lvi
dan pembangunan, masih dapat dipungut dari warga negara, pajak bumi, penghasilan dan pajak-pajak lainnya. Jadi, selama masih diperlukan dana tetap
dibenarkan memungut pajak.
59
5. Tujuan Penggunaan Pajak Perspektif Islam
Tujuan pajak adalah untuk membiayai berbagai pos pengeluaran negara, yang memang diwajibkan atas mereka kaum Muslimin pada saat kondisi Baitul
Mal kosong atau tidak mencukupi. Jadi, ada tujuan yang mengikat dari dibolehkannya memungut pajak itu, yaitu pengeluaran yang memang sudah
menjadi kewajiban kaum Muslim, dan adanya suatu kondisi kekosongan kas negara. Jika menyalahi kedua hal ini, maka jelas pemungutan pajak itu haram.
Artinya, jika uang pajak itu digunakan untuk tujuan lain yang bukan kewajiban kaum Muslim, maka ia jadi haram dipung
ut, karena tiada “kerelaan” dari si pembayar pajak.
Oleh karena pajak itu adalah amanat rakyat, menurut Al-Maliki,
60
ia harus dibelanjakan secara jujur dan efisien untuk merealisasikan tujuan-tujuan pajak. Ia
tidak dapat digunakan untuk tujuan lain yang tidak untuk itu pajak di pungut. Pengeluaran yang dimaksud tentunya pengeluaran-pengeluaran yang
sesuai dengan tuntunan Islam. Adapun yang termasuk kebutuhan primer bagi rakyat secara keseluruhan adalah keamanan, pengobatan dan pendidikan,
sebagaimana disebutkan dalam hadist yaitu:
ْ ﺎ أ ف ْ ق ْ ع ج ف فﺎ بْ س ف ﺎ آ ْ ْ بْصأ ْ
ﺎ ْ ا
“Barangsiapa di antara kalian mendapatkan rasa aman di rumahnya pada diri, keluarga dan masyarakatnya, diberikan kesehatan badan, dan
memiliki makanan pokok pada hari itu di rumahnya, maka seakan-akan dunia
59
M. Ali Hasan, Masa‟il Fiqhiyyah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003, h. 68-69.
60
Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasatu al-Iqtishadiyatu al-Mutsla, tanpa keterangan penerbit dan tahun, ed. Terj. Oleh Ibnu Sholah, Politik Ekonomi Islam,
Jakarta Timur: Al-Izzah, 1422H2001 M, h. 198.
lvii
telah terkumpul pada dirinya.” HR. Tirmidzi no. 2346, Ibnu Majah no. 4141. Abu ‟Isa mengatakan bahwa hadits ini hasan ghorib.
61
6. Karakteristik Pajak Perspektif Islam
Ada beberapa ketentuan tentang pajak menurut syariat Islam, yang sekaligus membedakannya dengan pajak dalam sistem kapitalis, yaitu:
a. Pajak bersifat temporer, tidak bersifat kontinu, hanya boleh dipungut
ketika baitul mal tidak ada harta atau kurang. Ketika baitul mal sudah terisi kembali, maka kewajiban pajak bisa dihapuskan. Berbeda dengan zakat,
yang tetap dipungut, sekalipun tidak ada lagi pihak yang membutuhkan mustahik. Sedangkan pajak menurut kapitalis abadi selamanya.
b. Pajak hanya boleh dipunggut untuk pembiayaan yang merupakan
kewajiban bagi kaum muslim dan sebatas jumlah yang diperlukan untuk pembiayaan wajib tersebut tidak boleh lebih. Sedangkan pajak menurut
non muslim ditujukan untuk seluruh warga tanpa membedakan agama. c.
Pajak hanya diambil dari kaum muslim dan tidak dipungut dari non muslim. Sebab, Pajak dipungut untuk membiayai keperluan yang menjadi kewajiban
bagi kaum muslim, yang tidak menjadi kewajiban non muslim. Sedangkan teori pajak non Islam tidak membedakan muslim dan non muslim dengan
alasan tidak boleh diskriminasi. d.
Pajak hanya dipungut dari kaum muslim yang kaya, tidak dipungut dari selainnya. Orang kaya adalah orang yang memiliki kelebihan harta dari
pembiayaan kebutuhan pokok dan kebutuhan lainnya bagi diri dan keluarganya menurut kelayakan masyarakat sekitarnya. Dalam pajak non
Islam, kadang kala juga dpungut atas orang miskin, seperti Pajak Bumi dan Bangunan PBB atau PPN yang tidak mengenal siapa subjeknya, melainkan
melihat objek barang atau jasa yang dikonsumsi.
61
Muhammad Nasiruddin al-Albani, Shahih Sunan at-Tirmidzi, cet. Ke-1. Riyadh: Maktabah al-
Ma‟aarif, 1420 H2000 Mẓ, h. 542.
lviii
e. Pajak hanya dipungut sesuai dengan jumlah pembiayaan yang diperlukan,
tidak boleh lebih. f.
Pajak dapat dihapus bila sudah tidak diperlukan. Menurut teori pajak non muslim, tidak akan dihapus karena hanya itulah sumber pendapatan.
62
7. Penggunaan Uang Pajak yang sesuai dengan Syariah