461 BAB XI
PENUTUP
A. Simpulan
Dari hasil penelitian dan temuan lapangan, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut.
Pertama, pedagang kaki lima PKL sebagai bagian dari entitas ekonomi sektor informal tidak bisa dipandang remeh,
karena keberadaannya memiliki kontribusi positif bagi kelangsungan hidup
survival strategy mereka. Kontribusi ekonomi PKL di Semarang cukup signifikan dalam menopang
pemenuhan kebutuhan sehari-hari para pedagang, bahkan keberadaan PKL juga menjadi kontributor bagi kelangsungan
hidup kelompok masyarakat marginal lainnya, seperti tukang parkir dan pengemis. Meskipun tidak memiliki kontribusi yang
signifikan bagi pendapatan asli daerah PAD bila dibandingkan besarnya kontribusi sektor ekonomi formal, namun keberadaan
sektor ekonomi informal, utamanya PKL menjadi tempat menampung pengangguran dari para urban nonterampil
unskill dan kurang berpendidikan unliterated. Eksistensi PKL di Semarang juga tidak membebani anggaran pemerintah
kota, sebab dengan jiwa kewirausahaan dan sikap pantang menyerahnya, mereka dapat berusaha sendiri tidak tergantung
pada belas kasihan dari pihak lain, sehingga mampu menopang hidup dan kehidupannya. Tanpa intervensi apa pun dari
pemerintah mereka bisa hidup dan dapat memenuhi kebutuhan keluarganya, apalagi jika pemerintah memiliki kepedulian
dalam membina usaha mereka.
Kedua, menjadi pedagang kaki lima PKL pada umumnya merupakan cara termudah untuk menggantungkan hidup. Para
PKL di kota Semarang adalah tenaga kerja yang tidak terampil, kurang berpendidikan, tidak memiliki akses bantuan dari
462
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
pemerintah dan tidak memiliki akses kredit kepada Bank. Mereka butuh makan dan menghidupi keluarganya. Lapangan
kerja formal yang disediakan Pemkot tidak memadai dan tidak mampu menampung seluruh angkatan kerja yang ada di
Semarang. Keterbatasan yang dimiliki, menjadikan banyak tenaga kerja
unskill dan uneducated yang tidak bisa diserap oleh lapangan kerja sektor formal. Salah satu cara agar
kelompok masyarakat yang serba kurang ini bisa hidup, maka mereka harus bekerja. Sektor yang dapat mereka masuki sesuai
dengan karakteristik mereka adalah sektor informal, khususnya perdagangan kaki lima. Dengan bekerja sebagai PKL, kelompok
masyarakat marginal ini dapat menjaga kelangsungan hidupnya survival, memberi makan keluarganya, dan memberi
penghidupan keluarganya selagi mereka masih mampu dan kuat berdagang di jalanan. Dengan demikian, menjalani hidup
sebagai pedagang kaki lima merupakan salah satu cara atau strategi survival kelompok masyarakat marginal.
Ketiga, kebijakan Pemkot Semarang yang berkaitan dengan eksistensi pedagang kaki lima adalah RTRW kota Semarang
tahun 2000-2010 ditetapkan berdasarkan Perda nomor 5 tahun 2004, RTRW kota Semarang tahun 2011-2031 ditetapkan
berdasarkan Perda nomor 14 Tahun 2011, RPJPD kota Semarang ditetapkan berdasarkan Perda Nomor 6 tahun 2010,
dan Perda nomor 11 tahun 2000 tentang PKL. Kebijakan Pemkot tersebut, utamanya Perda RTRW dan RPJPD diarahkan
untuk mewujudkan visi Kota Semarang sebagai pusat Perdagangan dan Jasa yang berskala internasional yang aman,
nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Perda-perda tersebut substansinya
juga dimaksudkan
untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Dalam dua Perda yang mengatur penataan ruang tersebut, tidak mengatur secara komprehensif
bagaimana PKL
ditata sedemikian
rupa, termasuk
penempatannya, yang
memungkinkan mereka
dapat menjalankan aktivitas ekonomi secara bebas, sehingga
463
PENUTUP
kesejahteraan mereka terjamin. Perda-perda tersebut lebih berorientasi kepada kepentingan pemodal dan terbukti dalam
