporan ini, penulis menggunakan 2 metode penelitian, yaitu metode observasi pengamatan dan literatur. 1. Observasi pengamatan Penulis mendapatkan berbagai informasi dengan mengamati objek secara langsung dan melakukan wawancara 2. Literatur Penulis mencari sumber dengan membaca buku-buku dan situs-situs internet yang dijadikan landasan dan sumber dalam pembuatan laporan.

1.6 Sistematika Penulisan

Pada laporan ini, bab I berisi penduhuluan dengan sub bab latar belakang masalah, tujuan pembahasan, perumusan masalah, metode pengumpulan data, dan sistematika penulisan. Kemudian pada bab II, berisi kajian pustaka yang digunakan sebagai pedoman dalam pembuatan laporan ini. Pada bab III, berisi gambaran obyek pengamatan yang menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam sub bab perumusan masalah. Pada bab IV, berisipenutup yang didalamnya terdapat sub bab simpulan dan saran. 3 BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Arsitektur Tradisional Jawa

Rumah adat Jawa Tengah berbentuk rumah joglo. Sebuah bangunan joglo yang menimbulkan interpretasi arsitektur Jawa mencerminkan ketenangan, hadir di antara bangunan- bangunan yang beraneka ragam. Interpretasi ini memiliki ciri pemakaian konstruksi atap yang kokoh dan bentuk lengkung-lengkungan di ruang per ruang. Rumah adat joglo yang merupakan rumah peninggalan adat kuno dengan karya seninya yang bermutu memiliki nilai arsitektur tinggi sebagai wujud dan kebudayaan daerah yang sekaligus merupakan salah satu wujud seni bangunan atau gaya seni bangunan tradisional. Istilah Joglo berasal dari kerangka bangunan utama dari rumah adat jawa terdiri atas soko guru berupa empat tiang utama dengan pengeret tumpang songo tumpang sembilan atau tumpang telu tumpang tiga di atasnya. Struktur joglo yang seperti itu, selain sebagai penopang struktur utama rumah, juga sebagai tumpuan atap rumah agar atap rumah bisa berbentuk pencu. Pada arsitektur bangunan rumah joglo, seni arsitektur bukan sekadar pemahaman seni konstruksi rumah, juga merupakan refleksi nilai dan norma masyarakat pendukungnya. Kecintaan manusia pada cita rasa keindahan, bahkan sikap religiusitasnya terefleksikan dalam arsitektur rumah dengan gaya ini. Pada bagian pintu masuk memiliki tiga buah pintu,yakni pintu utama di tengah dan pintu kedua yang berada di samping kiri dan kanan pintu utama. Ketiga bagian pintu tersebut memiliki makna simbolis bahwa kupu tarung yang berada di tengah untuk keluarga besar, sementara dua pintu di samping kanan dan kiri untuk besan, hal ini melambangkan bahwa tamu itu adalah raja yang harus di hormati dan di tempatkan di tempat yang berbeda dengan keluarga inti ataupun keluarga dari mempelai, demi menghormati kehadiran mereka dan memberi tempat yang berbeda dari keluarga sendiri dan itu adalah cara atau tata krama yangb pantas untuk menyambut tamu. Pada ruang bagian dalam yang disebut gedongan dijadikan sebagai mihrab, tempat Imam memimpin salat yang dikaitkan dengan makna simbolis sebagai tempat yang disucikan, sakral, dan dikeramatkan. Gedongan juga merangkap sebagai tempat tidur utama yang dihormati dan pada waktu-waktu tertentu dijadikan sebagai ruang tidur pengantin bagi anak-anaknya, ruang tengah melambangkan bahwa di dalam rumah tinggal harus ada tempat khusus yang disakralkan atau di sucikan supaya digunakan ketika acara-acara atau kegiatan tertentu yang sakral atau berhubungan dengan Tuhan, hal ini adalah salah satu cara bagi penghuni rumah untuk selalu mengingat keberadaan Tuhan ketika berada di dalam Rumah mereka. 4 Ruang depan yang disebut jaga satru disediakan untuk umat dan terbagi menjadi dua bagian, sebelah kiri untuk jamaah wanita dan sebelah kanan untuk jamaah pria. Masih pada ruang jaga satru di depan pintu masuk terdapat satu tiang di tengah ruang yang disebut tiang keseimbangan atau soko geder, selain sebagai simbol kepemilikan rumah, tiang tersebut juga berfungsi sebagai pertanda atau tonggak untuk mengingatkan pada penghuni tentang keesaan Tuhan. Begitu juga di ruang dalam terdapat empat tiang utama yang disebut soko guru. Hal ini melambangkan bahwa, pada hakekatnya manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa menjalani hidup seorang diri, melainkan harus saling bantu membantu satu sama lain, selain itu soko guru juga melambangkan empat hakikat kesempurnaan hidup dan juga ditafsirkan sebagi hakikat dari sifat manusia. Untuk membedakan status sosial pemilik rumah, kehadiran bentangan dan tiang penyangga dengan atap bersusun yang biasanya dibiarkan menyerupai warna aslinya menjadi ciri khas dari kehadiran sebuah pendopo dalam rumah dengan gaya ini Susunan ruang dalam bangunan tradisional Jawa pada prinsipnya terdiri dari beberapa bagian ruang yaitu : 1. Pendapa, difungsikan sebagai tempat melakukan aktivitas yang sifatnya formal pertemuan, upacara, pagelaran seni dan sebagainya. Meskipun terletak di bagian depan, pendapa bukan merupakan ruang penerima yang mengantar orang sebelum memasuki rumah. Jalur akses masuk ke rumah yang sering terjadi adalah tidak dari depan melalui pendapa, melainkan justru memutar melalui bagian samping rumah 2. Pringgitan, lorong penghubung connection hall antara pendapa dengan omah njero. Bagian pringgitan ini sering difungsikan sebagai tempat pertunjukan wayang kulitkeseniankegiatan publik. Emperan adalah teras depan dari bagian omah-njero. Teras depan yang biasanya lebarnya sekitar 2 meter ini merupakan tempat melakukan kegiatan umum yang sifatnya nonformal 3. Omah njero, kadang disebut juga sebagai omah-mburi, dalem ageng atau omah. Kata omah dalam masyarakat Jawa juga digunakan sebagai istilah yang mencakup arti kedomestikan, yaitu sebagai sebuah unit tempat tinggal. 4. Senthong-kiwa, dapat digunakan sebagai kamar tidur keluarga atau sebagai tempat penyimpanan beras dan alat bertani. 5. Senthong tengah krobongan, sering juga disebut sebagai boma, pedaringan, atau krobongan. Dalam gugus bangunan rumah tradisional Jawa, letak senthong-tengah ini paling dalam, paling jauh dari bagian luar. Senthong-tengah ini merupakan ruang yang menjadi pusat dari seluruh bagian rumah. ruang ini seringkali menjadi “ruang pamer” bagi keluarga penghuni rumah tersebut.Sebenarnya senthong-tengah merupakan ruang yang sakral yang sering menjadi tempat pelaksanaan upacararitual keluarga. Tempat ini juga menjadi ruang penyimpanan benda-benda pusaka keluarga penghuni rumah. 5 6. Senthong-tengen, fungsinya sama dengan sentong kiwa 7. Gandhok, bangunan tambahan yang mengitari sisi samping dan belakang bangunan inti. Tata ruang rumah rakyat biasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1982 Tata ruang rumah bangsawan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1982 6

2.2 Arsitektur Tradisional Yogjakarta