BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Bahasa Lio, Flores, adalah salah satu bahasa lokal, atau bahasa daerah, atau juga
bahasa etnik Lio  yang ada di Flores Tengah, Nusa Tenggara Timur. Selain bahasa Lio, di  Kabupaten  Ende  ada  juga  dialek  Ende  dan  dialek  Nage.  Oleh  masyarakat  di
Kabupaten  Ende,  ketiga  dialek  itu  dikenal  sebagai  logat  Aku  untuk  bahasa  Lio,  logat Ja’o untuk dialek Ende, dan logat Nga’o dialek Nage. Ketiga bentuk persona pertama
tunggal yang mengandung makna aku atau saya itu menjadi nama bahasa atau dialek- dialek. Kesalingpahaman dalam komunikasi verbal antardialek itu masih memadai atau
cukup  baik  kendati  disadari  pula  oleh  para  guyub  tuturnya  sebagai  bahasa  atau  dialek yang berbeda. Pranasalisasi merepresentasikan dialek-dialek
Ja’o dan Nga’o dan bahasa Lio. Selain bahasa Lio dan kedua dialek itu, di Kabupaten Ende, sebagai bagian NKRI,
hidup  pula  Indonesia  sebagai  bahasa  nasional  dan  bahasa  resmi.  Sebagai  mata pembelajaran  di  sekolah-sekolah  SMP,  SMA,  dan  SMK  dan  di  perguruan  tinggi,
sejumlah  bahasa  asing,  khususnya  bahasa  Inggris,  juga  hidup  dan  berkembang  walau tidaklah menjadi bahasa sehari-hari.  Dengan demikian, masyarakat di Kabupaten Ende,
seperti  juga  banyak  masyarakat  Indonesia  lainnya,  telah  berkembang  menjadi masyarakat  dwibahasa  bilingualism  dalam  arti  lebih  dari  dua  bahasa  lihat  Romaine,
1995. Bahasa Lio juga mengenal dan memiliki dialek yang berkorespondensi antara k-
h.  Dialek  k  ada  di  kawasan  barat  dan  utara  Lio,  sedangkan  dialek  h  ada  di  wilayah timur  khususnya  daerah  Lise.  Sebagai  contoh  dapat  dilihat  pada  korespondensi  berikut
ini. Dialek k
Dialek h ki
hi ‘ilalang’
kasa hasa
‘pagat’ kea
hea ‘sej. labu’
kolo holo
‘kepala’ kubu
hubu ‘atap’
koro horo
‘lombok’
Dari  segi  daya  dukung  penuturnya,  bahasa  Lio  dikuasai  dan  digunakan  oleh sebagian  besar  masyarakat  di  Kabupaten  Ende.  Bahasa  Lio  juga  memiliki  beberapa
dialek dengan ciri-ciri fonologis  dan leksikal,  di  samping ciri-ciri suprasegmental  yang sangat jelas pula. Jumlah penutur bahasa Lio diperkirakan lebih dari 100 ribu orang jika
penutur  bahasa  Lio  di  wilayah  Kabupaten  Sikka  pun  dimasukkan  ke  dalamnya.  Dialek Ende didukung oleh sekitar empat puluh ribu penutur sedangkan dialek Nag’o didukung
oleh sekitar tiga puluh ribu penutur. Perlu diinformasikan kembali bahasa Lio digunakan oleh  masyarakat  di  Kabupaten  Sikka  khususnya  di  dua  kecamatan  yakni  Kecamatan
Paga dan Kecamatan Mego. Kedua kecamatan itu berbatasan langsung dengan wilayah Kabupaten Ende, termasuk Kecamatan Kotabaru di bagian Utara. Sungai Nangabolo di
Kabupaten  Sikka  menjadi  pembatas  wilayah  pakai  bahasa  Lio  dan  Bahasa  Sikka. Masyarakat di kedua kecamatan itu juga berkembang menjadi masyarakat multibahasa,
bahasa  Lio,  bahasa  Sikka,  dan  bahasa  Indonesia.  Adat,  budaya,  dan  tradisi  Lio  masih cukup kuat terpelihara di kedua kecamatan itu, Paga dan Mego kendati adat, budaya, dan
tradisi Sikka juga kuat menyatu dalam masyarakat di kawasan itu. Sebagai  turunan  Proto-Austronesia,  bahasa  Lio  berkerabat  erat  closed
relationship dengan bahasa Ngadha dan bahasa Palu’e Fernandes, 1986; Mbete 1981.
