Laporan Pengamatan Arsitektur Vernakuler

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Rumah adalah bangunan yang dijadikan tempat tinggal selama jangka waktu tertentu. Rumah bisa menjadi tempat tinggal manusia maupun hewan, namun tempat tinggal yang khusus bagi hewan biasa disebut sangkar,sarang, atau kandang. Dalam arti khusus, rumah mengacu pada konsep - konsep sosial kemasyarakatan yang terjalin di dalam bangunan tempat tinggal. Rumah menjadi faktor utama bagi sebuah keluarga dalam membentuk karakter dan menciptakan pribadi yang baik. Maka dari itu harus dibangun rumah dengan fasilitas-fasilitas yang mencukupi dan memenuhi syarat rumah sehat sehingga terwujud tujuan yang diharapkan. Indonesia kaya akan ragam budaya. Termasuk khasanah arsitekturnyadari Aceh sampai Papua. Terdapat ciri arsitektur yang berbeda karena latar belakang yang beragam.

Rumah bagi orang Jawa merupakan patokan tentramnya suatu keluarga, sebab dengan sudah mampu memiliki rumah, keluarga tersebut sudah merasa tenang, tidak harus nyewa atau ngindung (numpang).

Rumah-rumah yang ada di daerah perkotaan sangat padat, sehingga hampir tidak ada batas atau garis pemisah antara rumah satu dengan lainnya. Berbeda dengan rumah-rumah yang ada di daerah pedesaan, yang penduduknya masih memiliki pekarangan cukup luas, maka batas antar rumah sangat jelas, misalnya dibatasi pagar, pohon atau tanaman. Dahulu hanya orang yang tergolong dan terpandang dalam masyarakatlah, yang dapat membangun rumah joglo yang besar dan megah. Berbeda dengan orang biasa, pada umumnya mereka membangun rumah setengah permanen, atau rumah bentuk kampung ata rumah limasan sederhana. Perbedaan dari sebutan rumah itu dilihat dari atapnya dan kelengkapan ruangan dalam satu rumah. Tapi sekarang Rumah Joglo sudah dapat dibuat oleh golongan manapun asalkan cukup biayanya.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana kondisi fisik rumah Joglo dikehidupan masyarakat Yogyakarta? 2. Bagaimana tata ruang tentang rumah adat Joglo Yogyakarta?


(2)

1.3Tujuan Pembahasan

Mendeskripsikan tentang Arsitektur Tradisional Rumah Adat Joglo Yogyakarta, khususnya Rumah Joglo Tanjung di Kec. Ngaglik, Sleman Yogyakarta.

1.4 Manfaat Penulisan

1. Menambah ilmu pengetahuan, wawasan umum dan luas.

2. Mendukung upaya pelestarian kebudayaan Arsitektur Tradisional Rumah Adat Joglo Yogyakarta.

3. Dapat menjadi salah satu referensi bagi penulisan mengenai rumah adat Joglo Yogyakarta.

1.5Metode Pengumpulan Data

Pada laporan ini, penulis menggunakan 2 metode penelitian, yaitu metode observasi (pengamatan) dan literatur.

1. Observasi (pengamatan)

Penulis mendapatkan berbagai informasi dengan mengamati objek secara langsung dan melakukan wawancara

2. Literatur

Penulis mencari sumber dengan membaca buku-buku dan situs-situs internet yang dijadikan landasan dan sumber dalam pembuatan laporan.

1.6 Sistematika Penulisan

Pada laporan ini, bab I berisi penduhuluan dengan sub bab latar belakang masalah, tujuan pembahasan, perumusan masalah, metode pengumpulan data, dan sistematika penulisan. Kemudian pada bab II, berisi kajian pustaka yang digunakan sebagai pedoman dalam pembuatan laporan ini. Pada bab III, berisi gambaran obyek pengamatan yang menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam sub bab perumusan masalah. Pada bab IV, berisipenutup yang didalamnya terdapat sub bab simpulan dan saran.


(3)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Arsitektur Tradisional Jawa

Rumah adat Jawa Tengah berbentuk rumah joglo. Sebuah bangunan joglo yang menimbulkan interpretasi arsitektur Jawa mencerminkan ketenangan, hadir di antara bangunan- bangunan yang beraneka ragam. Interpretasi ini memiliki ciri pemakaian konstruksi atap yang kokoh dan bentuk lengkung-lengkungan di ruang per ruang.

Rumah adat joglo yang merupakan rumah peninggalan adat kuno dengan karya seninya yang bermutu memiliki nilai arsitektur tinggi sebagai wujud dan kebudayaan daerah yang sekaligus merupakan salah satu wujud seni bangunan atau gaya seni bangunan tradisional. Istilah Joglo berasal dari kerangka bangunan utama dari rumah adat jawa terdiri atas soko guru berupa empat tiang utama dengan pengeret tumpang songo (tumpang sembilan) atau tumpang telu (tumpang tiga) di atasnya. Struktur joglo yang seperti itu, selain sebagai penopang struktur utama rumah, juga sebagai tumpuan atap rumah agar atap rumah bisa berbentuk pencu.

Pada arsitektur bangunan rumah joglo, seni arsitektur bukan sekadar pemahaman seni konstruksi rumah, juga merupakan refleksi nilai dan norma masyarakat pendukungnya. Kecintaan manusia pada cita rasa keindahan, bahkan sikap religiusitasnya terefleksikan dalam arsitektur rumah dengan gaya ini.

Pada bagian pintu masuk memiliki tiga buah pintu,yakni pintu utama di tengah dan pintu kedua yang berada di samping kiri dan kanan pintu utama. Ketiga bagian pintu tersebut memiliki makna simbolis bahwa kupu tarung yang berada di tengah untuk keluarga besar, sementara dua pintu di samping kanan dan kiri untuk besan, hal ini melambangkan bahwa tamu itu adalah raja yang harus di hormati dan di tempatkan di tempat yang berbeda dengan keluarga inti ataupun keluarga dari mempelai, demi menghormati kehadiran mereka dan memberi tempat yang berbeda dari keluarga sendiri dan itu adalah cara atau tata krama yangb pantas untuk menyambut tamu.

Pada ruang bagian dalam yang disebut gedongan dijadikan sebagai mihrab, tempat Imam memimpin salat yang dikaitkan dengan makna simbolis sebagai tempat yang disucikan, sakral, dan dikeramatkan. Gedongan juga merangkap sebagai tempat tidur utama yang dihormati dan pada waktu-waktu tertentu dijadikan sebagai ruang tidur pengantin bagi anak-anaknya, ruang tengah melambangkan bahwa di dalam rumah tinggal harus ada tempat khusus yang disakralkan atau di sucikan supaya digunakan ketika acara-acara atau kegiatan tertentu yang sakral atau berhubungan dengan Tuhan, hal ini adalah salah satu cara bagi penghuni rumah untuk selalu mengingat keberadaan Tuhan ketika berada di dalam Rumah mereka.


(4)

Ruang depan yang disebut jaga satru disediakan untuk umat dan terbagi menjadi dua bagian, sebelah kiri untuk jamaah wanita dan sebelah kanan untuk jamaah pria. Masih pada ruang jaga satru di depan pintu masuk terdapat satu tiang di tengah ruang yang disebut tiang keseimbangan atau soko geder, selain sebagai simbol kepemilikan rumah, tiang tersebut juga berfungsi sebagai pertanda atau tonggak untuk mengingatkan pada penghuni tentang keesaan Tuhan.

Begitu juga di ruang dalam terdapat empat tiang utama yang disebut soko guru. Hal ini melambangkan bahwa, pada hakekatnya manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa menjalani hidup seorang diri, melainkan harus saling bantu membantu satu sama lain, selain itu soko guru juga melambangkan empat hakikat kesempurnaan hidup dan juga ditafsirkan sebagi hakikat dari sifat manusia.

