Menggali simbol simbol perkawinan adat suku Dayak Tunjung sebagai ungkapan dalam perkawinan Gereja Katolik di Kec. Linggang Bigung, Kab. Kutai Barat, Kalimantan Timur

(1)

MENGGALI SIMBOL-SIMBOL PERKAWINAN ADAT SUKU DAYAK TUNJUNG

SEBAGAI UNGKAPAN NILAI KESETIAAN DALAM PERKAWINAN GEREJA KATOLIK DI KEC. LINGGANG BIGUNG, KAB. KUTAI BARAT,

KALIMANTAN TIMUR

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Agama Katolik

Oleh: Natalia Yustika NIM: 121124030

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2017


(2)

(3)

(4)

iv

PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan untuk:

Tuhan Yesus yang selalu menjaga, membimbing dan menerangi hati dan pikiran, kedua orangtua dan kekasih yang selalu mendukung dalam berbagai keadaan yang


(5)

v MOTTO

“Kesetiaan itu datang dari hati dan niat bukan dari kata-kata.

Belajarlah untuk setia kepada apa yang kamu yakini sebagai apa yang benar dan hiduplah sesuai dengannya”


(6)

(7)

(8)

viii ABSTRAK

Judul skripsi ini adalah MENGGALI SIMBOL-SIMBOL PERKAWINAN ADAT SUKU DAYAK TUNJUNG SEBAGAI UNGKAPAN NILAI KESETIAAN DALAM PERKAWINAN GEREJA KATOLIK DI KEC. LINGGANG BIGUNG, KAB. KUTAI BARAT, KALIMANTAN TIMUR. Judul ini dipilih berdasarkan pada kenyataan bahwa pengetahuan masyarakat Dayak Tunjung akan makna perkawinan sangat minim dan menurunnya penghayatan terhadap nilai kesetiaan. Kenyataan menunjukkan bahwa ada begitu banyak hal yang menyebabkan minimnya pemahaman masyarakat Dayak Tunjung dan menurunnya penghayatan terhadap nilai kesetiaan dalam perkawinan. Pemahaman tentang luhurnya nilai perkawinan sangat kabur, rancu, dan barangkali juga keliru. Menurunnya hal tersebut nampak dalam praktek kawin cerai yang terjadi dalam lingkup masyarakat.

Penulis mencoba menggali makna dari simbol-simbol perkawinan adat suku Dayak Tunjung untuk mencari nilai-nilai kesetiaan yang terkandung dalam setiap simbol yang dipakai. Dari hasil penelitian, simbol-simbol yang dipakai dalam upacara melambangkan nilai kesetiaan. Walaupun tidak secara eksplisit dikatakan bahwa setiap simbol-simbol mengandung makna kesetiaan akan tetapi dari setiap proses upacara adat, tata cara dan simbol yang digunakan dalam perkawinan adat mengandung nilai kesetiaan seperti halnya dalam perkawinan Katolik yang juga mengutamakan unsur kesetiaan. Dalam seluruh proses upacara tersirat makna mengenai kesetiaan yaitu mengajarkan pasangan untuk bersikap saling setia, hidup bersama saling memberi dan menerima, serta kesediaan untuk sehidup semati hingga maut memisahkan. Untuk itu, makna simbol-simbol perkawinan adat suku Dayak Tunjung sangat relevan dengan nilai kesetiaan perkawinan Katolik.

Menanggapi fakta-fakta yang penulis dapat yaitu berdasarkan hasil penelitian, penulis mengusulkan kegiatan berupa rekoleksi sebagai upaya membangun kembali keutuhan hidup keluarga Katolik suku Dayak Tunjung. Dengan harapan, semakin banyak pasangan suami istri yang berani menjalankan salib kesetiaan dan ikatan tak terputuskannya perkawinan.


(9)

ix ABSTRACT

The title of this undergraduate thesis is DELVING THE TRADITIONAL MARRIAGE SYMBOLS OF DAYAK TUNJUNG TRIBE AS EXPRESSIONS OF FIDELITY VALUE IN CATHOLIC CHURCH MARRIAGE AT LINGGANG BIGUNG SUBDISTRICT, WEST KUTAI REGENCY, EAST KALIMANTAN. This title was chosen based on facts that knowledge of Dayak Tunjung people toward the meaning of marriage is deficient and appreciation toward fidelity value in marriage is decreasing. Understanding about marriage as a noble value are obscure, confused, and it can be wrong. Decreasing of people understanding is shown in practice of marriage – divorce which is happened in society.

The author delved meaning of traditional marriage symbols of Dayak Tunjung tribe in order to find the fidelity values in every symbol which is being used in the traditional marriage. However, it was not explicitly mentioned that every symbol contains fidelity purpose but in each process of traditional marriage, procedure and symbols that used in traditional marriage contain fidelity value as well as Catholic marriage which is also prioritize the fidelity. In every process of a ceremony contains a meaning about fidelity which teaches the couple to be faithful, live in togetherness to give and to accept, also willingness to live together until death separates. The meaning of symbols in Dayak Tunjung tribe traditional marriage is relevant with fidelity value of Catholic marriage.

Responding to the facts that the author obtained based on research results, the author proposes a recollection activity as an effort to rebuild an integrity in Catholic families’ life of Dayak Tunjung tribe. In purpose, there are many spouses who are brave to perform the fidelity cross and unbreakable marriage bond.


(10)

x

KATA PENGANTAR

Allah adalah setia dan Ia tak pernah menyangkal kesetiaan-Nya. Dalam kelemahan dan kekurangan, penulis semakin menyadari kehadiran Allah yang setia itu. Ia tidak pernah meninggalkan, ia selalu setia menuntun, dan karena kesetiaan-Nya itu penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: MENGGALI SIMBOL-SIMBOL PERKAWINAN ADAT SUKU DAYAK TUNJUNG SEBAGAI UNGKAPAN NILAI KESETIAAN DALAM PERKAWINAN GEREJA KATOLIK DI KEC. LINGGANG BIGUNG, KAB. KUTAI BARAT, KALIMANTAN TIMUR.

Penulisan skripsi ini berangkat dari ketertarikan penulis dengan kebudayaan dan juga keprihatinan akan minimnya pemahaman masyarakat Dayak Tunjung tentang makna perkawinan baik perkawinan adat maupun Gereja. Penulis mempunyai maksud untuk membantu para pasangan untuk menghayati nilai kesetiaan perkawinan tidaknya hanya dari perkawinan Gereja akan tetapi dari perkawinan adat dengan menilik simbol-simbol yang dipakai dalam proses perkawinan.

Dalam rangka penulisan skripsi ini, banyak pihak dengan setia telah membantu penulis, baik tenaga maupun pikiran. Mereka semua telah memberikan kondisi-kondisi yang positif kepada penulis. Oleh sebab itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Dr. B. A. Rukiyanto, S.J., selaku Kaprodi PAK dan dosen pembimbing utama yang telah dengan sabar dan sepenuh hati mendampingi, meluangkan


(11)

xi

waktu serta memberikan bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

2. Yoseph Kristianto, SFK, M.Pd selaku Wakaprodi PAK, dosen pembimbing akademik dan dosen penguji kedua yang telah memberikan dukungan dan masukan kepada penulis sehingga semakin termotivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. P. Banyu Dewa, H.S. S.Ag., M.Si., Selaku dosen penguji ketiga yang telah memberikan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Segenap staf dosen Prodi PAK-JIP, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, yang telah mendidik dan membimbing penulis selama belajar hingga selesainya skripsi ini.

5. Segenap staf karyawan Prodi PAK-USD yang telah membantu dalam mengarahkan pengurusan administrasi dan memberikan semangat hingga skripsi ini dapat terselesaikan.

6. Segenap staf BAPPEDA dan Lembaga Adat Kab. Kutai Barat yang telah membantu dalam mengumpulkan referensi dan kelengkapan penulisan skripsi ini.

7. Kepada Ayah, Ibu, adik dan seluruh keluarga yang telah memberikan dukungan baik moral maupun materiil yang tiada hentinya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di PAK dan skripsi ini.


(12)

(13)

xiii DAFTAR ISI

JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN ... iii

PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH ... xvii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penulisan ... 6

D. Manfaat Penulisan ... 7

E. Metode Penulisan ... 7

F. Sistematika Penulisan ... 8

BAB II. SIMBOL PERKAWINAN ADAT SUKU DAYAK TUNJUNG ... 10

A. Masyarakat Dayak secara Umum ... 11

1. Asal-usul Suku Dayak ... 11

2. Klasifikasi Suku Dayak ... 12

a. Suku Dayak Benuaq . ... 13

b. Suku Dayak Kenyah ... 13

c. Suku Dayak Aoheng ... 14


(14)

xiv

e. Suku Dayak Tunjung / Tonyooi. ... 16

B. Suku Dayak Tunjung ... 16

1. Asal-usul Suku Dayak Tunjung... 16

2. Keadaan Geografis ... 17

3. Peranan Adat dalam Kehidupan Suku Dayak Tunjung. ... 18

4. Kategori Hukum Adat dalam Masyarakat Suku Dayak Tunjung... 19

a. Hukum Adat Pertanahan dan Tanam Tumbuh. ... 20

b. Hukum Adat Kelahiran... 21

c. Hukum Adat Perkawinan. ... 22

C. Perkawinan Adat Suku Dayak Tunjung ... 23

1. Latar Belakang Perkawinan Adat Suku Dayak Tunjung ... 24

2. Tujuan Perkawinan Adat Suku Dayak Tunjung ... 24

3. Sifat Perkawinan Adat Suku Dayak Tunjung ... 25

4. Syarat-syarat Perkawinan Adat Suku Dayak Tunjung ... 25

5. Prosedur Perkawinan Adat Suku Dayak Tunjung ... 27

a. Perkawinan atas Kemauan Sendiri (agak). ... 27

b. Perkawinan atas Permintaan Orangtua. ... 28

D. Proses Upacara Perkawinan Adat Suku Dayak Tunjung ... 28

1. Persiapan Upacara Adat Perkawinan ... 28

2. Kegiatan Pada Pagi Hari Berikutnya ... 29

a. Pembacaan Mantra dan Pemberkatan. ... 30

b. Mempelai Masuk ke dalam Rumah. ... 33

3. Nasehat Perkawinan ... 35

E. Simbol-simbol dalam Perkawinan Adat Suku Dayak Tunjung. ... 36

F. Rangkuman ... 39

BAB III. AJARAN GEREJA TENTANG KESETIAAN DALAM PERKAWINAN KATOLIK ... 41

A. Perkawinan katolik ... 42


(15)

xv

2. Tujuan Perkawinan Katolik ... 45

3. Ciri-ciri Hakiki Perkawinan Katolik ... 46

a. Unitas (kesatuan). ... 46

b. Indissolubilitas (tak-dapat-diputuskan). ... 47

c. Sakramental. ... 48

B. Landasan Biblis tentang Kesetiaan Perkawinan ... 49

1. Yahwe Yang Setia kepada Bangsa Israel ... 49

2. Kristus Yang Setia kepada Gereja-Nya ... 52

C. Kesetiaan Perkawinan dalam Magisterum ... 54

1. Kesetiaan Perkawinan menurut Konsili Vatikan II ... 54

2. Kesetiaan Perkawinan menurut Ensiklik Familiaris Consortio 55 D. Beberapa Nilai Dasar Penggerak Kesetiaan dalam Perkawinan Katolik ... 57

1. Membina Keadilan dan Cinta Kasih... 57

2. Bijaksana dalam Keputusan dan Tindakan ... 57

3. Kesabaran sebagai Buah Iman ... 58

4. Kesetiaan Seumur Hidup. ... 59

E. Rangkuman ... 59

BAB IV. PENELITIAN, HASIL PENELITIAN DAN USULAN ... 63

A. Penelitian ... 63

1. Latar Belakang... 63

2. Rumusan Masalah ... 64

3. Tujuan Penelitian ... 64

4. Jenis Penelitian ... 65

5. Teknik Pengumpulan Data. ... 65

6. Tempat dan Waktu. ... 66

a. Tempat. ... 66

b. Waktu. ... 67

7. Responen. ... 67


(16)

xvi

9. Instrumen Penelitian. ... 68

B. Hasil Penelitian ... 69

C. Rangkuman Hasil Penelitian dan Permasalahan yang Ditemukan .. 83

D. Usulan Program ... 86

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 90

A. Kesimpulan ... 90

B. Saran. ... 93

1. Bagi Keuskupan dan Paroki. ... 93

2. Bagi Lembaga adat. ... 93

3. Bagi Kampus. ... 94

DAFTAR PUSTAKA ... 95

LAMPIRAN. ... 97

Lampiran 1: Surat Permohonan Ijin Penelitian ... (1)

Lampiran 2: Pedoman Wawancara ... (2)

Lampiran 3: Transkrip Hasil Penelitian ... (3)

Lampiran 4: Doa dan Mantra Perkawinan Adat ... (10)

Lampiran 5: Satuan Pendampingan Rekoleksi ... (17)


(17)

xvii

DAFTAR SINGKATAN A. Singkatan Kitab Suci

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Alkitab Deuterokanonika (2005), Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia dan Lembaga Biblika Indonesia.