Bahasa  Palu’e  terdapat  di  Pulau  Palu’e,  utara  Kabupaten  Ende  dan  secara  adinistratif termasuk wilayah Kabupaten Sikka. Secara administratif, dalam hubungan kekerabatan
yang  besar,  bahasa  Lio  termasuk  kelompok  bahasa  Flores  Barat  dengan  bahasa Manggarai sebagai anggota kelompok yang lebih besar jumlah penuturnya. Pada jenjang
lebih tinggi  bahasa  Lio  berkerabat  erat  pula dengan subkelompok bahasa Flores Timur termasuk  bahasa  Sikka  dan  Lamaholot.  Bahasa-bahasa  kerabat  di  Flores,  termasuk
bahasa  Lio  mewariskan  ciri-ciri  fonologis,  morfologis,  leksikal,  gramatikal,  dan semantik  asali  dari  bahasa  asalnya.  Selain  kadar  dan  ciri-ciri  divergensi  kelinguistikan
yang genetis, unsur-unsur serapan dari Proto-Papua juga ada dalam bahasa itu. Sebagai bahasa lokal yang menyatu dengan dan menjadi ciri jati diri guyub tutur
pemilik  dan  para  pewarisnya  yakni  para  anggota  guyub  tutur  bahasa  Lio,  bahasa  Lio mengemban fungsi-fungsi yang sangat penting bagi masyarakat Lio. Bahasa Lio adalah
perekat persatuan sebagai Orang Lio, sarana komunikasi dan interaksi verbal antarwarga
etnik Lio, perekam dan pengalih transmisi kebudayaan Lio antargenerasi; kebudayaan Lio  dalam  pelbagai  seginya.  Bahasa  Lio  juga  menjadi  sarana  pengungkap  senisasatra
dan budaya Lio, dan menjadi ciri pembeda jati diri Orang Lio dengan etnik-etnik lainnya di  Flores  dan  Indonesia  umumnya.  Bahasa  Lio  pula  yang  membedakan  Orang  Lio
dengan  Orang  Sikka,  Orang  Ende,  Orang  Nagekeo,  Orang  Ngada,  Orang  Manggarai, Orang  Lamaholot,  dan  Orang  Riung.  Sebagaimana  telah  disinggung  di  atas,
diinformasikan  bahwa  sesungguhnya  secara  linguistis,  guyub  tutur  dan  penutur  bahasa Lio  terdapat  pula di  bagian barat  Kapupaten Sikka, khususnya di  Kecamatan Paga dan
Mego. Penduduk Kabupaten Sikka di kedua kecamatan itu, menguasai bahasa Lio dialek Paga-Mbengu  dengan  ciri  suprasegmentalnya  yang  khas.  Selain  itu  di  antara  mereka
juga  ada  yang  menguasai  dan  menggunakan  bahaaa  Sikka,  dan  tentunya  bahasa Indonesia.
Sebagai  warisan  sejarah  dan  elemen  budaya  masa  lalu,  bahasa  Lio  telah  hidup dan  berfungsi  bagi  guyub  tuturnya  sejak  ratusan  bahkan  ribuan  tahuan  silam.  Adat
istiadat,  tradisi,  dan  kebudayaan  Lio  diungkapkan  dan  diwadahi  dalam  bahasa  Lio. Lagu-lagu Lio yang cukup terkenal itu bersyairkan bahasa Lio, demikian juga teks-teks
sastra lisan dengan paralelisme semantik sebagai pilar estetik berekspresi secara verbal, merupakan  produk-produk  seni-budaya  bernilai  tinggi.  Karya  sastra  lisan  yang  bernlai
tinggi  dan  tertuang  dalam  mitos  Ine  Pare ‘Dewi  Padi’,  merupakan  pusat  dan  puncak
adicita  ideology  etnik  Lio  yang  hingga  kini  masih  terawat  kuat  dalam  bahasa  dan budaya agraris komunitas etnik Lio. Mitos Ine Pare
‘Dewi Padi’ adalah sastra suci bagi masyarakat Lio terutama dalam konteks perladangan asli.
