Analisis feminis tentang gambaran perempuan dalam Kitab Hakim-hakim dan sumbangannya untuk katekese pemberdayaan perempuan.

(1)

viii

ABSTRAK

Judul skripsi ini adalah ANALISIS FEMINIS TENTANG GAMBARAN PEREMPUAN DALAM KITAB HAKIM-HAKIM DAN SUMBANGANNYA UNTUK KATEKESE PEMBERDAYAAN PEREMPUAN dipilih berdasarkan keinginan untuk mengetahui metode penafsiran feminis seperti pendekatan feminis terhadap teks-teks Alkitab. Penulis ingin mengetahui peran yang dimainkan perempuan dalam Kitab Hakim-hakim serta ingin mengetahui metode penafsiran hermeneutika kecurigaan yang berpihak pada perempuan. Melalui skripsi ini penulis juga ingin memberikan sumbangan katekese untuk pemberdayaan perempuan melalui katekese analisis sosial bagi siswi lulusan SMA. Skripsi ini dimaksudkan untuk memperkenalkan metode penafsiran yang berpihak pada perempuan terutama dalam Kitab Hakim-hakim dan membantu para siswi lulusan SMA menganalisis pengalaman hidupnya melalui terang Kitab Suci.

Tema pokok dalam skripsi ini adalah teologi feminis sebagai gerakan perempuan yang menolak dominasi laki-laki dan menuntut adanya keadilan dan kesetaraan martabat sebagai ciptaan Allah. Teologi feminis berusaha untuk menafsirkan teks-teks Alkitab yang membebaskan perempuan melalui penafsiran feminis. Salah satu metode penafsiran yang dipakai adalah hermeneutika kecurigaan yang menguraikan bagaimana dan mengapa cerita itu ditulis dengan melibatkan tokoh perempuan tersebut.

Analisis penggambaran tokoh perempuan dalam Kitab Hakim-hakim menunjukkan bahwa sebagian besar perempuan belum mendapatkan martabat yang sama dengan laki-laki. Kitab Hakim-hakim menampilkan perempuan dengan karakter yang buruk dan tidak mempunyai kemerdekaan. Melalui hermeneutika kecurigaan, perempuan dalam Kitab Hakim-hakim lebih dimaknai sebagai pahlawan dalam hidup sang hakim.

Berdasarkan hasil studi pustaka ini, penulis memberikan usulan katekese analisis sosial bagi siswi lulusan SMA demi pemberdayaan perempuan. Siswi lulusan SMA sebagai generasi muda diharapkan mampu mengembangkan imannya dan menemukan panggilan serta perutusan mereka dalam Gereja dan masyarakat. Melalui katekese Analisis Sosial siswi lulusan SMA dapat menganalisis secara kritis pengalaman hidup mereka sehari-hari sehingga mampu menjadi saksi-saksi kebangkitan dan mewartakan pembebasan.


(2)

ix

ABSTRACT

The title of this thesis is FEMINIST ANALYSIS ABOUT WOMEN IN THE BOOK OF JUDGES AND THE CONTRIBUTION FOR WOMEN EMPOWERMENT CATECHESIS. The choice of this title is based upon a curiosity to know the feminist interpretation methods such as feminist approach to the biblical texts. The author would like to find out the women’s role in the book of Judges, and want to know the methods of interpretation hermeneutics of suspicion in favor of women. Through this thesis the author would give contribution to the empowerment of women through catechesis. It is a social analysis catechesis for the female high school graduates. This thesis intended to introduce the method of interpretation in favor of women, especially in the book of Judges and help the female high school graduates to analyze the experience of his life through the message of Scripture.

The main theme of this thesis is a feminist theology as a women's movement that rejected the male dominance and demands for justice and equality of dignity as God's creation. Feminist theology seeks to interpret biblical texts that liberate women through feminist interpretation. One of the interpretation method used is hermeneutics of suspicion that explains how and why the story was written with the involvement of the female characters.

Analysis depiction of female characters in the book of Judges shows that the majority of women do not the same dignity as men. The book of Judges presenting women with bad character and do not have independence. Through the hermeneutics of suspicion, women in the book of Judges are interpreted as hero in the judge's life.

Based on the results of this literature study, the author propose an analysis social catechesis for female high school graduates for the empowerment of women. The female high school graduates as young people are expected to develope their faith and discover their calling in the Church’s mission and society. Through Social Analysis catechesis, female high school graduates can critically analyze their daily experiences so that they can be witnesses of resurrection and to proclaim the liberation.


(3)

i

ANALISIS FEMINIS TENTANG GAMBARAN PEREMPUAN DALAM KITAB HAKIM-HAKIM DAN SUMBANGANNYA UNTUK KATEKESE

PEMBERDAYAAN PEREMPUAN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan

Pendidikan Agama Katolik

Oleh: Tri Agnes NIM: 101124004

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2014


(4)

(5)

(6)

iv

PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan untuk

Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria Sang Ibu Sejati, orang tua, kakak, keponakan yang sangat penulis cintai, para Dosen yang telah mendampingi dan membimbing penulis,

teman-teman SMP dan SMA yang menginspirasi penulis,

dan kepada siapa saja yang telah membantu penulis dengan doa dan dukungan yang begitu tulus dalam penyusunan skripsi ini.


(7)

v

MOTTO

“Life is like a ten-speed bike. Most of us have gears we never use.” (Charles Schultz)


(8)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 17 Desember 2014 Penulis,


(9)

vii

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Tri Agnes

NIM : 101124004

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, penulis memberikan wewenang bagi Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah penulis yang berjudul ANALISIS FEMINIS TENTANG GAMBARAN PEREMPUAN DALAM KITAB HAKIM-HAKIM DAN SUMBANGANNYA UNTUK KATEKESE PEMBERDAYAAN PEREMPUAN. Dengan demikian penulis memberikan kepada Perpustakaan Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolahnya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin maupun memberikan royalti kepada penulis, selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.Demikian pernyataan ini penulis buat dengan sebenarnya.

Yogyakarta, 17 Desember 2014 Yang menyatakan,


(10)

viii

ABSTRAK

Judul skripsi ini adalah ANALISIS FEMINIS TENTANG GAMBARAN PEREMPUAN DALAM KITAB HAKIM-HAKIM DAN SUMBANGANNYA UNTUK KATEKESE PEMBERDAYAAN PEREMPUAN dipilih berdasarkan keinginan untuk mengetahui metode penafsiran feminis seperti pendekatan feminis terhadap teks-teks Alkitab. Penulis ingin mengetahui peran yang dimainkan perempuan dalam Kitab Hakim-hakim serta ingin mengetahui metode penafsiran hermeneutika kecurigaan yang berpihak pada perempuan. Melalui skripsi ini penulis juga ingin memberikan sumbangan katekese untuk pemberdayaan perempuan melalui katekese analisis sosial bagi siswi lulusan SMA. Skripsi ini dimaksudkan untuk memperkenalkan metode penafsiran yang berpihak pada perempuan terutama dalam Kitab Hakim-hakim dan membantu para siswi lulusan SMA menganalisis pengalaman hidupnya melalui terang Kitab Suci.

Tema pokok dalam skripsi ini adalah teologi feminis sebagai gerakan perempuan yang menolak dominasi laki-laki dan menuntut adanya keadilan dan kesetaraan martabat sebagai ciptaan Allah. Teologi feminis berusaha untuk menafsirkan teks-teks Alkitab yang membebaskan perempuan melalui penafsiran feminis. Salah satu metode penafsiran yang dipakai adalah hermeneutika kecurigaan yang menguraikan bagaimana dan mengapa cerita itu ditulis dengan melibatkan tokoh perempuan tersebut.

Analisis penggambaran tokoh perempuan dalam Kitab Hakim-hakim menunjukkan bahwa sebagian besar perempuan belum mendapatkan martabat yang sama dengan laki-laki. Kitab Hakim-hakim menampilkan perempuan dengan karakter yang buruk dan tidak mempunyai kemerdekaan. Melalui hermeneutika kecurigaan, perempuan dalam Kitab Hakim-hakim lebih dimaknai sebagai pahlawan dalam hidup sang hakim.

Berdasarkan hasil studi pustaka ini, penulis memberikan usulan katekese analisis sosial bagi siswi lulusan SMA demi pemberdayaan perempuan. Siswi lulusan SMA sebagai generasi muda diharapkan mampu mengembangkan imannya dan menemukan panggilan serta perutusan mereka dalam Gereja dan masyarakat. Melalui katekese Analisis Sosial siswi lulusan SMA dapat menganalisis secara kritis pengalaman hidup mereka sehari-hari sehingga mampu menjadi saksi-saksi kebangkitan dan mewartakan pembebasan.


(11)

ix

ABSTRACT

The title of this thesis is FEMINIST ANALYSIS ABOUT WOMEN IN THE BOOK OF JUDGES AND THE CONTRIBUTION FOR WOMEN EMPOWERMENT CATECHESIS. The choice of this title is based upon a curiosity to know the feminist interpretation methods such as feminist approach to the biblical texts. The author would like to find out the women’s role in the book of Judges, and want to know the methods of interpretation hermeneutics of suspicion in favor of women. Through this thesis the author would give contribution to the empowerment of women through catechesis. It is a social analysis catechesis for the female high school graduates. This thesis intended to introduce the method of interpretation in favor of women, especially in the book of Judges and help the female high school graduates to analyze the experience of his life through the message of Scripture.

The main theme of this thesis is a feminist theology as a women's movement that rejected the male dominance and demands for justice and equality of dignity as God's creation. Feminist theology seeks to interpret biblical texts that liberate women through feminist interpretation. One of the interpretation method used is hermeneutics of suspicion that explains how and why the story was written with the involvement of the female characters.

Analysis depiction of female characters in the book of Judges shows that the majority of women do not the same dignity as men. The book of Judges presenting women with bad character and do not have independence. Through the hermeneutics of suspicion, women in the book of Judges are interpreted as hero in the judge's life.

Based on the results of this literature study, the author propose an analysis social catechesis for female high school graduates for the empowerment of women. The female high school graduates as young people are expected to develope their

faith and discover their calling in the Church’s mission and society. Through Social Analysis catechesis, female high school graduates can critically analyze their daily experiences so that they can be witnesses of resurrection and to proclaim the liberation.


(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah Bapa yang Maha Baik, karena telah membimbing dan menuntun penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ANALISIS FEMINIS TENTANG GAMBARAN PEREMPUAN DALAM KITAB HAKIM-HAKIM DAN SUMBANGANNYA UNTUK KATEKESE PEMBERDAYAAN PEREMPUAN. Skripsi ini diilhami dari peran perempuan yang ada dalam Alkitab. Kebanyakan dari mereka diceritakan sebagai perempuan tidak baik. Melalui skripsi ini penulis berharap pembaca Alkitab tidak hanya membaca saja tapi juga memaknai peran perempuan melalui tafsiran feminis. Penulis juga tertarik bagaimana kaum feminis memaknai peran perempuan dalam Alkitab sehingga mereka mendapatkan karakter sebagai perempuan yang baik.

Penulis menyadari bahwa tersusunnya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, dengan ketulusan hati penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Romo Drs. F.X. Heryatno W.W., SJ., M.Ed, selaku Kaprodi IPPAK, Universitas Sanata Dharma, dan dosen pembimbing akademik yang telah memberikan dukungan, perhatian dan sapaan selama proses menyelesaikan skripsi ini.