Untuk membedakan status sosial pemilik rumah, kehadiran bentangan dan tiang penyangga dengan atap bersusun yang biasanya dibiarkan menyerupai warna aslinya menjadi ciri khas dari kehadiran sebuah pendopo dalam rumah dengan gaya ini

Susunan ruang dalam bangunan tradisional Jawa pada prinsipnya terdiri dari beberapa bagian ruang yaitu :

1. Pendapa, difungsikan sebagai tempat melakukan aktivitas yang sifatnya formal (pertemuan, upacara, pagelaran seni dan sebagainya). Meskipun terletak di bagian depan, pendapa bukan merupakan ruang penerima yang mengantar orang sebelum memasuki rumah. Jalur akses masuk ke rumah yang sering terjadi adalah tidak dari depan melalui pendapa, melainkan justru memutar melalui bagian samping rumah

2. Pringgitan, lorong penghubung (connection hall) antara pendapa dengan omah njero. Bagian pringgitan ini sering difungsikan sebagai tempat pertunjukan wayang kulit/kesenian/kegiatan publik. Emperan adalah teras depan dari bagian omah-njero. Teras depan yang biasanya lebarnya sekitar 2 meter ini merupakan tempat melakukan kegiatan umum yang sifatnya nonformal

3. Omah njero, kadang disebut juga sebagai omah-mburi, dalem ageng atau omah. Kata omah dalam masyarakat Jawa juga digunakan sebagai istilah yang mencakup arti kedomestikan, yaitu sebagai sebuah unit tempat tinggal.

4. Senthong-kiwa, dapat digunakan sebagai kamar tidur keluarga atau sebagai tempat penyimpanan beras dan alat bertani.

5. Senthong tengah (krobongan), sering juga disebut sebagai boma, pedaringan, atau krobongan. Dalam gugus bangunan rumah tradisional Jawa, letak senthong-tengah ini paling dalam, paling jauh dari bagian luar. Senthong-tengah ini merupakan ruang yang menjadi pusat dari seluruh bagian rumah. ruang ini seringkali menjadi “ruang pamer” bagi keluarga penghuni rumah tersebut.Sebenarnya senthong-tengah merupakan ruang yang sakral yang sering menjadi tempat pelaksanaan upacara/ritual keluarga. Tempat ini juga menjadi ruang penyimpanan benda-benda pusaka keluarga penghuni rumah.


(5)

6. Senthong-tengen, fungsinya sama dengan sentong kiwa

7. Gandhok, bangunan tambahan yang mengitari sisi samping dan belakang bangunan inti.

Tata ruang rumah rakyat biasa

(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1982)

Tata ruang rumah bangsawan


(6)

2.2 Arsitektur Tradisional Yogjakarta

Yogyakarta merupakan salah satu tempat paling poluler di Indonesia karena memiliki banyak sekali kebudaya yang menarik. Beragam tempat wisata, makanan khas, dan tempat belanja sungguh menjadi magnet bagi para wisatawan yang hendak berkunjung. Selain beberapa hal di atas, Yogyakarta masih menyimpan salah satu keunikan budaya warisan yaitu rumah adat.

Rumah Adat Yogyakarta disebut rumah joglo. Menurut Narpawandawa, 1937-1938. Rumah adat di Jawa ada lima jenis yaitu kampung, panggung pe, tajug, limasan, dan joglo. Namun dalam perjalannanya, jenis rumah ini bekembang menjadi berbagai jenis bangunan rumah tradisional/adat, hanya saja tetap berpakem pada pola dasar lima rumah tersebut.

Rumah Adat di Jawa itu penuh filosofi dan makna. Berbagai hal mulai dari ukuran, kerangka, kondisi perawatan rumah, dan ruang-ruang di dalam rumah serta kondisi disekitar rumah yang dikaitkan dengan status pemiliknya itu ditentukan terlebih dahulu. Ada sebuah perhitungan yang disebut "petang" mulai dari letak, waktu, arah, cetak pintu utama rumah, letang pintu pekarangan, ukuran, kerangka rumah, dan lain-lain agar pemilik rumah memperoleh ketenteraman, kesejahteraan, dan kemakmuran ketika menghuni rumah tersebut. Di dalam kehidupan kepercayaan masyarakat Kejawen, setiap kali membuat rumah baru tidak dilupakan adanya sesajen, yaitu pernak-pernik tertentu yang disajikan untuk badan halus, danghyang desa, kumulan desa dan sebagainya, agar dalam usaha pembangunan rumah baru tersebut mendapatkan keselamatan (R. Tanaya, 1984:66-78).

Bagian-bagian Joglo  pendapa  pringgitan  dalem  sentong  gandok tengen  gandok kiwo

Bagian pendapa merupakan bagian paling depan dari rumah Joglo yang terdapat ruangan luas tanpa sekat-sekat, biasanya digunakan untuk tempat pertemuan untuk acara besar bagi si pemilik rumah seperti acara pagelaran wayang kulit,tari,gamelan dan yang lain.Pada waktu ada acara syukuran biasanya sebagai tempat tamu besar. Pendopo biasanya terdapat soko guru,soko pengerek,tumpang sari.

Bagian Pringgitan adalah bagian penghubung antara pendopo dan rumah dalem.Bagian ini dengan pendopo biasanya di batasi dengan seketsel dan dengan dalem dibatasi dengan gebyok.Fungsi bagian pringgitan biasanya sebagai ruang tamu.

Bagian Dalem adalah bagian tempat bersantai keluarga. Bagian ruangan yang bersifat lebih privasi.


(7)

Berdasarkan bentuk keseluruhan tampilan dan bentuk kerangka, bangunan joglo dapat dibedakan menjadi 4 bagian :

 Muda (Nom) : Joglo yang bentuk tampilannya cenderung memanjang dan meninggi (melar).

 Tua (Tuwa) : Joglo yang bentuk tampilannya cenderung pendek (tidak memanjang) dan atapnya tidak tegak/cenderung rebah (nadhah).

 Laki-laki (lanangan) : Joglo yang terlihat kokoh karena rangkanya relatif tebal.  Perempuan (wadon/padaringan kebak) : Joglo yang rangkanya relatif tipis/pipih.

Di bagian tengah pendapa terdapat empat tiang utama yang dinamakan sakaguru. Ukurannya harus lebih tinggi dan lebih besar dari tiang-tiang/saka-saka yang lain. Di kedua ujung tiang-tiang ini terdapat ornamen/ukiran. Bagian atas sakaguru saling dihubungkan oleh penyambung/penghubung yang dinamakan tumpang dan sunduk. Posisi tumpang di atas sunduk. Dalam bahasa Jawa, kata “sunduk” itu sendiri berarti “penusuk”. Di bagian paling atas tiang sakaguru inilah biasanya terdapat beberapa lapisan balok kayu yang membentuk lingkaran-lingkaran bertingkat yang melebar ke arah luar dan dalam. Pelebaran ke bagian luar ini dinamakan elar. Elar dalam bahasa Jawa berarti ‘sayap’. Sedangkan pelebaran ke bagian dalam disebut ‘tumpang-sari’. Elar ini menopang bidang atap, sementara Tumpang-sari menopang bidang langit langit joglo (pamidhangan).

Untuk lebih lengkapnya, detail dari rangka joglo adalah sebagai berikut :

Detail rangkajoglo


(8)

2.3 Konstruksi Arsitektur Joglo Yogyakarta

Berdasarkan bentuk keseluruhan tampilan dan bentuk kerangka, bangunan joglo dapat dibedakan menjadi 4 bagian :

 Muda (Nom) : Joglo yang bentuk tampilannya cenderung memanjang dan meninggi (melar).

