TEOLOGI FEMINIS DALAM GEREJA

oleh A ristoteles menyebut perempuan sebagai makhluk “cacat” dan “terkutuk” Clifford, 2002:52-53. Akibatnya, kaum perempuan dikucilkan dari peran kepemimpinan gerejani. Para teolog perempuan tidak hanya menyusun metodologi mereka sendiri, mereka mengikuti alur teologi pembebasan, mulai dari pilihan kaum miskin dan keikutsertaan dalam praksis pembebasan. Beberapa di antara naskah-naskah mereka menyiratkan kemiskinan perempuan sebagai materi teologi mereka. Kajian-kajian Kitab Suci teolog feminis tidak terbatas pada penemuan kembali berbagai pribadi perempuan yang dikisahkan, namun memusat pada penafsiran kembali seluruh Kitab Suci dengan memihak perempuan, menyingkap keberadaan mereka sebagai tokoh-tokoh protagonis, dalam makna yang sepenuhnya dalam tindakan penyelamatan. Para perempuan tersebut dalam dokumennya menekankan sumbangan- sumbangan positif yang diberikan oleh gereja-gereja di Amerika Latin dalam bidang Hak Asasi Manusia HAM serta dalam perjuangan demi keadilan sosial, juga pentingnya teologi pembebasan dalam mengatasi situasi-situasi ketidakadilan yang menurut mereka teologi pembebasan tidak menyentuh penindasan terhadap perempuan atau mengangkatnya menjadi isu penting Zakiyuddin, 1997:64. Masalah dalam mengaitkan teologi feminis dengan teologi pembebasan terus muncul dalam kritik terhadap struktur-struktur Gereja. Tujuannya adalah mendorong semua bentuk kepeduliaan yang sedang dirasakan dan diwujudkan dalam tindakan oleh perempuan di tingkat lokal, nasional, regional serta global Zakiyuddin, 1997:45. Selama dua dekade terakhir, perhatian Gereja lokal terhadap masalah seputar tema perempuan telah menunjukkan perkembangan. Peranan Gereja lokal semakin besar mewujudkan Gereja sebagai kumpulan Umat Allah. Perkembangan yang ditunjukkan Gereja lokal dalam menanggapi masalah perempuan, memperlihatkan fakta bahwa pelayanan Gereja lokal sebagai Gereja yang hidup di tengah umat mampu menyentuh langsung serta memahami permasalahan kehidupan jemaat. Gereja Katolik pada tingkat lokal, lebih menyadari arti pentingnya kehadiran dan peran perempuan di dalam Gereja, terlebih lagi menyadari bahwa perempuan dan laki-laki memiliki kedudukan yang sama sebagai anggota dan bagian Gereja, bahkan Gereja itu sendiri Iswanti, 2006:30-33. Dekade itu memusatkan perhatian pada pemberdayaan perempuan, hingga perempuan dapat menjadi penentu agenda kepedulian yang akan dilaksanakan oleh Gereja Zakiyuddin, 1997:46. Perempuan-perempuan tersebut mempunyai kesadaran feminis. Kesadaran feminis adalah kesadaran yang berasal dari pengalaman bahwa penyebab mereka menjadi korban adalah karena mereka perempuan, kesadaran bahwa menjadi laki-laki lebih menguntungkan Iswanti, 2006:6. Menurut Iswanti, teori feminis muncul akibat : Pengalaman pribadi perempuan. Sumber dari pengetahuan-pengetahuan yang baru, misalnya pemerkosaan atau aborsi. Sektor publik dan privat yang berhubungan dengan penindasan individual. Konsep tentang perempuan sebagai suatu kelas berdasar jenis kelamin. Kelompok-kelompok yang memiliki kesadaran feminis. Selain membicarakan tentang Gereja, kaum feminis juga merasa tidak adil ketika berbicara tentang Allah. Selama berabad-abad Allah dialami dan dipahami dengan cara-cara yang berbeda oleh orang-orang yang berbeda dalam waktu dan tempat yang berbeda pula. Meskipun Gereja mengakui bahwa Allah itu “melampaui” gender, namun bahasa yang digunakan sebagai acuan tentang Allah sangat dominan berciri maskulin. Emosi ini memiliki akar yang kuat dalam pola pengunaan nama “Bapa” secara harafiah dan eksklusif ketika berbicara tentang Allah Clifford, 2002:157. Diantara kaum feminis yang paling kuat menentang gagasan Allah sebagai “Bapa” adalah mereka yang berpikir bahwa simbol Allah Bapa sebagai penguasa dunia yang transenden dan memutuskan untuk tidak memeluk dan menerima agama Kristen. Kaum feminis ini bersama dengan kaum feminis Yahudi yang juga menolak seorang Allah laki-laki terus memberikan kritik terhadap simbol Allah yang maskulin yang akhirnya membuat mereka keluar dari Yudaisme dan kekristenan. Mereka percaya bahwa kaum perempuan dan masyarakat pada umumnya membutuhkan seorang Allah perempuan, atau seorang Dewi. Maka mereka kembali lagi pada tradisi pra-Yahudi dan pra- Kristen, yaitu agama-agama Para Dewi. Disana mereka menyembah sosok dewi tertentu dengan karakter yang mereka kagumi, misalnya Ibu Pertiwi yang melahirkan bumi dan menjaga bumi ini. Agama ini meluhurkan berbagai kenangan masyarakat yang berciri matrilineal warisan diturunkan melalui garis perempuan dan matriarkat kaum perempuan menduduki tempat berkuasa di dalam keluarga dan masyarakat Clifford, 2002:159. Keyakinan bahwa agama-agama kuno yang didominasi oleh para dewi benar-benar memberi pengasuhan, kelembutan dan kedamaian tentu saja hal yang menarik bagi banyak perempuan, namun menimbulkan banyak pertanyaan. Romantisme agama Para Dewi ini bersifat problematis. Oleh karena itu, para perempuan penganut agama Para Dewi ini membutuhkan lebih banyak proyeksi idealis atas dunia kesetaraan yang dipimpin oleh seorang perempuan. Ketika kaum perempuan membayangkan Allah sebagai suatu realitas keilahian yang berjenis kelamin laki-laki, maka mereka cenderung berelasi dengan Allah sebagai “yang lain” dan bukan sebagai “yang sama dengan aku”. Gambaran-gambaran yang ditarik dari pengalaman kaum perempuan dapat memperkuat ikatan kemesraan yang dipunyai kaum ini dengan Allah. Bagaimanapun, nilai-nilai dan aspirasi-aspirasi gender perempuan tidak dicakup dalam Allah tadi, maka perempuan menjadi tidak mempunyai kemungkinan untuk menyadari keberadaan diri mereka sendiri yang “tidak menjadi lelaki”. Supaya mampu meneguhkan dan menyadari keberadaan diri perempuan, maka para perempuan tersebut mau tidak mau menamai sosok Allah secara feminin. Menurut Ruether, seorang teolog Katolik Roma keyakinan agama Para Dewi “tidak tepat secara historis dan rancu secara ideologis.” Ajaran itu menolak kemungkinan adanya sumber daya positif di dalam tradisi alkitabiah menyangkut simbol-simbol tentang Allah yang sepadan dengan pengalaman kaum perempuan. Kritikan ini layak ditujukan kepada Agama Para Dewi sebagai berhala. Bahasa tentang Allah secara intrinsik bertalian dengan dunia dan pengalaman “keduniawian” manusia yang secara sangat mendasar dipengaruhi oleh konteks historis dan sosial kita Clifford, 2002:160. Di dalam tradisi Kristen, Allah sebagai Bapa memainkan suatu peran yang penting. Penggunaan analogi ini tidak lepas dari pengalaman manusia tentang relasi dengan seorang ayah. Pendekatan relasional antara laki-laki dan perempuan dapat dijelaskan berdasarkan kisah penciptaan manusia Kej 2:4-25. Allah menciptakan manusia pertama, Adam dan kemudian Allah menjadikan “penolong” baginya yang “sepadan” dengan dia dan menamai dia perempuan. Kerukunan hidup antara laki- laki dan perempuan sejak awal merupakan bentuk pertama persekutuan antar pribadi. Sebab dari kodratnya yang terdalam manusia bersifat sosial, dan tanpa berhubungan dengan sesama, ia tidak dapat hidup atau mengembangkan potensinya GS art 12.