2. Romo Dr. V. Indra Sanjaya, Pr, selaku dosen pembimbing utama yang selalu mendampingi dan membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak P. Banyu Dewa HS. S. Ag, M.Si, selaku dosen penguji yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Segenap staf dosen Prodi IPPAK-JIP, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, yang telah mendidik dan


(13)

xi

membimbing penulis selama proses belajar mengajar hingga penulis dapat menyelesaikan studi di kampus IPPAK.

5. Segenap staf sekretariat dan perpustakaan Prodi IPPAK, dan karyawan bagian lain yang telah memberikan dukungan dan sapaan kepada penulis selama kuliah.

6. Kedua orang tua penulis yang sangat mendukung, memperhatian, membimbing, dan banyak memberikan doa.

7. Kakak penulis dan kedua keponakan penulis yang memberi penghiburan dan harapan.

8. Teman-teman SMP dan SMA penulis yang menyapa dan memberi semangat kepada penulis.

9. Teman-teman asrama Putri Seraphine yang telah mendukung, memotivasi penulis selama proses sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik.

10. Teman-teman mahasiswa IPPAK angkatan 2010 yang selalu memberikan dukungan dan bantuan kepada penulis.

11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang selama ini dengan tulus memberikan bantuan, dukungan hingga skripsi ini selesai.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna, maka penulis terbuka akan saran dan kritik yang bersifat membangun demi perbaikan skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.

Yogyakarta, 17 Desember 2014 Penulis,


(14)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR SINGKATAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG... 1

B. RUMUSAN MASALAH ... 5

C. TUJUAN PENULISAN ... 6

D. MANFAAT PENULISAN ... 6

E. METODE PENULISAN ... 7

F. SISTEMATIKA PENULISAN ... 7

BAB II TEOLOGI FEMINIS DAN PENAFSIRAN FEMINIS ... 9

A. Munculnya Gerakan Feminisme ... 9

B. Pengaruh Gerakan Feminisme Terhadap Teologi Feminis ... 17

C. Teologi Feminis Dalam Gereja ... 21

D. Penafsiran Alkitab Menurut Teologi Feminis ... 27 E. Hermeneutika Kecurigaan Sebagai Metode Kritis Yang


(15)

xiii

Berorientasi Feminis ... 36

RANGKUMAN ... 38

BAB III ANALISIS PENGGAMBARAN TOKOH PEREMPUAN DALAM KITAB HAKIM-HAKIM ... 39

A. Kitab Hakim-Hakim Sebagai Kitab Iman ... 39

B. Tokoh Perempuan Dalam Kitab Hakim-Hakim ... 42

C. Penerapan Metode Hermeneutika Kecurigaan Dalam Menggali Karakter Dan Peran Perempuan Dalam Kitab Hakim-Hakim ... 45

1. Akhsa, seorang istri yang cerdas ... 45

2. Debora:karisma perempuan yang meruntuhkan patriarki ... 51

3. Teman perjuangan yang sangat heroik: Yael ... 53

4. Delila, perempuan mandiri yang berinisiatif ... 54

5. Perempuan yang disebutkan tanpa nama secara individu ... 59

a. Putri Yefta, gadis yang dikurbankan ayahnya demi nazar ... 59

b. Ibu Simson, Ibu teladan merawat anak ... 65

c. Perempuan sebagai pelaksana kutuk ... 68

d. Ibu Yefta, perempuan yang ditemui Simson sebagai perempuan sundal dan Ibu Abimelekh sebagai gundik Gideon ... 69

e. Istri pertama Simson ... 71

f. Adik ipar Simson ... 73

g. Ibu Mikha ... 73

h. Gundik orang Lewi ... 75

i. Anak perempuan yang akan dikorbankan ayahnya demi keselamatan ayahnya dan orang Lewi... 80

6. Perempuan yang disebutkan tanpa nama secara berkelompok ... 80

a. Kelompok perempuan yang memegang peran tak berarti ... 81

b. Perempuan-perempuan yang berkemah dengan Yael ... 83 c. Gadis Yabesh-Gilead dan gadis Silo; perempuan yang tertindas . 83


(16)

xiv

RANGKUMAN ... 86

BAB IV USULAN KATEKESE ANALISIS SOSIAL DALAM RANGKA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN ... 88

A. Refleksi Atas Pemahaman Teologi Feminis dan Ulasan Tentang Tokoh Perempuan Dalam Kitab Hakim-Hakim ... 89

B. Program Katekese Analisis Sosial ... 92

1. Katekese Analisis Sosial ... 92

2. Latar belakang program katekese ... 95

3. Alasan pemilihan tema katekese ... 100

4. Rumusan dan tema tujuan ... 101

5. Petunjuk pelaksanaan program ... 102

6. Matriks program katekese bagi perempuan lulusan SMA ... 103

7. Contoh persiapan katekese analisis sosial ... 106

BAB V PENUTUP ... 112

A. Kesimpulan ... 112

B. Saran ... 113

DAFTAR PUSTAKA ... 115

LAMPIRAN ... 117

Lampiran 1 :Bacaan Kitab Suci Hak 4:17-24 ... (1)


(17)

xv

DAFTAR SINGKATAN

A. Singkatan Kitab Suci

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti singkatan- singkatan dalam Lembaga Alkitab Indonesia. (2010). Alkitab. LAI: Jakarta.

B. SINGKATAN DOKUMEN GEREJA

GS :Gaudium et Spes, Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II tentang Gereja di Dunia Dewasa ini, 7 Desember 1965

CT : Catechesi Tradendae(Penyelenggaraan Katekese): AnjuranApostolik Paus Yohanes Paulus II kepada para Uskup, Klerus dan segenap umat beriman tentang katekese masa kini, disampaikan pada tanggal 16 Oktober 1979 di Roma.

C. SINGKATAN LAINNYA R.A : Raden Ajeng dll :dan lain-lain art :artikel

HAM :Hak Asasi Manusia terj :terjemahan

UMR :Upah Minimum Regional SMK :Sekolah Menengah Kejuruan SMA :Sekolah Menengah Atas Ansos :Analisis Sosial

OMK :Orang Muda Katolik St. :Santo


(18)

xvi

SISKA : Siswa-Siswi Katolik Ambarawa TKW :Tenaga Kerja Wanita

MB :Madah Bakti no. :nomor


(19)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Di abad ke-21 ini kita hidup di zaman globalisasi di mana perempuan

bukanlah orang yang hanya berada di dapur dengan pendidikan rendah dengan

status ibu rumah tangga. Jauh sebelum zaman globalisasi ini, dominasi kaum pria

yang telah berlangsung secara mengglobal melukai sangat dalam hati para

perempuan. Fenomena ini tercermin di dalam segala bentuk penghinaan,

eksploitasi, penindasan, dan kekerasan terhadap perempuan (Lecrerc, 2000:v).

Kondisi perempuan yang tersubordinasi, tereksploitasi, diperbudak, dibungkam

tidak hanya merupakan kezaliman yang bukan alang kepalang, tetapi juga suatu

kebodohan (Lecrerc, 2000:ix).

Penderitaan ataupun kegagalan yang dialami perempuan yang sifatnya

massal semacam itu, akhirnya jelas berasal dari suatu sistem yang „gagal‟ untuk memperhitungkan kepentingan semua anggota-anggotanya, karena hanya

kepentingan laki-laki (Iswanti, 2006:9). Permasalahan yang dialami perempuan

tersebut tidak dapat diselesaikan dengan nasihat-nasihat psikologis dan moralis

semata, tetapi dibutuhkan transformasi terhadap sistem realitas sosial politis yang

adil terhadap perempuan. Pendapat konvensional yang hidup dalam benak para

perencana pembangunan di negara berkembang adalah bahwa pendidikan

merupakan terapi paling tepat untuk memajukan negara berkembang yang hidup

serba terbelakang (Lukman, 1997:25). Secara teoritis, pendidikan memang


(20)

ketertinggalan termasuk dari ketidakadilan. Melalui pendidikan, selain

memperoleh kepandaian berupa keterampilan berolah pikir, manusia juga

memperoleh wawasan baru yang akan membantu upaya mengangkat martabat

hidup mereka (Lukman, 1997:25).

Menurut kaum feminis, ketidakadilan gender bersumber pada budaya

patriarkal. Selama berabad-abad budaya tersebut telah menempatkan laki-laki

sebagai pusat sejarah kehidupan. Budaya patriarkal secara riil diperkuat oleh

sistem politik dan ekonomi kapitalis yang berkembang sekitar abad ke-18. Dalam

budaya patriarkal tersebut perempuan dinomorduakan, dianggap tidak setara

dengan laki-laki. Maka sebenarnya gerakan kaum feminis berupaya

membangkitkan kesadaran kaum perempuan atas situasi yang tidak adil.

Di Indonesia, R.A. Kartini dicatat sebagai salah satu tokoh emansipasi

perempuan (Naning, 2010:46). Kartini adalah perempuan yang mengalami

ketidakadilan namun ia berani menyuarakan pendapatnya demi banyak orang.

Berbagai perjuangan Kartini mengacu pada pembentukan perempuan mandiri.

Perempuan adalah suatu “tujuan”, suatu agen bernalar yang harga dirinya ada dalam kemampuannya untuk menentukan nasibnya sendiri (Naning, 2010:49).

Seperti Kartini, ia adalah perempuan mandiri yang berani membela kaum

perempuan untuk mendapatkan pendidikan. Tidak semua perempuan berani dan

mandiri melihat ketidakadilan yang dialaminya.

Adalah fakta di sekitar kita bahwa masih banyak kaum perempuan yang enggan atau mungkin tidak berani mengambil keputusan untuk membebaskan jiwanya dari belenggu apapun bentuknya. Atau, kalau mereka menginginkannya, mereka tidak mau secara terang-terangan. Sikap ini menunjukkan bahwa mereka beranggapan bahwa jiwanya bukan sebagai miliknya sendiri, tetapi milik kaum lelaki atau milik masyarakat


(21)

sekitarnya, sehingga sebenarnya mereka berada di garis layang (Naning, 2010:108).

Seharusnya, semua perempuan berani membawa jiwanya ke dalam

pencerahan dengan melakukan apapun yang sesuai dengan yang diinginkannya

tanpa meninggalkan norma-norma dan ajaran agama.

Pelucutan citra sejati perempuan terjadi baik dalam sejarah maupun dalam

cerita mitos. Mitos yang menghidup-hidupkan bahwa perempuan adalah makhluk

lemah adalah prinsip mendasar yang ditentang oleh para tokoh dari berbagai aliran

feminisme yang ada. Aliran-aliran tersebut adalah : feminisme liberal, feminisme

radikal, feminisme marxis dan sosialis, feminisme eksistensialis, dan feminisme

multikultural dan feminisme global (Naning, 2010:84). Untuk sebagian kalangan

feminis, tidak heran jika timbul berbagai reaksi mulai dari yang sekedar

memendam rasa tidak puas hingga yang berani bersuara bahkan yang lebih

ekstrem, memberontak terhadap tatanan yang telah berakar di masyarakat. Tidak

heran pula jika di berbagai penjuru dunia kita akan menemukan gerakan kaum

perempuan yang dikenal dengan istilah “feminisme.” Feminisme adalah suatu gerakan yang dilandasi oleh kesadaran kaum perempuan bahwa mereka adalah

makhluk yang Tuhan ciptakan sederajat dengan pria (Johnson, 2003:94).