 Tua (Tuwa) : Joglo yang bentuk tampilannya cenderung pendek (tidak memanjang) dan atapnya tidak tegak/cenderung rebah (nadhah).

 Laki-laki (lanangan) : Joglo yang terlihat kokoh karena rangkanya relatif tebal.

 Perempuan (wadon/padaringan kebak) : Joglo yang rangkanya relatif tipis/pipih.

Di bagian tengah pendapa terdapat empat tiang utama yang dinamakan sakaguru. Ukurannya harus lebih tinggi dan lebih besar dari tiang/saka-saka yang lain. Di kedua ujung tiang-tiang ini terdapat ornamen/ukiran.Bagian atas sakaguru saling dihubungkan oleh penyambung/penghubung yang dinamakan tumpang dan sunduk. Posisi tumpang di atas sunduk. Dalam bahasa Jawa, kata “sunduk” itu sendiri berarti “penusuk”.

Di bagian paling atas tiang sakaguru inilah biasanya terdapat beberapa lapisan balok kayu yang membentuk lingkaran-lingkaran bertingkat yang melebar ke arah luar dan dalam. Pelebaran ke bagian luar ini dinamakan elar. Elar dalam bahasa Jawa berarti ‘sayap,. Sedangkan pelebaran ke bagian dalam disebut ‘tumpang-sari’. Elar ini menopang bidang atap, sementara Tumpang -sari menopang bidang langit langit joglo (pamidhangan).

Untuk lebih lengkapnya mengambil dari literature Ismunandar, 2001 (telah diolah), detail dari rangka joglo adalah sebagai berikut :

Detail rangkajoglo


(9)

1. Molo (mulo/sirah/suwunan), balok yang letaknya paling atas, yang dianggap sebagai “kepala” bangunan.

2. Ander (saka-gini), Balok yang terletak di atas pengeret yang berfungsi sebagai penopang molo.

3. Geganja, konstruksi penguat/stabilisator ander.

4. Pengeret (pengerat), Balok penghubung dan stabilisator ujung-ujung tiang; kerangka rumah bagian atas yang terletak melintang menurut lebarnya rumah dan ditautkan dengan blandar. 5. Santen, Penyangga pengeret yang terletak di antara pengeret dan kili.

6. Sunduk, Stabilisator konstruksi tiang untuk menahan goncangan/goyangan. 7. Kili (Sunduk Kili), Balok pengunci cathokan sunduk dan tiang.

8. Pamidhangan (Midhangan), Rongga yang terbentuk dari rangkaian balok/tumpang-sari pada brunjung.

9. Dhadha Peksi (dhadha-manuk), Balok pengerat yang melintang di tengah tengah pamidhangan.

10.Penitih/panitih. 11.Penangkur.

12.Emprit-Ganthil, Penahan/pengunci purus tiang yang berbentuk tonjolan; dudur yang terhimpit.

13.Kecer, Balok yang menyangga molo serta sekaligus menopang atap.

14.Dudur, Balok yang menghubungkan sudut pertemuan penanggap, penitih dan penangkur dengan molo.

15.Elar (sayap), Bagian perluasan keluar bagian atas sakaguru yang menopang atap. 16.Songgo-uwang, Konstruksi penyiku/penyangga yang sifatnya dekoratif

2.4Ragam Hias Pada Rumah Joglo

Ragam Hias merupakan suatu bentuk tambahan pada suatu bengunan dengan lebih mementingkan estetika dan tanpa mempengaruhi fungsi, Namun kepercayaan jaman dulu ragam hias memiliki fungsi filosofis, seperti sebagai penunjuk derajat dari sang pemilik. Ragam hias pada bangunantradisional jawa pun memiliki jenis yang cukup beragam, peletakannya pun berbeda-beda.


(10)

FLORA

Lung-Lungan

Berasal dari kata “Lung” yang berarti batang tumbuhan yang melata dan masih muda sehingga berbentuk lengkung. Peletakan Berada pada Balok rumah, pemidangan, tebeng pintu,jendela,daun pintu, patang aring.

Saton

Berasal dari kata ‘Satu” ialah nama jenis makanan berbentuk kotak dengan hiasan daun/bunga. Memiliki Warna dasar: merah tua, hijau tua; warna lung-lungan: kuning emas,sunggingan. Peletakan berada pada Tiang bag. Bawah, balok blandar, sunduk, pengeret, tumpang, ander,pengisipada ujung dan pangkal.


(11)

Wajikan

Seperti irisan wajik yang berbentuk belah ketupat sama sisi, isinya berupa daun yang memusat/bunga. Memiliki Warna dasar: merah tua, Warna: kuning emas.Peletakan pada Tiang tengah/ titik persilangan kayu/sudut.

Nanasan

Wujudnya mirip buah nanas, sering disebut omah tawon/tawonan. Memiliki warna yang cenderung polos. Diaplikasikan pada Kunci blandar, ditengah dadha peksi.


(12)

Tlacapan

Berasal dari kata “tlacap”, brupa deretan segi tiga. Memiliki warna dasar: merah tua, hijau tua; warna lung-lungan: kuning emas,sunggingan. Terletak pada pangkal dan ujung balok kerangka bangunan.

Kebenan

Dari kata keben yaitu tuah berbentuk empat meruncing bagaimahkota. Memiliki Warna dasar: merah tua Warna: kuning emas, terletak pada Kancing blandar tumpang ujung bawah.


(13)

Patron

Dari kata ‘patra’ yang berarti daun, memiliki warna polos atau sunggingan, terletak pada Balok - balok kerangka bangunan, blandar.

Padma

Berasal dari bentuk profil singgasana budha yang berbenyuk bunga padma. Memiliki Warna polos/ sunggingan, terletak pada Upak, sebagai alas tiang.


(14)

FAUNA

Kemamang

Arti menelan segala sesuatu yang bersifat jahat yang hendak masuk, memiliki warna polos atau sunggingan, terletak pada pintu regol.

`Peksi garuda

Sebagai lambang pemberantas kejahatan, memiliki Warna polos/ sunggingan, kuning emas, terletak pada Bubungan, tebeng, pintu gerbang

Mirong

Melambangkan putri mungkur, menggambarkan putri dari belakang. Memiliki Warna: merah tua, kuning emas, terletak pada Tiang-tiang bangunan


(15)

ALAM

Gunungan

Sering disebut kayon yang artinyamirip gunungan, memiliki warna natural, terletak pada Tengah bubungan rumah.

Makutha

Dimaksudkan agar raja sebagai wakil tuhan memberkahi seisi rumah. memiliki warna natural, terletak pada Bubungan bag. Tengah atau tepi kanan dan kiri.

Praba

Berasal dari kata praba yang berarti sinar, memiliki warna emas, terletak pada Tiang bangunan utama, pada bagian bawah.


(16)

Mega Mendhung

Berarti awan putih dan hitam, dunia ada yang baik dan buruk. Memiliki Warna: polos, kuning emas, gelap terang. Terletak pada Hiasan tebeng pintu, jendela.

Anyaman

Tidak memiliki arti tertentu, hanya unutk keindahan. Memiliki Warna polos, terletak pada Dinding atau sekat, daun pintu.

Kaligrafi

Berupa tulisan kaligrafi yang bertujuan mengagungkan nama Tuhan. Memiliki Warna : merah tua, coklat, kuning. Terletak pada tiang bangunan, umpak.


(17)

BAB III

GAMBARAN OBYEK PENGAMATAN

3.1 Lokasi

Rumah joglo ini terletak di Desa Wisata Tanjung daerah Sleman tepatnya di Desa Donoharjo, Kec.Ngaglik, Kab. Sleman, D.I Yogyakarta. Dahulu Rumah ini adalah milik salah satu anggota DPRD D.I Yogkarta namun setelah beliau pindah ke Jakarta, beliau menjadikan rumah ini sebagai warisan budaya. Masyarakat Ngaglik mengelola rumah ini menjadi salah satu bagian dari Desa Wisata Tanjung dan menjadikannya sebagai warisan budaya.

