13
Tabel 3.1 Proyeksi Penduduk tahun 2010-2035 ribuan
Pulau Kepulauan
TAHUN
2010 2015
2020 2025
2030 2035
P.Sumatera
50.860,3 55.272,9
59.337,1 62.898,6
65.938,3 68.500,0
P. Jawa
137.033,3 145.143,6 152.449,9 158.738,0 163.754,8 167.325,6
P. Bali dan Kep Nusa
Tenggara 13.129,7
14.108,5 15.047,8
15.932,4 16.751,4
17.495,7
P. Kalimantan
13.850,9 15.343,0
16.769,7 18.082,6
19.264,0 20.318,1
Pulau Sulawesi
17.437,1 18.724,0
19.934,0 21.019,8
21.953,5 22.732,0
Kep Maluku
2.585,2 2.848,8
3.110,7 3.363,7
3.603,6 3.831,4
P. Papua 3.622,3
4.020,9 4.417,2
4.793,9 5.139,5
5.449,6
Indonesia 238.518,8 255.461,7 271.066,4 284.829,0 296.405,1 305.652,4
Sumber : BPS data diolah
Dari data
tersebut, menunjukkan
kecenderungan peningkatan jumlah penduduk per kepulauan di Indonesia.
Signifikan atau tidaknya pertumbuhan tersebut, ditentukan oleh pertumbuhan penduduk muda. Penduduk muda dari segi laju
pertumbuhan
penduduk, menjadi
peluang ideal
dalam menumbuhkan pembangunan di berbagai sektor. Hal ini dikenal
dengan bonus demografi, yang dimaknai sebagai keuntungan ekonomis yang disebabkan semakin besarnya jumlah tabungan
14
dari penduduk produktif, sehingga dapat memacu investasi dan pertumbuhan ekonomi Jati, 2012. Dari data tersebut, juga
menggambarkan ketimpangan jumlah penduduk dari pulau – pulau
di Indonesia. Peningkatan atau surplus penduduk merupakan sesuatu hal
yang tidak bisa dihindari oleh suatu negara yang tingkat fertilitasnya tinggi. Banyak faktor yang mendorong pertumbuhan
penduduk suatu daerah atau negara, salah satunya adalah tingkat upah. Misalnya, tingkat upah yang berlaku lebih tinggi daripada
tingkat upah subsistensi, yaitu, tingkat upah yang hanya sekedar untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup.
Pada sektor pertanian, menuntut ketersediaan tenaga subsistensi dengan memerkerjakan seluruh anggota keluarga,
terjadilah angka kelahiran tinggi akibat pernikahan di usia yang relatif muda. Dalam realitas geografis, ketimpangan upah antara
pulau satu dengan pulau yang lain cukup signifikan terkait dengan biaya hidup. Ketika berbicara Pulau Jawa, tingkat upah mampu
mengimbangi biaya hidup inflasi barang kebutuhan, coba bandingkan dengan daerah atau pulau lainnya di wilayah timur
Indonesia. Harga barang dan jasa di luar Pulau Jawa kerap terbawa inflasi kenaikan harga yang cukup tinggi, karena mayoritas
produksi barang dan jasa berasal dari Pulau Jawa yang kemudian disebarkan ke pulau atau daerah lain.
Permasalahan ketimpangan
penduduk sudah
lama dirasakan sejak negara ini merdeka, bahkan ketika zaman kolonial.
Pulau Jawa menjadi prioritas pembangunan, dimana pembiayaan pembangunan berasal dari hasil sumber daya alam di daerah luar
Jawa. Inilah yang menjadi
trigger
bagi migrasi penduduk dari pulau atau daerah lain menuju Pulau Jawa, yang akhirnya
menimbulkan pemberontakan, seperti pemberontakan Permesta,
15
GAM, hingga Papua Merdeka. Pemberontakan tersebut merupakan buah dari ketimpangan kesejahteraan. Hal inilah yang mendorong
rezim Orde Baru berusaha membuat kebijakan yang ideal guna pemerataan penduduk. Kebijakan pemerataan penduduk ketika era
Baru dimulai dimana pemerintah melakukan revolusi hijau, yaitu dengan menciptakan lahan pertanian baru di luar Pulau Jawa.