B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja

FC : Familiaris Consortio, Ensiklik Paus Yohanes Paulus tentang Peranan Keluarga Kristen dalam Dunia Modern, diterbitkan pada 22 November 1981.

GS : Gaudium et Spes, Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini, diterbitkan pada 07 Desember 1965. KGK : Katekismus Gereja Katolik, Paus Yohanes Paulus II, diterbitkan

lewat Konstitusi Apostolik Fidei Depositum, pada 11 Oktober 1992.

KHK : Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici), dipromulgasikan oleh Paus Yohanes Paulus II pada 25 Januari 1983.

LG : Lumen Gentium, Konstitusi Dogmatik Konsili Vatikan II tentang Gereja pada 21 November 1964.

C. Singkatan Lain

PAK : Pendidikan Agama Katolik USD : Universitas Sanata Dharma JIP : Jurusan Ilmu Pendidikan


(18)

xviii

RPJMD : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Bdk : Bandingkan

Kan : Kanon

KWI : Konferensi Waligereja Indonesia Lih : Lihat


(19)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Pengertian perkawinan menurut ajaran agama Katolik adalah “persekutuan hidup antara seorang pria dan seorang wanita yang terjadi karena persetujuan pribadi, yang tidak dapat ditarik kembali dan harus diarahkan kepada saling mencintai sebagai suami isteri dan kepada pembangunan keluarga, sehingga oleh karenanya menuntut kesetiaan yang sempurna dan tidak mungkin dibatalkan lagi oleh siapapun, kecuali oleh kematian. Sedangkan dalam Kitab Hukum Kanonik 1983, Kanon 1055 ditegaskan bahwa “perjanjian perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen.

Tujuan dan sifat dasar perkawinan adalah saling membahagiakan dan mencapai kesejahteraan suami-istri, di mana kedua pihak memiliki tanggung jawab dan memberi kontribusi mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan. Selain itu, tujuan perkawinan terarah pada keturunan, karena kesatuan sebagai pasangan suami istri (pasutri) dianugerahi rahmat kesuburan untuk memperoleh buah cinta berupa keturunan yang akan menjadi mahkota perkawinan. Anak yang dipercayakan Tuhan harus dicintai, dirawat, dipelihara, dilindungi, dididik secara Katolik yang kesemuanya itu merupakan tugas dan kewajiban pasutri. Maka cinta


(20)

Kristus menjadi dasar perkawinan Katolik, sehingga yang menjadi dasar dalam membangun hidup berkeluarga adalah cinta Yesus Kristus kepada Gereja-Nya. Suami dan istri dipanggil untuk saling mencintai secara timbal balik, dan menyeluruh, saling memberi dan menerima yang diungkapkan dalam kasih nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Kesetiaan dalam perkawinan Katolik merupakan unsur penting dalam upaya mempertahankan keutuhan perkawinan. Dalam menjalani kehidupan rumah tangga acapkali terdapat beberapa masalah yang dapat mengganggu keharmonisan dalam keluarga. Meski demikian, kebahagiaan dalam perkawinan merupakan sesuatu yang seharusnya diusahakan terus menerus dalam perjalanan hidup bersama pasangan suami istri. Setiap pasangan suami istri memiliki cita-cita untuk membangun keluarga yang bahagia, secara lahir maupun batin. Namun faktanya, banyak pasutri berpendapat bahwa membentuk keluarga ideal yang mampu saling membahagiakan bukanlah perkara mudah. Berkenaan dengan hal itu, Gereja Katolik sangat prihatin dengan meningkatnya angka perceraian dan pernikahan kedua, juga perkawinan melalui catatan sipil, perkawinan adat, perkawinan sakramental tanpa iman dan penolakan moral seksual Kristiani.

Fakta perceraian di masyarakat amat memprihatikan. Data jumlah perceraian yang terjadi di Pengadilan Negeri Kutai Barat pada tahun 2013 mencapai 16 kasus perceraian, padahal pada tahun 2014 hanya 8 kasus dan pada tahun 2015 dari Januari hingga pertengahan Mei tercatat 8 kasus perceraian. Penyebab utama gugatan cerai adalah perkawinan usia muda, tekanan sosial, perselingkuhan, dan perbedaan prinsip hidup (http://www.kaltimpost.com).


(21)

Berkenaan dengan kasus perceraian tersebut, ironisnya ruang privasi suami istri yang sesungguhnya menjadi milik pribadi, justru dipertontonkan di hadapan publik. Bahkan hal itu dianggap sebagai suatu yang biasa dan sebagai gaya hidup modern. Maraknya tayangan di televisi dan publikasi di media cetak tentang kecenderungan perceraian dan juga perselingkuhan di kalangan selebritis, semakin menunjukkan bahwa lembaga perkawinan mengalami kemerosotan nilai.

Makna perkawinan dalam kehidupam saat ini semakin mengalami degradasi nilai seiring dengan munculnya anggapan, bahwa perkawinan dengan satu pasangan untuk selama hidup terlalu sukar dilaksanakan, sehingga perceraian menjadi semacam alternatif apabila masa sukar dalam hidup bersama itu muncul. Menurut L.C. Wrenn, seorang hakim di Rota Romana (Pengadilan Tingkat Kepausan di Roma), berpendapat mayoritas orang yang menikah di negara-negara modern hampir semuanya mengakui kemungkinan perceraian sipil, mereka akan menikah namun akan melakukan perceraian apabila perkawinannya tidak bahagia (Wrenn, 1972:87).

Fenomena perceraian hanyalah salah satu dari ragam masalah yang mengancam nilai-nilai luhur perkawinan dan dapat menyebabkan munculnya krisis dalam kehidupan rumah tangga. Maka kehidupan keluarga di zaman modern menghadapi tantangan yang lebih besar, yakni terjadinya kemerosotan nilai-nilai kehidupan keluarga, menipisnya suasana religius dalam keluarga, maraknya perselingkuhan, perceraian, dan hal-hal lain yang dapat mengancam keutuhan cinta dalam keluarga.


(22)

Keluarga kristiani sesungguhnya juga sedang menghadapi fenomena universal ini, yaitu merosotnya nilai-nilai kesetiaan dalam perkawinan. Padahal sejatinya kesetiaan merupakan hal yang paling hakiki dalam relasi suami dan istri. Kesetiaan sesungguhnya mempunyai arti yang luas dan tidak terbatas hanya pada masalah seks dan cinta semata. Kesetiaan adalah suatu keputusan untuk tetap memegang komitmen dan tangggung jawab dalam membangun keutuhan perkawinan. Maka dalam keluarga kristiani, kesetiaan merupakan tolok ukur bagi keutuhan sebuah perkawinan.

Fenomena kemerosotan nilai-nilai luhur perkawinan menunjukkan bahwa makna kesetiaan belum dihayati secara utuh dalam kehidupan keluarga-keluarga kristiani yang terancam keutuhannya. Maka kesadaran terhadap penghayatan mengenai nilai-nilai kesetiaan adalah mutlak perlu sebagai syarat bagi keutuhan ikatan perkawinan.

Sistem perkawinan pada suku Dayak Tunjung di Kec. Linggang Bigung menggambarkan mengenai hakekat perkawinan yang diungkapkan melalui berbagai simbol material yang digunakan dalam tatacara perkawinan adat. Perlengkapan perkawinan adat, diantaranya adalah mandau sebagai lambang keteguhan hati kedua mempelai; gong untuk tempat duduk kedua mempelai yang melambangkan kesatuan cinta tak terpisahkan; piring putih sebagai lambang kesucian cinta; dan seperangkat pakaian sebagai lambang pengikat janji setia dalam untung dan malang. Selain itu, dalam tatacara perkawinan Dayak Tunjung juga disertai dengan ritual untuk memohon restu kepada Sang Pencipta, para leluhur, kedua orangtua dan handai tolan. Sedangkan nasehat perkawinan


(23)

disampaikan oleh para tetua sebagai bekal kehidupan bagi kedua mempelai yang selanjutnya diakhiri dengan perjamuan makan sebagai lambang ucapan syukur.

Namun simbol-simbol yang terdapat dalam perkawinan adat suku Dayak Tunjung, acapkali hanya dipahami secara artifisial dan bersifat seremonial semata sehingga tidak dihayati dalam kehidupan sehari-hari. Padahal sesungguhnya simbol-simbol yang terdapat dalam perkawinan adat Dayak Tunjung memiliki korelasi dengan makna simbol dalam perkawinan menurut ajaran Gereja Katolik, terutama berkaitan dengan nilai-nilai kesetiaan dalam kehidupan berkeluarga.

Menurut ajaran Gereja Katolik dan perkawinan adat Dayak Tunjung, nilai-nilai kesetiaan amat penting dalam kehidupan berkeluarga, untuk itu Penulis memilih tema kesetiaan dalam pembahasan skripsi ini ditinjau dari simbol-simbol perkawinan adat suku Dayak Tunjung. Maka dalam skripsi ini, Penulis akan memfokuskan pembahasan tema kesetiaan dengan menggali simbol-simbol perkawinan adat suku Dayak Tunjung di Kec. Linggang Bigung, Kab. Kutai Barat, Kalimantan Timur dalam upaya untuk menghayati nilai kesetiaan dalam perkawinan Katolik.

B. RUMUSAN PERMASALAHAN

Perubahan dan perkembangan di bidang relasi internal keluarga, sosial, ekonomi, beda iman/agama, dan budaya menjadi faktor yang mempengaruhi merosotnya nilai kesetian dalam perkawinan. Kenyataan ini juga menunjukkan


(24)

bahwa pemahaman umat tentang nilai-nilai perkawinan kristiani masih kurang atau dangkal.

Dalam usaha untuk mencari solusi atas problem-problem di atas, penulis berhadapan dengan beberapa persoalan dasar, yaitu:

1. Apa saja simbol-simbol yang ada di dalam kehidupan suku Dayak Tunjung? 2. Bagaimana praksis perkawinan yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat

suku Dayak Tunjung?

3. Bagaimana kondisi keluarga Katolik suku Dayak Tunjung?

4. Apa makna simbol-simbol dalam perkawinan adat suku Dayak Tunjung terhadap kesetiaan dalam hidup berkeluarga?

C. TUJUAN PENULISAN

Tujuan dari penulisan ini untuk memberikan masukan kepada para pendamping keluarga-keluarga Katolik agar dapat membantu keluarga-keluarga itu untuk:

1. Mengetahui aneka simbol dalam perkawinan adat suku Dayak Tunjung. 2. Mengetahui sejauh mana pemahaman umat tentang simbol-simbol

perkawinan adat suku Dayak Tunjung.