3.2 Sejarah Singkat Pendirian Rumah Joglo di Desa wisata Tanjung Yogyakarta Desa wisataTanjung berada di Jalan Palagan Tentara Pelajar Km. 11, tepatnya di Donoharjo, Ngaglik, Sleman atau 5 km dari Monumen Yogya Kembali kearah Utara atau 30 menit dari kota Yogyakarta. Sebagian besar masyarakat desa wisata Tanjung ini yang berpenduduk sekitar 1.600 jiwa ini bekerja sebagai petani dan terbagi dalam 3 pedukuhan yakni Tanjung, Panasan dan Bantarjo dengan 6 RW dan 11 RT. Desa ini diresmikan menjadi desa wisata sejak 1 juli 2001, sejak saat itu banyak wisatawan baik mancanegara maupun dalam negeri datang ke desa ini, namun yang paling banyak pada saat masa liburan sekolah yakni pada bulan Juni Juli.

Beberapa potensi wisata yang dapat dinikmati dan dipelajari pengunjung seperti kegiatan bertani seperti halnya mata pencaharian warga setempat dan memasak serta terdapat juga kesenian tradisional dan membatik. Dan ada atraksi yang paling baru yang dapat anda nikmati di Desa wisata Tanjung ini, yakni Ciciblung. Ciciblung adalah permainan nada yang dihasilkan dari permainan di sungai dengan cara menepuk aliran air di sungai. Atraksi ini sudah jarang sekali ditemukan di desa desa lain, dan anak-anak pun sudah jarang mengenal akan permainan ini.

Yang paling menarik di desa wisata Tanjung ini adalah Rumah Joglo yang berusia sekitar 200 tahun. Dahulu rumah joglo seperti yang ada di desa wisata Tanjung tersebut merupakan symbol orang berada atau hanya dimiliki oleh kalangan ningrat saja. Rumah joglo di desa ini masih dapat ditemukan namun yang tertua waktu itu adalah milik Lurah Desa Tanjung bernama Noto Suparjo, yang saat ini menjadi kepemilikan adik Noto


(18)

Suparjo yakni R. Suwarno. Pendopo dari rumah ini dapat disewa untuk keperluan pertemuan ataupun acara makan siang.

Kondisi rumah ini sudah mengalami 2 kali renovasi salah satunya yang patut disayangkan adalah penggantian lantai yang berupa tanah menjadi keramik, hal ini tentu saja agak sedikit mengubah kesan tradisionalnya namun secara keseluruhan bagian-bagian dari rumah joglo ini masih lengkap walaupun ada beberapa mengalami perubah fungsi serta ornamen-ornamen kuno masih terjaga dengan baik. Bagian bagian rumah tersebut antara lain Pendopo, pringgitan, ndalem, senthong, dangandhok.

Rumah joglo ini sarat dengan filosofi yang mendalam pada tiap bagiannya. Pada bagian bangunan utama terbagi menjadi 3 bagian yakni ruang depan, kemudian pendopo sebagai penghubung sesuai filosofinya pendopo yakni papan kondo opo opo yang berarti tempat untuk menyampaikan sesuatu. Kemudian terdapat Ndalem yang berisi tiga bagian yakni senthong kiwo, tengah dantengen. Senthong yang mempunyai makna sepilan kothong (sepidan kosong) maka ditempat ini tidak boleh diisi oleh apapun bahkan untuk tidur. Karena Senthong tengah merupakan tempatnya dewi Sri/Padi, senthong kiwo sebagai tempat pemujaan atau sembah yang sedangkan senthong tengen sebagai tempat pusaka.

Selain ruang tersebut dalam joglo masih ada bagian yang dinamakan Gandhok kiwo dan tengen, ruangan ini berfungsi bagi putra putri pemilik rumah yang belum menikah, untuk yang gandhok tengen (kanan) untuk anak laki-laki sedangkan Gandhok kiwo (kiri) untuk anak perempuan. Masih ada ruangan lain yakni di bagian belakang yang berfungsi sebagai dapur yang luasnya mencapai 50 meter persegi. Bagi kalangan ningrat dahulu binatang yang sering dipelihara selain sebagai sarana transportasi adalah kuda maka di desain rumah joglo juga masih ada kandang kuda namun sudah berubah fungsi yakni sebagai tempat menyimpan gamelan, dan letaknya berada di dekat gandhok kiwo.

3.3Konstruksi, Tata Ruang, Ragam Hias, Makna Filosofi 3.3.1 Konstruksi

A. Atap

Pada bagian atap terdapat 2 model atap rumah yaitu limasan dan joglo itu sendiri.


(19)

Atap rumah bentuk joglo

Atap rumah bentuk limasan

B. Dinding

Dinding yang menutupi rumah terbuat dari kayu jati asli, yaitu dinding pada bagian pendapa. Sementara itu dinding pada area kamar(senthong kanan kiri) terbuat dai kayu juga. Namun pada beberapa bagian ada yang menggunakan batu bata.


(20)

Dinding rumah

Dinding rumah

C. Kolom

Kolom pada rumah ini seperti rumah-rumah joglo lainnya yang biasa disebut soko, ada soko guru sebagai rangka dari joglo dan soko pangeret-eret sebagai perluasan dari bentuk joglo itu sendiri.


(21)

Soko guru

Soko pangeret

D. Tumpang sari

Tumpang sari merupakan bagian konstruksi inti dan ciri khas rangka atap pada bangunan rumah joglo. Jumlah struktur tumpang sari


(22)

pada rumah joglo ini berjumlah 2 buah. Tumpang sari pada rumah joglo ini juga terdapat ukiran-ukirannya.


(23)

E. Umpak

Umpak

Rumah joglo yang kami teliti ini menggunakan pondasi yang sederhana yaitu umpak. Ciri khas dari pondasi ini adalah tampilan dan posisi pondasi yang berada diatas tanah ukan berada di dalam tanah.

F. Lantai

Lantai pada rumah joglo ini patut disayangkan karena sudah mengalami perubahan, dulunya lantai rumah joglo ini terbuat dari tanah namun sekarang sudah diganti dengan keramik.


(24)

G. Langit-Langit

Rumah ini juga terdapat perubahan pada langit-langit rumah, dulunya langit-langit pada rumah ini terbuat dari anyaman bamboo namun sekarang sudah iganti dengan semacam ternit.

Langit-langit rumah yang mengalami perubahan

3.3.2 Tata Ruang

Dalam bangunan ini untuk tata ruang rumah sendiri sudah mengalami sedikit perubahan. Untuk pendopo masih digunakan untuk menerima tamu dan juga berfungsi sebagai ruang keluarga. Selain itu pada rumah tersebut tidak menyediakan pringgitan yang berguna untuk lorong penghubung antara pendapa dengan omah njero atau biasa digunakan untuk tempat pertunjukan wayang kulit/kesenian/public. Sedangkan bagian sentong kanan dan sentong kiri berfungsi sebagai ruang tidur.

Dari halaman depan, pertama-tama yang kita temui adalah ruangan yang disebut pendopo. Ruang ini berfungsi sebagai tempat menerima tamu, pertemuan bila ada musyawarah serta kegiatan makan bersama. Pada


(25)

bagian pinggir pendopo, yaitu bagian emperannya dahulu tempat anak-anak perempuan bermain dakon.