Kekristenan tidak luput dari konteks budaya patriarkal. Hal ini tampak

dalam tulisan-tulisan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang sangat

dipengaruhi oleh budaya patriarkal. Misalnya dalam Mat 14:21 tertulis,” yang ikut makan kira-kira lima ribu laki-laki, tidak termasuk perempuan dan anak-anak”. Gambaran perempuan yang memprihatinkan tersebut, ternyata juga dapat


(22)

mereka yang diutus Allah mempunyai karakter sendiri, percaya diri, penuh akal,

berani, dan bisa menjadi sangat militan. Sayangnya, banyak ditemukan dalam

Perjanjian Lama yang mengisahkan peran perempuan sebagai budak, selir, bahkan

perempuan sundal. Bagimana dengan sikap Yesus, apakah masih

mendiskriminasikan perempuan? Dalam masyarakat Yahudi, pemisahan laki-laki

dan perempuan sangat ditekankan. Kehadiran Yesus mendobrak tradisi ini, Yesus

mengangkat martabat perempuan dengan banyak melibatkan perempuan dalam

karya-Nya.

Tugas Gereja dalam perutusannya adalah mewartakan “Kabar Gembira”, yakni warta keselamatan dan pembebasan yang datang dari Allah melalui

Putra-Nya yang tunggal, Yesus Kristus yang dikandung oleh Roh Kudus dilahirkan oleh

Perawan Maria. Maka pewartaan Gereja harus menjadi sebuah cerita tentang

Allah yang hadir menyertai manusia dan membebaskannya dari berbagai situasi

yang membelenggu. Wahyu Allah harus disesuaikan dengan situasi dan

masyarakat tertentu karena wahyu Allah dinamis untuk segala situasi dan zaman.

Gereja zaman sekarang telah mengangkat masalah perempuan melalui

dokumen-dokumen Gereja. Dalam GS art.9, manusia diajak untuk

mengembangkan martabatnya sendiri sehingga kesamaan hak diberikan kepada

perempuan. Ditegaskan kembali dalam art.29 bahwa hak-hak asasi pribadi itu

belum dimana-mana dipertahankan secara utuh dan aman. Maka

lembaga-lembaga manusiawi, baik swasta maupun umum, hendaknya berusaha melayani


(23)

setiap perbudakan sosial maupun politik, serta mengabdi kepada hak-hak asasi

manusia di bawah setiap pemerintahan.

Untuk mampu berperan dan menggunakan seoptimal mungkin kesempatan

yang tersedia di abad ke-21 ini perempuan dituntut untuk memiliki suatu sikap

mandiri, di samping suatu kebebasan untuk mengembangkan dirinya sebagai

manusia sesuai dengan bakat yang dimilikinya. Profil perempuan saat ini

digambarkan sebagai manusia yang hidup dalam situasi dilematis. Contoh situasi

dilematis yang dihadapi oleh perempuan Indonesia adalah berkarier namun

mereka juga terpanggil untuk tidak melupakan kodrat mereka sebagai perempuan

yang mendidik anaknya.

Bertolak dari kenyataan ini, penulis ingin membahas gambaran perempuan

menurut teologi feminis di zaman Perjanjian Lama dengan mengambil salah satu

kitab dalam Perjanjian Lama yaitu Kitab Hakim-hakim. Penulis memilih Kitab

Hakim-hakim karena di dalamnya banyak dikisahkan tentang berbagai karakter

perempuan. Dikisahkan juga perempuan sebagai hakim Israel. Selain itu ada

banyak dikisahkan perjuangan perempuan yang menginspirasi penulis.

B. RUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang masalah yang dikemukakan diatas, maka dirumuskan

beberapa permasalahan antara lain :

1. Apa itu teologi feminis dan bagaimana metode penafsiran feminis?

2. Bagaimana metode penafsiran feminis diterapkan dalam analisis


(24)

3. Bagaimana gambaran perempuan dari hasil penafsiran feminis dalam Kitab

Hakim-hakim dapat dipakai untuk pemberdayaan perempuan?

C. TUJUAN PENULISAN

Berdasarkan rumusan permasalahan tersebut, penulisan ini bertujuan

untuk:

1. Mengetahui pokok-pokok tentang teologi feminis dan metode yang

berorientasi feminis.

2. Melalui metode penafsiran feminis, mengenal karakter

perempuan-perempuan yang ada di zaman para hakim Israel.

3. Membantu umat untuk merefleksikan pengalaman hidupnya dan lebih

memberdayakan diri sebagai perempuan dengan adanya katekese berdasarkan

analisis feminis dalam Kitab Hakim-hakim.

D. MANFAAT PENULISAN

Manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan ini, antara lain:

1. Akademis

Menambah wawasan tentang teologi feminis dan gambaran perempuan dalam

Kitab Hakim-hakim.

2. Praktis

Sebagai inspirasi dan refleksi bagi pihak lain dalam penyajian informasi, juga

dapat menjadi bahan kajian studi untuk mengetahui perempuan pada zaman


(25)

memberdayakan perempuan menjadi perempuan yang mandiri dan

bertanggung jawab.

3. Penulis

Semakin membantu penulis untuk mengembangkan spiritualitas pelayanan,

dan menambah pengetahuan tentang teologi feminis sehingga dapat

menyumbangkannya dalam katekese untuk membantu memberdayakan

perempuan.

E. METODE PENULISAN

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode deskriptif

analitis yaitu metode yang menggambarkan pandangan para ahli, kemudian

memaknai, memahami, dan menganalisis data-data yang diperoleh melalui studi

pustaka, sehingga dapat menjelaskan dan akhirnya dapat menarik kesimpulan.

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Untuk memperoleh gambaran yang jelas, penulis menyampaikan pokok

-pokok sebagai berikut;

Pada bab I, penulis mengawali pendahuluan dengan membicarakan

latar belakang penulisan dan rumusan masalah yang penulis gunakan, sehingga

menemukan tujuan dan manfaat serta metode yang akan dipakai dalam penulisan

skripsi ini. Sebagai akhir dari bagian ini, penulis menguraikan secara singkat


(26)

Pada bab II, penulis akan memaparkan secara jelas tentang munculnya

gerakan feminisme, pengaruh gerakan feminisme terhadap teologi feminis, teologi

feminis dalam Gereja dan penafsiran Alkitab menurut teologi feminis.

Pada bab III, penulis akan menguraikan tentang gambaran umum Kitab

Hakim-hakim, tokoh perempuan dalam Kitab Hakim-hakim dan penerapan

metode hermeneutika kecurigaan dalam menggali karakter dan peran perempuan

dalam Kitab Hakim-hakim.

Pada bab IV, penulis akan merefleksikan hasil studi dan analisis serta

memberikan sumbangan pemikiran yang dapat bermanfaat. Salah satu bentuk

sumbangan pemikiran yang dapat penulis berikan adalah katekese dengan model

analisis sosial.

Dan sebagai penutup dari skripsi ini, pada bab V, penulis akan menarik

kesimpulan berdasarkan pemikiran yang telah tertuang dalam beberapa bab

sebelumnya serta saran yang dapat penulis berikan untuk pembaca dan umat agar


(27)

BAB II

TEOLOGI FEMINIS DAN METODE PENAFSIRAN FEMINIS

Dalam bab ini, penulis akan menguraikan tentang sejarah feminisme.

Awalnya, feminisme muncul akibat penindasan perempuan dalam berbagai segi

kehidupan di Amerika Latin. Kemudian, beberapa perempuan berani

menyuarakan bahwa perempuan mempunyai kebebasan dan martabat yang utuh

layaknya laki-laki. Gerakan tersebut muncul di berbagai tempat hingga

berlangsung sekitar dua dekade. Gerakan tersebut juga menyentuh ranah Gereja.

Menurut mereka, teologi pembebasan dalam Gereja belum dirasakan oleh

perempuan karena masih adanya perbudakan dan androsentrisme yang tidak

sesuai dengan kehendak Allah. Akhirnya gerakan ini melahirkan teologi feminis.

Dalam penerapannya dalam Gereja, para teolog feminis berjuang demi martabat

perempuan yang tertulis dalam Kitab Suci dan tradisi Gereja. Kemudian Gereja

membuka diri pada teolog feminis dengan ambil bagian dalam penafsiran Alkitab.

Artinya, tidak mengubah tulisan Alkitab namun memaknai bersama demi tujuan

pemberitaan Kabar Gembira bagi kaum tertindas. Hal ini ditanggapi oleh teolog

feminis dengan menyusun model dan metode penafsiran Alkitab yang berpihak

pada perempuan.

A. MUNCULNYA GERAKAN FEMINISME

Diskriminasi gender tersingkap tidak saja dalam pola-pola dominasi

patriarkal kaum laki-laki, tetapi juga dalam perilaku yang menjadikan pengalaman


(28)

2002:34). Tak heran jika di seluruh penjuru dunia muncul gerakan perempuan

untuk bersuara dan menemukan martabat mereka. Era 1960 an dan 1980 an

merupakan masa mobilisasi besar-besaran bagi perempuan Amerika Latin

(Zakiyuddin,1996:59). Para perempuan di Amerika Latin berjuang demi hak

kewarganegaraan, menghadapi situasi kemiskinan yang makin meningkat di

bawah rezim-rezim diktator militer, dalam gerakan-gerakan sosial kerakyatan di

wilayah perkotaan maupun pedesaan, mereka maju untuk berpartisipasi secara

mendalam di bidang politik (Fiorenza ed, 1996:4-5). Dalam keagamaan di

Amerika Latin, di berbagai gereja, Katolik maupun Kristen Protestan, masa itu

ditandai dengan adanya komunitas basis gerejawi beserta wacana yang

membenarkan keberadaan mereka, yakni teologi pembebasan. Sejumlah

perempuan Katolik terlibat dalam proyek pembentukan sebuah „gereja untuk kaum miskin‟. Di sinilah perempuan Amerika Latin mulai menghasilkan teologi. Karya-karya para teolog perempuan pertama yang diterbitkan muncul di berbagai

ulasan pastoral dalam karya-karya teologi pembebasan (Zakiyuddin,1997:59).

Namun, teologi itu sering ditolak karena dianggap jauh atau tidak relevan dengan

perhatian perempuan Amerika Latin (Zakiyuddin,1997:77). Teolog perempuan

peka terhadap bentuk kekuasaan yang merancang simbol-simbol sosial, budaya

dan teologi (Andalas,2009:62). Dalam karyanya, mereka menggaungkan teologi

pembebasan dan mencatat ketiadaan sumbangan spesifik dari sudut pandang

perempuan serta menggugah peran serta aktif perempuan-perempuan Amerika

Latin, sebagai agen-agen intelektual di dalam proses kerakyatan (Fiorenza ed,


(29)

perempuan tidak lebih rendah daripada laki-laki. Feminisme sering dituduh

menyatakan perang gender, seolah-olah pada masa sebelumnya hubungan antara

laki-laki dan perempuan berjalan dengan baik. Seolah-olah sikap memusuhi

perempuan yang berakar kuat pada diri laki-laki, yang terjadi di segala penjuru

dunia dan di dalam seluruh sejarah peradaban manusia, yang tercermin di dalam

segala bentuk penghinaan, eksploitasi, penindasan, dan kekerasan terhadap

perempuan tidak merupakan keadaan perang dingin tetapi nyata dilestarikan

(Leclerc, 2000:v-vi). Feminisme tidak menginginkan dominasi perempuan

terhadap laki-laki maupun masyarakat luas. Feminisme sebagai gerakan untuk

mengakhiri seksisme, eksploitasi seksis, dan penindasan (Andalas, 2009:60).