Kebijakan ini mendorong terciptanya swasembada pangan dan juga mendorong transmigrasi penduduk dari Pulau Jawa ke Pulau
Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.
Pemikiran rezim
Orde Baru
untuk mengontrol
pertumbuhan penduduk sejalan dengan pemikiran Malthus. Pertumbuhan penduduk, apabila tidak diadakan pembatasan, maka
manusia mengalami kekurangan bahan makanan Malthus dalam Mantra, 2013: 51. Pertumbuhan penduduk memiliki korelasi
positif terhadap kebutuhan hidup masyarakatnya, mulai dari sandang, pangan, dan papan. Hal ini yang menjadi tantangan bagi
pemerintah untuk mampu memenuhi kebutuhan tersebut. Jika tingkat pertumbuhan penduduk tidak sejalan dengan ketersedian
sumber daya, maka pertumbuhan p
enduduk menjadi “bom waktu” yang menimbulkan ketimpangan kesejahteraan. Pemerintah
beberapa negara, termasuk Indonesia, berusaha untuk melakukan pembatasan terhadap pertumbuhan penduduk. Salah satu
langkahnya dengan menekan angka kelahiran melalui program keluarga berencana KB. Kebijakan ini sejalan dengan pemikiran
Malthus untuk mengatasi “jebakan” pertumbuhan penduduk melalui
moral restraint
pengekangan diri. Tetapi dalam dinamikanya,
kebijakan ini mulai “dilupakan” seiring runtuhnya rezim Orde Baru. Cakupan ber-KB tak meningkat sesuai harapan,
angka kelahiran masih di angka 2,6 dan metode kontrasepsi jangka panjang cenderung turun Jalal, 2014. Program KB menghadapi
dilema kebijakan, antara kebijakan pusat dengan kebijakan daerah.
16
Seiring dengan desentralisasi dan otonomi daerah, maka program KB tergantung dari keputusan kepala daerah.
Revolusi hijau dipandang sebagai sebuah paradigma berbeda yang mengritik pemikiran Malthus tentang keterbatasan
pangan sebagai dampak dari pertumbuhan penduduk. Revolusi hijau merupakan langkah mencari bibit unggul dan menciptakan
lahan-lahan pertanian yang produktif guna menjawab tantangan dari pertumbuhan penduduk. Dalam implementasinya, Indonesia
di era Orde Baru mampu swasembada pangan, tetapi hal tersebut tidak berlangsung lama. Pada kenyataannya revolusi hijau hanya
kebijakan instan dalam meningkatkan swasembada pertanian, karena kenyataannya hingga saat ini Indonesia sulit mencapainya
lagi. Revolusi hijau justru menggeser tatanan sosial masyarakat akibat penggunaan bahan kimiawi industri pertanian, akibatnya
peran petani semakin termarjinalkan oleh teknologi-teknologi pertanian.