Dari pringgitan kemudian menuju ruang belakang, yang disebut dalem atau omah jero. Ruangan ini berfungsi sebagai ruang keluarga atau tempat menerima tamu wanita. Di dalem atau rumah jero, terdapat tiga buah kamar atau senthong yaitu senthong kiwo (kiri), senthong tengah dan senthong tengen (kanan). Pada para petani, senthong kiwo berfungsi untuk menyimpan senjata atau barang-barang keramat. Senthong tengah untuk menyimpan benih atau bibit akar-akaran atau gabah. Sedangkan senthong tengen untuk ruang tidur. Kadang-kadang senthong tengah dipakai pula untuk berdoa dan pemujaan kepada Dewi Sri. Oleh karenanya disebut juga pasren atau petanen. Senthong tengah tersebut diberi batas kain yang disebut langse atau gedhek, berhias anyaman yang disebut patang aring. Namun kami tidak bisa memasuki bagian dalem rumah ini karena pemilik rumah ini tidak mengijinkan para pengunjung untuk memasuki bagian ini.

Pada rumah joglo milik bangsawan, senthong tengah ini berisi bermacam-macam benda lambang (perlengkapan) yang mempunyai kesatuan arti yang sakral (suci). Setiap benda memiliki arti lambang kesuburan dan kebahagiaan rumah tangga. Sebelah kiri, kanan dan belakang senthong terdapat gandhok, yaitu bangunan kecil yang digunakan untuk tempat tinggal kerabat. Bila ada upacara atau kenduri, gandhok ini dipakai untuk tempat para wanita mengerjakan segala keperluan dan persiapan upacara terutama mengatur makanan yang sudah dimasak di dapur. Dapur (pawon) terletak di belakang dalem, yang selain untuk memasak, juga berfungsi sebagai tempat menyimpan perkakas dapur serta bahan makanan seperti kelapa, palawija, beras dan sebagainya. Di samping kanan dan kiri rumah joglo ini juga terdapat bangunan terpisah, di samping kiri bangunan merukan bangunan dengan beberapa kamar yang dahulu difungsikan sebagai kamar-kamar bagi keluarga


(26)

karena berdasarkan informasi dari narasumber yang kami temui keluaga ini memiliki banyak anak.

Bangunan yang dulunya kamar sekarang difungsikan untuk lumbung

Di samping kanan bangunan terdapat bangunan terpisah juga yang dulunya dipakai untuk kandhang kuda karena dulu kuda digunakan sebagai alat transportasi namun sekarang bangunan ini digunakan sebagai tempat. menyimpan gamelan. Dan satu bangunan lagi yang disebut kancung bangunan ini adalah bangunan untuk tamu apabila ada tamu yang menginap di rumah ini.


(27)

Tempat tamu

3.3.3 Ragam Hias

Dari survey yang kita lakukan kami menemukan beberapa ragam hias yang ada dalam rumah joglo ini, diantaranya adalah sebagai berikut :


(28)

B. Ragam hias ukiran pada tumpang sari

C. Ragam hias lung-lungan pada konsul

3.3.4 Makna Filosofi

Berdasarkan pada pandangan hidup orang Jawa bahwa kehidupan manusia tidak terlepas dari pengaruh alam semesta, atau dalam lingkup yang lebih terbatas adalah dari pengaruh lingkungan sekitarnya, maka keberadaan rumah bagi orang Jawa harus mempertimbangkan hubungan tersebut. Joglo sebagai salah satu simbol kebudayaan masyarakat Jawa merupakan media perantara untuk menyatu dengan


(29)

Tuhan (kekuatan Ilahi) sebagai tujuan akhir kehidupan (sangkan paraning dumadi), berdasar pada kedudukan manusia sebagai seorang individu, anggota keluarga dan anggota masyarakat. Nilai filosofis Joglo merepresentasikan etika Jawa yang menuntut setiap orang Jawa untuk memiliki sikap batin yang tepat, melakukan tindakan yang tepat, mengetahui tempat yang tepat (dapat menempatkan diri) dan memiliki pengertian yang tepat dalam kehidupan.

a. Rumah bagi individu Jawa

Sebagai personifikasi penghuninya, rumah harus dapat menggambarkan kondisi atau tujuan hidup yang ingin dicapai oleh penghuninya. Rumah Jawa dihadapkan pada pilihan empat arah mata angin, yang biasanya hanya menghadap ke arah utara atau selatan. Tiap arah mata angin menurut kepercayaan juga dijaga oleh dewa, yaitu:

- arah timur oleh Sang Hyang Maha Dewa, dengan sinar putih berarti sumber kehidupan atau pelindung umat manusia, merupakan lambang kewibawaan yang dibutuhkan oleh para raja.

- Arah barat oleh Sang Hyang Yamadipati, dengan sinar kuning berarti kematian, merupakan lambang kebinasaan atau malapetaka.

- Arah utara oleh Sang Hyang Wisnu, dengan sinar hitam berarti penolong segala kesulitan hidup baik lahir maupun batin, merupakan lambang yang cerah, ceria dan penuh harapan.

- Arah selatan oleh Sang Hyang Brahma, dengan sinar merah berarti kekuatan, merupakan lambang keperkasaan, ketangguhan terhadap bencana yang akan menimpanya.

Rumah bagi individu Jawa sangat penting untuk menunjukkan bahwa seseorang memiliki kontrol teritorial, yang selanjutnya akan mendefinisikan keberadaan dan statusnya. Sebuah rumah merupakan bentuk eksistensi bagi pemiliknya. Sehingga rumah Jawa sebagai personifikasi penghuninya juga ditunjukkan melalui dimensi antropometrik yang mengacu pada dimensi tubuh penghuni, yaitu kepala rumah tangga.


(30)

Rumah merupakan pelindung dari kekacauan dan kesialan yang berada di luar rumah. Hal ini ditunjukkan oleh keberadaan sumur yang letaknya berdekatan dengan regol. Seseorang akan membasuh kakinya ketika masuk rumah untuk melepaskan emosi dan kesialan yang mungkin menempel pada tubuhnya di jalanan. Di rumahlah orang menemukan ketenteraman terlindung dari dunia luar yang merupakan sumber kekacauan.

b. Rumah bagi keluarga Jawa

Rumah bagi keluarga Jawa mempunyai nilai tersendiri, yaitu sebagai suatu bentuk pengakuan umum bahwa keluarga tersebut telah memiliki kehidupan yang mapan. Ini menegaskan kondisi ideal bagi orang Jawa yaitu memiliki rumah tangga sendiri.

Kepemilikan terhadap rumah dan tanah merupakan hal yang selalu lebih utama dari pada kepemilikan terhadap benda-benda lainnya.

Meskipun konstruksi rumah Jawa memungkinkan untuk dibongkar-pasang, namun kecenderungan dalam praktik sehari-hari adalah membiarkan sebagian besar pintu dan jendelanya dalam keadaan tertutup sehingga menjadi gelap. Kondisi ini menghindari kekurangan-kekurangan dalam rumah terlihat dari luar oleh orang lain. Selain itu juga untuk memberikan privasi dan kebebasan bagi keluarga yang menghuni.

Peran utama rumah adalah sebagai tempat menetap, melanjutkan keturunan serta menopang kehidupan sebuah keluarga. Seringkali di depan senthong (kamar) dapat dipasang foto-foto leluhur sebagai simbol kesinambungan keturunan.

