29
sehingga secara langsung akan berkontribusi kepada kesejahteraan masyarakat.
B. Dinamika Kualitas Pendidikan
Permasalahan pendidikan di Indonesia terjadi karena
adanya perbedaan pemahaman atau orientasi tentang
output
dari pendidikan, yaitu hanya berbicara pada menyelesaikan pendidikan.
Hal ini dipertegas oleh pendapat Mardiasmo 2004: 86, bahwa perguruan tinggi harus melakukan orientasi dari orientasi
pendidikan untuk pendidikan
education for education
menjadi pendidikan untuk masyarakat daerah
education for society.
Pendidikan tidak selalu berbicara mengenai proses belajar- mengajar, tetapi bagaimana menghasilkan generasi muda yang
berkualitas. Hal ini yang menjadi permasalahan di Indonesia berkaitan dengan kulalitas pendidikan, serta ketimpangan fasilitas
dan tenaga pengajar di beberapa daerah.
30
Pendidikan menjadi dasar dan juga pedoman dalam
pembangunan manusia, hal ini banyak terjadi di negara-negara lain.
Refleksi
Efek
Sputnik
terjadi pada Akhir 1957, Rusia meluncurkan pesawat
Sputnik
. Amerika Serikat AS terkejut dan merasa ketinggalan zaman. Politisi AS serta-merta
menuding pendidikan sebagai biang keladi ketertinggalan bangsa AS dari Rusia. Presiden John F. Kennedy menanggapi
serius rendahnya mutu pendidikan AS saat itu dan mencanangkan
program peningkatan
mutu pendidikan.
Hasilnya? Tahun 1969, Neil Amstrong mendaratkan A
pollo
di bulan.
Perubahan terhadap kualitas pendidikan khususnya di Indonesia telah lama digagas oleh para pendiri bangsa. Bahkan
pada era presiden Soeharto, negara seperti Singapura dan Malaysia belajar dari Indonesia berkaitan dengan pendidikan.
Tetapi aneh anehnya justru pendidikan negara mereka jauh lebih baik dibanding Indonesia pada saat ini. Kualitas atau mutu
pendidikan di Indonesia cukup rendah, kondisi ini merupakan salah satu dampak dari kemiskinan struktural. Kemiskinan
akibat
penyalahgunaan kewenangan
oknum elit-elit
pemerintahan yang mengakibatkan ketimpangan pendidikan terjadi di berbagai daerah. Kondisi ini ditambah dengan
liberalisasi pendidikan dengan sekolah berlabel “international”, akhirnya mereka yang hidup dengan keterbatasan ekonomi
hanya menjadikan pendidikan dengan kualitas yang baik menjadi sebuah impian semu yang sulit untuk mereka dapatkan.
Sebuah kelalaian pemerintah Indonesia yang dengan berani terlibat menjadi bagian dalam MEA Masyarakat Ekonomi
Asean. Apakah bangsa ini siap menghadapi tantangan atau bersaing dengan generasi muda negara ASEAN yang rata-rata
dihasilkan melalui kualitas pendidikan yang baik? Jawaban terkait permasalahan tersebut mungkin muncul seperti efek
sputnik
ketika kita terkejut atas ketertinggalan Indonesia dengan kualitas pekerja atau generasi muda dari negara lain.
