Kesetiaan Perkawinan dalam Magisterium

54

C. Kesetiaan Perkawinan dalam Magisterium

1. Kesetiaan perkawinan menurut Konsili Vatikan II

Untuk waktu yang lama umat Katolik hidup di bawah bayang-bayang paham abad pertengahan tentang perkawinan sebagai kontrak. Konsili Vatikan II 1962-1965 dengan mengemukakan pemahaman modern tentang perkawinan telah menghantar kembali umat kepada pemahaman tentang perkawinan berdasarkan Kitab Suci, yaitu sebagai persekutuan Hadiwardoyo, 1988: 112- 113. Konsili mengartikan perkawinan sebagai “suatu persekutuan hidup dan k esatuan cinta” Gaudium et Spes 48. Dalam artian itu, Konsili menekankan pemberian atau penyerahan diri seutuhnya. Karena itu, perkawinan tidak dilihat sebagai suatu kesatuan antara dua badan tubuh, melainkan suatu kesatuan antara dua pribadi. Cinta kasih itu adalah sesuatu yang sangat manusiawi karena berasal dari seorang pribadi krpada pribadi yang lain melalui dorongan kehendak. Kesejahteraan seluruh pribadi tercakup di dalam pengungkapan cinta kasih itu Gaudium et Spes 49. Di sini martabat perkawinan menempati posisi yang utama dalam pemahaman Konsili. Konsili menyadari sepenuhnya bahwa dewasa ini martabat luhur perkawinan itu dikaburkan oleh poligami, perceraian, cinta bebas, dan penyelewengan lainnya. Cinta pernikahan diperkosa oleh cinta diri, hedonisme, dan praktek kontrasepsi Gaudium et Spes 47. Di samping itu, pengguguran aborsi dan pembunuhan anak melecehkan martabat manusia Gaudium et Spes 55 51 dan berdampak pada menurunnya nilai perkawinan. Terhadap berbagai “cacat-cedera” yang merusak martabat perkawinan itu, Konsili meneguhkan kembali pandangan umat Katolik mengenai keluhuran dan kesucian nilai perkawinan. Umat dihimbau untuk memperbaharui semangat Kristiani dalam bidang perkawinan dan hidup berkeluarga Gaudium et Spes 52 lih. Hadiwardoyo, 1988: 111-114.

2. Kesetiaan perkawinan menurut dokumen Pasca Konsili Vatikan II Paus

Yohanes Paulus II: Sebuah Kebersamaan dalam Hidup Ensiklik Familiaris Consortio Paus Yohanes Paulus II terpilih menggantikan Paus Yohanes Paulus I, yang hanya memimpin Gereja selama sebulan setelah wafat Paus Paulus VI, pada tahun 1978 Hadiwardoyo, 1988: 122. Sebelum terpilih menjadi Paus, Yohanes Paulus II sudah menerbitkan buku mengenai teologi dan filsafat perkawinan yang berjudul “Cinta dan Tanggung jawab”. Surat apostoliknya mengenai perkawinan yang berjudul Familiaris Consortio diterbitkan pada tanggal 22 November 1981. Di dalamnya ia menegaskan kembali teologi perkawinan Katolik dan juga disiplin Gereja sebelumnya Hadiwardoyo, 1988: 123-124. Menurut Yohanes Paulus II, suami istri dipanggil ke dalam persekutuan hidup yang penuh dan menyeluruh berkat perkawinannya dalam arti kodrati dan bahkan lebih lagi, berkat perkawinannya yang ditingkatkan menjadi sakramen. Dalam persekutuan hidup itu, suami istri saling memberi diri atas dasar cinta kasih satu sama lain. Tugas utamanya adalah menghidupi realitas kebersamaan itu PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 56 dengan penuh cinta dan dengan seluruh keberadaanya turut serta membangun komunitas pribadi-pribadi yang saling mencinta Familiaris Consortio 17-18. Yohanes Paulus II menegaskan bahwa manusia diciptakan karena cinta dan diutus untuk mencinta. Mereka yang menikah, dalam kebersamaan seluruh hidupnya, harus saling mencintai secara penuh, baik secara jasmani maupun rohani Familiaris Consortio 11. Cinta suami istri merupakan ungkapan dan perwujudan cinta antara Allah dan umat-Nya, perjanjian kasih yang setia. Maka ketidaksetiaan suami istri tidak cocok dengan hakikatnya sebagai simbol kesetiaan cinta Allah Hadiwardoyo, 1988: 125; FC 12. Dalam ensiklik Familiaris Consortio, Yohanes Paulus II juga menerangkan dengan baik tentang Yesus Kristus, Mempelai Gereja dan Sakramen Perkawinan. Yohanes Paulus II menjelaskan bahwa persatuan antara Allah dan umat-Nya dipenuhi secara lengkap dalam Yesus Kristus. Sebab Yesus Kristus adalah Mempelai pria yang mengasihi Gereja-Nya dengan cinta dan kesetiaan yang tiada taranya. Cinta kasih Kristus itu dicurahkan sampai wafat di kayu salin FC 13. Oleh karena itu, dalam kebersamaan seluruh hidupnya, suami istri dipanggil untuk hidup dalam cinta kasih Kristus, taat dan setia kepada pasangan seumur hidup seperti Kristus yang setia kepada Gereja-Nya. Atas cara itu, suami istri menjadi kenangan hidup akan cinta Kristus kepada Gereja-Nya yang begitu besar, sampai Ia rela mati di kayu salib. 57

D. Beberapa Nilai Dasar Penggerak Kesetiaan dalam Perkawinan Katolik