berbagai kebijakan Pemkot, para pengusaha perhotelan, pasar swalayan, ritel, perumahan, pusat-pusat hiburan, dan pusat-
pusat kuliner berskala besar dapat dengan mudah memperoleh izin dan menjalankan usahanya. Tanah-tanah yang diminati
pemodal dapat dengan mudah diperoleh. Sementara itu, PKL yang tidak memiliki modal sebesar para kapitalis, tidak dengan
mudah mengakses tanah yang dapat mereka manfaatkan untuk berdagang. Akibatnya, mereka berdagang di tempat-tempat
kosong yang ramai atau dekat dengan konsumen, meskipun tanah-tanah tersebut tidak boleh digunakan untuk kegiatan
ekonomi. Perda Nomor 11 Tahun 2000 yang mengatur PKL pun, tidak memberi jaminan kepada PKL untuk bebas
menjalankan aktivitas ekonominya. Perda tersebut justru memberangus eksistensi PKL, karena yang diatur lebih banyak
menyangkut kewajiban dan larangan, daripada hak-hak yang dipunyai PKL. Hal ini berbeda dengan kebijakan Pemkot
Surakarta, di mana dalam Perda yang mengatur tentang PKL, Pemkot memiliki kewajiban untuk mengembangkan usaha
PKL. Dalam kaitan ini, walikota berkewajiban memberikan pemberdayaan, berupa: 1 bimbingan dan penyuluhan
manajemen usaha, 2 pengembangan usaha melalui kemitraan dengan pelaku ekonomi yang lain, 3 bimbingan untuk
memperoleh peningkatan permodalan, dan 4 peningkatan sarana dan prasarana PKL. Itulah sebabnya, ketika terjadi
relokasi PKL Monjari ke lokasi PKL Notoharjo Semanggi Surakarta, tidak terjadi gejolak, bahkan PKL secara sukarela
bersedia pindah.
Keempat, kebijakan penataan PKL di Semarang yang lebih ditekankan pada relokasi, yang disertai dengan kekerasan, baik
simbolik maupun langsung fisik menimbulkan perlawanan resistensi dari para pedagang di Sampangan, Basudewo, dan
Kokrosono. Perlawanan PKL terhadap Pemkot dilandasi oleh
464
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
alasan atau faktor-faktor yang membuat PKL menolak direlokasi atau melakukan perlawanan ketika digusur dan
dipindah yaitu 1 adanya pengalaman buruk ketika PKL dipindah, 2 PKL sudah menikmati zona aman
comfort zone di lokasi di mana mereka berdagang, 3 komunikasi yang
buruk antara pihak Pemkot dengan PKL, 4 PKL tidak terlibat secara
fair dalam pengambilan keputusan yang menyangkut diri mereka, 5 PKL dikendalikan oleh sikap
self interest, meskipun tidak semuanya seperti itu, 6 PKL khawatir di tempat baru
akan kehilangan sesuatu yang bernilai, seperti pendapatan, 7 PKL takut mengalami kegagalan di tempat yang baru, 8 PKL
merasa tidak memiliki pilihan lain kecuali berdagang di lokasi tersebut, 9 PKL merasa terancam pekerjaannya, 10 resiko di
tempat baru lebih besar daripada resiko yang ditanggung ketika masih berada di lokasi semula. Respon-respon yang
ditunjukkan oleh PKL Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono, semuanya adalah untuk kepentingan bertahan hidup survival,
utamanya adalah untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari kebutuhan fisiologis.
Kelima, resistensi yang ditunjukkan PKL terhadap Pemkot Semarang bermacam-macam. Dari hasil penelitian ditemukan
bahwa resistensi PKL mengambil dua bentuk, yaitu perlawanan fisik kekerasan dan perlawanan nonkekerasan. Perlawanan
kekerasan
violence resistance ditunjukkan PKL dengan adu mulut, mendorong petugas, mempertahankan bangunan dan
lapak yang akan dibongkar, menaiki begu, menghalangi pengemudi untuk menjalankan begu, memblokade jalan, serta
menghadang petugas yang akan membongkar bangunan dan lapak PKL. Perlawanan nonkekerasan diperlihatkan dalam
bentuk melakukan demonstrasi damai, berorasi, lari dan kembali
run and back, membuat pamflet atau poster, membuat spanduk, dan mendirikan Posko Anti Penggusuran.