Secara khusus, senthong tengah berfungsi sebagai kuil kemakmuran keluarga dalam kaitannya dengan kedudukannya sebagai titik penghubung antara rumah, sawah dan dunia nenek moyang melindungi keduanya.

c. Joglo dalam kehidupan masyarakat Jawa

Ukuran dan bentuk rumah merupakan lambang kedudukan sosial keluarga yang menempatinya dalam suatu masyarakat. Hanya kaum bangsawan saja yang awalnya diperbolehkan memiliki Joglo. Untuk orang desa pada umumnya menggunakan bentuk Srotongan atau Trojongan. Yang membedakan Joglo


(31)

dengan tipologi rumah Jawa lainnya adalah konstruksi atapnya yang memiliki brunjung lebih menjulang tinggi sekaligus lebih pendek dengan susunan tumpang sari, yaitu yang ditopang oleh empat tiang utama yang disebut saka guru. Bagian saka guru dan tumpang sari biasanya sarat dengan ukiran, baik yang rumit maupun yang sederhana. Material yang digunakan oleh Joglo juga lebih banyak dan biasanya menggunakan kayu jati, akibatnya harga Joglo lebih mahal dari tipologi rumah Jawa lainnya. Jadi Joglo menjadi simbol bahwa pemiliknya termasuk dalam strata sosial atas.

Pertunjukan-pertunjukan seni yang diadakan oleh tuan rumah di pendhapa untuk khalayak umum, mempertegas stratifikasi sosial yang berlaku juga menjadi bentuk ekspansi kewenangan tuan rumah terhadap lingkungan sekitarnya. Pendhapa juga digunakan bagi kaum lelaki untuk bersosialisasi sehingga kemudian mempertegas bahkan membentuk nilai-nilai kemasyarakatan.

Sebagai personifikasi dari penghuninya, bagian-bagian Joglo (peninggian lantai-dinding-atap) dapat dianalogikan secara fisik menurut bagian-bagian tubuh manusia (kaki-badan-kepala) dan secara non-fisik menurut perjalanan hidupnya (lahir-hidup-mati).

Sehingga kemudian nilai-nilai filosofis yang dimiliki oleh orang Jawa juga dapat diterapkan sebagai nilai-nilai filosofis Joglo sebagai rumah Jawa. Nilai-nilai kosmologi yang dipercaya dan diwariskan oleh orang Jawa melalui mitos, terepresentasikan pada rumah Jawa. Dimensi atap yang dominan menunjukkan bahwa orang Jawa mengutamakan bagian kepala dan isinya (pikiran dan ide) karena dengan kemampuan akal pikirnya akan dapat membawa manusia untuk mempersiapkan diri sebaik mungkin sebelum mati untuk menemui Tuhan.

Yang dimaksud dengan interior Joglo adalah tatanan secara keseluruhan segala sesuatu yang berada di bawah lingkup struktur Joglo. Karena secara non-fisik area tersebut dapat dianalogikan sebagai ‘hidup’, maka nilai filosofis interior Joglo dapat dianalogikan pula sebagai nilai filosofis kehidupan bagi orang Jawa. Sehingga nilai filosofis interior Joglo merepresentasikan suatu usaha dalam mencapai kesempurnaan hidup untuk mempersiapkan diri menuju


(32)

kepada Tuhan. Usaha mencapai kesempurnaan hidup tersebut adalah melalui etika Jawa.

d. Konstruksi dan penataan ruang dalam kehidupan individu

Rumah joglo yang biasanya mempunyai bentuk atap yang bertingkat-tingkat, semakin ke tengah, jarak antara lantai dengan atap yang semakin tinggi dirancang bukan tanpa maksud, tetapi tiap-tiap ketinggian atap tersebut menjadi suatu hubungan tahap-tahap dalam pergerakan manusia menuju ke rumah joglo dengan udara yang dirasakan oleh manusia itu sendiri, sehingga hal itu menyebabkan penghuni merasa nyaman ketika berada di dalam bangunan dan hal itu membuat penghuni lebih sering berkumpul dengan keluarga dan merasakan kebersamaan yang kuat seperti struktur yang menopang rumah Adat Joglo ini. Atap joglo selalu terletak di tengah-tengah dan selalu lebih tinggi serta diapit oleh atap serambi. Bentuk gabungan antara atap ini ada dua macam, yaitu: Atap Joglo Lambang Sari dan Atap Joglo Lambang Gantung. Atap Joglo Lambang Sari mempunyai ciri dimana gabungan atap Joglo dengan atap Serambi disambung secara menerus, sementara atap Lambang Gantung terdapat lubang angin dan cahaya, dan hal ini melambangkan filosofi kehidupan manusia, bahwa kehidupan semakin sukses (berada diatas) maka cobaan pun akan semakin berat, semakin kuat diterpa angin, dan selalu rawan untuk jatuh apabila tidak hati-hati.

Setiap ruagan dalam Joglo memiliki filosofi tersendiri bagi kehidupan manusia. Misalnya, adanya soko guru yang merupakan empat tiang utama kerangka bangunan melambangkan bahwa pada hakekatnya manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa menjalani hidup seorang diri, melainkan harus saling bantu membantu satu sama lain, selain itu soko guru juga melambangkan empat hakikat kesempurnaan hidup dan juga ditafsirkan sebagi hakikat dari sifat manusia.

Pada bagian pintu masuk memiliki tiga buah pintu,yakni pintu utama di tengah dan pintu kedua yang berada di samping kiri dan kanan pintu utama. Ketiga bagian pintu tersebut memiliki makna simbolis bahwa kupu tarung yang berada di tengah untuk keluarga besar, sementara dua pintu di samping kanan dan kiri untuk besan, hal ini melambangkan bahwa tamu itu adalah raja yang harus di hormati dan di tempatkan di tempat yang berbeda dengan keluarga inti ataupun keluarga dari mempelai, demi menghormati kehadiran mereka dan memberi tempat yang berbeda dari keluarga sendiri dan itu adalah cara atau tata krama yang pantas untuk menyambut tamu.

Pada ruang bagian dalam yang disebut gedongan dijadikan sebagai mihrab, tempat Imam memimpin salat yang dikaitkan dengan makna simbolis


(33)

sebagai tempat yang disucikan, sakral, dan dikeramatkan. Gedongan juga merangkap sebagai tempat tidur utama yang dihormati dan pada waktu-waktu tertentu dijadikan sebagai ruang tidur pengantin bagi anak-anaknya, ruang tengah melambangkan bahwa di dalam rumah tinggal harus ada tempat khusus yang disakralkan atau di sucikan supaya digunakan ketika acara-acara atau kegiatan tertentu yang sakral atau berhubungan dengan Tuhan, hal ini adalah salah satu cara bagi penghuni rumah untuk selalu mengingat keberadaan Tuhan ketika berada di dalam Rumah mereka.

Ruang depan yang disebut jaga satru disediakan untuk umat dan terbagi menjadi dua bagian, sebelah kiri untuk jamaah wanita dan sebelah kanan untuk jamaah pria. Masih pada ruang jaga satru di depan pintu masuk terdapat satu tiang di tengah ruang yang disebut tiang keseimbangan atau soko geder, selain sebagai simbol kepemilikan rumah, tiang tersebut juga berfungsi sebagai pertanda atau tonggak untuk mengingatkan pada penghuni tentang keesaan Tuhan.

Sistem yang terkandung dalam penataan ruang dan struktur Rumah adat joglo ini, selain menuntun manusia untuk hidup sosial dan bantu membantu adalah menjadikan diri manusia tidak sombong dan menghormati satu sama lain, dan juga tidak pernah lupa akan keberadaan Yang Maha Kuasa.


(34)

BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan

Rumah joglo merupakan bangunan arsitektur tradisional jawa tengah, rumah joglo mempunyai kerangka bangunan utama yang terdiri dari soko guru berupa empat tiang utama penyangga struktur bangunan serta tumpang sari yang berupa susunan balok yang disangga soko guru.

Susunan ruangan pada Joglo umumnya dibagi menjadi tiga bagian yaitu ruangan pertemuan yang disebut pendhapa, ruang tengah atau ruang yang dipakai untuk mengadakan pertunjukan wayang kulit disebut pringgitan, dan ruang belakang yang disebut dalem atau omah jero sebagai ruang keluarga. Dalam ruang ini terdapat tiga buah senthong (kamar) yaitu senthong kiri, senthong tengah dan senthong kanan.