Peredaran  waktu  dan  dinamika  ruang  telah  pula  mengubah  banyak  segi kebudayaan  Lio.  Jikalau  sebelum  masa  Kemerdekaan  1940an  hanya  ada  sara  Lio
bahasa Lio dan sara Melaju bahasa Melayu, pasca Kemerdekaan Indonesia memang mengubah  lingkungan  kebahasaan  bahasa  Lio.  Masyarakat  etnik  Lio  yang  semula
umumnya ekabahasa yang secara terbatas didampingi  sara Melaju ‘bahasa Melayu’ di
kalangan  tertentu  khususnya  kaum  terdidik  kala  itu,  perubahan  lingkungan  kebahasaan pun  semakin  meluas  dan  mendalam.  Meluas,  karena  semakin  banyak  pembelajar  dan
pengguna bahasa Indonesia khususnya etnik Lio, dan semakin mendalam karena banyak
segi kehidupan diwahanai oleh bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, bahasa nasional, dan  bahasa  Negara.  Pembelajaran,  penggunaan,  pemerluasan  bahasa  nasional,  bahasa
resmi bahasa Indonesia sebagai penyatu bangsa Indonesia dan posisi itu jelas menggeser kedudukan bahasa Lio. Jikalau pada masa lalu bahasa Lio menjadi bahasa ibu sebagian
besar  etnik  Lio  di  kota,  terutama  di  pedesaan,  setakat  ini,  bahasa  Indonesia  sudah menjadi bahasa ibu bagi sebagian etnik Lio. Seiring dengan itu, semakin terpinggir pula
kedudukan  dan  semakin  menyusut  pula  fungsi  sosiokultural  bahasa  Lio  lihat  Mbete, 1994.
Kehadiran  bahasa  Indonesia  juga  menandai  masuknya  kebudayaan  Indonesia dalam  pelbagai  aspeknya.  Pola  pikir,  cara  dan  gaya  hidup,  mata  pencaharian,  pola
konsumsi  berubah  dan  berkembang.  Budaya  agraris  dengan  mengandalkan  pengolahan lading  berpindah  mulai  menipis  mengiringi  pola  pengihidupan  dengan  tanaman
perdagangan  yang  lebih  menjanjikan  seperti  kakao,  cengkeh,  vanili,  kemiri,  dan sebagainya.  Mata  pencaharian  baru  di  bidang  jasa  lebih  dipilih  oleh  generasi  muda.
Berladang dengan aneka tanaman tumpangsari asli dengan padi lokal sebagai primadona budaya  agraris  etnik  Lio  semakin  terdesak.  Seiring  dengan  itu,  lahan  untuk  padi  lokal
dengan  aneka  tanaman  pangan  asli,  semakin  sempit.  Kerajinan  dan  budaya  tenun  ikat semakin  kurang  dipilih  oleh  generasi  muda  putri.  Demikian  pula  kerajinan  keramik
yatau gerabah yang mengolah sumber daya tanah liat semakin ditinggalkan pula, hanya ditekuni  oleh  segelintir  perempuan  tua,  sedangkan  kaum  wanita  muda  sudah
meninggalkan profesi itu. Bahasa  adalah  gambaran  atau  representasi  lingkungan  tempat  bahasa  hidup,
dalam  arti  hidup  dalam  manusia.  Dengan  demikian,  bahasa  Lio  dalam  subsistem leksikon,  teks,  dan  wacana  mengambarkan  pula  kenyataan  yang  ada  di  sekitarnya.
Kekayaan  leksikon  khusus,  merepresentasikan  lingkungan  alam  dan  budaya  yang beragam pula. Khazanah leksikon bahasa Lio tentang keberagaman jenis, ukuran, bentuk
ikan-ikan laut dapat  ditemukan di  lingkungan pesisir atau daerah pantai,  baik  di  pantai selatan  Kabupaten  Ende  dan  Nage  maupun  di  Pantai  Utara  Kabupaten  Ende.
Berdasarkan  sifat  lau t  selatan  yang  “garang”,  oleh  guyub  tutur  bahasa  Lio  dan  dialek
Ende, pantai selatan disebut Ma’u Haki ‘laut jantan’, sedangkan pantai utara yang relatif
lebih tenang ombaknya disebut Ma’u Fai, ‘laut betina’.
