1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian di bidang pertanian, sebenarnya negara ini diuntungkan karena
dikaruniai kondisi alam yang mendukung sehingga bisa menanam sepanjang tahun. Sumber daya alam seperti ini sewajarnya mampu membangkitkan Indonesia menjadi
negara yang makmur dan tercukupi kebutuhan pangan bagi seluruh warganya. Meskipun belum terpenuhi, pertanian menjadi salah satu sektor yang memiliki peran
sangat nyata dalam membantu penghasilan devisa negara. Sebagai negara agraris, Indonesia telah memanfaatkan sumberdaya alam
untuk menunjang kebutuhan hidup masyarakatnya dan memiliki peran yang sangat penting, karena Setelah kemerdekaan tahun 1945 menghadapi masalah mendasar di
bidang hukum pertanahan, yaitu terdapatnya masalah kepemilikan tanah yang tidak proporsional dan kebutuhan tanah pertanian yang meningkat terus di dorong oleh
pertambahan penduduk. Bali sebagai salah satu daerah sektor pertanian yang cukup luas dan selama ini sangat banyak potensi sumberdaya alamnya tentu dikenal sebagai
daerah yang sangat mengandalkan sektor pertaniannya dalam pembangunan dan dari sektor ini pulalah Bali dikenal sebagai daerah pertanian dan pariwisata. Dalam
Konstitusi Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 33 3 disebutkan bahwa ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
2
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar- besarnya kemakmuran rakyat”, disini
jelas tersirat bahwa termasuk juga lahan pertanian seharusnya mendapatkan perlindungan dari Negara, selain karena fungsinya sebagai sumber pangan bagi
masyarakat, juga merupakan mata pencaharian penduduk. Selain itu masyarakat bali juga memiliki organisasi tradisional pertanian yakni subak. Dalam Pasal 18B 2
UUD 1945 disebutkan bahwa: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan- kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-
undang.” jelas Subak sebagai salah satu bentuk organisasi tradisional yang merupakan bentuk kesatuan masyarakat
hukum adat harus mendapatkan perlindungan oleh Negara. Tindakan alih fungsi lahan pertanian sebenarnya telah terjadi sejak adanya
manusia di dunia dengan mengenal bermacam-macam sesuatu yang di kehendaki demi mempertahankan dan memperoleh kepuasan hidupnya seperti pangan, sandang,
dan sebagainya. Namun kebutuhan itu terus meningkat seiring dengan bertambahnya populasi manusia. Oleh karenanya dengan kebutuhan ini berarti menghendaki lebih
banyak lagi lahan pertanian yang perlu dirubah baik fungsi, pengelolaan sekaligus menyangkut kepemilikannya.
Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, maka setiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah wajib
menggunakan tanahnya sehingga lebih berdaya guna dan berhasil guna serta bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat. Beralih fungsinya tanah pertanian menjadi
3
tanah non-pertanian merupakan fenomena yang sering terjadi. Pertumbuhan suatu kota, yang berakibat pada peningkatan kebutuhan tanah akan membawa implikasi
terhadap semakin pesatnya aktivitas ekonomi di luar bidang pertanian. Sejalan dengan hal tersebut, semakin meningkatnya jumlah penduduk dan pola aktivitas
manusia yang menutup ruang untuk bergerak berakibat pada pergeseran perubahan lahan. Pertanian adalah main sector yang menompang perekonomian di provinsi Bali.
Pembangunan yang berkembang pesat terutama di sektor pariwisata menyebabkan peralihan fungsi tanah pertanian tidak bisa di hindari. Alih fungsi tanah
yang berakibat berkurangnya luas sawah terjadi hapir di semua kecamatan di kota Denpasar dengan laju yang cukup pesat.Indonesia menganut pola pembangunan
berkelanjutan sustainable development. Batasan pengertian tentang pembangunan berkelanjutan telah dikemukakan dengan jelas oleh Brundtland yang menyebutkan
bahwa pembangunan berkelanjutan adalah “pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengabaikan kemampuan generasi mendatang dalam
memenuhi kebutuhan mereka. ”
1
Kemajuan pesat yang telah dicapai Bangsa Indonesia dalam bidang industri, jasa dan properti tidak sebanding dengan perkembangan dalam sektor pertanian.
Salah satu penyebabnya adalah karena tanah pertanian lahan pertanian yang menjadi tempat gantungan hidup dan sumber penghidupan petani sebagian besar
dikonversi menjadi lahan industri dan lahan perumahan yang praktis membutuhkan
1
Prasetijo Rijadi, 2005, Pembangunan Hukum Penataan Ruang Dalam Konteks Kota Berkelanjutan, cetakan I, Airlangga University Press, Surabaya, hal.1.