Feminisme adalah sebuah wawasan sosial, yang berakar dalam pengalaman kaum perempuan menyangkut diskriminasi dan penindasan oleh karena jenis kelamin, suatu gerakan yang memperjuangkan pembebasan kaum perempuan dari semua bentuk seksisme dan sebuah metode analisis ilmiah yang digunakan pada hampir semua cabang ilmu (Clifford, 2002:29).

Christine de Pizan, seorang penyair dan pengarang menceburkan dirinya

dalam perdebatan yang sangat penting bagi kaum perempuan. Menurutnya ada

beberapa makna dari perjuangan kaum feminis yang dapat disimpulkan bahwa

feminisme adalah gerakan/perubahan/kebangkitan/perjuangan dari kaum

perempuan yang mendengar dan mengalami ketidakadilan untuk mendapatkan

hak-hak kaum perempuan di tengah masyarakat serta untuk menyuarakan

pendapat mereka demi martabat mereka dan eksistensi mereka bahwa mereka juga

bisa berpikir dan melakukan profesi serupa kaum laki-laki. Sehingga musuh kaum

perempuan bukanlah laki-laki, namun sebuah sistem yang tidak mengenal jenis


(30)

harus dimiliki bagi kaum perempuan yaitu pendidikan dan peluang profesi. Hal ini

dapat berarti bahwa di dua segi ini terdapat banyak diskriminasi terhadap kaum

perempuan. Untuk mencapai semua hal yang diharapkan oleh kaum perempuan,

Pizan menegaskan juga bahwa selain merombak sistem dan paradigma juga harus

ada motivasi dari perempuan itu sendiri tentang tujuan dan arti menjadi seorang

perempuan.

Feminisme berupaya melahirkan wawasannya tentang kaum perempuan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang berbagai stereotip gender, entah yang terlihat atau terselubung, yang merintangi penentuan diri yang sehat dari kaum perempuan (Clifford, 2002:30).

Dalam bukunya, Clifford membedakan gerakan feminisme menjadi tiga

gelombang. Gelombang pertama feminisme bertalian dengan akses perempuan

untuk memperoleh hak suara. Setelah mereka memperoleh hak tersebut, maka

gerakan feminisme berakhir di Amerika Serikat. Gerakan feminisme kedua terjadi

setelah Perang Dunia II di tahun 1960 diperjuangkan oleh kaum perempuan di

Amerika Serikat dan Eropa Barat yang memiliki kulit hitam. Mereka tidak

mempunyai hak yang sama layaknya kaum perempuan berkulit putih di sana.

Mereka juga ingin menampilkan kajian-kajian kaum feminis sebagai suatu

disiplin ilmu yang baru. Gelombang ketiga feminisme terjadi pada penghujung

tahun 1970-an yang diselenggarakan di New York dalam konferensi kaum feminis

internasional (Clifford, 2002:21). Mereka memperjuangkan hak-hak mereka dan

penghapusan dikriminasi terhadap perempuan atas dasar apapun (etnis, warna

kulit, kelas sosial, dll) serta menentang Perang Vietnam. Gelombang ketiga

feminisme ini menjangkau seluruh dunia yang memperhatikan perbedaan yang


(31)

utama setiap gerakan feminisme ialah guna mengakhiri penindasan, diskriminasi

dan tindak kekerasan yang ditimpakan kepada kaum perempuan, serta

memperoleh kesederajatan dan martabat manusia yang sepenuhnya bagi setiap

perempuan (Clifford, 2002:22).

Dalam gelombang kedua feminisme, kaum perempuan memiliki beragam

pengalaman tentang patriarkal dan androsentrisme, maka mereka mempunyai

berbagai cara guna menganalisis sebab dan mencari penawarnya. Analisis atas

berbagai sisi tilik menyangkut beragam bentuk ungkapan gerakan feminisme

bermuara pada rupa-rupa pengelompokan atas feminisme oleh para cendekia

(Clifford, 2002:38). Model-model utama feminisme dari gelombang kedua

adalah: feminisme liberal, feminisme kultural, feminisme radikal. (Clifford,

2002:41).

Feminisme liberal; gerakan feminisme yang umum dan logis. Ciri dari

gerakan ini adalah penekanan dan motivasi utamanya adalah untuk

menggapai kesederajatan yang penuh antara kaum perempuan dan kaum

laki-laki dalam setiap ranah kehidupan bermasyarakat di bidang hukum,

politik, ekonomi dan sipil sebagai seorang pribadi dewasa yang otonom.

Perwujudan gerakan dengan menuntut agar setiap perempuan memiliki

hak privasi yang menjamin keputusan atas tubuhnya sendiri, khususnya

menyangkut hal melahirkan keturunan, kesehatan seksual dan

reproduksinya.

Feminisme kultural, disebut juga feminisme romantis atau feminisme


(32)

tradisional. Misalnya peran sebagai ibu. Feminisme kultural merupakan

reaksi dari revolusi industri. Feminisme kultural melihat perempuan

sebagai makhluk yang kurang ambisius dan bernafsu dibandingkan dengan

laki-laki dan lebih cenderung bersikap egaliter, mengasuh dan

menciptakan kedamaian daripada laki-laki.

Feminisme radikal; gerakan yang lebih banyak memperhatikan kesetaraan

sosial kaum perempuan. Gerakan ini berupaya membasmi setiap bentuk

dominasi kaum laki-laki. Untuk seorang feminis radikal, unsur terpenting

dari analisis sosial ialah kesadaran tentang bagaimana patriarkal telah

menata masyarakat. Yang membuat feminisme menjadi radikal adalah

keyakinan bahwa dominasi kaum laki-laki merupakan akar dari semua

masalah kemasyarakatan.

Feminisme sosialis dipengaruhi oleh prinsip-prinsip marxis, yakni

perjuangan kelas ekonomi. Kapitalisme patriarkal tampak nyata dalam

perendahan nilai kerja kaum perempuan dalam melahirkan dan

membesarkan anak karena hal itu tidak dianggap sebagai hal yang

produktif secara ekonomi. Sosialisme tidak secara otomatis membebaskan

kaum perempuan. Walaupun dalam masyarakat sosial kaum perempuan

bebas bekerja di luar rumah sama seperti kaum laki-laki, namun sebagian

besar dari kaum pekerja perempuan tetap saja melakukan hampir semua

pekerjaan rumah tangga di rumahnya. Sasaran dari feminisme sosialis

adalah perubahan, sembari mensosialisasikan kaum perempuan dan


(33)

dengan bidang ekonomi. Kaum perempuan dan laki-laki dari semua kelas

harus memiliki peluang yang sama untuk mencari nafkah dengan bekerja

dan terlibat secara aktif dalam peran sebagai orangtua.

Gelombang kedua feminisme ini diteruskan dalam gelombang ketiga

feminisme. Mereka memiliki beragam pengalaman serta keprihatinan yang unik

yang bertalian dengan lokasi sosial mereka yang khas. Setiap kelompok berupaya

mengembangkan agenda-agenda pembebasannya masing-masing yang

menanggapi berbagai pengalaman serta hasratnya yang unik akan pembaruan

yang positif. Guna menarik perhatian kepada pertalian antara perjuangan kaum

perempuan di dalam sistem-sistem patriarkal dan krisis ekologis, muncullah

istilah “ekofeminisme”. Merangkum kemajemukan suara yang memautkan dominasi atas diri kaum perempuan (dan kelompok orang tertindas lainnya)

dengan eksploitasi atas alam non insani, seraya menandaskan bahwa kedua bentuk

dominasi tersebut bertalian secara erat dan memperkokoh satu sama lain.

Diarahkan oleh wawasan tentang keadilan ekologis yang merangkul semua ranah

kehidupan, kaum ekofeminis berupaya mengakhiri segala bentuk diskriminasi dan

eksploitasi, karena tidak ada upaya untuk membebaskan kaum perempuan, atau

kelompok tertindas yang mana pun, yang akan berhasil kecuali ia dikaitkan

dengan pembebasan alam non insani.

Dewasa ini, feminisme menjadi benar-benar gamblang kalau

mempertimbangkan permasalahan global yang ada menyangkut kriminalitas dan

kekerasan yang ditujukan kepada kaum perempuan dan anak-anak perempuan.


(34)

perempuan, pengucilan serta perdagangan internasional kaum perempuan dan

anak-anak perempuan, bersama dengan pelecehan di tempat kerja, menjadikan

tindak kekerasan terhadap kaum perempuan sebagai persoalan hak asasi manusia

yang paling meraja lela di dunia ini. Seringkali hak asasi yang selayaknya

dilindungi oleh negara dan hukum belum layak dirasakan oleh masyarakat pada

umumnya. Bahkan ajaran moral dari agama-agama bukanlah lagi hal yang

memberikan pencerahan bagi penganutnya.

Sikap yang berprasangka itu berasal dari ketidakmampuan orang untuk

berhadapan dengan orang-orang lain yang berbeda dengan dirinya atau untuk

menerima mereka sebagai orang yang sepenuhnya manusia seperti dirinya sendiri.

Seksisme menampilkan diri dengan dua cara. Cara pertama, seksisme

menampilkan diri dalam struktur-struktur yang dibentuk sedemikian rupa

sehingga kekuasaan selalu ada dalam tangan kaum laki-laki yang mendominasi,

orang laki-laki yang lain berada dalam kedudukan di bawah yang bertingkat – tingkat, dengan tingkat paling bawah ditempati orang-orang yang paling kecil

kekuasaannya. Struktur ini disebut patriarki. Cara kedua, seksisme menampilkan

diri dalam pola-pola berpikir yang mengangkat kemanusiaan laki-laki dan

menjadikannya sebagai norma untuk semua orang. Cara berpikir seperti ini

disebut androsentrisme, visinya tentang kemanusiaan berpusat pada laki-laki

dewasa. Perempuan dipandang sebagai manusia bukan menurut haknya sendiri,

melainkan menurut kedudukannya sebagai manusia kelas dua, kedudukan yang

berasal dari dan bergantung pada laki-laki. Citra diri perempuan mengalami


(35)

perempuan terdapat dimana-mana, bahkan di kalangan perempuan yang memiliki

kemampuan lebih. Apa yang diserukan adalah transformasi diri dan sistem-sistem

sosial yang mendukung hubungan-hubungan yang bersifat eksploitasi, terutama

hubungan antara laki-laki dan perempuan.

B. PENGARUH GERAKAN FEMINISME TERHADAP TEOLOGI FEMINIS

Pada awal 1960-an beberapa teolog wanita dan mahasiswi seminari

mengembangkan satu jurusan teologi baru yang mereka sebut dengan Teologi

feminis.

Sebelum abad ke 19, kaum perempuan dipandang sebagai yang kedua sesudah kaum laki-laki. Kitab Suci dalam masyarakat Barat disalahfungsikan sebagai sumber utama dan pembenar terhadap penindasan perempuan, baik di lingkungan keluarga, masyarakat maupun Gereja (Andalas, 2009:147).