Apa yang mereka lakukan merupakan tindakan kolektif dan terorganisasi. Tindakan PKL ini bukan merupakan tindakan
465
PENUTUP
spontanitas dan bersifat individual, tetapi merupakan tindakan yang terjadi dalam suatu struktur sosial, yaitu di bawah
naungan organisasi atau paguyuban internal atau organisasi yang menaungi aktivitas mereka.
Keenam, perlawanan resistensi PKL bukan merupakan tindakan individu, tetapi tindakan kolektif yang dipicu oleh
adanya diskrepansi antara harapan, yakni keinginan untuk tetap dapat berdagang di lokasi yang ditempati selama ini dan
adanya kenyataan, berupa kebijakan Pemkot yang merelokasi PKL ke tempat lain. Kepemimpinan yang disertai semangat
pengorbanan dari ketua PKL, penasihat PKL, dan ketua PPKLS menjadi modal personal yang menjadi titik masuk bagi
kepercayaan
trust yang diberikan oleh anggota kelompok PKL kepada ketua PKL. Norma, seperti membayar iuran untuk rapat
dan kegiatan-kegiatan paguyuban yang lain serta kehadiran dalam rapat dipatuhi oleh sebagian besar anggota paguyuban
PKL. Norma inilah yang memberi suntikan motivasi bagi pengurus paguyuban PKL berjuang menegosiasi Pemkot agar
PKL diizinkan atau setidaknya dibiarkan bekerja di tepi sungai Kaligarang dan sungai Banjir Kanal Barat. Kekompakan,
perasaan saling memiliki dan berbagi dalam tubuh organisasi internal mereka, membuat PKL memiliki
bonding social capital yang dapat diandalkan, dan menjadi penguat bagi sikap resisten
mereka terhadap Pemkot. Jaringan sosial yang dibangun oleh ketua PKL dengan asosiasi PKL yang lebih besar; sejumlah
lembaga swadaya masyarakat, seperti LBH, Pattiro; lembaga kemahasiswaan di Kota Semarang; personil Kepolisian, Dinas
Pasar, dan Satpol PP, memberikan tambahan kekuatan bagi pedagang kaki lima untuk melakukan perlawanan kepada
Pemkot Semarang.
Bridging social capital inilah yang memberi kekuatan mengapa PKL mampu bertahan di lokasi yang sudah
digusur oleh Pemkot. Hal lain yang membuat PKL bertahan di lokasi, membangkang terhadap perintah Pemkot serta melawan
petugas ketika ditertibkan dan digusur adalah kondisi
466
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
kemiskinan, kerentanan, dan ketidakberdayaan secara ekonomi yang jalin-menjalin menjadi satu dengan kebijakan Pemkot
yang tidak akomodatif, seperti penertiban dan penggusuran yang dilakukan terhadap PKL, membuat PKL memiliki alasan
kuat untuk bertahan di lokasi. Hanya dengan bekerja sebagai PKL di tempat yang sudah lama memberi makan tanpa ada
usikan, mereka dapat bertahan hidup di tengah pembangunan kota yang tidak berpihak kepada mereka. Mencari rezeki di
pinggir jalan yang banyak dipadati orang, meskipun PKL tahu hal itu melanggar peraturan, terpaksa mereka lakukan, sebab
hanya dengan bekerja di tempat tersebut mereka dapat uang untuk makan sehari-hari dan memenuhi kebutuhan keluarga.
berian dan semangat pengorbanan yang ditunjukkan ketua PKL, yang kemudian menjalar kepada pengurus lainnya,
merupakan modal sosial yang tak terhingga yang memperkokoh tekad anggota PKL untuk melakukan tindakan bersama
kolektif melawan kebijakan Pemkot yang tidak aspiratif dan akomodatif terhadap kepentingan mereka. Modal sosial inilah
yang disebut dengan modal sosial dengan pengorbanan atau sacrifice of social capital.