3. Mengetahui permasalahan hidup perkawinan suku Dayak Tunjung sehubungan dengan kesetiaan.


(25)

4. Mengetahui relevansi makna simbol-simbol perkawinan adat suku Dayak Tunjung dengan nilai kesetiaan dalam perkawinan Katolik.

D. MANFAAT PENULISAN

1. Bagi katekis, menjadi pengetahuan dan masukan baru untuk menggali nilai-nilai perkawinan dalam simbol-simbol perkawinan adat suku Dayak Tunjung sehingga ketika kursus persiapan perkawinan hal-hal ini lebih dihayati oleh calon pasutri.

2. Menjadi masukan untuk gereja-gereja paroki dan katekis paroki di Kabupaten Kutai Barat.

3. Menjadi masukan untuk keluarga Katolik supaya lebih menghayati kesetiaan dalam perkawinan.

E. METODE PENULISAN

Penulisan skripsi ini menggunakan metode deskriptif analitis. Melalui metode ini penulis menggambarkan permasalahan dan menganalisis data yang diperoleh melalui wawancara di lapangan dan studi pustaka dari buku-buku yang menunjang dalam penulisan.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll., secara


(26)

holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2014: 6).

F. SISTEMATIKA PENULISAN Bab I : Pendahuluan

Bab ini berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, dan tujuan penulisan yang mendasari penulis menulis skripsi ini, serta metode penulisan yang digunakan dalam menyelesaikan skripsi ini dan sistematika yang tersusun.

Bab II : Simbol-simbol perkawinan adat suku Dayak Tunjung

Bab ini berisi gambaran umum masyarakat dayak, mengenal perkawinan adat, proses upacara perkawinan adat dan simbol-simbol dalam perkawinan adat Dayak Tunjung

Bab III : Ajaran Gereja tentang Kesetiaan dalam perkawinan Bab ini berisi penjelasan mengenai perkawinan katolik, kesetiaan sebagai konsekuensi logis dari hakikat perkawinan katolik dan landasan biblis tentang kesetiaan suami istri. Dalam bab ini juga penulis masuk kedalam penelitian lapangan.


(27)

Dalam bab ini penulis masuk kedalam pemaparan mengenai simbol-simbol yang masih relevan dan sesuai dengan ajaran Gereja.

Bab V : Penutup

Dalam bab ini penulis membuat kesimpulan berdasarkan seluruh pembahasan tentang menggali simbol-simbol perkawinan adat suku Dayak Tunjung sebagai ungkapan nilai kesetiaan dalam perkawinan kristani, serta beberapa saran praktis untuk menghayati nilai kesetiaan tersebut.


(28)

BAB II

SIMBOL PERKAWINAN ADAT SUKU DAYAK TUNJUNG

Tradisi perkawinan adat suku Dayak Tunjung merupakan salah satu wujud kearifan lokal yang diwariskan secara turun temurun. Kearifan lokal dalam bahasa asing sering dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat (local wisdom), pengetahuan setempat (local knowledge) dan kecerdasan setempat (local genious). Kearifan lokal juga dapat dimaknai sebuah pemikiran tentang hidup yang dilandasi nalar jernih, budi yang baik, dan memuat hal-hal positif. Maka kearifan lokal dapat diterjemahkan sebagai karya akal budi, perasaan mendalam, tabiat, bentuk perangai, dan anjuran untuk kemuliaan manusia.

Menurut Rahyono (2009:7) kearifan lokal merupakan kecerdasan manusia yang dimiliki kelompok etnis tertentu yang diperoleh melalui pengalaman hidup. Maka kearifan lokal adalah hasil dari masyarakat tertentu melalui pengalaman mereka dan belum tentu dialami oleh masyarakat yang lain. Nilai-nilai tersebut akan melekat sangat kuat pada masyarakat tertentu dan nilai itu sudah melalui perjalanan waktu yang panjang, sepanjang keberadaan masyarakat tersebut.

Berkenaan dengan praktik kearifan lokal, penulis akan memaparkan salah satu kekayaan budaya dan adat istiadat yang dimiliki suku Dayak. Komunitas suku Dayak di Kalimantan terbagi dalam beberapa komunitas, maka Penulis akan membawas kearifan lokal dalam sistem perkawinan duku Dayak Tunjung di Kabupaten Kutai Barat, Provinsi Kalimantan Timur.


(29)

A. Masyarakat Dayak secara Umum

Suku Dayak di Kalimantan (Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam), ditengarai sekitar 7 juta jiwa. Situasi geografis dan demografis mengakibatkan

mereka terisolasi dan “tercerai-berai”. Meski semula mereka merupakan satu

rumpun, namun setelah proses kehidupan berlangsung ribuan tahun mereka seolah tak mempunyai relasi satu sama lain. Itulah sebabnya, suku Dayak menjadi semacam “mozaik kultural” meski masih terdapat raut dasar yang menunjukkan identitas kesemulaan.

1. Asal-usul Suku Dayak

Pribumi Kalimantan adalah imigran dari Yunan, Cina Selatan. Dalam pelbagai literatur, terdapat keragaman penyebutan, yakni Daya`, Dyak, Daya, dan Dayak. Padahal semula mereka menyebutnya dalam konteks lokalitas seperti Benuaq, Kenyah, Punan, Bahau, Aoheng, Lun Daye, Kenayatn, Ngaju, Lewangan,

Ma’anyan dan lainnya, suatu penyebutan etnisitas berdasarkan stammenras atau

tempat tinggal dari masing-masing komunitas.

Istilah Dayak sesungguhnya merupakan identitas kolektif untuk berbagai pribumi Kalimantan yang tidak memeluk agama Islam. Namun dari berbagai penelitian, terutama Ave dan King serta Sellato terungkap, mayoritas orang Melayu di Kalimantan adalah keturunan Dayak yang kemudian memeluk agama Islam (Roedy Haryo Widjono, 2016: 6).

Pribumi Kalimantan berasal dari kelompok-kelompok yang bermigrasi secara besar-besaran dari Yunan, Cina Selatan pada sekitar tahun 3000-1500


(30)

Sebelum Masehi. Para imigran yang terdiri dari kelompok kecil mengembara ke Tumasik dan Semenanjung Melayu sebagai batu loncatan ke pulau-pulau di Nusantara. Sedangkan kelompok lain memilih "pintu masuk" melalui Hainan, Taiwan, dan Filipina. Maka suku Murut dan Lun Daye di wilayah Kalimantan Utara diduga pernah bermukim di Filipina dan sebagai buktinya, mereka menguasai sistem pertanian sedenter yang tidak dikenal oleh suku-suku lainnya (Roedy Haryo Widjono, 2016:7) .

Para migran "gelombang pertama" yang memasuki Kalimantan adalah kelompok Negrid dan Weddid dan lazim disebut Proto Melayu. Sedangkan migran "gelombang kedua" dalam jumlah lebih besar disebut Deutro Melayu, yang kemudian menghuni wilayah pesisir Kalimantan dan dikenal sebagai suku Melayu. Kelompok Proto Melayu dan Deutro Melayu sejatinya bermula dari negeri yang sama. Perbedaan yang ada merupakan akibat dari akulturasi kedua belah pihak dan etnik lain di Nusantara selain dipengaruhi oleh agama. Maka kemudian muncul istilah Dayak dan Haloq yakni sebutan untuk suku lain yang beragama Islam dan merupakan penegasan istilah bermakna sosio-religius.

2. Klasifikasi Suku Dayak

Dalam pikiran orang awam, suku Dayak hanya ada satu. Padahal sebenarnya mereka terbagi ke dalam banyak sub-sub suku. J.U. Lontaan, dikutip dalam Madrah (2001: 2) terdapat sekitar 405 sub suku Dayak yang memiliki kesamaan sosiologi kemasyarakatan namun berbeda dalam adat-istiadat, budaya dan bahasa yang digunakan. Perbedaan tersebut disebabkan oleh terpencarnya


(31)

masyarakat Dayak menjadi kelompok-kelompok kecil dengan pengaruh masuknya kebudayaan luar.

Dalam pembahasan ini penulis hanya akan menyebutkan beberapa sub suku dan tidak menjelaskan semua karena bukan fokus penulis menyebutkan semua sub suku yang ada di Provinsi Kalimantan Timur. Klasifikasi sub suku tersebut antara lain sebagai berikut:

a. Suku Dayak Benuaq

Dayak Benuaq adalah Suku Dayak dari Kutai Barat (Kalimantan Timur). Berdasarkan pendapat beberapa ahli, Suku Dayak Benuaq dipercaya berasal dari Dayak Lawangan sub Suku Ot Danum dari Kalimantan Tengah (Madrah, 2001:2). Benuaq sendiri berasal dari kata Benua yang dalam arti luasnya adalah suatu wilayah atau daerah teritori tertentu.

Menurut leluhur orang Benuaq dan berdasarkan dialek bahasa Benuaq, diyakini bahwa orang Benuaq justru tidak berasal dari Kalimantan Tengah, kecuali dari kelompok Seniang Jatu (dewa-dewi yang turun ke bumi). Masing-masing mempunyai cerita/sejarah bahwa leluhur keberadaan mereka di bumi langsung di tempat mereka sekarang dan tidak bermigrasi seperti yang dikatakan para ahli.

b. Suku Dayak Kenyah

Suku Kenyah adalah Suku Dayak yang termasuk rumpun Kenyah-Kayan-Bahau yang berasal dari dataran tinggi Usun Apau, daerah Baram, dan Sarawak (Malaysia). Suku Dayak Kenyah sendiri masih terbagi dalam


(32)

beberapa sub suku yaitu Kenyah Bakung, Kenyah Lepok Bam, Kenyah Lepok Jalan, Kenyah Lepok Tau, Kenyah Lepok Tepu, Kenyah Lepok Ke, Kenyah Umag Tukung dan lainnya.

Dalam Suku Dayak Kenyah terdapat beberapa aktifitas adat yang berkaitan dengan lingkaran kehidupan dan menjadi suatu hal yang mutlak dan wajib untuk dikerjakan setiap Suku Dayak Kenyah, walaupun dewasa ini sudah mulai banyak pergeseran-pergeseran yang terjadi. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor terutama sangat dipengaruhi oleh faktor dari luar seperti terjadi proses akulturasi budaya atau pergeseran karena pengaruh nilai-nilai keyakinan yang dianut (Lahajir, 2013:397).

c. Suku Dayak Aoheng

Suku Dayak Aoheng/Penihing merupakan 2% dari penduduk Kabupaten Kutai Barat. Data ini penulis dapat dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Tahun 2011-2016. Suku Dayak Aoheng sebagian besar mendiami wilayah Mahakam Ulu.

Berkenaan dengan sejarah perpindahan atau pengembaraan Suku Dayak Aoheng cukup panjang. Perpindahan suku Dayak Aoheng dimulai sebelum tahun 1700 dari Apo Kayan dan menetap di Kalimantan Barat di tepi sungai Penihing (Lahajir, 2013:364). Maka dari itu selain Dayak Aoheng yang berarti Kapuas suku Dayak ini juga dikenal dengan nama suku Dayak Penihing karena tinggal di tepi sungai Penihing. Sebutan nama Aoheng diperkuat dengan adanya peta yang dibuat oleh Pegawai Pemerintah Belanda pada waktu itu di mana sungai Kapuas disebut juga


(33)

Koheng. Kemudian bagaimana nama Koheng bisa menjadi Aoheng atau Oheng? Tidak ada data mengenai hal itu.