Teologi lahir dari keinginan jemaat beriman untuk memahami secara lebih

penuh relasi keimanannya dengan Allah, dengan menafsir keyakinannya itu atas

cara-cara yang dapat dipahami oleh zaman dan tempatnya (Clifford, 2002:50).

Teologi feminis muncul dari pengakuan akan penderitaan kaum perempuan yang

tertindas yang dinilai bertentangan dengan martabat mereka sebagai manusia dan

kehendak Allah.

Teologi feminis sebagai suatu teologi kritis pembebasan, berkembang dalam tantangan terhadap androsentrisme simbolik dan dominasi patriarki dalam agama, berusaha menemukan kembali warisan biblis untuk memperkuat perjuangan kaum perempuan demi pembebasan (Fiorenza, 1995: 14).


(36)

Aruna Granadason memilah kekerasan terhadap perempuan menjadi

kekerasan terbuka dan terselubung. Kekerasan terhadap perempuan disebut

terbuka karena indra statistik dapat menangkapnya meskipun seringkali terbatas

rengkuhannya. Sedangkan kekerasan pada perempuan seringkali terselubung

karena ukuran statistik seringkali sulit menangkapnya. Kekerasan terselubung,

baik verbal, mental, maupun fisik menimpa jutaan perempuan (Andalas,

2009:129-130). Teologi feminis mengandung renungan-renungan yang penting

untuk dipahami (Zakiyuddin, 1997:47). Bahasa dalam upacara-upacara

keagamaan serta bahasa dalam menamai Tuhan telah serius dibatasi tanpa

mengikutsertakan pengalaman-pengalaman perempuan. Tujuan bentuk teologi

feminis tidak hanya memahami makna tradisi iman, tetapi juga mengubah tradisi

itu sejauh membawa harapan dan kabar baik kepada kaum perempuan (Fiorenza

ed, 1996:6-9).

Teologi feminis juga bisa didefinisikan sebagai sebuah cara tertentu untuk mengajar dan menyusun teologi yang dengan permenungannya yang konkret, menentang pengajaran teologis lain yang berpangkal pada ortodoksi dan bukanlah berlandaskan praksis (Zakiyuddin,1997:162).

Semua teologi feminis Kristen menganut prinsip bahwa patriarkal dan

androsentrisme dalam berbagai bentuknya bertentangan dengan iman akan Allah

yang oleh pewahyuan Kristen dimaklumkan sebagai kasih itu sendiri (Clifford,

2002:52). Tujuan bentuk berteologi ini tidak hanya memahami makna tradisi

iman, tetapi juga mengubah tradisi itu sejauh tidak memberi arti kabar baik bagi

orang-orang yang adalah kaum perempuan (Johnson, 2003:122). Visi yang


(37)

berdasarkan pada nilai-nilai saling dan timbal balik. Visi itu muncul dari analisis

yang dilakukan oleh teolog feminis.

Analisis yang dilakukan oleh para teolog feminis yaitu seksisme sudah

merasuk ke dalam kehidupan bermasyarakat.

Seksisme memandang kaum perempuan pada hakikatnya lebih rendah harga dirinya sebagai manusia daripada kaum laki-laki dan berusaha dengan sekuat tenaga untuk membatasi kaum perempuan dalam “tempat” mereka sendiri (Johnson, 2003:123).

Maka beberapa ahli mengelompokkan model-model teologi feminis menjadi tiga

bentuk, yaitu :

Teologi feminis revolusioner; teologi ini dipengaruhi oleh kaum feminis

radikal yang pada mulanya ambil bagian dalam Gereja-Gereja Kristen dan

menyimpulkan bahwa agama Kristen itu adalah patriarkal yang tidak dapat

disembuhkan lagi, dan bahkan anti perempuan. Maka mereka

meninggalkan agama Kristen serta hukum patriarkal yang dipengaruhi

oleh Kitab Suci Kristen karena tidak akan memberikan harapan perbaikan.

Masalah utama mereka ialah peran utama yang diberikan kepada

pewahyuan tentang seorang Allah “laki-laki”, yang mereka yakini digunakan untuk mengabsahkan penindasan patriarkal atas kaum

perempuan oleh Gereja-Gereja Kristen. Di samping itu, mereka

menunjukkan bahwa orang-orang Kristen tetap saja merendahkan kaum

perempuan di dalam Gereja-Gereja mereka dan di dalam relasi perkawinan

mereka.

Teologi feminis reformis; teologi yang tidak berupaya untuk


(38)

berkehendak menggantikan Allah yang telah diwahyukan oleh Yesus

Kristus. Pendukung model teologi feminis ini percaya bahwa mereka

dapat memecahkan masalah menyangkut status kelas dua kaum

perempuan melalui cara seperti terjemahan Kitab Suci yang lebih baik dan

penekanan lebih banyak pada perikop-perikop yang berbicara tentang

kesetaraan antara kaum perempuan dan laki-laki di dalam Kitab Suci.

Teologi feminis rekonstruksionis; model ini memiliki titik temu dengan

feminis reformis dalam komitmen kepada agama Kristen. Para teolog

feminis rekonstruksionis mencari pokok teologis yang membebaskan

kaum perempuan di dalam bingkai tradisi Kristen itu sendiri, namun juga

mencita-citakan suatu pembaruan yang lebih dalam, suatu konstruksi yang

sejati, bukan saja menyangkut struktur-struktur gerejani melainkan juga

struktur-struktur masyarakat madani. Kaum feminis rekonstruksionis

membuat penilaian kritis terhadap patriarkal, namun mereka percaya

bahwa dengan menafsir ulang simbol-simbol dan gagasan-gagasan

tradisional agama Kristen tanpa melepaskan Allah yang diwahyukan

dalam Yesus Kristus merupakan hal yang dicita-citakan. Feminisme

rekonstruksionis sangat menekankan pentingnya tindakan konkret yang

secara efektif mewujudnyatakan bahasa religius yang menyuarakan

kebenaran dan kebijaksanaan. Oleh sebab itu, mereka tidak tertarik pada

ihwal membangkitkan kesadaran akan berbagai bentuk ungkapan

patriarkal serta merancang tafsir yang berciri pembebasan, tapi berusaha


(39)

Wawasan-wawasan teologis yang dirumuskan mengalir dari dan bermuara ke dalam aksi yang berupaya mengakhiri seksisme, penindasan atas orang-orang tertekan dalam setiap bentuk dan kerusakan yang dilakukan manusia pada bumi ini (Clifford, 2002:66).

Dari ketiga model tersebut, dapat disimpulkan bahwa kaum perempuan

terutama mereka yang aktif dalam kegiatan gerejani, atau yang menjadi umat

gerejani memberikan aspirasi-aspirasi mereka dalam pemikiran melalui

pendekatan yang khas agar impian-impian mereka demi memastikan adanya

tindakan Gereja yang tanggap terhadap permasalahan kaum perempuan. Teologi

feminis mengandung renungan-renungan yang penting untuk dipahami karena

mengungkapkan pandangan-pandangan serta harapan-harapan akan dunia yang

lebih baik. Sialnya hal ini kerap disepelekan, dengan begitu malah memblokir

jalan bagi Gereja untuk memperoleh sumbangan yang akan membuatnya semakin

kaya (Zakiyuddin, 1997:47). Kaum feminis mengupayakan adanya kemitraan

sejati antara laki-laki dan perempuan di dalam Gereja, adanya keimanan terhadap

masyarakat baru yang dijanjikan dalam Kristus.

C. TEOLOGI FEMINIS DALAM GEREJA

Kata “Gereja” berasal dari kata Yunani kyriakos, yang berarti “milik”

kepunyaan Tuhan. (Clifford, 2002:219). Proses penerjemahan yang mengubah

ekklesia/perhimpunan menjadi kyriake/ gereja menunjukkan suatu perkembangan

historis yang telah menguntungkan bentuk gereja yang kyriarkhal/patriarkhal

(Fiorenza, 1995: xlvii). Istilah patriarki secara harafiah berarti kekuasaan


(40)

kontra terhadap kepemimpinan perempuan. Pergumulan ini ditimbulkan oleh

proses patriarkal bertahap dari gereja-gereja purba ( Fiorenza, 1995:82).

Satu dari sekian kritik yang dilancarkan oleh para ilmuwati sosial mengenai teologi pembebasan ditujukan kepada pemiskinan kategori-kategori seksual yang sebenarnya merupakan produk sosial yaitu gender yang menjadi sekedar hasil pencirian biologis (Zakiyuddin, 1997:70).

Tidak hanya sampai di situ, melalui teologi feminis diharapkan tidak ada lagi

kaum perempuan yang tertindas.

Para teolog feminis menyangkal klaim teologi yang ada sekarang, yang menyatakan diri sebagai teologi “universal.” Mereka menunjuk pada karakter tertentu misalnya kenyataan bahwa teologi itu dihasilkan lewat cara pandang lelaki dan karenanya bersifat eksklusif. Mereka mengajukan rancangan pengkajian ulang, yang akan memungkinkan masuk dan diakuinya bukan saja perempuan, melainkan juga orang-orang yang bukan kulit putih, bukan berasal dari Barat. Menurut mereka, mendobrak struktur-struktur patriarkal harus disertai sebuah perubahan pola-pola pemikiran secara radikal (Fiorenza ed, 1996:10).

Namun ditemukan bahwa telaah atas sejarah Gereja-Gereja Kristen di

Eropa Barat dan Amerika menyingkapkan adanya bentuk-bentuk ungkapan yang

terang dan jelas mengenai patriarkal. Seperti terungkap dalam cara para teolog

dan pejabat gerejani gagal membawa Injil agar bersinggungan dengan penaklukan

atas diri kaum perempuan, perbudakan orang berwarna serta kezaliman

kolonialisme. Agama Kristen kadang kala menggunakan Kitab Suci untuk

mendukung kejahatan-kejahatan yang ada di tengah masyarakat, dengan

menafsirkan teks-teks relevan sebagai “bukti” bahwa praktik-praktik bersangkutan disetujui dan didukung oleh Allah.

Tertulianus (±160-225) menyebut perempuan sebagai “gerbang iblis”, Agustinus (354-430) berpendapat bahwa hanya lelaki sendirilah yang merupakan citra Allah; seorang perempuan adalah citra Allah hanya bersama dengan suaminya, Thomas Aquinas (1225-1274) dipengaruhi


(41)

oleh Aristoteles menyebut perempuan sebagai makhluk “cacat” dan “terkutuk”( Clifford, 2002:52-53).

Akibatnya, kaum perempuan dikucilkan dari peran kepemimpinan gerejani.

Para teolog perempuan tidak hanya menyusun metodologi mereka sendiri,

mereka mengikuti alur teologi pembebasan, mulai dari pilihan kaum miskin dan

keikutsertaan dalam praksis pembebasan. Beberapa di antara naskah-naskah

mereka menyiratkan kemiskinan perempuan sebagai materi teologi mereka.

Kajian-kajian Kitab Suci teolog feminis tidak terbatas pada penemuan kembali

berbagai pribadi perempuan yang dikisahkan, namun memusat pada penafsiran

kembali seluruh Kitab Suci dengan memihak perempuan, menyingkap keberadaan

mereka sebagai tokoh-tokoh protagonis, dalam makna yang sepenuhnya dalam

tindakan penyelamatan.