Membandingkan dari Literatur dan hasil observasi kami, Rumah Joglo yang kami observasi telah banyak memiliki perubahan. Diantaranya Joglo pada literature memiliki tumpang sari, sementara pada joglo yang kami observasi pada bagian saka guru langsung diteruskan ke sunduk yang diikat dengan purus wedokan dan lanangan, dan diatasnya diikat dengan blandar dan pengeret. Pada bagian pondasi, bagian umpak tidak menempel tanah karena lantai sudah diganti dengan keramik.

Pada Joglo yang kami observasi juga sudah banyak mengalami perubahan fungsi pada beberapa ruang. Selain pada bagian lantai yang telah mengalami perubahan, genting pada sebagian rumah joglo ini telah mengalami renovasi. Pengecatan ulang juga pernah dilakukan pada rumah ini. Sebagian dinding sudah diganti menggunakan dinding bata agar lebih awet dan tahan lama, menurut narasumber.

4.2 Kritik dan saran

Menurut kami masih banyak hal hal dalam literature yang perlu diperbaiki karena tidak semua yang ada pada literature diterapkan seutuhnya pada kehidupan .Sebagai pembaca kita juga harus selektif , dan tidak menelan mentah mentah apa yang tertulis di literatur.

Walaupun termasuk salah satu sumber, namun apa yang tercantum di internet juga sebaiknya perlu kita saring. Bertanya pada narasumber sangat baik ketika melakukan observasi sehingga apa yang didapat semakin nyata dan bisa dipertanggung jawabkan.


(1)

Tuhan (kekuatan Ilahi) sebagai tujuan akhir kehidupan (sangkan paraning dumadi), berdasar pada kedudukan manusia sebagai seorang individu, anggota keluarga dan anggota masyarakat. Nilai filosofis Joglo merepresentasikan etika Jawa yang menuntut setiap orang Jawa untuk memiliki sikap batin yang tepat, melakukan tindakan yang tepat, mengetahui tempat yang tepat (dapat menempatkan diri) dan memiliki pengertian yang tepat dalam kehidupan.

a. Rumah bagi individu Jawa

Sebagai personifikasi penghuninya, rumah harus dapat menggambarkan kondisi atau tujuan hidup yang ingin dicapai oleh penghuninya. Rumah Jawa dihadapkan pada pilihan empat arah mata angin, yang biasanya hanya menghadap ke arah utara atau selatan. Tiap arah mata angin menurut kepercayaan juga dijaga oleh dewa, yaitu:

- arah timur oleh Sang Hyang Maha Dewa, dengan sinar putih berarti sumber kehidupan atau pelindung umat manusia, merupakan lambang kewibawaan yang dibutuhkan oleh para raja.

- Arah barat oleh Sang Hyang Yamadipati, dengan sinar kuning berarti kematian, merupakan lambang kebinasaan atau malapetaka.

- Arah utara oleh Sang Hyang Wisnu, dengan sinar hitam berarti penolong segala kesulitan hidup baik lahir maupun batin, merupakan lambang yang cerah, ceria dan penuh harapan.

- Arah selatan oleh Sang Hyang Brahma, dengan sinar merah berarti kekuatan, merupakan lambang keperkasaan, ketangguhan terhadap bencana yang akan menimpanya.

Rumah bagi individu Jawa sangat penting untuk menunjukkan bahwa seseorang memiliki kontrol teritorial, yang selanjutnya akan mendefinisikan keberadaan dan statusnya. Sebuah rumah merupakan bentuk eksistensi bagi pemiliknya. Sehingga rumah Jawa sebagai personifikasi penghuninya juga ditunjukkan melalui dimensi antropometrik yang mengacu pada dimensi tubuh penghuni, yaitu kepala rumah tangga.


(2)

Rumah merupakan pelindung dari kekacauan dan kesialan yang berada di luar rumah. Hal ini ditunjukkan oleh keberadaan sumur yang letaknya berdekatan dengan regol. Seseorang akan membasuh kakinya ketika masuk rumah untuk melepaskan emosi dan kesialan yang mungkin menempel pada tubuhnya di jalanan. Di rumahlah orang menemukan ketenteraman terlindung dari dunia luar yang merupakan sumber kekacauan.

b. Rumah bagi keluarga Jawa

Rumah bagi keluarga Jawa mempunyai nilai tersendiri, yaitu sebagai suatu bentuk pengakuan umum bahwa keluarga tersebut telah memiliki kehidupan yang mapan. Ini menegaskan kondisi ideal bagi orang Jawa yaitu memiliki rumah tangga sendiri.

Kepemilikan terhadap rumah dan tanah merupakan hal yang selalu lebih utama dari pada kepemilikan terhadap benda-benda lainnya.

Meskipun konstruksi rumah Jawa memungkinkan untuk dibongkar-pasang, namun kecenderungan dalam praktik sehari-hari adalah membiarkan sebagian besar pintu dan jendelanya dalam keadaan tertutup sehingga menjadi gelap. Kondisi ini menghindari kekurangan-kekurangan dalam rumah terlihat dari luar oleh orang lain. Selain itu juga untuk memberikan privasi dan kebebasan bagi keluarga yang menghuni.

Peran utama rumah adalah sebagai tempat menetap, melanjutkan keturunan serta menopang kehidupan sebuah keluarga. Seringkali di depan senthong (kamar) dapat dipasang foto-foto leluhur sebagai simbol kesinambungan keturunan.

Secara khusus, senthong tengah berfungsi sebagai kuil kemakmuran keluarga dalam kaitannya dengan kedudukannya sebagai titik penghubung antara rumah, sawah dan dunia nenek moyang melindungi keduanya.

c. Joglo dalam kehidupan masyarakat Jawa

Ukuran dan bentuk rumah merupakan lambang kedudukan sosial keluarga yang menempatinya dalam suatu masyarakat. Hanya kaum bangsawan saja yang awalnya diperbolehkan memiliki Joglo. Untuk orang desa pada umumnya menggunakan bentuk Srotongan atau Trojongan. Yang membedakan Joglo


(3)

dengan tipologi rumah Jawa lainnya adalah konstruksi atapnya yang memiliki brunjung lebih menjulang tinggi sekaligus lebih pendek dengan susunan tumpang sari, yaitu yang ditopang oleh empat tiang utama yang disebut saka guru. Bagian saka guru dan tumpang sari biasanya sarat dengan ukiran, baik yang rumit maupun yang sederhana. Material yang digunakan oleh Joglo juga lebih banyak dan biasanya menggunakan kayu jati, akibatnya harga Joglo lebih mahal dari tipologi rumah Jawa lainnya. Jadi Joglo menjadi simbol bahwa pemiliknya termasuk dalam strata sosial atas.

Pertunjukan-pertunjukan seni yang diadakan oleh tuan rumah di pendhapa untuk khalayak umum, mempertegas stratifikasi sosial yang berlaku juga menjadi bentuk ekspansi kewenangan tuan rumah terhadap lingkungan sekitarnya. Pendhapa juga digunakan bagi kaum lelaki untuk bersosialisasi sehingga kemudian mempertegas bahkan membentuk nilai-nilai kemasyarakatan.

Sebagai personifikasi dari penghuninya, bagian-bagian Joglo (peninggian lantai-dinding-atap) dapat dianalogikan secara fisik menurut bagian-bagian tubuh manusia (kaki-badan-kepala) dan secara non-fisik menurut perjalanan hidupnya (lahir-hidup-mati).