Setelah pindah daerah dan menetap di daerah paling Ulu/muara dari sungai Mahakam suku Dayak Aoheng mengalami banyak perubahan. Perjalanan mereka menuju ke ulu sungai Mahakam berbeda dengan sub-suku lain. Ditambah lagi karena wilayah tempat mereka tinggal sangat terisolir, maka sub suku ini semakin muncul sebagai suku tersendiri. Tujuan utama dari perpindahan atau pengembaraan mereka adalah mencari tanah ladang yang lebih baik dan lebih luas.

d. Suku Dayak Bahau

Suku Dayak Bahau merupakan salah satu komunitas sub-suku Dayak yang besar di Kalimantan Timur. Populasi suku Dayak Bahau kurang lebih 9% berdasarkan data yang penulis dapat dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Kutai Barat pada Tahun 2011-2016.

Warga Dayak Bahau umumnya berdiam di daerah hulu sungai Mahakam. Selain mendiami tepian sungai Mahakam, sebagian orang Dayak Bahau bermukim di kampung Matalibaq atau Uma Telivaq, di tepi sungai Pariq (anak sungai Mahakam). Dari penuturan lisan, orang Dayak Bahau di Uma Telivaq berasal dari Apo Kayan. Mereka pindah karena kawasan Apo Kayan tidak subur. Kini Apo Kayan dihuni oleh suku Dayak Kenyah, Kabupaten Bulungan di hulu sungai Kayan yang berbatasan dengan Sarawak, Malaysia Timur.


(34)

e. Suku Dayak Tunjung / Tonyooi

Tidak ada data tertulis mengenai sejarah dan asal usul suku Dayak Tunjung. Kita dapat mengetahui asal usul mereka hanya dari cerita-cerita rakyat dari orang tua. Dalam RPJMD suku Dayak Tunjung adalah suku yang menduduki posisi pertama dalam persentase penduduk berdasarkan suku yaitu mencapai 25%.

B. Suku Dayak Tunjung

Pada bagian ini penulis akan menjelaskan secara terperinci mengenai suku Dayak Tunjung mulai dari asal-usul, keadaan geografis sampai pada jenis-jenis hukum adat dalam masyarakat suku Dayak Tunjung.

1. Asal-usul Suku Dayak Tunjung

Seperti dalam penjelasan penulis di atas bahwa tidak ada data tertulis mengenai asal-usul suku Dayak Tunjung. Kita dapat mengetahui asal-usul mereka hanya dari cerita-cerita orang tua (Depdikbud, 1977:18). Menurut Dr. J. Mallinckrodt, menyimpulkan dari penelitiannya bahwa suku Dayak yang ada di Kalimantan Timur, khususnya suku Dayak Tunjung dan Benuaq termasuk dalam suku Lawangan yang berasal dari Kalimantan Tengah (Madrah, 2001:2).

Pola pemukiman suku Dayak Tunjung terkonsentrasi pada rumah panjang (Luq) yang sekaligus menjadi pusat budaya, pusat ekonomi, dan pusat pertahanan pada jaman itu. Namun, sekarang rumah panjang hanya dipakai untuk acara adat tertentu dan musyawarah para tetua adat.


(35)

Nama asli suku Dayak Tunjung adalah Tonyooi. Sedangkan kata Tunjung sendiri dalam bahasa Dayak Tunjung adalah “mudik” atau menuju arah hulu sungai. Berdasarkan cerita yang secara turun temurun diceritakan bahwa pada suatu hari seorang Tonyooi mudik dan bertemu dengan orang Haloq (sebutan Suku Dayak kepada seseorang yang bukan Dayak dan beragama Islam). Haloq tersebut bertanya kepada orang Tonyooi : Ingin pergi kemana? Kemudian

Tonyooi menjawab “Tuncukng”, yang artinya mudik. Orang Haloq lalu terbiasa

melihat orang yang seperti ditanyainya tadi disebut “Tunjung” dan hingga

sekarang nama tersebut masih dipergunakan.

2. Keadaan Geografis

Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah tahun 2011-2016 Kabupaten Kutai Barat dengan Ibukota Sendawar merupakan pemekaran dari wilayah Kabupaten Kutai yang telah ditetapkan berdasarkan UU. Nomor 47 Tahun 1999. Secara simbolis kabupaten ini telah diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri R.I. pada tanggal 12 Oktober 1999 di Jakarta dan secara operasional diresmikan oleh Gubernur Kalimantan Timur pada tanggal 05 Nopember 1999 di Sendawar. Luas Wilayah Kutai Barat sekitar 31.628,70 km2 atau 15% dari luas Provinsi Kalimantan Timur dan berpenduduk 165.934 jiwa.

Secara Geografis Kabupaten Kutai Barat terletak antara 113º48’49’’ sampai dengan 116º32’43’’ Bujur Timur serta diantara 1º31’05’’ Lintang Utara dan 1º09’33’’ Lintang Selatan. Wilayah Kabupaten Kutai Barat berbatasan dengan Kabupaten Mahakam Ulu, Kabupaten Malinau dan Sarawak (Malaysia


(36)

Timur) di sebelah Utara, Kabupaten Kutai Kartanegara di sebelah Timur, Kabupaten Penajam Paser Utara di sebelah Selatan dan untuk sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Barito Utara, Kabupaten Murung Raya Provinsi Kalimantan Tengah serta Kabupaten Kapuas Hulu Provinsi Kalimantan Barat.

Kabupaten Kutai Barat terbagi menjadi 21 Kecamatan dan 238 Desa. Kecamatan yang terdapat di Kabupaten Kutai Barat meliputi Kecamatan Bongan, Kecamatan Jempang, Kecamatan Siluq Ngurai, Kecamatan Bentian Besar, Kecamatan Penyinggahan, Kecamatan Muara Pahu, Kecamatan Muara Lawa, Kecamatan Damai, Kecamatan Barong Tongkok, Kecamatan Nyuatan, Kecamatan Mook Manor Bulatn, Kecamatan Sekolaq Darat, Kecamatan Melak, Kecamatan Linggang Bigung, Kecamatan Long Iram dan Kecamatan Tering. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2013, Kabupaten Kutai Barat dimekarkan dengan dibentuknya Kabupaten Mahakam Ulu.

Letak desa-desa di wilayah Kabupaten Kutai Barat pada umumnya berada di daerah tepian sungai (119 desa), di daerah dataran (86 desa) dan di lereng bukit (18 desa). Mayoritas Penduduk Kabupaten Kutai Barat adalah masyarakat adat yang terdiri dari bermacam suku Dayak, bahasa, adat-istiadat serta budaya.

3. Peranan Adat Dalam Kehidupan Suku Dayak Tunjung

Hukum adat merupakan nilai-nilai yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat suatu daerah. Walaupun sebagian besar hukum adat tidak tertulis, namun ia mempunyai daya ikat yang kuat dalam masyarakat (Wijayanto, 2003:22).Menurut Ter Haar yang terkenal dengan teorinya Beslissingenleer (teori


(37)

keputusan) mengungkapkan bahwa hukum adat mencakup seluruh peraturan-peraturan yang menjelma didalam keputusan-keputusan para pejabat hukum yang mempunyai kewibawaan dan pengaruh, serta didalam pelaksanaannya berlaku secara serta merta dan dipatuhi dengan sepenuh hati oleh mereka yang diatur oleh keputusan tersebut. Keputusan tersebut dapat berupa sebuah persengketaan, akan tetapi juga diambil berdasarkan musyawarah.

Dalam masyarakat suku Dayak Tunjung, hukum adat dipahami sebagai suatu norma, kaidah, ketentuan, dan kebiasaan dalam masyarakat secara turun temurun (Madrah, 2001:14). Dalam masyarakat Dayak Tunjung lebih dikenal dengan kata sukat yang berarti hukum. Kata sukat menggambarkan bahwa dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan adat, seorang tetua adat (mantiiq) memiliki pertimbangan, ukuran, ketentuan serta kebijakan tertentu sehingga masyarakat benar-benar mendapat kepastian dan perlindungan hukum.

Hukum adat suku Dayak Tunjung sebagai bagian dari kearifan lokal, realitanya saat ini kurang diminati oleh generasi muda karena dianggap sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman. Maka dalam perkembangan situasi saat ini, telah terjadi proses penyesuaikan nilai-nilai hukum adat dengan perkembangan zaman.

4. Kategori Hukum Adat Dalam Masyarakat Suku Dayak Tunjung

Hukum Adat adalah wujud gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan-aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem dan memiliki sanksi nyata yang sangat kuat.


(38)

Dalam kehidupan masyarakat suku Dayak Tunjung terdapat berbagai kategori hukum adat yang bersumber dari tradisi warisan leluhur.

a. Hukum Adat Pertanahan dan Tanam Tumbuh

Hukum adat pertanahan dan tanam tumbuh memiliki peranan yang penting bagi masyarakat suku Dayak Tunjung, terutama berkaitan dengan tradisi perladangan (Madrah, 2001:43). Pada masa lalu, batas antara desa hanya ditentukan atas dasar kesepakatan antara tetua adat yang bertetangga, tanpa peta desa dan dokumen tertulis sebagai bukti legalitas kepemilikan. Sedangkan batas desa, lazimnya menggunakan tanda alam, misalnya sungai, danau, dan pohon tanyut, yakni pohon yang biasanya dihinggapi lebah madu.

Pada dasarnya, wilayah suatu desa dinamakan tanah adat, yang diklasifikasi berdasarkan kepemilikian desa, pribadi, dan kepemilikan keluarga. Tanah adat milik desa merupakan bagian dari kawasan suatu desa dan status kepemilikannya adalah milik bersama semua warga desa yang pengelolaannya diatur oleh tetua adat setempat (Madrah, 2001:44). Sedangkan tanah adat milik pribadi didapat dengan cara meminta kepada tetua adat atau pemilik pertama (Madrah, 2001:53).

Tetua adat Dayak Tunjung niscaya mengetahui dengan pasti silsilah kepemilikan tanah serta kawasan hutan di desanya. Bahkan seorang tetua adat tidak cukup hanya menguasai hukum adat, tetapi juga harus sepenuhnya menguasai riwayat asal usul (asaar usuur) kepemilikan tanah adat dan kawasan adat. Penguasaan mengenai riwayat asal usul atau silsilah tanah amat penting bagi


(39)

seorang tetua adat dalam menyelesaikan perselisihan yang timbul berkaitan dengan kepemilikan tanah.

Seorang tetua adat tidak akan mempersulit proses pemberian tanah untuk warganya, baik tanah untuk perladangan maupun hutan bebas. Luas tanah yang diberikan sesuai dengan perjanjian yang sudah disepakati antara warga yang meminta dengan tetua adat. Pengelolaan tanah untuk perladangan maupun untuk keperluan lainnya, harus senantiasa merujuk pada aturan hukum adat yang berlaku.

Sedangkan tanah adat milik keluarga dalam istilah Dayak Tunjung disebut tana talutn. Tanah milik keluarga biasanya berawal dari tanah milik pribadi yang diwariskan oleh pemiliknya kepada anak cucunya atau generasi penerusnya sehingga tanah itu menjadi milik keluarga besar, sedangkan pengaturan pengelolaannya diatur oleh tetua dalam keluarga berdasarkan ketentuan hukum adat yang berlaku (Madrah, 2001:53).

b. Hukum Adat Kelahiran

Proses perkembangan kehamilan dan kelahiran, senantiasa mendapat perhatian istimewa dalam tradisi masyarakat Dayak Tunjung, terutama kerena hal ini diniscayai sebagai anugerah bagi pasangan suami-istri yang telah lama menantikan kehadiran sang anak. Hal itu tercermin dalam berbagai upaya yang ditempuh agar kelahiran berjalan dengan lancar, antara lain dengan cara ngerasiq-ngeradak yang berarti pemeliharaan kesehatan dan keselamatan ibu hamil serta janinnya (Madrah, 2001:57).