Revolusi hijau menciptakan “ketergantungan” sektor pertanian terhadap bibit, pupuk, dan teknologi lainnya yang
dipengaruhi oleh pasar liberalisasi pertanian dan penyingkatan masa tanam. Di Bali terkenal dengan
subaknya
, akibat air tanah dikuras untuk pembuatan villa-villa dengan kolam renang, yang
akhirnya mengancam sistem irigasi tradisional. Akhirnya seka- seka pertanian kelompok kerja di Subak seperti seka manyi, seka
lubak, dan lain-lain yang membantu terjaganya hama padi maupun hasil panen telah hilang dari Bali. Industrialisasi sektor
pertanian mendorong urbanisasi penduduk dari desa menuju kota, hal ini menjadi salah satu akar permasalahan khususnya di
Indonesia. Mayoritas petani kesulitan menghadapi tantangan tersebut, karena keterbatasan dana dan rendahnya perhatian
subsidi pemerintah. Akhirnya petani menjual aset berharga mereka. Tanah garapannya dijual kepada pemilik modal untuk
17
dijadikan lahan-lahan ekonomis seperti villa-villa, perumahan, dan pabrik-pabrik. Data terbaru rata-rata per tahun, sawah yang dicetak
pemerintah hanya 40 ribu hektar. Sementara konversi lahan secara nasional mencapai 100 ribu hektar Suswono, 2014. Permasalahan
kemiskinan di sektor pertanian bukan terjadi dalam beberapa dasawarsa kebelakang, tetapi lebih jauh ketika zaman kolonial. Hal
ini dikemukakan oleh antropolog Baliologi, yaitu Boeke maupun Geertz, bahwa kelesuan dan ketidak mampuan untuk merubah
gempuran modernitas bukan merupakan ciri bawaan mental ketimuran
oriental mentality
, melainkan diakibatkan dari intrusi sistem ekonomi kolonial ke dalam komunitas petani yang
sebelumnya berada dalam keseimbangan sosial Samodro, 2006: 146
.
Kesejahteraan menjadi
outcome
kebijakan di Indonesia, tetapi kebijakan khususnya kependudukan hanya bersifat normatif.
Kebijakan kependudukan harus berada pada tatanan
hulu-hilir,
artinya harus saling berkaitan atau tersinergi antar kebijakan. Sesuai dengan proyeksi pertumbuhan penduduk, banyak hal-hal
yang harus dipenuhi dalam menghadapi tantangan tersebut. Selain itu, pemerintah harus mampu mengembalikan program KB
menjadi program andalan dan harus tersinergi kepada seluruh daerah di Indonesia. Pembagian fungsi kepada daerah otonomi
daerah seharusnya mampu memberi ruang yang besar bagi kepala-kepala daerah untuk mengatur jumlah penduduk. Karena,
jumlah penduduk berpengaruh terhadap kemampuan daerah memenuhi kebutuhannya. Faktanya, data angka kemiskinan bukan
me
njadi “aib” bagi daerah, tetapi menjadi potensi untuk memperoleh Dana Alokasi Khusus BLT atau Raskin dan juga
bantuan subsidi dari pemerintah terkait kenaikan harga bahan bakar minyak.
18
Dalam perspektif
ekonomi yang
terkait dengan
kesejahteraan, pemerataan kualitas hidup merupakan hasil akhir dari proses pembangunan, khususnya pada pembangunan ekonomi
Pramusinto dan Purwanto, 2009: 395. Maka, guna menciptakan kesejahteraan masyarakatnya, banyak negara-negara berupaya
meningkatkan pertumbuhan ekonominya. Salah satu langkahnya melalui fungsi distribusi oleh pemerintah dengan pajak sebagai
instrumennya. Tetapi yang menarik dalam implementasinya, pajak hanya berfokus pada fungsi
budgete
r dan
regulerend
Burton, 2014: 55. Pajak seharusnya mampu mengurangi ketimpangan
Refleksi Awal
Program pengentasan
kemiskinan dan
sistem perpajakan juga dianggap sebagai aspek dari
welfare state
. Alasan dimasukkannya perpajakkan ke dalam kategori sifat
welfare state
adalah, jika penarikan pajak bersifat progresif dan dananya digunakan untuk mencapai distribusi pendapatan
yang lebih besar dan bukan hanya sekedar untuk meningkatkan pendapatan negara. Disamping itu, dana pajak
tersebut juga digunakan untuk membiayai pembayaran asuransi sosial dan manfaat-manfaat lainnya yang belum
dicakup oleh pembayaran premi asuransi sosial.