Para perempuan tersebut dalam dokumennya menekankan sumbangan-sumbangan positif yang diberikan oleh gereja-gereja di Amerika Latin dalam bidang Hak Asasi Manusia (HAM) serta dalam perjuangan demi keadilan sosial, juga pentingnya teologi pembebasan dalam mengatasi situasi-situasi ketidakadilan yang menurut mereka teologi pembebasan tidak menyentuh penindasan terhadap perempuan atau mengangkatnya menjadi isu penting (Zakiyuddin, 1997:64).

Masalah dalam mengaitkan teologi feminis dengan teologi pembebasan

terus muncul dalam kritik terhadap struktur-struktur Gereja. Tujuannya adalah

mendorong semua bentuk kepeduliaan yang sedang dirasakan dan diwujudkan

dalam tindakan oleh perempuan di tingkat lokal, nasional, regional serta global

(Zakiyuddin, 1997:45). Selama dua dekade terakhir, perhatian Gereja lokal

terhadap masalah seputar tema perempuan telah menunjukkan perkembangan.

Peranan Gereja lokal semakin besar mewujudkan Gereja sebagai kumpulan Umat


(42)

perempuan, memperlihatkan fakta bahwa pelayanan Gereja lokal sebagai Gereja

yang hidup di tengah umat mampu menyentuh langsung serta memahami

permasalahan kehidupan jemaat. Gereja Katolik pada tingkat lokal, lebih

menyadari arti pentingnya kehadiran dan peran perempuan di dalam Gereja,

terlebih lagi menyadari bahwa perempuan dan laki-laki memiliki kedudukan yang

sama sebagai anggota dan bagian Gereja, bahkan Gereja itu sendiri (Iswanti,

2006:30-33). Dekade itu memusatkan perhatian pada pemberdayaan perempuan,

hingga perempuan dapat menjadi penentu agenda kepedulian yang akan

dilaksanakan oleh Gereja (Zakiyuddin, 1997:46). Perempuan-perempuan tersebut

mempunyai kesadaran feminis. Kesadaran feminis adalah kesadaran yang berasal

dari pengalaman bahwa penyebab mereka menjadi korban adalah karena mereka

perempuan, kesadaran bahwa menjadi laki-laki lebih menguntungkan (Iswanti,

2006:6). Menurut Iswanti, teori feminis muncul akibat :

Pengalaman pribadi perempuan.

Sumber dari pengetahuan-pengetahuan yang baru, misalnya pemerkosaan atau

aborsi.

Sektor publik dan privat yang berhubungan dengan penindasan individual.

Konsep tentang perempuan sebagai suatu kelas berdasar jenis kelamin.

Kelompok-kelompok yang memiliki kesadaran feminis.

Selain membicarakan tentang Gereja, kaum feminis juga merasa tidak adil

ketika berbicara tentang Allah. Selama berabad-abad Allah dialami dan dipahami

dengan cara-cara yang berbeda oleh orang-orang yang berbeda dalam waktu dan


(43)

“melampaui” gender, namun bahasa yang digunakan sebagai acuan tentang Allah sangat dominan berciri maskulin. Emosi ini memiliki akar yang kuat dalam pola

pengunaan nama “Bapa” secara harafiah dan eksklusif ketika berbicara tentang Allah (Clifford, 2002:157). Diantara kaum feminis yang paling kuat menentang

gagasan Allah sebagai “Bapa” adalah mereka yang berpikir bahwa simbol Allah Bapa sebagai penguasa dunia yang transenden dan memutuskan untuk tidak

memeluk dan menerima agama Kristen. Kaum feminis ini bersama dengan kaum

feminis Yahudi yang juga menolak seorang Allah laki-laki terus memberikan

kritik terhadap simbol Allah yang maskulin yang akhirnya membuat mereka

keluar dari Yudaisme dan kekristenan. Mereka percaya bahwa kaum perempuan

dan masyarakat pada umumnya membutuhkan seorang Allah perempuan, atau

seorang Dewi. Maka mereka kembali lagi pada tradisi Yahudi dan

pra-Kristen, yaitu agama-agama Para Dewi. Disana mereka menyembah sosok dewi

tertentu dengan karakter yang mereka kagumi, misalnya Ibu Pertiwi yang

melahirkan bumi dan menjaga bumi ini.

Agama ini meluhurkan berbagai kenangan masyarakat yang berciri matrilineal (warisan diturunkan melalui garis perempuan) dan matriarkat (kaum perempuan menduduki tempat berkuasa di dalam keluarga dan masyarakat) (Clifford, 2002:159).

Keyakinan bahwa agama-agama kuno yang didominasi oleh para dewi

benar-benar memberi pengasuhan, kelembutan dan kedamaian tentu saja hal yang

menarik bagi banyak perempuan, namun menimbulkan banyak pertanyaan.

Romantisme agama Para Dewi ini bersifat problematis. Oleh karena itu, para

perempuan penganut agama Para Dewi ini membutuhkan lebih banyak proyeksi


(44)

kaum perempuan membayangkan Allah sebagai suatu realitas keilahian yang

berjenis kelamin laki-laki, maka mereka cenderung berelasi dengan Allah sebagai

“yang lain” dan bukan sebagai “yang sama dengan aku”. Gambaran-gambaran yang ditarik dari pengalaman kaum perempuan dapat memperkuat ikatan

kemesraan yang dipunyai kaum ini dengan Allah. Bagaimanapun, nilai-nilai dan

aspirasi-aspirasi gender perempuan tidak dicakup dalam Allah tadi, maka

perempuan menjadi tidak mempunyai kemungkinan untuk menyadari keberadaan

diri mereka sendiri yang “tidak menjadi lelaki”. Supaya mampu meneguhkan dan menyadari keberadaan diri perempuan, maka para perempuan tersebut mau tidak

mau menamai sosok Allah secara feminin. Menurut Ruether, seorang teolog

Katolik Roma keyakinan agama Para Dewi “tidak tepat secara historis dan rancu secara ideologis.” Ajaran itu menolak kemungkinan adanya sumber daya positif di dalam tradisi alkitabiah menyangkut simbol-simbol tentang Allah yang sepadan

dengan pengalaman kaum perempuan. Kritikan ini layak ditujukan kepada Agama

Para Dewi sebagai berhala. Bahasa tentang Allah secara intrinsik bertalian dengan

dunia dan pengalaman “keduniawian” manusia yang secara sangat mendasar dipengaruhi oleh konteks historis dan sosial kita (Clifford, 2002:160). Di dalam

tradisi Kristen, Allah sebagai Bapa memainkan suatu peran yang penting.

Penggunaan analogi ini tidak lepas dari pengalaman manusia tentang relasi

dengan seorang ayah.

Pendekatan relasional antara laki-laki dan perempuan dapat dijelaskan

berdasarkan kisah penciptaan manusia (Kej 2:4-25). Allah menciptakan manusia


(45)

“sepadan” dengan dia dan menamai dia perempuan. Kerukunan hidup antara laki -laki dan perempuan sejak awal merupakan bentuk pertama persekutuan antar

pribadi. Sebab dari kodratnya yang terdalam manusia bersifat sosial, dan tanpa

berhubungan dengan sesama, ia tidak dapat hidup atau mengembangkan

potensinya (GS art 12).

D. PENAFSIRAN ALKITAB MENURUT TEOLOGI FEMINIS

Meski teologi pembebasan membuka bagi „pengalaman perempuan‟, namun belum menyerap kritik yang diajukan kaum feminis. Akibatnya adanya

kelas prioritas yang diperjuangkan kaum feminis. Padahal, Kitab Suci memuat

teks-teks yang digunakan sebagai pembenaran untuk melawan perubahan demi

perbaikan kondisi kaum perempuan. Permasalahan dalam tafsir Kitab Suci lebih

dalam daripada sekedar menerjemahkan kata-kata kuno dalam bahasa yang mudah

dipahami. Upaya ini juga banyak menuai kontroversi. Karena, untuk merevisinya

perlu dikaji dari berbagai pandangan (The Pontifical Biblical Commision,

1993:69). Bagi mereka yang mendukung, kegiatan ini sebagai wadah emansipasi.

Namun, mereka mengalami hambatan karena kurangnya pengetahuan tentang

bahasa Kitab Suci. Meski demikian, tetap saja pembicaraan mengenai Kitab Suci

menurut kaum feminis tidak sirna.

Baru pada tahun 1943, tahun yang sama dimana Paus Pius XII meminta agar para cendekia Katolik mendayagunakan berbagai metode kritik Kitab Suci modern dalam telaah mereka atas Kitab Suci (“Divino Afflante

Spiritu”), program teologi Katolik Roma ini untuk pertama kalinya

terbuka bagi perempuan (Clifford, 2002:86).

Bible” atau Kitab Suci adalah sebuah kata yang berasal usul dari bahasa


(46)

satu buku saja, melainkan kumpulan buku. Ketika kata biblia

diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, ia berubah menjadi bentuk tunggal dan tetap tinggal sebagai kata benda tunggal dalam padanan bahasa Inggrisnya. Dalam dunia kuno pada masa Kitab Suci disusun, buku-buku itu berbentuk gulungan. Karena dikumpulkan dalam rentang waktu berabad-abad, maka Kitab Suci itu merupakan sebuah perpustakaan yang terus bertambah koleksinya berupa gulungan-gulungan kitab yang ditulis dalam banyak bahasa berbeda dan dalam rupa-rupa ragam literer, yang kesemuanya mewakili dan menyajikan beragam kebudayaan serta sisi tilik teologis (Clifford, 2002:85-87).

Kitab-kitab yang kemudian tercakup dalam Kitab Suci sudah mulai

diterjemahkan dan disunting bahkan sebelum keputusan akhir mengenai

komposisinya diambil (Clifford, 2002:87). Karena tidak ada satupun kitab atau

gulungan yang asli yang masih tersisa, maka terjemahan dibuat berdasarkan

salinannya. Akibatnya, salinan teks-teks menghasilkan beberapa variasi yang

menyelinap ke dalam manuskrip-manuskrip awal. Hal ini menyebabkan terjadinya

perbedaan dalam berbagai terjemahan. Setiap ihwal penerjemahan menyiratkan

upaya menciptakan istilah, karena tidak ada satu bahasapun yang dapat

diterjemahkan sepenuhnya ke dalam bahasa yang lain. Persoalan terjemahan ini

semakin pelik karena Kitab Suci adalah teks kuno yang ditulis selama beberapa

abad yang berbeda, di tempat yang berbeda dan oleh pengarang yang berbeda

pula. Oleh karena itu, para cendekia yang melakukan terjemahan atas teks Kitab

Suci harus berhati-hati memeriksa pemakaian istilah untuk memberikan makna

dalam perikop tertentu dan diselaraskan dengan zaman penulisan Kitab Suci dan

zamannya.

Kitab Suci sebagai sebuah cerita tentang relasi Allah dengan manusia

terbuka kepada lebih dari satu penjelasan. Setiap rekonstruksi penjelasan


(47)

alkitabiah yang muncul di dalam cerita-cerita Kitab Suci dan kurun waktu

penyuntingan kisah-kisah itu beserta penulisan akhirnya. Sebuah rekonstruksi

penafsiran imajinatif sangat diperlukan karena jemaat-jemaat alkitabiah itu tidak

menyimpan sebuah rekaman tentang proses yang menghasilkan kitab-kitab yang

terdapat dalam Kitab Suci.