(40)

Tradisi ngerasiq-ngeradak secara simbolis dilakukan melalui ritual adat yang bertujuan agar sang ibu tetap sehat sehingga bayi lahir dalam kondisi yang sehat pula. Jika dikaitkan dalam perspektif medis, ritual ini seperti pemberian imunisasi pada saat ibu hamil. Selain pemeliharaan kesehatan, suami dan istri wajib berpantang (merikng) selama masa kehamilan. Salah satu pantangan yang dilakukan oleh istri adalah tidak boleh melilitkan kain (handuk, sarung, baju, dll) pada bahu atau leher agar tali pusar bayi tidak membentuk lingkaran sehingga mempersulit proses persalinan (Madrah, 2001:58).

Sedangkan pantangan bagi suami lebih berat dibandingkan pantang sang istri. Salah satu pantangannya adalah tidak boleh memasang paku supaya dalam proses persalinan sang istri dapat melahirkan dengan selamat dan tidak ada hambatan. Selain pantangan, juga dipergunakan benda bertuah dan pembacaan mantra yang dilakukan secara rutin untuk menjauhkan pengaruh roh-roh jahat.

c. Hukum Adat Perkawinan

Menurut hikayat yang diwariskan secara turun temurun (tempu’utn) tradisi perkawinan sejatinya merupakan warisan dari tatacara perkawinan dewa Imang Mangkalayakng dengan Bawe Lolakng Kindrakng di negeri Batuq Dingdingkik. Sebelum perkawinan dilaksanakan, calon mempelai harus memenuhi beberapa persyaratan, dimana persyaratan itu akan menjadi rujukan pertimbangan bagi orangtua untuk menentukan calon menantu. Persyaratan bagi seorang lelaki, harus mampu membuat darew (kipas), uluk ekeq (sarung parang), nempoyat wase (mengikat beliung) dan mampu engket waniq (memanjat madu). Sedangkan untuk


(41)

perempuan harus dapat menumbuk padi, memelihara ternak dan tidak memiliki sifat jaukng jongok, yaitu berlama-lama bila mandi atau mencuci di tepian sungai.

Apabila seseorang hendak melangsungkan perkawinannya, maka ia bersama keluarga (ayah/ibu) menyiapkan segala sesuatu agar perkawinan tersebut sesuai dengan ketentuan aturan adat. Secara umum perkawinan adat yang diperbolehkan dalam lingkup internal suku Dayak Tunjung adalah perkawinan antara orang-orang seangkatan. Adapun yang dimaksud saudara seangkatan adalah antara saudara sepupu sederajat pertama, saudara sepupu sederajat ketiga dan seterusnya (Depdikbud, 1977:123). Dalam pembahasan selanjut penulis akan menjelaskan secara terperinci mengenai perkawinan adat suku Dayak Tunjung.

C. Perkawinan Adat Suku Dayak Tunjung

Menurut hukum adat, perkawinan bukan saja berarti sebagai perikatan

perdata tetapi juga merupakan “perikatan adat” dan sekaligus merupakan

perikatan kekerabatan dan kekeluargaan. Maka terjadinya suatu ikatan perkawinan bukan semata-mata membawa akibat terhadap hubungan keperdataan, seperti hak dan kewajiban suami isteri, harta bersama kedudukan anak, hak dan kewajiban orangtua, tetapi juga menyangkut hubungan adat istiadat, kewarisan kekeluargaan, kekerabatan dan menyangkut upacara-upacara adat (Imam Sudiyati: 1991:17).

Dalam perkawinan adat suku Dayak Tunjung, terdapat beberapa aturan hukum adat yang sangat ketat (Pamung, 2003:4). Bahkan terdapat beberapa kriteria persyaratan yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak. Kriteria tersebut


(42)

lazimnya dipergunakan sebagai rujukan pertimbangan untuk menetapkan calon menantu sesuai nilai-nilai luhur perkawinan adat.

1. Latar Belakang Perkawinan Adat Suku Dayak Tunjung

Pada zaman dulu sebelum adanya pendatang di Kabupaten Kutai barat, lazimnya perkawinan yang berlangsung diantara masyarakat Dayak Tunjung hanya sebatas purus atau yang masih memiliki hubungan keluarga. Namun dalam perkembangannya, perkawinan adat suku Dayak Tunjung pun mengalami transformasi (perubahan). Perkawinan adat dapat terjadi secara endogam dan eksogam (Lahajir, 2013:27). Perkawinan endogam adalah perkawinan antara satu suku yang bertujuan mempererat hubungan keluarga. Sedangkan perkawinan eksogam adalah perkawinan dengan etnis atau suku yang berbeda (Madrah, 2001:62).

2. Tujuan Perkawinan Adat Suku Dayak Tunjung

Tujuan perkawinan adat suku Dayak Tunjung, secara umum mengandung unsur untuk mendapatkan keturunan dan mendapatkan tenaga kerja tambahan dalam keluarga. Sedangkan secara khusus bertujuan untuk memelihara hubungan baik dengan keluarga yang sudah jauh serta memelihara harta warisan agar tetap berada dalam lingkungan keluarga (Pamung, 2001:2). Namun hal tersebut berlaku bila kedua belah pihak masih seketurunan (satu suku), dalam konteks ini diistilahkan dengan perkawinan endogam.

Sedangkan dalam konteks perkawinan eksogam, menurut Coomans (1987) tujuan perkawinan dalam komunitas Dayak Tunjung adalah sebagai usaha


(43)

memperluas kekeluargaan sehingga terjalin hubungan kekerabatan dengan suku atau desa lain (Pamung, 2001: 2).

3. Sifat Perkawinan Adat Suku Dayak Tunjung

Pada dasarnya sifat perkawinan suku Dayak Tunjung adalah monogami. Prinsip perkawinan monogami dipegang teguh oleh para Kepala Adat dan diberlakukan sebagai salah satu unsur hukum adat perkawinan suku Dayak Tunjung. Prinsip monogami sebagai aturan hukum adat diperkuat dengan unsur hakiki perkawinan yang tak terceraikan. Hal itu dinyatakan dalam ragam simbol yang dipergunakan pada upacara adat perkawinan (Pamung, 2010:46)

Kelanggengan perkawinan merupakan nilai luhur dalam kehidupan berkeluarga, namun dalam adat hal itu tidak dipandang sebagai suatu prinsip. Dalam praktiknya sering terjadi kasus perceraian, terutama jika memang ditemui hal-hal berat yang mengancam keutuhan hidup berkeluarga, seperti perzinahan, kekerasan dalam rumah tangga dan sebagainya. Namun, perceraian tersebut harus melalui proses penyelesaian secara adat yang selalu diawali dengan proses musyawarah untuk mengupayakan tidak terjadinya perceraian.

4. Syarat-syarat Perkawinan Suku Dayak Tunjung

Persyaratan perkawinan adat suku Dayak Tunjung pada zaman dahulu sangatlah ketat, terutama berkaitan dengan beberapa kriteria yang harus dipenuhi oleh kedua calon mempelai (Pamung, 2001:4). Namun dalam perkembangannya persyaratan tersebut telah disesuaikan dengan kondisi saat ini.


(44)

Persyaratan bagi pria adalah dapat membuat tangkai dan sarung parang, berangka, dapat membuat ladang, dan cekatan membantu pekerjaan orangtua. Selain itu harus harus berani berburu sendiri dan mencari madu. Namun pada zaman sekarang, persyaratan minimal harus sudah mempunyai pekerjaan dan tidak tergantung pada orangtua. Sedangkan persyaratan bagi wanita dari zaman dahulu hingga sekarang masih sama, yaitu minimal dapat melakukan tugas rumah tangga, seperti pekerjaan di dapur, dapat menumbuk padi dan dapat membuat barang anyaman.

Persyaratan lain yang menjadi pertimbangan adalah mengenai garis keturunan, yakni kedua calon mempelai tidak boleh memiliki pertalian darah secara vertikal (kakek, nenek, bapak, ibu, paman, bibi, keponakan), karena hal itu dianggap sebagai perkawinan dengan garis keturunan sumbang. Menurut kepercayaan masyarakat Dayak Tunjung perkawinan semacam itu akan membuahkan keturunan yang cacat mental-fisik dan dapat menyebabkan terjadinya malapetaka (kiliit) dalam keluarga.

Hubungan sumbang (Inggris: incest) adalah hubungan saling mencintai yang bersifat seksual yang dilakukan oleh pasangan yang memiliki ikatan kekerabatan yang dekat, biasanya antara ayah dengan anak perempuannya, ibu dengan anak laki-lakinya, atau antar sesama saudara kandung atau saudara tiri. Pengertian istilah ini lebih bersifat sosio antropologis daripada biologis meskipun sebagian penjelasannya bersifat biologis.


(45)

Hubungan sumbang secara medis berpotensi tinggi menghasilkan keturunan yang secara biologis lemah, baik fisik maupun mental (cacat), atau bahkan letal (mematikan). Fenomena ini juga umum dikenal dalam dunia hewan dan tumbuhan karena meningkatnya koefisien kerabat pada anak-anaknya. Akumulasi gen-gen pembawa 'sifat lemah' dari kedua orangtua pada satu individu (anak) terekspresikan karena genotipe-nya berada dalam kondisi homozigot.

5. Prosedur Perkawinan Suku Dayak Tunjung

Dalam pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bagaimana terjadinya perkawinan adat menurut suku Dayak Tunjung, pada bagian ini diuraikan mengenai prosedur perkawinan pada suku Dayak Tunjung.

a. Perkawinan atas Kemauan Sendiri (agak)

Perkawinan seperti ini berdasarkan kemauan dari pria dan wanita dengan tanpa paksaan dari pihak keluarga. Pada zaman dahulu masih terdapat perkawinan atas dasar perjodohan yang dipaksakan oleh pihak orangtua dengan alasan tertentu (Pamung, 2010:47).

Ketika sudah menemukan pasangan yang cocok, pihak pria membuat acara lamaran kepada pihak orangtua wanita. Lamaran dilaksanakan dengan cara mengirim utusan atau langusng mendatangi pihak keluarga wanita dengan membawa barang adat sebagai tanda bukti lamaran, berupa mandau, mangkuk putih, pirih putih dan seperangkat pakaian pria dan wanita.

Bila lamaran diterima, maka pihak yang menerima juga memberikan barang adat sebagai tanda bukti menerima lamaran dari pihak pria. Setelah


(46)

tatacara lamaran selesai dilaksanakan, selanjutnya diadakan musyawarah (berinuk) keluarga untuk menentukan waktu dan persiapan pelaksanaan perkawinan adat (pelulukng).

b. Perkawinan atas Permintaan Orangtua (atooh)

Perkawinan ini terjadi karena kemauan dari orangtua, bisa dari orangtua pria maupun wanita. Dalam tradisi masyarakat Dayak Tunjung pria dan wanita mempunyai hak yang sama untuk melamar dan dilamar. Sedangkan tatacaranya dan barang adat yang dipergunakan, sama dengan prosedur perkawinan berdasarkan kemauan sendiri.

Ketika terjadi penolakan, maka pihak yang menolak harus memberi tanda penolakan yang disebut awitn, yang nilainya dua kali lipat barang adat yang dipergunakan sebagai persyaratan melamar (Pamung, 2010:50). Misalnya ketika pelamar membawa tanda dan persyaratan seperti parang satu buah, pakaian, dan piring putih maka pihak yang menolak harus memberi penolakan dalam bentuk yang serupa yang nilainya dua kali lipat dari nilai barang adat tersebut. Namun lazimnya tidak harus diberikan dalam bentuk barang yang sama, melainkan dapat diberikan dalam bentuk uang.

D. Proses Upacara Perkawinan Adat Suku Dayak Tunjung 1. Persiapan Upacara Adat Perkawinan

Pada malam sebelum pengesahan perkawinan (pelulukng), diadakan pertemuan keluarga di rumah pihak mempelai wanita (Pamung, 2010:50).