Konsep negara kesejahteraan telah lama diimpikan yang kemudian digagas oleh para pendiri bangsa ini. Konsep
tersebut tersirat dalam Pancasila dan UUD 1945. Tetapi dalam perjalanannya, negara kesejahteraan hanya sebatas konsep
yang cenderung menyimpang dari segi kebijakan. Pajak yang seharusnya
mampu menciptakan
dan mengurangi
ketimpangan, justru semakin memperlebar ketimpangan antar masyarakat dan daerah. Hal ini dikarenakan kurangnya
kesadaran masyarakat dalam membayar pajak dan rendahnya kualitas kinerja birokrasi mengelola dan memungut pajak.
sumber : Alfitri, Jurnal Konstitusi
19
ekonomi di Indonesia, dengan cara masyarakat kaya memberikan sebagian kekayaannya kepada masyarakat miskin melalui pajak.
Kemiskinan dan kesejahteraan bukanlah takdir dimana harus selalu berserah kepada Tuhan, berupaya agar dapat mengentaskan
kemiskinan, dan menciptakan kesejahteraan, tetapi disini harus ada peran pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pajak secara
langsung berkontribusi
terhadap pembangunan suatu negara hingga pemerintahan dibawahnya.
Maka, setiap masyarakat yang telah bekerja diwajibkan untuk membayar pajak, bahkan ada sanksi bagi mereka yang tidak
membayar pajak. Kepatuhan membayar pajak menjadi suatu problematika, karena hal ini ibarat konstelasi dalam etika sosial,
hingga etika dan moral pribadi, atau wajib pajak dengan Nomor Pokok Wajib Pajak NPWP, dimana terkadang masyarakat
merasa ketakutan membeberkan penghasilannya. Banyak atau bahkan mayoritas pembayar pajak tidak mengetahui pajak yang
mereka bayarkan untuk kepentingan siapa. Mereka hanya melihat penyimpangan pajak atau korupsi terus terjadi. Terungkapnya
mafia perpajakan melalui kasus Gayus Tambunan yang notabene seorang pegawai pajak menjadi
trigger
pencetus dalam etika sosial masyarakat.
Pola hubungan perpajakan antara pemerintah pusat dan daerah dengan masyarakat adalah
trust.
Jika pemerintah transparan dan akuntabel terhadap pajak yang masyarakat bayarkan, maka
masyarakat tetap patuh dalam membayar pajak. Pajak memang berbeda dengan retribusi, karena pajak tidak mendapatkan prestasi
balas jasa langsung kepada wajib pajak.
Pajak cenderung bersifat memaksa bagi setiap wajib pajak, hal inilah yang perlu dijawab oleh pemerintah melalui kebijakan
yang memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Terbangunnya nilai-nilai dalam masyarakat bahwa pajak berupaya mengurangi
20
ketimpangan dan
memberikan kesejahteraan.
Salah satu
pendekatan untuk menilai atau mengukur kesejahteraan, yaitu dengan indeks kebahagiaan. Kebahagiaan menggambarkan
indikator kesejahteraan
subjektif yang
digunakan untuk
melengkapi indikator objektif BPS, 2015. Sehingga nantinya, kajian tersebut menjadi dasar dalam perumusan kebijakan untuk
mengatasi problematika yang berkaitan dengan indeks kebahagian.
Salah satu daerah yang menjadi kajian menarik berkaitan dengan indeks kebahagian adalah Provinsi Bali. Provinsi Bali
memiliki indeks kebahagiaan pada tahun 2014 sebesar 68,46 sedangkan indeks kebahagiaan secara nasional tahun 2014 sebesar
68,28. Hal ini menjadi indikasi bahwa tingkat kebahagian masyarakat Bali berada diatas rata-rata kebahagian secara nasional.