Seperti  halnya  bahasa-bahasa  lokal  dengan  kandungan  lokalitasnya  di  pelbagai guyub  tutur  dan  guyub  etnik  di  Indonesia,  bahasa  Lio  yang  hidup  sejak  berabad-abad
hingga  dewasa  ini,  merepresentasikan  hubungan  timbal  balik  bahasa  itu  dengan lingkungan,  baik  dalam  skala  buana  agung,  mikrokosmos,  maupun  dalam  skala
buana  alit,  mikrokosmos.  Ikhwal  adanya  hubungan  timbal  balik  itu  sesungguhnya terekam  dan  terwadahkan  dalam  bahasa  Lio  karena  pada  hakikatnya  bahasa  adalah
“wadah  atau  sarang  kebudayaan”.  Termasuk  ke  dalamnya  adalah  kategori  produk budaya  material  yang  bersumber  pada  alam  di  lingkungannya.  Budaya  bahari  berbasis
laut tentu berbeda dengan budaya perladangan berbasis lahan atau tanah garapan dengan aneka  tumbuhan.  Dalam  bahasalah  tersimpan  kekayaan  makna  dan  nilai  kehidupan
insani  tersimpan.  Akan  tetapi,  perjalanan  waktu,  dinamika  kebudayaan,  perubahan lingkungan  alami  dan  sosial,  telah  berdampak  pada  perubahan  bahasa  Lio  sebagai
wahana  budaya  etnik  Lio.  Generasi  muda  guyub  etnik  dan  guyub  tutur  bahasa  Lio sebagai ahli waris sudah “meninggalkan” bahasa lokal warisan leluhur mereka. Generasi
muda bahkan sudah mulai meninggalkan tradisi.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan  latar  belakang  yang  diuraikan  di  atas  berikut  dirumuskan  masalah yang dikaji dalam penelitian ini.
a. Bagaimanakah  gambaran  tentang  khazanah  leksikon  dengan  kategorinya
spesifik tentang kegerabahan? b.
Bagaimanakah  gambaran  tentang  kekayaan  leksikon  tentang  tumbuhan  dan tanaman dalam bahasa Lio?
c. Bagaimanakah  gambaran  tentang  khazanah  leksikon  tentang  binatang  dan
hewan umumnya dalam konteks budaya sebagai kekayaan bahasa Lio? d.
Leksikon-leksikon  spesifik  tentang  tenun  ikat  berbasis  lingkungan  dalam bahasa Lio?
e. Faktor-faktor  apa  sajakah  yang  menyebabkan  tergusurnya  pengetahuan
leksikon-leksikon lingkungan spesifik dalam bahasa Lio? f.
Apa  sajakah  dampak  perubahan  pengetahuan  leksikon-leksikon  spesifik tersebut  dalam  kaitan  dengan  keberlanjutan  unsur-unsur  bahasa,  budaya
lokal, dan lingkungan hidup etnik Lio? Khazanah  leksikon  yang  makna  referensial  eksternalnya  merujuk  pada  aneka
tumbuhan pangan, obat-obatan tradisi, gerabah, tenun ikat, dan dunia kebaharian, secara linguistik  mencakupi  kategori  nomina,  verba,  dan  ajektiva.  Kategori  nomina  dalam
konteks  ekoleksikal  ini  berkaitan  dengan  pengetahuan  tentang  kekayaan  lingkungan, baik  karegori  biotik  atau  yang  bernyawa,  maupun  abiotic  atau  yang  tidak  bernyawa.
Taksonomi tentang tumbuhan dan hewan yang menjadi khazanah budaya kuliner lokal, dilengkapi  pula  dengan  heronimi  sebagai  hasil  olahan.  Semuanya  mengambarkan
kekayaan leksikon, bahasa, dan budaya guyub tutur bahasa Lio. Termasuk di dalamnya adalah  perangkat  nomina  turunan  yang  merepresentasikan  hasil  olahan  tradisonal  atas
tumbuh-tumbuhan yang menjadi tanaman budaya itu. Kategori  adjektiva  adalah  kelompok  leksikon  merepresntasikan  pengetahuan
guyub  tutur  bahasa  Lio  tentang  kualitas  dan  sifat-sifat  aneka  entitas  yang  dikenali  dan dimanfaatkan oleh warga guyub tuitur bahasa Lio. Dengan demikian, gambaran tentang
sifat,  karakter,  dan  kualitas  biotik  sejumlah  tumbuhan  dan  hewan  yang  diakrabi,  juga entitas-entitas  abiotic  khususnya  tanah,  air,  pasir,  dan  bebatuan,  terekam  dan
terwadahkan dalam perangkat leksikon bahsasa Lio. Kategori  verba  yang  dijangkau  dalam  kajian  ekoleksikal  ini  berkaitan  dengan
aktivoitas  manusia  dalam  mengolah  sumber  daya  yang  ada  di  lingkungan.  Verba tindakan  dan  verba  proses,  tercakup  di  dalamnya.  Atas  dasar  kategori  verba  itu,
subkategori  verba  tindakan  berkaitan  dengan  kegiatan  atau  aktivitas  mengolah  entitas tertentu,  misalnya  menebang  dan  mengolah  batang  pohon  atau  bagian  tangkai  pohon
aren  untuk  dijadikan  nira  atau  tuak  manis  misalnya,  membeiikan  informasi  penting tentang keberagaman dan lingkungan. Selain keberagaman tanbaman, keberagaman atau
kekayaan leksikon yang menandai aktivitas dan atau proses khusus di lingkungan  yang
khusus  menggambarkan  interaksi,  interelasi,  dan  interdependensi  warga  guyun  tutur tertentu di lingkungan tertenu dengan jenis tumbuhan tertentu pula.