(47)

Pertemuan tersebut dihadiri oleh para ahli waris keluarga, pengurus kampung, kepala adat, dan tokoh-tokoh masyarakat. Sedangkan sebagai persyaratan bermusyawarah harus disediakan hidangan adat (ruratn) yang akan disantap dalam perjamuan bersama. Hidangan adat (ruratn) terdiri dari berbagai jenis makanan yang diletakkan dalam nampan kuningan yang terbuat dari logam kuningan (par) berjumlah genap, 4 hingga 8 buah. Namun bila perkawinan dilakukan dengan orang dari luar kampung atau hubungan keluarga sudah jauh, bahkan sudah tidak ada hubungan keluarga lazimnya menggunakan 8 par.

Dalam acara musyawarah tersebut, pihak keluarga wanita menjelaskan maksud pertemuan serta menegaskan menganai rencana perkawinan (negas nentuq). Kemudian pihak keluarga wanita menyerahkan rencana pekerjaan dan kegiatan dalam rangka pengesahan perkawinan kepada pihak keluarga mempelai pria, pengurus kampung, kepala adat, dan tokoh-tokoh masyarakat untuk berkenan membantu menangani seluruh proses upacara perkawinan.

Acara ini diakhiri dengan penyerahan satu buah piring putih dengan uang senilai 1 buah antakng (tempayan) yang jika diuangkan senilai Rp, 500.000,- yang diserahkan kepada Kepala Adat dan Petinggi (Kepala Desa). Setelah semua pihak menerima penyerahan antakng tersebut, yang dalam bahasa Dayak Tunjung disebut gawai, kemudian pihak tuan rumah menutup acara tersebut.

2. Kegiatan pada Pagi Hari Berikutnya

Pagi-pagi benar tuan rumah menyiapkan perlengkapan seperti babi, ayam, dupa (tabak), daun apeer (yang menggunakan: daun tampunik atau keledang, daun


(48)

pengo, peaai, touq tawai) dan jie (sejenis guci nilainya setengah dari antakng atau sering disebut antakng kecil). Disiapkan juga 1 buah mangkuk tempat tepung tawar, sentiriq (nasi diberi warna hitam, merah dan kuning biasanya ditaruh diatas daun pisang), 1 buah patung dari batang pisang, 2 buah patung dari kayu deraya, dan baskom tempat air (Pamung, 2010:51).

a. Pembacaan Mantra dan Pemberkatan

Dalam ritual ini, kedua mempelai bersama Kepala Adat menuju serambi rumah panjang (lou), yang di tempat itu telah disediakan berbagai perlengkapan ritual. Kemudian Kepala Adat membacakan mantra yang bertujuan untuk memberkati kedua mempelai. Mantra tersebut berupa syair dengan bahasa sastra yang dinyanyikan (mantra terlampir).

Selanjutnya Kepala adat mendupai beras segenggam, lalu menghambur beras itu ke atas sebagai sarana untuk mengundang para dewa kuasa di Negeri Langit. Menurut kepercayaan masyarakat Dayak Tunjung beras yang dihambur tersebut dapat berubah wujudnya menjadi perantara (lalakng) menyerupai manusia, sehingga dapat diminta untuk menyampaikan berita dan undangan kepada para dewa di Negeri Langit (Pamung, 2010:52).

Dalam ritual ini, lalakng beserta para dewa kuasa dipercaya hadir di tempat dilaksanakannya upacara perkawinan, lalu Kepala Adat memohon agar mereka berkenan memberi berkat kepada kedua mempelai dan seluruh anggota keluarga. Sedangkan tugas lalakng adalah memohon kepada para dewa kuasa agar mengurapi dan merasuk ke tubuh Kepala Adat dan para tetua yang akan


(49)

memberi nasehat perkawinan, sehingga mereka mampu memberikan petuah perkawinan kepada kedua mempelai.

Selanjutnya Kepala Adat memegang seikat daun (dawetn apeer) dengan tangan kiri sambil berdoa agar para dewa kuasa, dewa sahabat mengusir pengaruh jahat, pikiran yang jahat dari dalam diri kedua mempelai, membuang nasib sial, menjauhkan malapetaka, membuang segala naas dan semua yang jahat dibuang ke sungai bersama patung silih dan sesaji. Kemudian kedua mempelai meludahi patung dan sesaji (sentiriq) yang akan dihanyutkan ke sungai. Lalu Kepala Adat memerciki patung dan sesaji tadi sebagai pertanda bahwa semua telah pulang bersama para dewa pembawa kejahatan, pengacau rumah tangga yakni dewa Lolakng Ringkekng, Lolakng Kewekng, dan Sookng Lalukng Lumai (Pamung, 2010: 53).

Setelah itu Kepala Adat kembali memegang daun apeer, namun dipegang dengan tngan kanan seraya mengucapkan mantra “saya pegang seikat daun menggunakan tangan kanan, tangan yang bersih, pembawa kemenangan, tangan pembawa rejeki, tangan penyalur kuasa para dewa, dengan tangan ini orang dapat minum dan makan sampai puas....” Mantra selengkapnya terdapat pada lampiran.

Ritual selanjutnya, Kepala Adat kembali membacakan mantra doa khusus

untuk kedua mempelai, “semoga para dewa kuasa memberkati kalian berdua, agar

wanita dapat menjadi ibu teladan, pria dapat menjadi panutan orang banyak, dan berwibawa. Agar seperti dinginnya air di sela-sela batu di sungai, demikian pula hidup kalian berdua sejak sekarang menjadi dingin sejahtera dan bahagia, tak ada


(50)

aral melintang, tidak ada pertikaian dan selisih paham, seperti akar dapat menahan pohon dan tidak mudah roboh, demikian pula kehidupan kalian berdua tak tergoyahkan oleh pengaruh-pengaruh buruk di mana kalian berada. Agar rejeki mudah didapat, uang berlimpah, sejak sekarang seia sekata, tidak jatuh ke dalam perceraian.” Sedangkan sebagai kata penutup dari pembacaan mantra, Kepala Adat menghitung 1 hingga 10 dengan maksud agar doa itu dapat dikabulkan (Pamung, 2010:54).

Ritual selanjutnya, Kepala Adat mengambil seikat daun apeer kemudian memerciki kedua mempelai dan memohon kepada para dewa dari lautan untuk menyucikan kedua mempelai, agar jiwa raganya suci, bersih dari segala yang jahat. Selanjutnya Kepala Adat mengoleskan tepung tawar pada hewan kurban seraya membacakan mantra, “Kini saya mengoleskan tepung tawar ini pada hewan kurban, babi, ayam, sebagai tanda terima kasih bersama kedua mempelai ini dan kepada para dewa pemberi berkat pada acara perkawinan ini.”

Setelah tepung tawar dioleskan pada hewan kurban, Kepala Adat memegang kaki kiri mempelai pria dan meletakkannya di atas hewan kurban sambil berucap, “Sekarang saya meletakkan kaki kiri mempelai pria ini, kaki yang jelek, tidak sopan dan pembawa nasib buruk, dan pembawa perceraian.” Kemudian Kepala Adat memegang kaki kanan dan meletakkannya di atas hewan kurban lalu berucap, “Kini saya letakkan kaki kanan mempelai pria ini, kaki yang baik, kaki pembawa rejeki, kaki yang pantas untuk mengusir roh-roh jahat dari kedua mempelai ini, agar kalian roh-roh baik, para dewa kuasa menerima hewan


(51)

kurban kedua mempelai ini, atas kebaikan hati kalian memberkati perkawinan mereka hari ini.”

Tatacara yang sama juga berlaku bagi mempelai wanita, dengan meletakkan kakinya secara bergantian di atas hewan kurban dengan cara dan doa yang sama. Setelah itu hewan kurban disembelih dan dimasak, sedangkan sebagian lagi diberikan sebagai “upah” untuk Kepala Adat yang telah memimpin prosesi upacara pemberkatan perkawinan.

b. Mempelai Masuk Ke dalam Rumah

Dalam ritual ini, kedua mempelai duduk di atas sebuah gong menghadap hidangan makanan (ruratn) yang diletakkan di atas tempat khusus yang disebut par. Setiap par diisi dengan piring, bungkusan nasi, nasi ketan dimasak dalam bambu (lemang), kue tradisional yang terbuat dari tepung ketan (tumpiq), lauk-pauk (daging ayam dan babi) dan sejumlah makanan lainnya. Sedangkan di depan kaki kedua mempelai disediakan sepotong batang pisang, sebuah batu, mangkuk berisi tepung tawar. Selain itu disediakan pula seikat daun apeer, baskom tempat air, dupa, serta sejumlah peralatan (ruyaaq) adat seperti mandau, pisau, pakaian kedua mempelai (Pamung, 2010:55).

Setelah semuanya perlengkapan ritual adat tersedia, Kepala Adat memegang seikat daun apeer dengan tangan kiri seraya menghitung 1 sampai 7 kemudian memercikan dengan tangan kiri seraya berkata, “Saya percikan air dengan tangan kiri, tangan jahat, tidak sopan, tetapi pantas untuk membuang segala yang jahat dari dalam diri kedua mempelai...” Pembacaan mantra ini


(52)

bertujuan membuang segala yang jahat, pikiran buruk, mengusir roh jahat yang hendak mengganggu kehidupan kedua mempelai. Kemudian Kepala Adat memegang seikat daun apeer dengan menggunakan tangan kanan seraya berkata. “Saya ganti memegang dengan tangan kanan, tangan yang baik, pembawa kebaikan dan rejeki, tangan penyalur kuasa dan berkat para dewa-dewi atas langit...” Pembacaan mantra ini ditutup dengan menghitung 1 sampai 10 sebagai ungkapan permohonan agar dikabulkan (Pamung, 2010:56).

Selanjutnya dilaksanakan pemasangan tepung tawar untuk kedua mempelai, yakni pada telapak kaki agar segala yang jahat selalu lewat bawah kaki, tidak sampai mengenai dan menyakitkan mempelai ini. Pada jari kelingking, untuk menghalau segala penyakit dan menghalau kejahatan dari diri mempelai. Pada belakang telapak kaki, supaya mempelai selalu membelakangi yang jahat, terhindar dari malapetaka. Pada dada, agar mereka selalu berhadapan dengan kebaikan, mendapat kerukunan, kebahagiaan selama hidupnya. Pada dahi, supaya mereka selalu mengedepankan kebersamaan, kebaikan, kejujuran, keadilan dalam keluarga dan masyarakat. Pada pelipis, semoga mereka bagai bunga, berbau harum, matahari dan bulan memancarkan cahaya, demikian pula hidup mereka menjadi harum dan berguna bagi sesama, dan sanak saudaranya (Pamung, 2010:57).

Ritual terakhir dari upacara ini ditandai dengan kedua mempelai menginjakkan kakinya pada batu dan sepotong batang pisang, lalu Kepala Adat membacakan doa, “Kini kedua mempelai ini meletakkan kakinya pada batu dan batang pisang, agar seperti batu tak mudah pecah dan batang pisang yang dingin


(53)

mengundang air, demikian pula kedua mempelai ini, sejak hari ini mendapat berkat dari para dewa-dewi kuasa, perkawinan mereka sungguh-sungguh kuat dan

saling membahagiakan.” Maka dengan berkahirnya ritual ini perkawinan kedua

mempelai dinyatakan telah sah.