Modal sosial pengorbanan ini secara teoritis dapat memperkaya
konsep modal
sosial yang
selama ini
dikembangkan oleh para teorisi, apalagi modal sosial jenis ini tidak pernah disinggung sama sekali oleh para konseptor modal
sosial sebelumnya, baik Coleman, Putnam, Fukuyama, maupun Bourdieu. Modal sosial pengorbanan dapat digunakan secara
positif maupun negatif dalam pembangunan. Secara positif, jenis modal sosial ini dapat menggerakkan tindakan individu
maupun kelompok untuk meraih suatu tujuan atau sasaran tertentu tanpa memikirkan apa yang dapat diperoleh oleh
aktor. Pemerintah sebagai pembuat sekaligus pelaksana kebijakan dapat menggunakan modal sosial pengorbanan untuk
memacu
pembangunan guna
mewujudkan tujuan
pembangunan daerah. Merujuk pada konsep subsidiary dari
467
PENUTUP
Etzioni, pemerintah atau para pendamping pembangunan dapat meraih tujuan pembangunan lebih baik lagi, apabila masyarakat
diberi keleluasaan untuk mengatur urusan mereka sendiri. Dengan
demikian, proses
pembangunan akan
dapat berlangsung secara berkelanjutan dan hasil-hasilnya dapat
dinikmati oleh masyarakat yang paling miskin sekalipun. Ketujuh, pembangunan fisik normalisasi sungai Kaligarang
dan sungai Banjir Kanal Barat, yang sudah dirancang matang dalam RTRW ota Semarang dan RPJPD kota Semarang dalam
implementasinya harus menata ulang wilayah di sekitar sungai, yang selama ini digunakan oleh PKL untuk berdagang.
Pembangunan dan normalisasi sungai yang didanai oleh APBD dan APBN serta didukung oleh JICA Jepang tersebut, membuat
PKL yang selama ini bersikukuh tetap berdagang di lokasi tersebut, harus minggir, karena bangunan dan lapak yang
mereka gunakan untuk berdagang dihancurkan oleh aparat demi melaksanakan pembangunan yang lebih besar. Proyek
pembangunan, yang secara fisik mengubah lahan di tepi sungai, tidak mampu dilawan PKL.
Meskipun sebagian besar PKL terpinggirkan oleh pembangunan proyek normalisasi sungai, tetapi modal sosial
yang dipunyai selama ini tidak hilang sama sekali. Trust, norma reprositas, dan jaringan sosial masih nampak. Modal sosial yang
telah dibangun para PKL, seperti organisasi atau paguyuban internal yang telah digunakan untuk sarana perlawanan
terhadap pemerintah kota Semarang tidak runtuh, meskipun sebagian besar PKL telah pindah. Organisasi ini masih ada, baik
di Sampangan maupun di Basudewo yang sekarang sudah pindah ke Kokrosono. Mega proyek pembangunan waduk dan
normalisasi sungai secara fisik telah memporakporandakan lokasi para pedagang, tetapi mega proyek tersebut tidak mampu
menghancurkan modal sosial yang dimiliki oleh PKL. Apalagi modal sosial pengorbanan
sacrifice of social capital yang telah melekat pada komunitas PKL Basudewo yang diketuai oleh
468
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Achmad, menjadi identitas dari PKL Basudewo yang kini pindah ke Kokrosono. Demikian pula komitmen Rini, ketua
PPKLS untuk membantu memperjuangkan nasib PKL Sampangan,
juga menunjukkan
adanya modal
sosial pengorbanan yang belum hilang. PKL Sampangan nyatanya
masih bertahan dan bisa beraktivitas di dekat proyek normalisasi sungai. PKL Basudewo, yang sekarang telah
pindah ke gedung PKL Kokrosono masih menjalankan aktivitas ekonomi di tempatnya yang baru. Interaksi antar pedagang
juga masih terjalin hingga kini. PKL Kokrosono liar masih menjalankan aktivitas ekonomi, meskipun di tengah-tengah
keterbatasan lahan yang kini sudah diratakan oleh mesin-mesin proyek. Interaksi yang masih berlangsung antar anggota
paguyuban PKL dan masih berlangsungnya interaksi antara penjual dan pembeli di tiga lokasi PKL, menandakan bahwa
modal sosial PKL tidak hilang. Modal sosial ini merupakan stok, yang dapat diinvestasikan kembali sepanjang masih ada struktur
sosial dan anggota struktur yang berinteraksi secara intensif. Bukan tidak mungkin, modal sosial yang menjadi penguat daya
tahan PKL di tiga lokasi, dapat digunakan oleh paguyuban PKL di lokasi lain ketika mereka mengalami nasib yang serupa.
B. Implikasi Teoritis