Dalam Perjanjian Lama, kisah-kisah tentang berbagai momen pewahyuan

sangat sering dihubungkan dengan sosok-sosok pemimpin, seperti Abraham,

Musa, Daud dan Salomo, serta para nabi seperti Amos, Hosea dan Yeremia yang

semuanya adalah laki-laki. Dalam Perjanjian Baru, cerita-cerita Injil terpusat pada

Yesus yang walaupun dimaklumkan oleh orang-orang Kristen sebagai Yang Ilahi

dan karenanya bebas dari keterbatasan-keterbatasan insani, namun meraga sebagai

seorang laki-laki Nazaret dari abad pertama. Cerita-cerita Injil juga menampilkan

lebih banyak kaum laki-laki khususnya para murid laki-laki Yesus, daripada kaum

perempuan. Sejarah tentang pembentukan kanon Kitab Suci memperlihatkan

bahwa tidak semua teks awal yang ada dalam komunitas-komunitas Yahudi dan

Kristen diterima sebagai otoritatif. Kadangkala tidak mudah menentukan mengapa

kitab-kitab tertentu dinilai sebagai kanonik dan yang lain tidak. Kriteria yang

digunakan pun tidak jelas sehingga menimbulkan kontroversi berkaitan dengan

kanon Kitab Suci.

Ada beberapa model penafsiran alkitab menurut Elizabeth Fiorenza dalam


(48)

a. Model pendekatan doktriner

Model ini memahami Kitab Suci sebagai pernyataan ilahi dan kewibawaan

kanonik dalam pengertian dogmatis yang ahistoris. Dalam bentuk-bentuknya

yang konsisten, pendekatan ini menekankan pengalaman verbal dan ineransi

(tidak mungkin salah) historis-hurufiah Kitab Suci. Teks Kitab Suci bukan

hanya sebuah ungkapan pernyataan yang historis melainkan pernyataan itu

sendiri. Artinya adalah tidak hanya mengkomunikasikan firman Allah, tetapi

Kitab Suci adalah Firman Allah itu sendiri.

b. Model eksegesis historis positif.

Model ini dikembangkan untuk mengkonfrontasikan klaim-klaim dogmatis

Kitab Suci dan kewibawaan doktriner Gereja. Serangannya terhadap

kewibawaan pernyataan Kitab Suci dikaitkan dengan sebuah pemahaman

mengenai eksegesis dan historiografi yang positif, faktual, objektif dan bebas

nilai. Penafsiran ini berusaha untuk dapat membaca teks-teks dan suatu

penyajian “fakta-fakta” historis secara ilmiah. Pendekatan ini masih menganut dogma tentang penafsiran yang tidak memihak. Pendekatan ini sering kali

menghindarkan diri dari menyebutkan akibat-akibat dan signifikansi

penelitiannya karena tidak mau dituduh memaksakan teks-teks dan “data” Alkitab ke dalam cetakan ideologis yang telah ditetapkan sebelumnya.

c. Penafsiran hermeneutik-dialogis

Model ini dengan sungguh-sungguh memanfaatkan metode-metode historis

yang dikembangkan oleh model kedua, sementara pada saat yang sama


(49)

Telaah-telaah metodologis tentang kritik bentuk dan redaksi telah

membuktikan bahwa tulisan-tulisan Kitab Suci merupakan

tanggapan-tanggapan teologis atas situasi-situasi praktis-pastoral sementara

diskusi-diskusi hermeneutik telah menguraikan keterlibatan sang ahli dalam

penafsiran teks-teksnya. Namun, studi kritik bentuk dan kritik redaksi telah

dikritik karena mengkonseptualisasikan situasi komunitas-komunitas Kristen

perdana terlalu banyak dalam bentuk pengertian perjuangan keyakinan

tradisional. Maka, studi-studi tentang dunia sosial Kitab Suci menekankan

bahwa tidak cukup merekonstruksi ruang lingkup gerejawi. Komunitas dan

kehidupan Kristen selalu saling terjalin dengan konteks-konteks budaya,

politik dan masyarakat. Model ini sangat menekankan penafsiran dialogis,

karenanya model hermeneutik ini dapat digabungkan dengan usaha teologis

neoortodoks.

d. Model teologi pembebasan

Berbagai bentuk teologi pembebasan telah menantang apa yang disebut

teologi akademik yang objektif. Pemahaman dasar dari semua teologi

pembebasan, termasuk teologi feminis adalah pengakuan bahwa semua teologi

dari definisinya selalu terlibat demi atau menentang kaum tertindas.

Objektivitas intelektual tidak mungkin terjadi dalam sebuah dunia yang penuh

dengan pemerasan dan penindasan. Oleh karena itu, teologi tidak dapat

berbicara tentang keberadaan manusia secara umum atau tentang teologi

biblika secara khusus tanpa secara kritis mengidentifikasi mereka yang


(50)

Telaah komitmen keilmuan teologis yang historis akademik diperlukan karena

keilmuan teologis biblika seringkali tanpa sadar melayani

kepentingan-kepentingan politik akademi yang tidak hanya membuat ukuran-ukuran kaum

lelaki pokok dari keilmuan tetapi juga secara teoritis ikut melegitimasikan

struktur-struktur penindasan dalam masyarakat.

Teks Kitab Suci memang androsentrik dan bahwa kaum lelaki telah

meninggalkan cap mereka dalam pernyataan biblika (Suleeman terj, 1995:33).

Kitab Suci tidak hanya ditafsirkan dari perspektif laki-laki seperti yang

diperdebatkan oleh sebagian feminis. Tetapi juga buatan manusia karena ia dibuat

oleh lelaki dan merupakan ungkapan dari sebuah kebudayan patriarkal.

Pernyataan ilahi diungkapkan dalam bahasa manusia yang secara historis terbatas

dan terkondisikan secara budaya (Suleeman terj, 1995:34). Ada beberapa metode

hermeneutik yang ditawarkan Elisabeth S. Fiorenza untuk menafsirkan Kitab Suci

yaitu hermeneutik kecurigaan, hermeneutik ingatan, hermeneutik evaluasi dan

proklamasi, dan hermeneutik imajinasi (Fiorenza, 1992:57-76).

1. Hermeneutik kecurigaan

Metode ini menumbuhkan sikap kecurigaan dan tidak secara mutlak

menerima otoritas Kitab Suci, dengan kata lain kaum perempuan diharapkan

dapat membaca Kitab Suci secara kritis. Karena penulisan Kitab Suci ditulis oleh

kaum laki-laki dan diwarnai oleh budaya laki-laki yang sangat mendominasi.

Dalam metode penafsiran ini ia tidak memakai otoritas Alkitab sebagai otoritas

tertinggi, ia menerima asumsi dasar gerakan feminisme bahwa teks Alkitab dan


(51)

2. Hermeneutik Ingatan

Metode kedua ini mendorong dan memberi semangat kepada kaum

feminis dengan mengingat kembali penderitaan perempuan dalam Alkitab dan

mencari artinya untuk kepentingan kaum perempuan. Hal ini dipengaruhi oleh

kenyataan bahwa bahasa yang digunakan dalam Kitab Suci adalah bahasa

androsentris sebagai bahasa umum, sehingga perempuan tidak masuk di

dalamnya. Untuk menyadari bahwa perempuan juga berada dalam perikop Kitab

Suci maka perlu dibaca perikop perempuan sebagai indikator dan petunjuk bahwa

perempuan ada di pusat kehidupan Kitab Suci.

3. Hermeneutik Evaluasi dan Proklamasi

Metode ini ingin memberikan evaluasi kritis terhadap otoritas Kitab Suci.

Kaum perempuan memiliki otoritas untuk memilih dan menolak suatu teks atau

perikop Kitab Suci tertentu yang dirasa tidak sesuai dengan jiwa feminis. Teks

atau perikop Kitab Suci dievaluasi terlebih dulu dan diuji menurut isi pembebasan

dalam konteks feminis dan fungsinya dalam konteks historis masa kini. Penafsiran

suatu perikop Kitab Suci harus lahir dari suatu penelitian yang sistematis akan

pengalaman penindasan dan pembebasan perempuan. Maka, teks harus

dibebaskan dari kurungan tradisi atau budaya tertentu terlebih budaya patriarki.

Hermeneutik proklamasi bermaksud untuk memproklamasikan teks

Alkitab yang membebaskan kaum perempuan dan menyuarakan kebebasan kaum

perempuan. Dalam tafsir feminis dikembangkan pemberitaan bahwa teks dalam

Kitab Suci yang menunjukkan penindasan dan diskriminasi manusia bukanlah


(52)

memiliki otoritas memilih perikop Kitab Suci yang tidak menggambarkan

penindasan. Kaum perempuan perlu bersikap kritis dalam membaca Kitab Suci

sehingga dapat membedakan mana yang menjadi kabar baik dan mana kabar

buruk bagi manusia tertindas.

4. Hermeneutik Imajinasi

Akhirnya, hermeneutik pengaktualisasian yang kreatif merupakan metode

proses di mana teolog Feminis membaca teks, membubuhi, mengurangi,

menyesuaikan teks Alkitab dengan visi kebebasan kaum wanita dalam

melaksanakan tata cara penyelenggaraan ibadah.

Dengan adanya sumbangan dari teolog feminis, akan memberi pengaruh

yang luas dari patriarkal dalam Kitab Suci. Pengaruh ini dapat menentukan dan

membatasi keyakinan dan pola sikap masyarakat yang bersangkutan. Maka akan

terbentuk rupa-rupa sekat di dalam masyarakat yang mengepadankan

bidang-bidang penting dari kehidupan bersama, termasuk berbagai peran dan ekspektasi

gender (Clifford, 2002:120).

Dalam daftar silsilah yang dituliskan dalam Kitab Kejadian, pola

androsentrisme terus berlanjut. Berkat Allah yang istimewa dipusatkan pada para

leluhur laki-laki yang dimulai untuk Abraham dan difokuskan untuk kelahiran

anak-anaknya yang laki-laki. Sara sebagai istri Abraham diceritakan sudah tua dan

mandul. Sara meminta Hagar untuk menjadi istri kedua bagi Abraham. Sara tetap

mempertahankan statusnya sebagai istri Abraham di dalam masyarakat karena

mandul dan anak laki-laki mentukan kedudukan dan martabat seorang perempuan.