3. Nasehat Perkawinan

Nasehat perkawinan disampaikan oleh Kepala Adat, perwakilan dari pihak kedua mempelai dan tokoh masyarakat yang dipandang layak untuk menyampaikan nasehat bagi bekal kehidupan kedua mempelai. Dalam penyampaian nasehat, lazimnya mengutip syair (sentaro) yang menggunakan bahasa sastra yang mengandung makna mengenai nilai-nilai luhur perkawinan. Biasanya makna inti dari sentaro yang lazim dituturkan mengenai beberapa hal sebagai berikut:

a. Penegasaan mengenai keabsahan perkawinan menurut adat dan status pasangan suami-istri (Tu tumatutu belalang nipeq borot, pelulukng peruku berlemo remang remot);

b. Sikap saling setia pada saat untung dan malang (Encak jeloq erai anoq, selakengkakng erai gawakng. Tuat beau sengkangkoroq, jakat beau sengkalengkakng);

c. Sikap kebersamaan untuk saling memberi dan menerima (Tak ungkeq engket puncum kibanuo, alan elui beau wewet, wat akat bekakelo);

d. Kesediaan untuk sehidup semati hingga maut memisahkan (Rempumpuq rempempai, rendukan erai nyok, erai unut erai apai erai kesong turas tunok)


(54)

Setelah nasehat perkawinan kemudian dilaksanakan penyerahan empat piring putih sebagai lambang pemakluman keluarga baru. Akhir dari ritual ini adalah memandikan mempelai di tepi sungai. Kedua mempelai mengangkat kaki kiri dengan wajah menghadap ke barat, kemudian Kepala Adat membacakan mantra dan menghitung sampai tujuh dan pada hitungan ketujuh kaki kedua mempelai dicelupkan ke air. Kemudian dilanjutkan mengangkat kaki kanan dengan wajah menghadap ke timur, dan tepat hitungan kesepuluh kedua mempelai mencelupkan kakinya ke dalam air.

E. Simbol-simbol dalam Perkawinan Adat Suku Dayak Tunjung

Istilah “simbol” secara etimologis diserap dari kata symbol dalam bahasa Inggris yang berakar pada kata symbolicum dalam bahasa Latin. Sedangkan dalam bahasa Yunani kata symbolon dan symballo, yang juga menjadi akar kata symbol, memiliki beberapa makna, yakni “memberi kesan”, “berarti”, dan

“menarik”. Dalam pemikiran dan praktik keagamaan, simbol lazim dianggap

sebagai pancaran realitas transenden. Sedangkan dalam sistem pemikiran logika dan ilmiah, lazimnya istilah simbol dipakai dalam arti tanda abstrak (http://www.pengertianahli.com/2014/04/pengertian-simbol-apa-itu-simbol.html).

Simbol dapat berupa gambar, bentuk, atau benda yang mewakili suatu gagasan, benda, ataupun jumlah sesuatu. Meskipun simbol bukanlah nilai itu sendiri, namun simbol sangatlah dibutuhkan untuk kepentingan penghayatan akan


(55)

nilai-nilai yang diwakilinya. Namun bentuk simbol tak hanya berupa benda kasat mata, namun juga melalui gerakan dan ucapan.

Dalam proses perkawinan adat suku Dayak Tunjung terdapat simbol yang memiliki tujuan dan maksud tertentu. Simbol-simbol yang dipergunakan dalam perkawinan adat Dayak Tunjung diantaranya sebagai berikut:

1. Mandau (Manau)

Mandau yang ter buat dari besi merupakan simbol keteguhan hati mempelai pria, bahwa ia sungguh mencintai pasangannya dengan sepenuh hati.

2. Pisau (Ladikng)

Pisau yang terbuat dari logam besi, melambangkan keteguhan hati mempelai wanita yang dengan tulus menerima cinta mempelai pria.

3. Piring (Pingatn Putiiq)

Piring putih yang dipergunakan sebagai tanda restu bersama (tanaq rama) melambangkan bahwa perkawinan telah mendapat restu dari pihak keluarga dan dinyatakan sah secara adat. Tanda restu bersama tersebut diberikan kepada Kepala Adat, Kepala Desa, perwakilan kedua keluarga dan tokoh adat dengan tujuan jika dikemudian hari terjadi perselisihan dan tidak dapat diselesaikan oleh keduanya, maka mereka dapat meminta nasihat kepada salah satu atau beberapa orang penerima tanda bersama tersebut agar tidak menjadi perkara yang mengakibatkan perceraian. Selain itu piring putih juga melambangkan kesucian dari sebuah perkawinan.


(56)

4. Tempayan Besar (Antakng Hajaq)

Tempayan atau guci kecil melambangkan tanda hati dari kedua orangtua (tanaq tuhaq). Selain itu juga melambangkan kesungguhan hati kedua orangtua untuk mendukung dan membimbing kedua mempelai dalam menempuh kehidupan berkeluarga.

5. Tempayan Kecil (Antakng Itiit)

Tempayan kecil sebagai tanda hati dari kedua mempelai (tanaq tiaq) melambangkan sikap hormat kepada orangtua dan mertua. Selain itu juga melambangkan kesediaan mereka untuk ditegur dan diberi nasihat dalam hidup berumah tangga.

6. Tempayan atau Piring (Antakng - Pingatn)

Tempayan atau piring dengan jumlah tertentu yang dipergunakan sebagai tanda pengikat (siret berkes), melambangkan bahwa perkawinan harus dipelihara dan diikat dengan kuat seperti mengikat sapu lidi hingga menjadi satu dan tidak bercerai-berai.

7. Tempayan (Antakng)

Tempayan juga bermakna sebagai lambang memberi pagar dalam kehidupan berkeluarga (alau kanakng). Perkawinan diibaratkan sebagai ladang yang harus dipagari supaya tidak dirusak oleh binatang, demikian halnya dengan perkawinan harus dijaga bersama agar tidak mudah rusak oleh pengaruh-pengaruh luar.


(57)

F. Rangkuman

Tradisi perkawinan adat suku Dayak Tunjung merupakan salah satu wujud kearifan lokal yang masih dipraktikan hingga saat ini. Dalam tradisi perkawinan adat Dayak Tunjung mengandung unsur kebijakan (local wisdom), pengetahuan (local knowledge) dan kecerdasan (local genious), yang diwariskan secara turun temurun dan mengalami penyesuaian seiring dengan perkembangan zaman.

Dalam nasihat perkawinan yang disampaikan oleh Kepala Adat, perwakilan dari pihak kedua mempelai dan tokoh masyarakat niscaya mengandung unsur simbolis berkaitan dengan nilai-nilai luhur perkawinan. Inti dari nasihat tersebut lazim mengenai keabsahan perkawinan menurut adat dan status pasangan suami-istri; sikap saling setia pada saat untung dan malang; sikap kebersamaan untuk saling memberi dan menerima; serta kesediaan untuk sehidup semati hingga maut memisahkan.

Dalam proses perkawinan adat suku Dayak Tunjung terdapat banyak simbol berupa benda (perlengkapan ritual adat) gambar, kata-kata/ucapan (mantra dan doa) serta gerak tubuh (praktik ritual adat) yang memiliki makna tertentu. Beberapa simbol berupa benda-benda yang dipergunakan dalam perkawinan adat Dayak Tunjung adalah mandau yang melambangkan keteguhan hati mempelai pria untuk mencintai pasangannya dengan sepenuh hati, dan pisau yang melambangkan keteguhan hati mempelai wanita yang dengan tulus menerima cinta mempelai pria.


(58)

Sedangkan piring putih yang dipergunakan sebagai tanda bersama (tanaq rama) melambangkan bahwa perkawinan telah mendapat restu dari pihak keluarga dan dinyatakan sah secara adat. Adapun tempayan melambangkan tanda hati dari kedua orangtua (tanaq tuhaq) dan juga melambangkan kesungguhan hati kedua orangtua untuk bersedia membimbing kedua mempelai dalam menempuh kehidupan berkeluarga.

Sedangkan tempayan kecil sebagai tanda hati dari kedua mempelai (tanaq tiaq) melambangkan sikap hormat kepada orangtua dan mertua, serta kesediaan untuk ditegur dan diberi nasihat dalam hidup berumah tangga. Tempayan atau piring putih selain berfunsgi sebagai tanda pengikat (siret berkes), juga melambangkan bahwa perkawinan harus dipelihara dan diikat dengan kuat seperti mengikat sapu lidi hingga menjadi satu dan tidak bercerai-berai. Selain itu, tempayan juga bermakna sebagai lambang memberi pagar dalam kehidupan berkeluarga (alau kanakng) sehingga perkawinan harus dijaga bersama agar tidak mudah rusak oleh pengaruh buruk yang dapat merusak keutuhan rumah tangga.

Dalam bab selanjutnya kita akan diperkuat dengan melihat pentingnya nilai kesetiaan dalam perkawinan Katolik. Dasar kesetiaan dalam perkawinan Katolik itu kita temukan dalam ajaran Gereja.


(59)

BAB III

AJARAN GEREJA TENTANG KESETIAAN DALAM PERKAWINAN KATOLIK

Pengertian umum ajaran Gereja adalah praxis iman Kristiani dalam kehidupan sehari-hari yang menegaskan bahwa hubungan vertikal dengan Tuhan tidak hanya bersifat individual, tetapi juga bersifat sosial sehingga semestinya memengaruhi hubungan horizontal dengan sesama. Sedangkan dalam pengertian yang khusus, Ajaran Gereja merujuk pada sejumlah dokumen yang disampaikan oleh para gembala Gereja Katolik mengenai sikap iman dan prinsip etis Kristiani dalam menanggapi situasi dan tantangan kehidupan modern dalam segala aspek. Ajaran gereja tersebut termuat dalam ensiklik, dokumen Konsili, maupun surat-surat yang dikeluarkan oleh Konperensi Para Uskup.

Sedangkan magisterium adalah pihak berwenang dalam hal pengajaran dalam Gereja Katolik. Kata ini berasal dari kata bahasa Latin magisterium yang bermakna ajaran, instruksi atau nasihat. Dalam Gereja Katolik kata "Magisterium" merujuk pada pihak berwenang Gereja urusan pengajaran ajaran Gereja. Kewenangan ini diwujudkan dalam episkopasi, yakni kumpulan semua uskup yang dipimpin oleh Paus yang memiliki kekuasaan di atas para uskup lainnya, baik secara pribadi maupun secara institusi, juga memiliki kekuasaan atas diri setiap umat Katolik secara langsung.


(1)

(23)

peristiwa ulang tahun,kematian, peristiwa religious (Paskah, natal, puasa). Doa bersama, penerimaan sakramen, sekolah minggu, dan kegiatan putra-putri altar akan dapat menanamkan sikap/nilai iman dalam diri seorang anak.

(b) Hambatan yang timbuldak terlatihuntuk menentukan baik-burk, dan lain-lainnya

a. Lingkungan. Pergaulan yang tidak sehat, bacaan yang tidak bermutu, lingkungan yang kurang baik akan mempengaruhi perkembangan iman anak.

b. Keluarga/orang tua. Di kota besar terkadang orang jarang/kurang waktu untuk bertemu atau berdialog dengan anak. Orang tua sibuk dengan pekerjaannya, sehingga keterlibatan langsung dengan anaknya kurang (berdoa bersama, mengungkapkan kasih, pertemuan pribadi, dsb.).

c. Anak sendiri. Anak kurang peka, kurang mampu memperkembangkan hati nurani, norma-norma moralnya kurang.

6) Kumpul dalam kelompok untuk untuk menentukan kegiatan kongkret apa yan harus dilakukan dalam lingkungan keluarga dengan panduan pertanyaan sebagai berikut:

- Kegiatan apa yang bisa dilakukan dalam keluarga untuk membangun suasana keluarga yang bernilai kristiani?

- Bagaimana menerapkan kegiatan tersebut dalam lingkungan keluarga?

SESI V

Pemahaman Umum tentang Simbol-simbol Perkawinan adat Dissiapkan oleh Lembaga Adat.


(2)

(24) Lampiran 6

Ungkapan Jujur Seorang Anak

Tahun 2005 yang lalu saya harus mondar-mandir ke SD tempat sekolah anak kami. Anak sulung kami yang bernama Dika, duduk di kelas 4 di SD itu. Waktu itu saya memang harus berurusan dengan wali kelas dan kepala sekolah.