Aspek kehidupan yang sangat berpengaruh dan memengaruhi indeks kebahagian Provinsi Bali adalah aspek keamanan sebesar
79,97. Sedangkan aspek pendidikan menjadi yang terendah, hanya sebesar 59,49 dibandingkan sepuluh aspek lainnya. Sepuluh
variabel yang menjadi komponen penilaian tingkat kebahagiaan masyarakat akan menjadi kajian menarik untuk dibahas dan
dianalisis, juga menjadi pertimbangan dalam menciptakan kebijakan publik disuatu daerah karena kesejahteraan berkorelasi
dengan kebahagian masyarakat.
21
Refleksi
Beberapa temuan menarik yang dihasilkan dari indeks kebahagiaan Bali 2014 berdasarkan karakteristik demografi dan
ekonomi sebagai berikut: a
Indeks kebahagian penduduk di perkotaan relatif lebih tinggi dibandingkan di perdesaan 70,57 banding 65,05.
b Penduduk berstatus belum menikah tidakbelum
berkeluarga dan
cerai hidup
lebih tinggi
indeks kebahagiaannya, dibanding yang sudah menikah atau cerai
mati ditinggal meninggal oleh pasangannya, yakni masing- masing 70,75 dan 69,52.
c Penduduk umur dibawah 40 tahun memiliki indeks
kebahagiaan tertinggi, yaitu di atas 69. Sementara, penduduk lansia kelompok umur 64 tahun keatas mempunyai indeks
kebahagiaan paling rendah 63,61.
d Ada kecenderungan dengan makin sedikit anggota rumah
tangga, maka indeks kebahagiaan semakin tinggi. Hal ini terlihat ketika rumah tangga yang hanya terdiri dari 1
orang, indeks kebahagiannya paling tinggi 69,54, sedangkan rumah tangga yang terdiri dari 7 orang hanya memiliki
indeks kebahagiaan 67,82. Namun, untuk rumah tangga yang beranggotakan 2-6 orang memiliki indeks kebahagiaan yang
tidak terlalu berbeda.
e Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka semakin tinggi pula
indeks kebahagiaan. Penduduk yang tidakbelum pernah sekolah mempunyai indeks kebahagiaan paling rendah
60,04, sementara indeks kebahagiaan tertinggi pada penduduk dengan tingkat pendidikan S2 atau S3 79,54.
f Semakin tinggi rata-rata pendapatan rumah tangga, semakin
tinggi pula indeks kebahagiaannya. Pada tingkat pendapatan lebih dari 7,2 juta rupiah per bulan, indeks kebahagiaannya
mencapai 79,06, sedangkan tingkat pendapatan 1,8 juta rupiah ke bawah hanya 61,13.
22
Arah menuju perbaikan kesejahteraan masyarakat, telah lama diimplementasikan melalui suatu kebijakan atau program.
Mulai dari masa Orde Lama hingga saat ini, dinamika kebijakan dalam menciptakan kesejahteraan mengalami pasang-surut. Hal ini
berkaitan
dengan sistem
politik masing-masing
rezim pemerintahan yang berimplikasi dengan bentuk atau model
kebijakan yang diberikan. Ketika pendulum pemerintahan berubah dari sentralisasi menuju desentralisasi, maka beban kerja bersama
adalah mewujudkan kesejahteraan antara pemerintah pusat dan daerah. Perubahan juga berkaitan dengan kebijakan, yaitu
diharapkan pemerintah daerah lebih responsif dalam menghadapi masalah dan tantangan di daerahnya. Kemudian, pemberian
kewenangan desentralisasi fungsi kepada daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Selanjutnya, diikuti pemberian sumber-
sumber penerimaan desentralisasi fiskal, maka daerah tersebut menjadi daerah otonom otonomi daerah. Dalam dinamika hingga
saat ini, angka kemiskin cenderung bergerak naik dibanding tahun- tahun sebelumnya. Ada yang salah atau menyimpang dalam
pelaksanaan otonomi daerah, ketika kesejahteraan masyarakat tak lagi menjadi orientasi utama yang pada akhirnya mampu
dikalahkan oleh kepentingan dan kekuasaan elit-elit lokal.
A. Usia Produktif Peluang dan Tantangan