Sehingga kemudian nilai-nilai filosofis yang dimiliki oleh orang Jawa juga dapat diterapkan sebagai nilai-nilai filosofis Joglo sebagai rumah Jawa. Nilai-nilai kosmologi yang dipercaya dan diwariskan oleh orang Jawa melalui mitos, terepresentasikan pada rumah Jawa. Dimensi atap yang dominan menunjukkan bahwa orang Jawa mengutamakan bagian kepala dan isinya (pikiran dan ide) karena dengan kemampuan akal pikirnya akan dapat membawa manusia untuk mempersiapkan diri sebaik mungkin sebelum mati untuk menemui Tuhan.

Yang dimaksud dengan interior Joglo adalah tatanan secara keseluruhan segala sesuatu yang berada di bawah lingkup struktur Joglo. Karena secara non-fisik area tersebut dapat dianalogikan sebagai ‘hidup’, maka nilai filosofis interior Joglo dapat dianalogikan pula sebagai nilai filosofis kehidupan bagi orang Jawa. Sehingga nilai filosofis interior Joglo merepresentasikan suatu usaha dalam mencapai kesempurnaan hidup untuk mempersiapkan diri menuju


(4)

kepada Tuhan. Usaha mencapai kesempurnaan hidup tersebut adalah melalui etika Jawa.

d. Konstruksi dan penataan ruang dalam kehidupan individu

Rumah joglo yang biasanya mempunyai bentuk atap yang bertingkat-tingkat, semakin ke tengah, jarak antara lantai dengan atap yang semakin tinggi dirancang bukan tanpa maksud, tetapi tiap-tiap ketinggian atap tersebut menjadi suatu hubungan tahap-tahap dalam pergerakan manusia menuju ke rumah joglo dengan udara yang dirasakan oleh manusia itu sendiri, sehingga hal itu menyebabkan penghuni merasa nyaman ketika berada di dalam bangunan dan hal itu membuat penghuni lebih sering berkumpul dengan keluarga dan merasakan kebersamaan yang kuat seperti struktur yang menopang rumah Adat Joglo ini. Atap joglo selalu terletak di tengah-tengah dan selalu lebih tinggi serta diapit oleh atap serambi. Bentuk gabungan antara atap ini ada dua macam, yaitu: Atap Joglo Lambang Sari dan Atap Joglo Lambang Gantung. Atap Joglo Lambang Sari mempunyai ciri dimana gabungan atap Joglo dengan atap Serambi disambung secara menerus, sementara atap Lambang Gantung terdapat lubang angin dan cahaya, dan hal ini melambangkan filosofi kehidupan manusia, bahwa kehidupan semakin sukses (berada diatas) maka cobaan pun akan semakin berat, semakin kuat diterpa angin, dan selalu rawan untuk jatuh apabila tidak hati-hati.

Setiap ruagan dalam Joglo memiliki filosofi tersendiri bagi kehidupan manusia. Misalnya, adanya soko guru yang merupakan empat tiang utama kerangka bangunan melambangkan bahwa pada hakekatnya manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa menjalani hidup seorang diri, melainkan harus saling bantu membantu satu sama lain, selain itu soko guru juga melambangkan empat hakikat kesempurnaan hidup dan juga ditafsirkan sebagi hakikat dari sifat manusia.

Pada bagian pintu masuk memiliki tiga buah pintu,yakni pintu utama di tengah dan pintu kedua yang berada di samping kiri dan kanan pintu utama. Ketiga bagian pintu tersebut memiliki makna simbolis bahwa kupu tarung yang berada di tengah untuk keluarga besar, sementara dua pintu di samping kanan dan kiri untuk besan, hal ini melambangkan bahwa tamu itu adalah raja yang harus di hormati dan di tempatkan di tempat yang berbeda dengan keluarga inti ataupun keluarga dari mempelai, demi menghormati kehadiran mereka dan memberi tempat yang berbeda dari keluarga sendiri dan itu adalah cara atau tata krama yang pantas untuk menyambut tamu.

Pada ruang bagian dalam yang disebut gedongan dijadikan sebagai mihrab, tempat Imam memimpin salat yang dikaitkan dengan makna simbolis


(5)

sebagai tempat yang disucikan, sakral, dan dikeramatkan. Gedongan juga merangkap sebagai tempat tidur utama yang dihormati dan pada waktu-waktu tertentu dijadikan sebagai ruang tidur pengantin bagi anak-anaknya, ruang tengah melambangkan bahwa di dalam rumah tinggal harus ada tempat khusus yang disakralkan atau di sucikan supaya digunakan ketika acara-acara atau kegiatan tertentu yang sakral atau berhubungan dengan Tuhan, hal ini adalah salah satu cara bagi penghuni rumah untuk selalu mengingat keberadaan Tuhan ketika berada di dalam Rumah mereka.

Ruang depan yang disebut jaga satru disediakan untuk umat dan terbagi menjadi dua bagian, sebelah kiri untuk jamaah wanita dan sebelah kanan untuk jamaah pria. Masih pada ruang jaga satru di depan pintu masuk terdapat satu tiang di tengah ruang yang disebut tiang keseimbangan atau soko geder, selain sebagai simbol kepemilikan rumah, tiang tersebut juga berfungsi sebagai pertanda atau tonggak untuk mengingatkan pada penghuni tentang keesaan Tuhan.

Sistem yang terkandung dalam penataan ruang dan struktur Rumah adat joglo ini, selain menuntun manusia untuk hidup sosial dan bantu membantu adalah menjadikan diri manusia tidak sombong dan menghormati satu sama lain, dan juga tidak pernah lupa akan keberadaan Yang Maha Kuasa.


(6)

BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan

Rumah joglo merupakan bangunan arsitektur tradisional jawa tengah, rumah joglo mempunyai kerangka bangunan utama yang terdiri dari soko guru berupa empat tiang utama penyangga struktur bangunan serta tumpang sari yang berupa susunan balok yang disangga soko guru.

Susunan ruangan pada Joglo umumnya dibagi menjadi tiga bagian yaitu ruangan pertemuan yang disebut pendhapa, ruang tengah atau ruang yang dipakai untuk mengadakan pertunjukan wayang kulit disebut pringgitan, dan ruang belakang yang disebut dalem atau omah jero sebagai ruang keluarga. Dalam ruang ini terdapat tiga buah senthong (kamar) yaitu senthong kiri, senthong tengah dan senthong kanan.

Membandingkan dari Literatur dan hasil observasi kami, Rumah Joglo yang kami observasi telah banyak memiliki perubahan. Diantaranya Joglo pada literature memiliki tumpang sari, sementara pada joglo yang kami observasi pada bagian saka guru langsung diteruskan ke sunduk yang diikat dengan purus wedokan dan lanangan, dan diatasnya diikat dengan blandar dan pengeret. Pada bagian pondasi, bagian umpak tidak menempel tanah karena lantai sudah diganti dengan keramik.

Pada Joglo yang kami observasi juga sudah banyak mengalami perubahan fungsi pada beberapa ruang. Selain pada bagian lantai yang telah mengalami perubahan, genting pada sebagian rumah joglo ini telah mengalami renovasi. Pengecatan ulang juga pernah dilakukan pada rumah ini. Sebagian dinding sudah diganti menggunakan dinding bata agar lebih awet dan tahan lama, menurut narasumber.

4.2 Kritik dan saran

Menurut kami masih banyak hal hal dalam literature yang perlu diperbaiki karena tidak semua yang ada pada literature diterapkan seutuhnya pada kehidupan .Sebagai pembaca kita juga harus selektif , dan tidak menelan mentah mentah apa yang tertulis di literatur.

Walaupun termasuk salah satu sumber, namun apa yang tercantum di internet juga sebaiknya perlu kita saring. Bertanya pada narasumber sangat baik ketika melakukan observasi sehingga apa yang didapat semakin nyata dan bisa dipertanggung jawabkan.