Pasalnya menurut observasi wali kelas dan kepala sekolah, Dika yang duduk di kelas unggulan, tempat penggemblengan anak-anak berprestasi itu, waktu itu justru tercatat sebagai anak yang bermasalah. Saat saya tanyakan apa masalah Dika, guru dan kepala sekolah justru menanyakan apa yang terjadi di rumah sehingga anak tersebut selalu murung dan menghabiskan sebagian besar waktu belajar di kelas

hanya untuk melamun. Prestasinya kian lama kian merosot.

Dengan lemah lembut saya tanyakan kepada Dika, “Apa yang kamu inginkan?” Dika hanya menggeleng. “Kamu ingin ibu bersikap seperti apa?,” tanya saya. “Biasa-biasa saja,” jawab Dika singkat.

Beberapa kali saya berdiskusi dengan wali kelas dan kepala sekolah untuk mencari pemecahannya, namun sudah sekian lama tak ada kemajuan. Akhirnya kamipun sepakat untuk meminta bantuan seorang psikolog.

Suatu pagi, atas seijin kepala sekolah, Dika meninggalkan sekolah untuk menjalani test IQ. Tanpa persiapan apapun, Dika menyelesaikan soal demi soal dalam hitungan menit. Beberapa saat kemudian, Psikolog yang tampil bersahaja namun penuh keramahan itu segera memberitahukan hasil testnya.

Angka kecerdasan rata-rata anak saya mencapai 147 (sangat cerdas) di mana skor untuk aspek-aspek kemampuan pemahaman ruang, abstraksi, bahasa, ilmu pasti, penalaran, ketelitian dan kecepatan berkisar pada angka 140 – 160. Namun ada satu kejanggalan, yaitu skor untuk kemampuan verbalnya tidak lebih dari 115 (rata-rata cerdas).

Perbedaan yang mencolok pada 2 tingkat kecerdasan yang berbeda itulah yang menurut psikolog, perlu dilakukan pendalaman lebih lanjut. Oleh sebab itu psikolog itu dengan santun menyarankan saya untuk mengantar Dika kembali ke tempat itu seminggu lagi. Menurutnya Dika perlu menjalani test kepribadian.

Suatu sore, saya menyempatkan diri mengantar Dika kembali mengikuti serangkaian test kepribadian. Melalui interview dan test tertulis yang dilakukan, setidaknya psikolog itu telah menarik benang merah yang menurutnya menjadi salah satu atau beberapa faktor penghambat kemampuan verbal Dika.

Setidaknya saya bisa membaca jeritan hati kecil Dika. Jawaban yang jujur dari hati Dika yang paling dalam itu membuat saya berkaca diri, melihat wajah seorang ibu yang masih jauh dari ideal.


(3)

(25)

Ketika psikolog itu menuliskan pertanyaan “aku ingin ibuku :….”

Dika pun menjawab, “Membiarkan aku bermain sesuka hatiku, sebentar saja.” Dengan beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa selama ini saya kurang memberi kesempatan kepada Dika untuk bermain bebas. Waktu itu saya berpikir bahwa banyak ragam permainan-permainan edukatif sehingga saya merasa perlu menjadwalkan kapan waktunya menggambar, kapan waktunya bermain puzzle, kapan waktunya bermain basket, kapan waktunya membaca buku cerita, kapan waktunya main game di komputer dan sebagainya. Waktu itu saya berpikir bahwa demi kebaikan dan demi masa depannya, Dika perlu menikmati permainan-permainan secara merata di sela-sela waktu luangnya yang memang tinggal sedikit karena sebagian besar telah dihabiskan untuk sekolah dan mengikuti berbagai kursus di luar sekolah. Saya selalu pusing memikirkan jadwal kegiatan Dika yang begitu rumit. Tetapi ternyata permintaan Dika hanya sederhana, diberi kebebasan bermain sesuka hatinya, menikmati masa kanak-kanaknya.

Ketika psikolog menyodorkan kertas bertuliskan “aku ingin ayahku …”

Dika pun menjawab dengan kalimat yang berantakan namun kira-kira artinya “Aku ingin ayahku melakukan apa saja seperti dia menuntutku melakukan sesuatu”. Melalui beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa Dika tidak mau diajari atau disuruh, apalagi diperintah untuk melakukan ini dan itu. Ia hanya ingin melihat ayahnya melakukan apa saja setiap hari, seperti apa yang diperintahkan kepada Dika. Dika ingin ayahnya bangun pagi-pagi kemudian membereskan tempat tidurnya sendiri, makan dan minum tanpa harus dilayani orang lain, menonton TV secukupnya, merapikan sendiri koran yang habis dibacanya dan tidur tepat waktu. Sederhana memang, tetapi hal-hal seperti itu justru sulit dilakukan oleh kebanyakan orang tua.

Ketika psikolog mengajukan pertanyaan “aku ingin ibuku tidak…”

Maka Dika menjawab, “Menganggapku seperti dirinya.”

Dalam banyak hal saya merasa bahwa pengalaman hidup saya yang suka bekerja keras, disiplin, hemat, gigih untuk mencapai sesuatu yang saya inginkan itu merupakan sikap yang paling baik dan bijaksana. Hampir-hampir saya ingin menjadikan Dika persis seperti diri saya. Saya dan banyak orang tua lainnya seringkali ingin menjadikan anak sebagai foto copy diri kita atau bahkan beranggapan bahwa anak adalah orang dewasa dalam bentuk sachet kecil.

Ketika psikolog memberikan pertanyaan “aku ingin ayahku tidak….”

Dika pun menjawab, “Tidak menyalahkan aku di depan orang lain. Tidak mengatakan bahwa kesalahan-kesalahan kecil yang aku buat adalah dosa.”


(4)

(26)

Tanpa disadari, orangtua sering menuntut anak untuk selalu bersikap dan bertindak benar, hingga hampir-hampir tak memberi tempat kepadanya untuk berbuat kesalahan. Bila orangtua menganggap bahwa setiap kesalahan adalah dosa yang harus diganjar dengan hukuman, maka anakpun akan memilih untuk berbohong dan tidak mau mengakui kesalahan yang telah dibuatnya dengan jujur. Kesulitan baru akan muncul karena orangtua tidak tahu kesalahan apa yang telah dibuat anak, sehingga tidak tahu tindakan apa yang harus kami lakukan untuk mencegah atau menghentikannya.

Saya menjadi sadar bahwa ada kalanya anak-anak perlu diberi kesempatan untuk berbuat salah, kemudian iapun bisa belajar dari kesalahannya. Konsekuensi dari sikap dan tindakannya yang salah adakalanya bisa menjadi pelajaran berharga supaya di waktu-waktu mendatang tidak membuat kesalahan yang serupa.

Ketika psikolog itu menuliskan “aku ingin ibuku berbicara tentang …..”

Dika pun menjawab, “Berbicara tentang hal-hal yang penting saja”.

Saya cukup kaget karena waktu itu saya justru menggunakan kesempatan yang sangat sempit, sekembalinya dari kantor untuk membahas hal-hal yang menurut saya penting, seperti menanyakan pelajaran dan PR yang diberikan gurunya. Namun ternyata hal-hal yang menurut saya penting, bukanlah sesuatu yang penting untuk anak saya. Dengan jawaban Dika yang polos dan jujur itu saya diingatkan bahwa kecerdasan tidak lebih penting dari pada hikmat dan pengenalan akan Tuhan. Pengajaran tentang kasih tidak kalah pentingnya dengan ilmu pengetahuan.

Atas pertanyaan “aku ingin ayahku berbicara tentang …..”,

Dika pun menuliskan, “Aku ingin ayahku berbicara tentang kesalahan

-kesalahannya. Aku ingin ayahku tidak selalu merasa benar, paling hebat dan tidak pernah berbuat salah. Aku ingin ayahku mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepadaku.”

Memang dalam banyak hal, orangtua berbuat benar tetapi sebagai manusia, orangtua tak luput dari kesalahan. Keinginan Dika sebenarnya sederhana, yaitu ingin orangtuanya sportif, mau mengakui kesalahnya dan kalau perlu meminta maaf atas kesalahannya, seperti apa yang diajarkan orang tua kepadanya.

Ketika psikolog menyodorkan tulisan “aku ingin ibukusetiap hari …..”

Dika berpikir sejenak, kemudian mencoretkan penanya dengan lancar, “Aku ingin ibuku mencium dan memelukku erat-erat seperti ia mencium dan memeluk adikku”. Memang adakalanya saya berpikir bahwa Dika yang hampir setinggi saya sudah tidak pantas lagi dipeluk-peluk, apalagi dicium-cium. Ternyata saya salah, pelukan hangat dan ciuman sayang seorang ibu tetap dibutuhkan supaya hari-harinya terasa lebih indah. Waktu itu saya tidak menyadari bahwa perlakukan orang tua yang tidak


(5)

(27)

sama kepada anak-anaknya seringkali oleh anak-anak diterjemahkan sebagai tindakan yang tidak adil atau pilih kasih.

Secarik kertas yang berisi pertanyaan “aku ingin ayahku setiap hari….”

Dika menuliskan sebuah kata tepat di atas titik-titik dengan satu kata, “Tersenyum.” Sederhana memang, tetapi seringkali seorang ayah merasa perlu menahan senyumannya demi mempertahankan wibawanya. Padahal senyum tulus seorang ayah sedikitpun tidak akan melunturkan wibawanya, tetapi justru bisa menambah simpati dan energi bagi anak-anak dalam melakukan segala sesuatu seperti yang ia lihat dari ayahnya setiap hari.

Ketika psikolog memberikan kertas yang bertuliskan “aku ingin ibuku memanggilku. …”

Dika pun menuliskan, “Aku ingin ibuku memanggilku dengan nama yang bagus” Saya tersentak sekali! Memang sebelum ia lahir kami telah memilih nama yang paling bagus dan penuh arti, yaitu Judika Ekaristi Kurniawan. Namun sayang, tanpa sadar, saya selalu memanggilnya dengan sebutan Nang. Nang dalam Bahasa Jawa diambil dari kata “Lanang” yang berarti laki-laki.

Ketika psikolog menyodorkan tulisan yang berbunyi “aku ingin ayahku

memanggilku ..”

Dika hanya menuliskan 2 kata saja, yaitu “Nama Asli”.

Selama ini suami saya memang memanggil Dika dengan sebutan “Paijo” karena sehari-hari Dika berbicara dalam bahasa Indonesia atau bahasa Sunda dengan logat Jawa medok. “Persis Paijo, tukang sayur keliling,” kata suami saya.

Atas jawaban-jawaban Dika yang polos dan jujur itu, saya menjadi malu karena selama ini saya bekerja di sebuah lembaga yang membela dan memperjuangkan hak-hak anak. Kepada banyak orang saya kampanyekan pentingnya penghormatan hak-hak anak sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak Sedunia. Kepada khalayak ramai saya bagikan poster bertuliskan “To Respect Child Rights is an Obligation, not a Choice”, sebuah seruan yang mengingatkan bahwa “Menghormati Hak Anak adalah Kewajiban, bukan Pilihan”.

Tanpa saya sadari, saya telah melanggar hak anak saya karena telah memanggilnya dengan panggilan yang tidak hormat dan bermartabat. Dalam diamnya anak, dalam senyum anak yang polos dan dalam tingkah polah anak yang membuat orang tua kadang-kadang bangga dan juga kadang-kadang jengkel, ternyata ada banyak Pesan Yang Tak Terucapkan.


(6)

(28)

Seandainya semua ayah mengasihi anak-anaknya, maka tidak ada satupun anak yang kecewa atau marah kepada ayahnya. Anak-anak memang harus diajarkan untuk menghormati ayah dan ibunya, tetapi para orang tua tidak boleh membangkitkan amarah di dalam hati anak-anaknya. Para orangtua harus mendidik anaknya di dalam ajaran dan nasehat yang baik. Semoga bermanfaat bagi kita semua, para orang tua dari putra/putri kita masing-masing.