4
ketersediaan tanah yang tidak sedikit. Disamping itu masih banyak terdapatnya kepemilikan tanah yang tidak proporsional karena sebagian besar tanah-tanah
pertanian dimiliki oleh penguasa absentee yang berdomisili di kota-kota atau di tempat lain jauh dari tanah miliknya dengan cara mengupayakan multi identitas, tidak
saja pemilikan tanah pertanian di luar kecamatan tetapi juga adanya pemilikan di luar kabupaten, sehingga banyak pemilik tanah yang tidak mengerjakan atau
mengusahakan sendiri secara aktif tanah pertanian miliknya. Berbagai peraturan perundang-undangan yang ada dimaksudkan untuk secara
langsung maupun tidak langsung memberikan jaminan bagi terwujudnya hak-hak baik bagi orang perorangan maupun kelompok, namun demikian dalam kenyataan
tidak semua peraturan perundang-undangan mendukung tujuan tersebut, bahkan mungkin bertentangan dengan semangat. Undang-undang No 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria selanjutnya disingkat UUPA yang diterbitkan dalam rangka mewujudkan amanat Pasal 33 Ayat 3 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 itu sejak semula berciri populis . “Sebagai
Undang-Undang nasional pertama yang dihasilkan 15 lima belas tahun setelah kemerdekaan RI, ketentuan yang termuat dalam pasal-pasal Undang-Undang Pokok
Agraria merupakan perwujudan dari sila-sila pancasila. ”
2
Dalam perjalanan waktu terjadi pergeseran kebijakan pertanahan dari yang semula berciri populis kearah kebijakan yang cenderung prokapital yang terjadi
2
Maria S.W. Sumardjono, 2009, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta, hal.1
5
karena pilihan orientasi kebijakan ekonomi, terutama sejak tahun 1970-an. Pada awal berlakunya UUPA sudah mulai terasa adanya gejala ketimpangan pemilikan dan
penguasaan tanah. Perbandingan antara ketersediaan tanah sebagai sumber daya alam yang langka di satu sisi, dan pertambahan jumlah penduduk dengan berbagai
pemenuhan kebutuhannya akan tanah di sisi lain, tidak mudah dicari titik temunya. Tanah pertanian merupakan bagian dari penataan ruang kota dengan tujuan
pendukung bagi perekonomian Bali. Tanah pertanian membuat perkotaan menjadi seimbang antara alam dan lingkungan hidup yang berguna untuk kepentingan
masyarakat. Meningkatkan keserasian lingkungan perkotaan sebagai sarana pengaman lingkungan perkotaan yang aman, nyaman, segar, indah dan bersih.
Dibandingkan dengan proyeksi kebutuhan Bali pada umumnya terhadap pertanian tersebut, dirasa sulit untuk mencapai swasembada pangan, melihat laju alih fungsi
tanah pertanian yang tinggi tiap tahunnya dan kurangnya ruang terbuka hijau dapat dipastikan keserasian lingkungan perkotaan sebagai sarana pengaman lingkungan
perkotaan yang aman, nyaman, segar, indah dan bersih tidak dapat seimbang antara dan lingkungan hidup.
Kepemilikan lahan tidak hanya penting untuk pertanian saja melainkan juga bagi penentuan berbagai kebutuhan lain dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk di
dalamnya untuk keperluan-keperluan kawasan industri dan pabrik maupun dipakai sebagai pemukiman. Dilema yang dihadapi tentang peruntukan lahan pada sektor
pertanian seringkali bersaing dengan sektor lain seperti industri, pemukiman dan perdagangan. Penguasaan dan pemilikan lahan pertanian sering di katakan sebagai
6
masalah yang rumit. Di mana menyangkut berbagai aspek seperti ekonomi, demografi, hukum, politik, dan sosial. Bahkan kerumitan itu akan bertambah dengan
keterkaitkannya dengan aspek-aspek teknis seperti agronomi, ekologi, dan lain sebagainya.
Tabel pengurangan luas lahan pertanian di Kota Denpasar.
TAHUN LUAS
2008 2.717 Ha
2009 2.693 Ha
2010 2.632 Ha
2011 2.597 Ha
2012 2.519 Ha
Sumber Data : Data BPS Provinsi Bali. Dari gambaran tabel tersebut di atas dapat diketahui terjadi pengurangan luas
lahan pertanian yang signifikan di wilayah Kota Denpasar. Di mana pengurangan ini terjadi terus menerus setiap tahunnya, padahal pemerintah Kota Denpasar sudah
mengatur perlindungan lahan pertanian ini dalam bentuk Peraturan Daerah tentang RTRW Kota Denpasar.
Berdasarkan permasalahan tersebut maka adanya penelitian ini dimaksud untuk menentukan apakah faktor-faktor penyebab tanah pertanian berkurang dan
bagaimanakah pelaksanaan dan penerapan ketentuan tentang peraturan peruntukan lahan untuk pertanian, yang setiap tahun mengalami pengurangan di kota Denpasar.
Sehingga penelitian ini mengetengahkan judul “TINDAKAN PEMERINTAH KOTA DENPASAR
DALAM MENANGGULANGI
BERKURANGNYA TANAH
PERTANIAN DI KOTA DENPASAR. ”
7
1.2. Rumusan Masalah