31
Seperti di Jepang ketika terpuruk akibat kekalahan dalam perang dunia II. Jepang mulai membangun kembali bangsanya
melalui pendidikan yang tentunya berkualitas. Bangsa Indonesia pun berupaya menjadikan pendidikan sebagai dasar pembangunan,
salah satu langkahnya memberikan alokasi sebesar 20 persen dari APBN untuk bidang pendidikan. Peraturan tersebut baru
diberlakukan kurang lebih 10 tahun, sehingga dampaknya belum terlalu dirasakan ketika berbicara tentang kualitas pelayanan
pendidikan, maupun
outcome
dari sebuah lembaga pendidikan. Pemerintah selama ini hanya berfokus pada hasil ujian nasional
dalam proses pendidikan yang berlangsung selama 3 sampai 6 tahun. Akibatnya, di tengah ketimpangan pelayanan dan fasilitas
pendidikan, para generasi muda dihadapkan pada standar kualitas yang sama, yaitu melalui ujian nasional. Fakta yang lain yaitu
terjadi fenomena menarik ketika sekolah beserta staf dan guru be
rusaha ‘meluluskan’ siswa-siswinya apapun caranya. Hal ini terjadi dikarenakan posisi institusi pendidikan berada di tengah
persaingan liberalisasi pendidikan, yang berarti jika sebuah sekolah terdapat siswa yang gagal dalam ujian akhir dan
dinyatakan tidak lulus, maka akan menjadi stigma buruk dan sekolah tersebut akan
gagal menjadi sekolah ‘favorit’ atau sekolah unggulan. Akhirnya pendidikan hanya berbicara tentang
persaingan dalam meluluskan siswa, ini menjadi indikasi liberalisasi itu sendiri. Menurut Collins dalam Umar, 2014
bahwa pola- pola ‘liberalisasi’ sangat khas, yakni menjadikan
institusi pendidikan otonom untuk menanamkan logika kompetisi dan mereduksi peran negara dalam pembiayaan pendidikan.
Dalam menghadapi bonus demografi, pendidikan menjadi salah satu faktor dominan. Karena melimpahnya usia produktif
tidak akan bermakna ketika kualitas pendidikan bangsa ini jauh tertinggal dari negara-negara lain. Wahyudi 2015 menjelaskan
bahwa syarat terjadinya bonus demografi yaitu:
32
1. Angkatan kerja yang berlimpah harus berkualitas dari sisi
kesehatan, pendidikan, maupun kompetensi profesional. 2.
Pengendalian kelahiran dengan digiatkannya program KB agar angka kelahiran total makin menurun sehingga
memberi kesempatan perempuan bekerja. 3.
Gerakan wajib belajar 12 tahun bagi penduduk. 4.
Kebijakan pembangunan sektor riil. 5.
Upaya penyediaan lapangan kerja yang memadai. 6.
Kebijakan perlu diselaraskan dengan memerhatikan dinamika kependudukan, sosial dan ekonomi agar
pemanfaatan bonus demografi dapat semakin optimal. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa
prediksi atau perkiraan terkait terjadinya bonus demografi tidak tercapai, bahkan menjadi masalah ketika pemerintah tidak mampu
membuat kebijakan yang saling berkesinambungan. Kebijakan yang dimaksud tentunya berkaitan dengan pendidikan, kesehatan,
dan kebijakan penunjang dalam pelaksanaannya.
Berkaitan dengan pendidikan di setiap daerah, maupun antara perkotaan dan pedesaan, terdapat permasalahan yang terjadi
sejak bangsa ini merdeka, yaitu ketimpangan. Hal ini sudah menjadi problematika yang mendasar bagi bangsa ini, karena tidak
hanya terjadi di sektor pendidikan saja. Padahal segala upaya telah dilakukan,
mulai dari melakukan ‘desentralisasi’ pendidikan, yaitu pemerintah daerah diberi kewenangan untuk menciptakan
pelayanan dan fasilitas pendidikan serta merekrut tenaga pendidik yang berkualitas. Tetapi hal tersebut belum mampu menjawab
tantangan dalam memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia. Ketimpangan selanjutnya berkaitan dengan kurangnya partisipasi
perempuan dalam dunia pendidikan, mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Kondisi tersebut dapat dilihat pada tabel
berikut ini:
33
Tabel 3.3. Persentase Penduduk 15 Tahun ke Atas menurut daerah tempat
tinggal, jenis kelamin, dan IjazahSTTB tertingi yang dimiliki, 2013
Sumber: BPS, 2015
3.2. Kebijakan Jaminan Kesehatan