(1)

(2)

(1)

Lampiran 1: Bacaan Kitab Suci

Hak 9:41-54

Adapun Abimelekh tinggal di Aruma, tetapi Zebul mengusir Gaal dan saudara-saudaranya, sehingga mereka ini tidak dapat tinggal di Sikhem. Keesokan harinya orang-orang kota itu pergi ke ladang. Setelah hal ini dikabarkan kepada Abimelekh, dibawanyalah rakyatnya, dibaginya dalam tiga pasukan, lalu mereka mengadakan penghadangan di padang. Ketika dilihatnya, bahwa orang-orang kota itu keluar dari dalam kota, bangunlah ia menyerang mereka serta menewaskan mereka. Abimelekh dan pasukan yang bersama-sama dengan dia menyerbu dan menduduki pintu gerbang kota, sedang kedua pasukan lain itu menyerbu dan menewaskan semua orang yang ada di padang. Sehari-harian itu Abimelekh berperang melawan kota itu; ia merebut kota itu dan membunuh orang-orang yang di dalamnya; kemudian dirobohkannya kota itu dan ditaburinya dengan garam. Mendengar itu masuklah seluruh warga kota Menara-Sikhem ke dalam liang di bawah kuil El-Berit. Dikabarkanlah kepada Abimelekh, bahwa seluruh warga kota Menara-Sikhem telah berhimpun di sana. Lalu Abimelekh dan seluruh rakyat yang bersama-sama dengan dia naik ke gunung Zalmon. Abimelekh mengambil kapak, lalu memotong dahan-dahan kayu, mengangkatnya dan meletakkannya ke atas bahunya sambil berkata kepada rakyatnya yang bersama-sama dengan dia: "Turutilah dengan segera perbuatanku yang kamu lihat ini." Kemudian rakyat itu juga masing-masing memotong dahan-dahan, lalu mengikuti Abimelekh, meletakkan dahan-dahan itu di atas liang dan membakar liang itu di atas kepala orang-orang itu. Demikianlah semua penduduk kota Menara-Sikhem juga mati, kira-kira seribu orang laki-laki dan perempuan. Selanjutnya Abimelekh pergi ke Tebes; ia mengepung Tebes, lalu merebutnya. Tetapi ada sebuah menara yang kuat di tengah-tengah kota, dan semua laki-laki dan perempuan, seluruh warga kota itu, melarikan diri ke situ; mereka menutup pintu di belakangnya dan naik ke atas sotoh menara itu. Lalu sampailah Abimelekh ke menara itu, menyerangnya, dan dapat menerobos sampai ke pintu menara itu untuk membakarnya. Tetapi seorang perempuan menimpakan sebuah batu kilangan kepada kepala Abimelekh dan memecahkan batu kepalanya. Dengan segera dipanggilnya bujang pembawa senjatanya dan berkata kepadanya: "Hunuslah pedangmu dan bunuhlah aku, supaya jangan orang berkata tentang aku: Seorang perempuan membunuh dia." Lalu bujangnya itu menikam dia, sehingga mati.


(3)

(2)

Lampiran 2: Teks cerita

Marsinah, Tragedi Seorang Buruh

Hutan Wilangan, Nganjuk tanggal 9 Mei 1993. Awalnya adalah anak-anak yang bermain menemukan mayat perempuan pada sebuah gubuk kelompok tani. Mayat tersebut tergeletak dalam posisi telentang. Sekujur tubuhnya penuh dengan luka memar bekas pukulan benda keras. Kedua pergelangan tangannya lecet-lecet, diduga akibat diseret dalam tangan terikat. Tulang panggulnya hancur karena pukulan benda keras berkali-kali. Dari sela-sela pahanya ada bercak-bercak darah, diduga akibat penganiayaan dengan benda tumpul. Pada bagian yang sama menempel kain putih berlumuran darah. Mayatnya ditemukan dalam keadaan lemas. Ia adalah Marsinah, seorang buruh pabrik yang pada beberapa waktu lalu terlibat aksi mogok.

Marsinah lahir tanggal 10 April 1969. Anak nomor dua dari tiga bersaudara ini merupakan buah kasih antara Sumini dan Mastin. Sejak usia tiga tahun, Marsinah telah ditinggal mati oleh ibunya. Bayi Marsinah kemudian diasuh oleh neneknya –Pu’irah - yang tinggal bersama bibinya – Sini – di desa Nglundo, Nganjuk, Jawa Timur.

Pendidikan dasar ditempuhnya di SD Karangasem, Kecamatan Gondang. Sedangkan pendidikan menengahnya di SMPN 5 Nganjuk. Sedari kecil, gadis berkulit sawo matang itu berusaha mandiri. Menyadari nenek dan bibinya kesulitan mencari kebutuhan sehari-hari, ia berusaha memanfaatkan waktu luang untuk mencari penghasilan dengan berjualan makanan kecil.

Di lingkungan keluarganya, ia dikenal sebagai anak rajin. Jika tidak ada kegiatan sekolah, ia biasa membantu bibinya memasak di dapur. Sepulang dari sekolah, ia biasa mengantar makanan untuk pamannya di sawah. Berbeda dengan teman sebayanya yang lebih suka bermain-main, ia mengisi waktu dengan kegiatan belajar dan membaca. Kalaupun keluar, paling-paling dia hanya pergi untuk menyaksikan siaran berita televisi.

Ketika menjalani masa sekolah menengah atas, Marsinah mulai mandiri dengan mondok di kota Nganjuk. Selama menjadi murid SMA Muhammadiyah, ia dikenal sebagai siswi yang cerdas. Semangat belajarnya tinggi dan ia selalu mengukir prestasi dengan peringkat juara kelas. Jalan hidupnya menjadi lain, ketika ia terpaksa harus menerima kenyataan bahwa ia tidak mempunyai cukup biaya untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. “Dia ingin


(4)

(3)

sekolah di IKIP. Tapi, uang siapa untuk membiayai di perguruan tinggi itu?” ujar kakek Marsinah.

Pergi meninggalkan desa adalah sebuah langkah hidup yang sulit terelakkan. Kesempatan kerja di pedesaan semakin sempit. Kerja sebagai buruh tani semakin kecil peluangnya. Ujungnya adalah tidak ada pilihan lagi selain pergi ke kota. Maka ia berusaha mengirimkan sejumlah lamaran ke berbagai perusahaan di Surabaya, Mojokerto, dan Gresik. Akhirnya ia diterima di pabrik sepatu BATA di Surabaya tahun 1989. Setahun kemudian, ia pindah ke pabrik arloji Empat Putra Surya di Rungkut Industri, sebelum akhirnya ia pindah mengikuti perusahaan tersebut yang membuka cabang di Siring, Porong, Sidoarjo. Marsinah adalah generasi pertama dari keluarganya yang menjadi buruh pabrik.

Kegagalan meneruskan ke perguruan tinggi bukannya membuat semangat belajarnya padam. “Mbak Marsinah berkeyakinan bahwa pengetahuan itu mampu mengubah nasib seseorang,” ujar salah seorang temannya. Karena itu, untuk menambah pengetahuan dan keterampilan, Marsinah mengikuti kursus komputer dan bahasa Inggris di Dian Institut, Sidoarjo. Kursus komputer dengan paket Lotus dan Word Processor sempat dirampungkan beberapa waktu sebelum ia meninggal. Semangat belajar yang tinggi juga tampak dari kebiasaannya menghimpun rupa-rupa informasi. Ia suka mendengarkan warta berita, baik lewat radio maupun televisi. Minat bacanya juga tinggi. Saking senangnya membaca, ia terpaksa memakai kacamata. Pada waktu-waktu luang, ia sering kali membuat kliping Koran. Malahan untuk kegiatan yang satu ini ia bersedia menyisihkan sebagian penghasilannya untuk membeli Koran dan majalah bekas, meskipun sebenarnya penghasilannya pas-pasan untuk menutup biaya hidup.

Ia dikenal sebagai seorang pendiam, lugu, ramah, supel, ringan tangan dan setia kawan. Ia sering dimintai nasihat mengenai berbagai persoalan yang dihadapi kawan-kawannya. Kalau ada kawan yang sakit, ia selalu menyempatkan diri untuk menjenguk. Selain itu ia sering kali membantu kawan-kawannya yang diperlakukan tidak adil oleh atasan. Ia juga dikenal sebagai seorang pemberani.

Paling tidak dua sifat yang terakhir disebut – pemberani dan setia kawan – inilah yang membekalinya menjadi pelopor perjuangan. Pada pertengahan April 1993, para buruh CPS (Catur Putra Surya) – pabrik tempat Marsinah bekerja – resah karena ada kabar kenaikan upah menurut Surat Edaran Gubernur Jawa Timur. Dalam surat itu termuat imbauan kepada para


(5)

(4)

pengusaha untuk menaikkan upah buruh sebesar 20% dari upah pokok. Pada minggu-minggu tersebut, Pengurus PUK-SPSI PT.CPS mengadakan pertemuan di setiap bagian untuk membicarakan kenaikan upah sesuai dengan imbauan Surat Edaran Gubernur.

Keresahan tersebut akhirnya berbuah perjuangan. Pada tanggal 3 Mei 1993 seluruh buruh PT. CPS tidak masuk kerja, kecuali staf dan para kepala bagian. Sebagian buruh bergerombol dan mengajak teman-teman mereka untuk tidak masuk kerja. Hari itu juga, Marsinah pergi ke kantor Depnaker Surabaya untuk mencari data tentang daftar upah pokok minimum regional. Data inilah yang ingin Marsinah perlihatkan kepada pihak pengusaha sebagai penguat tuntutan pekerja yang hendak mogok.

Tanggal 4 Mei 1993 pukul 07.00 para buruh PT.CPS melakukan unjuk rasa dengan mengajukan 12 tuntutan. Seluruh buruh dari ketiga shift serentak masuk pagi dan mereka bersama-sama memaksa untuk diperbolehkan masuk ke dalam pabrik. Satpam yang menjaga pabrik menghalang-halangi para buruh shift II dan shift III. Tidak ketinggalan, para satpam juga mengibas-ngibaskan tongkat pemukul serta merobek poster dan spanduk para pengunjuk rasa sambil meneriakkan tuduhan PKI kepada para pengunjuk rasa.

“Ya sudah, kalau teman-teman tidak diperbolehkan masuk, keamanan saya serahkan kepada Bapak, kami sekarang hendak berunding dengan pengusaha!” ucapnya pada salah seorang aparat keamanan. Perundingan berjalan dengan hangat. Dalam perundingan tersebut, sebagaimana dituturkan kawan-kawannya, Marsinah tampak bersemangat menyuarakan tuntutan. Dialah satu-satunya perwakilan dari buruh yang tidak mau mengurangi tuntutan. Setelah perundingan yang melelahkan tercapailah kesepakatan bersama.

Berakhirkah pertentangan antara buruh dengan pengusaha? Ternyata tidak! Tanggal 5 Mei 1993, ada 13 buruh dipaksa menandatangani surat PHK. Para buruh terpaksa menerima PHK karena tekanan fisik dan psikologis yang bertubi-tubi. Dua hari kemudian menyusul 8 buruh di-PHK di tempat yang sama.

Marsinah sadar betul bahwa peristiwa yang menimpa kawan-kawannya adalah suatu keniscayaan di negeri milik pengusaha ini. Dari kliping-kliping surat kabar yang diguntingnya, dari keluhan-keluhan kawan-kawannya sepabrik, dari kemarahan-kamarahan yang diteriakkan, dan dari apa yang ia lihat dengan mata kepala sendiri, semuanya memberinya pengetahuan tentang ketidakberesan yang melanda segala lapisan dalam masyarakat kita.


(6)

(5)

Kemarahannya meledak saat mengetahui perlakuan terhadap kawan-kawannya. “Saya tidak terima! Saya mau (melapor) ke paklik saya yang jadi jaksa di Surabaya!” teriak Marsinah gusar. Dengan gundah ia raih surat panggilan Kodim milik salah seorang kawannya, lantas pergi. Ke mana perginya Marsinah? Tidak ada yang tahu. Yang pasti, Marsinah tidak lagi terlihat di pabrik tempat ia bekerja. Marsinah telah mati. Mayatnya ditemukan di gubuk petani dekat hutan Wilangan, Nganjuk tanggal 9 Mei 1993.