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Khusus Secara  khusus  penelitian  ini  bertujuan  untuk  memperoleh  fakta  dan  informasi
tentang bahasa dan hubungannya dengan lingkungan. Hubungan itu secara khusus dapat ditemukan dalam kata-kata dan ungkapan ekologis tentang sumber daya alam yang ada
di  Lio,  Flores.  Khazanah  lekikon  yang  berdimensi  ekologis  itu  mencakup  perangkat leksikon  pangan  atau  kuliner  lokal  dan  obatan-obatan,  gerabah  asli  dan  tenun  ikat.
Leksikon-seksikon yang diupayakan ditemukan itu berkaitan dengan kode-kode lingual aneka  tanaman  dan  unsur-unsur  ekologis  yang  didayagunakan  untuk  memenuhi
kebutuhan  manusia  dan  yang  telah  menjadi  tradisi  dan  sumber  daya  budaya  lokal. Sselain perangkat leksikon dan ungkapan, fakta dan informasi tentang ketergusuran atau
penyusutan  pengetahuan  tentang  khazanah  leksikon  dan  ungkapan  itu,  faktor-faktor penyebabnya dan dampaknya akan diupayakan pula digali dan dideskripsikan.
1.3.2 Tujuan Umum Tujuan  umum  penelitian  ini  juga  diupayakan  untuk  memperoleh  pemahaman
tentang  dinamika  lingkungan  dan  dinamika  budaya  serta  tradisi  berkaitan  dengan kekayaan sumber daya alam masyarakat etnik LIo, Flores. Selain itu, penelitian ini juga
ditujukan  untuk  memperoleh  fakta  dan  informasi  tentang  dampak-dampak  perubahan, baik yang berdimensi positif maupun yang negatif.
1.4 Manfaat
1.4.1  Manfaat Teoretis Manfaat  teoretis  jelas  terkandung  di  dalam  penelitian  ini.  Sebagaimana
diketahui,  sebagai  pendekatan  dan  kerangka  kaji  teoretik  linguistik  terapan  applied linguistics  yang  bersifat  lintas  bidang  interdisipliner,  adalah  bidang  keilmuan  yang
relatif  baru.  Dengan  demikian,  fakta-fakta  baru  yang  khas  dan  mutakhir  diharapkan
bermanfaat  untuk  memperkuat  dan  mengembangkan  konsep-konsep  penguat  kerangka teoretik ekolinguistik. Kajian kritis juga bermanfaat untuk itu.
1.4.2 Manfaat Praktis Manfaat praktis penelitian ini juga sangat diharapkan. Kesenjangan pengetahuan
dan  persepsi  tentang  sumber  daya  alam  antara  generasi  tua  dan  muda  mengandung makna bahwa telah terjadi perubahan kebudayaan, padahal sumber daya budaya berbasis
lingkungan alam dengan keanekaragamannya sangat penting. Berdasarkan pengetahuan yang  dikembangkan  atau  diberdayakannya  kembali  dalam  proses  pembelajaran  dan
pendidikan,  kesenjangan  pengetahuan  dan  pemahaman  tentang  sumber  daya  alam  dan budaya  antargenerasi  dapat  dijembatani,  apalagi  dalam  kaitan  pengembangan
keterampilan  mengolah  keanekaragaman  sumber  daya  bertautan  dengan  ekononomi kreatif berbasis sumber daya lokal.
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI, DAN MODEL PENELITIAN