D. PENAFSIRAN ALKITAB MENURUT TEOLOGI FEMINIS

Meski teologi pembebasan membuka bagi „pengalaman perempuan‟, namun belum menyerap kritik yang diajukan kaum feminis. Akibatnya adanya kelas prioritas yang diperjuangkan kaum feminis. Padahal, Kitab Suci memuat teks-teks yang digunakan sebagai pembenaran untuk melawan perubahan demi perbaikan kondisi kaum perempuan. Permasalahan dalam tafsir Kitab Suci lebih dalam daripada sekedar menerjemahkan kata-kata kuno dalam bahasa yang mudah dipahami. Upaya ini juga banyak menuai kontroversi. Karena, untuk merevisinya perlu dikaji dari berbagai pandangan The Pontifical Biblical Commision, 1993:69. Bagi mereka yang mendukung, kegiatan ini sebagai wadah emansipasi. Namun, mereka mengalami hambatan karena kurangnya pengetahuan tentang bahasa Kitab Suci. Meski demikian, tetap saja pembicaraan mengenai Kitab Suci menurut kaum feminis tidak sirna. Baru pada tahun 1943, tahun yang sama dimana Paus Pius XII meminta agar para cendekia Katolik mendayagunakan berbagai metode kritik Kitab Suci modern dalam telaah mereka atas Kitab Suci “Divino Afflante Spiritu”, program teologi Katolik Roma ini untuk pertama kalinya terbuka bagi perempuan Clifford, 2002:86. “Bible” atau Kitab Suci adalah sebuah kata yang berasal usul dari bahasa Yunani, yaitu biblia, yang berarti “buku-buku”. Jadi “bible” tidak berarti satu buku saja, melainkan kumpulan buku. Ketika kata biblia diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, ia berubah menjadi bentuk tunggal dan tetap tinggal sebagai kata benda tunggal dalam padanan bahasa Inggrisnya. Dalam dunia kuno pada masa Kitab Suci disusun, buku-buku itu berbentuk gulungan. Karena dikumpulkan dalam rentang waktu berabad-abad, maka Kitab Suci itu merupakan sebuah perpustakaan yang terus bertambah koleksinya berupa gulungan-gulungan kitab yang ditulis dalam banyak bahasa berbeda dan dalam rupa-rupa ragam literer, yang kesemuanya mewakili dan menyajikan beragam kebudayaan serta sisi tilik teologis Clifford, 2002:85-87. Kitab-kitab yang kemudian tercakup dalam Kitab Suci sudah mulai diterjemahkan dan disunting bahkan sebelum keputusan akhir mengenai komposisinya diambil Clifford, 2002:87. Karena tidak ada satupun kitab atau gulungan yang asli yang masih tersisa, maka terjemahan dibuat berdasarkan salinannya. Akibatnya, salinan teks-teks menghasilkan beberapa variasi yang menyelinap ke dalam manuskrip-manuskrip awal. Hal ini menyebabkan terjadinya perbedaan dalam berbagai terjemahan. Setiap ihwal penerjemahan menyiratkan upaya menciptakan istilah, karena tidak ada satu bahasapun yang dapat diterjemahkan sepenuhnya ke dalam bahasa yang lain. Persoalan terjemahan ini semakin pelik karena Kitab Suci adalah teks kuno yang ditulis selama beberapa abad yang berbeda, di tempat yang berbeda dan oleh pengarang yang berbeda pula. Oleh karena itu, para cendekia yang melakukan terjemahan atas teks Kitab Suci harus berhati-hati memeriksa pemakaian istilah untuk memberikan makna dalam perikop tertentu dan diselaraskan dengan zaman penulisan Kitab Suci dan zamannya. Kitab Suci sebagai sebuah cerita tentang relasi Allah dengan manusia terbuka kepada lebih dari satu penjelasan. Setiap rekonstruksi penjelasan menuntut penelitian historis secara saksama tentang kronologi peristiwa-peristiwa alkitabiah yang muncul di dalam cerita-cerita Kitab Suci dan kurun waktu penyuntingan kisah-kisah itu beserta penulisan akhirnya. Sebuah rekonstruksi penafsiran imajinatif sangat diperlukan karena jemaat-jemaat alkitabiah itu tidak menyimpan sebuah rekaman tentang proses yang menghasilkan kitab-kitab yang terdapat dalam Kitab Suci. Dalam Perjanjian Lama, kisah-kisah tentang berbagai momen pewahyuan sangat sering dihubungkan dengan sosok-sosok pemimpin, seperti Abraham, Musa, Daud dan Salomo, serta para nabi seperti Amos, Hosea dan Yeremia yang semuanya adalah laki-laki. Dalam Perjanjian Baru, cerita-cerita Injil terpusat pada Yesus yang walaupun dimaklumkan oleh orang-orang Kristen sebagai Yang Ilahi dan karenanya bebas dari keterbatasan-keterbatasan insani, namun meraga sebagai seorang laki-laki Nazaret dari abad pertama. Cerita-cerita Injil juga menampilkan lebih banyak kaum laki-laki khususnya para murid laki-laki Yesus, daripada kaum perempuan. Sejarah tentang pembentukan kanon Kitab Suci memperlihatkan bahwa tidak semua teks awal yang ada dalam komunitas-komunitas Yahudi dan Kristen diterima sebagai otoritatif. Kadangkala tidak mudah menentukan mengapa kitab-kitab tertentu dinilai sebagai kanonik dan yang lain tidak. Kriteria yang digunakan pun tidak jelas sehingga menimbulkan kontroversi berkaitan dengan kanon Kitab Suci. Ada beberapa model penafsiran alkitab menurut Elizabeth Fiorenza dalam bukunya “In Memory of Her”, yaitu: