LATAR BELAKANG Analisis feminis tentang gambaran perempuan dalam Kitab Hakim-hakim dan sumbangannya untuk katekese pemberdayaan perempuan.
sekitarnya, sehingga sebenarnya mereka berada di garis layang Naning, 2010:108.
Seharusnya, semua perempuan berani membawa jiwanya ke dalam
pencerahan dengan melakukan apapun yang sesuai dengan yang diinginkannya tanpa meninggalkan norma-norma dan ajaran agama.
Pelucutan citra sejati perempuan terjadi baik dalam sejarah maupun dalam cerita mitos. Mitos yang menghidup-hidupkan bahwa perempuan adalah makhluk
lemah adalah prinsip mendasar yang ditentang oleh para tokoh dari berbagai aliran feminisme yang ada. Aliran-aliran tersebut adalah : feminisme liberal, feminisme
radikal, feminisme marxis dan sosialis, feminisme eksistensialis, dan feminisme multikultural dan feminisme global Naning, 2010:84. Untuk sebagian kalangan
feminis, tidak heran jika timbul berbagai reaksi mulai dari yang sekedar memendam rasa tidak puas hingga yang berani bersuara bahkan yang lebih
ekstrem, memberontak terhadap tatanan yang telah berakar di masyarakat. Tidak heran pula jika di berbagai penjuru dunia kita akan menemukan gerakan kaum
perempuan yang dik enal dengan istilah “feminisme.” Feminisme adalah suatu
gerakan yang dilandasi oleh kesadaran kaum perempuan bahwa mereka adalah makhluk yang Tuhan ciptakan sederajat dengan pria Johnson, 2003:94.
Kekristenan tidak luput dari konteks budaya patriarkal. Hal ini tampak dalam tulisan-tulisan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang sangat
dipengaruhi oleh budaya patriarkal. Misalnya dalam Mat 14:21 tertulis,” yang ikut
makan kira-kira lima ribu laki-laki, tidak termasuk perempuan dan anak-anak ”.
Gambaran perempuan yang memprihatinkan tersebut, ternyata juga dapat ditemukan di zaman Perjanjian Lama. Peranan perempuan dibatasi, namun bagi
mereka yang diutus Allah mempunyai karakter sendiri, percaya diri, penuh akal, berani, dan bisa menjadi sangat militan. Sayangnya, banyak ditemukan dalam
Perjanjian Lama yang mengisahkan peran perempuan sebagai budak, selir, bahkan perempuan
sundal. Bagimana
dengan sikap
Yesus, apakah
masih mendiskriminasikan perempuan? Dalam masyarakat Yahudi, pemisahan laki-laki
dan perempuan sangat ditekankan. Kehadiran Yesus mendobrak tradisi ini, Yesus mengangkat martabat perempuan dengan banyak melibatkan perempuan dalam
karya-Nya. Tugas Gereja dalam perutusannya adalah mewartakan “Kabar Gembira”,
yakni warta keselamatan dan pembebasan yang datang dari Allah melalui Putra- Nya yang tunggal, Yesus Kristus yang dikandung oleh Roh Kudus dilahirkan oleh
Perawan Maria. Maka pewartaan Gereja harus menjadi sebuah cerita tentang Allah yang hadir menyertai manusia dan membebaskannya dari berbagai situasi
yang membelenggu. Wahyu Allah harus disesuaikan dengan situasi dan masyarakat tertentu karena wahyu Allah dinamis untuk segala situasi dan zaman.
Gereja zaman sekarang telah mengangkat masalah perempuan melalui dokumen-dokumen
Gereja. Dalam
GS art.9,
manusia diajak
untuk mengembangkan martabatnya sendiri sehingga kesamaan hak diberikan kepada
perempuan. Ditegaskan kembali dalam art.29 bahwa hak-hak asasi pribadi itu belum dimana-mana dipertahankan secara utuh dan aman. Maka lembaga-
lembaga manusiawi, baik swasta maupun umum, hendaknya berusaha melayani martabat serta tujuan manusia, seraya sekaligus berjuang dengan gigih melawan
setiap perbudakan sosial maupun politik, serta mengabdi kepada hak-hak asasi manusia di bawah setiap pemerintahan.
Untuk mampu berperan dan menggunakan seoptimal mungkin kesempatan yang tersedia di abad ke-21 ini perempuan dituntut untuk memiliki suatu sikap
mandiri, di samping suatu kebebasan untuk mengembangkan dirinya sebagai manusia sesuai dengan bakat yang dimilikinya. Profil perempuan saat ini
digambarkan sebagai manusia yang hidup dalam situasi dilematis. Contoh situasi dilematis yang dihadapi oleh perempuan Indonesia adalah berkarier namun
mereka juga terpanggil untuk tidak melupakan kodrat mereka sebagai perempuan yang mendidik anaknya.
Bertolak dari kenyataan ini, penulis ingin membahas gambaran perempuan menurut teologi feminis di zaman Perjanjian Lama dengan mengambil salah satu
kitab dalam Perjanjian Lama yaitu Kitab Hakim-hakim. Penulis memilih Kitab Hakim-hakim karena di dalamnya banyak dikisahkan tentang berbagai karakter
perempuan. Dikisahkan juga perempuan sebagai hakim Israel. Selain itu ada banyak dikisahkan perjuangan perempuan yang menginspirasi penulis.