Platelet Rich Plasma Landasan Teori

2.1.3 Kalsium Klorida CaCl

2 Untuk mencapai efek yang diinginkan, platelet rich plasma PRP dapat diaktivasi secara eksogen oleh trombin, kalsium klorida CaCl 2 , atau mekanikal trauma. Sekali PRP teraktivasi, fibrin mulai terbentuk menjadi bivalent, yaitu jaringan yang unstable. Jika PRP diaktivasi dengan cara yang lebih fisiologis, jaringan tetramolekular ini akan meningkatkan growth factors nya dalam tahap recovery cells 10 . Selain itu, pengaktivasian oleh kalsium dibutuhkan untuk mengaktifkan protrombin menjadi enzim trombin yang selanjutnya diubah menjadi fibrinogen sebagai salah satu protein darah untuk proses penyembuhan jaringan. Proses penyembuhan ini dimulai dengan pembentukan fibrin-fibrin untuk mengumpulkan platelet dan menutup perdarahan 14, 15 . Hal ini membuat PRP yang diaktivasi oleh kalsium klorida akan memiliki efektivitas lebih tinggi dalam proses penyembuhan dikarenakan akan meningkatkan kinerja faktor-faktor pembekuan darah, yang dapat direpresentasikan sebagai protein.

2.1.4 Absorbansi dan Konsentrasi Protein

Protein berasal dari kata proteos pada bahasa Yunani yang artinya pertama atau utama. Sebagai komponen terpenting penyusun tubuh manusia, protein merupakan polimer dari berbagai monomer asam amino yang dihubungkan dengan ikatan peptida. Protein juga bersifat amfoter atau dapat bereaksi dalam larutan asam maupun basa. Untuk mengetahui adanya ikatan protein secara kualitatif pada suatu larutan, umumnya menggunakan uji biuret yang tergolong mudah. Campuran antara larutan CuSO 4 dan NaOH pada uji biuret ini akan menghasilkan warna lembayung ungu jika positif terdapat ikatan proteinnya 20 . Sedangkan untuk mengetahui tingkat absorbansi protein secara kuantitatif pada suatu larutan, peneliti menggunakan alat spektrofotometer. Spektofotometer adalah alat untuk mendispersikan dan menghasilkan cahaya dengan menghasilkan range panjang gelombang cahaya. Spektofotometer secara umum mengandung 2 komponen, yaitu spektrometer dan fotometer. Spektrometer berfungsi untuk mendispersikan dan menghasilkan cahaya dengan menghasilkan panjang gelombang cahaya. Sedangkan fotometer berfungsi sebagai fotoelektrik detektor yang mengukur intensitas cahaya 16 . Penjelasan mengenai cara kerja spektofotometer itu sendiri akan dijelaskan pada gambar di bawah ini: Gambar 2.4 Prinsip dasar dari spektrofotometer Sumber: Gore, Michael, 2000. Pertama, kollimator lens mentransmisikan sorotan cahaya lurus photons yang akan melewati monokromator prism untuk memisahkannya menjadi beberapa komponen panjang gelombang spectrum. Kemudian selektor panjang gelombang split yang akan melanjutkan transmisi cahaya tersebut dengan panjang gelombang tertentu. Setelah panjang gelombang cahaya tersebut dapat melewati sampel di dalam cuvette, fotometer akan mendeteksi jumlah cahaya yang diabsorbsi dan akan mengirimkan sinyal ke galvanometer atau digital display. Jumlah photons yang melewati cuvette dan menuju detektor bergantung pada panjang cuvette itu sendiri dan konsentrasi dari sampel. Intensitas cahaya setelah cahaya tersebut melewati cuvette dapat berhubungan dengan transmitans T. Transmitans adalah fraksi cahaya yang melewati sampel. Transmitans dapat dikalkulasikan dengan persamaan: I t merupakan intensitas cahaya setelah photons melewati cuvette, sedangkan I o merupakan intensitas cahaya sebelum photons melewati cuvette 17 . Selain itu, transmitans juga berhubungan dengan absorpsi dan memiliki persamaan: Absorbansi merupakan ukuran kuantitatif rasio logaritmik jumlah photons yang dapat diabsorpsi. Dengan nilai absorbansi dari persamaan tersebut, konsentrasi sampel yang tidak diketahui itu dapat ditentukan dengan menggunakan prinsip Beer-Lambert Law seperti di bawah ini: Gambar 2.5 Transmitans spektofotometer Sumber: Gore, Michael, 2000 Gambar di atas merupakan ilustrasi transmitans cahaya yang melewati sampel. Panjang dari l dapat digunakan pada Beer-Lambert Law atau yang bisa disebut Beer’s Law. Menurut Beer’s Law, terdapat hubungan linear antara tingkat absorbansi dan konsentrasi dari suatu sampel. Namun teori ini hanya dapat diaplikasikan jika memang terdapat hubungan yang linier. Persamaan Beer’s Lawμ A merupakan tingkat absorbansi, ϵ merupakan koefisien molar atau koefisien absorpsi, sedangkan c merupakan konsentrasi. Koefisien molar merupakan nilai konstan yang nilainya bervariasi, bergantung pada molekul yang terkandung. Berikut persamaan linear tersebut 16 : Oleh karena persamaan tersebut, penentuan konsentrasi suatu sampel memerlukan penentuan absorbansi dan konsentrasi standar yang akan merumuskan suatu persamaan garis regresi linear standar. A = ϵ lc Y = ax + b