9
B. Pendekatan
Hibrida Perang-Hukum
dalam Perang Melawan Teror
Setelah serangan 11 September, Presiden AS waktu itu, George W. Bush, menyatakan
bahwa pelakunya akan dibawa ke pengadilan. Selanjutnya, Bush mengumumkan bahwa AS akan
melakukan Perang Melawan Terorisme. Dari kedua pernyataan di atas, pernyataan pertama
menggunakan bahasa hukum kriminal dan pengadilan
kriminal. Ia
memperlakukan serangan 11 September sebagai kejahatan yang
mengerikan, dan
pemerintah AS
ingin menghukum pelaku dan perencana yang terlibat
dalam aksi tersebut. Sedangkan pernyataan kedua, Perang Melawan Terorisme, menekankan
pada sikap dan tindakan pemerintah yang berbeda, bukan pendekatan hukum lagi, tapi
pendekatan perang.
Dampaknya, statement
tersebut berujung pada meluasnya ruang lingkup tindakan pemerintah AS, karena mereka yang
dituduh teroris, yang tidak tahu sama sekali mengenai serangan 11 September, bisa diberi
label sebagai musuh. Tapi, itu semua hanya permulaan.
Model perang memberikan tali kekang yang lebih longgar dibanding pendekatan hukum,
untuk itulah ia dipakai pasca 911. Pertama, dalam
perang, bukan
dalam hukum,
diperbolehkan menggunakan senjata mematikan yang diarahkan kepada pasukan musuh, apapun
tingkat keterlibatannya.
Tukang masak
merupakan target yang sama sahnya dengan jenderal musuh.Kedua, dalam perang, bukan
dalam hukum,
collateral damage,
yaitu pembunuhan
non-kombatan yang
tidak disengaja,
diperbolehkan. Polisi
tidak diperbolehkan mengebom bangunan apartemen
yang penuh dengan penghuni hanya karena si pembunuh ada di tempat tersebut. Tapi, pasukan
udara bisa mengebom satu bangunan jika di dalamnya ada target militer. Ketiga, bukti secara
drastis lebih lemah dalam perang dibanding dalam pengadilan kriminal. Satu pasukan tidak
perlu bukti yang sangat valid untuk menyatakan bahwa
seseorang adalah
pasukan musuh
sebelum melakukan tembakan atau menangkap dan memenjarakanya. Mereka tidak butuh bukti
sama sekali, hanya sekadar data intelijen yang masuk akal. Karenanya, tidak heran jika saat
warga sipil jadi korban serangan AS, yang terucap seringkali hanya penyesalan, bukan
permintaan maaf. Keempat, dalam perang
seseorang bisa
menyerang musuh
tanpa memerhatikan apa yang telah mereka lakukan.
Dalam perang, target yang sah adalah mereka yang
karena perang
mungkin akan
membahayakan kita, bukan mereka yang telah membahayakan kita. Mungkin ada perbedaan
signifikan lainnya, namun poin dasarnya cukup jelas: karena mandat dari Washington untuk
mencegah terjadinya serangan ala 911 di masa depan, model perang memberikan keuntungan
lebih banyak dibanding model hukum. Namun,
pilihan tersebut
juga ada
konsekuensi atau kerugian yang harus diterima. Dalam perang, bukan dalam model hukum,
melawan balik adalah respon yang legitimate. Kedua, saat satu negara melakukan perang,
negara lain mungkin boleh memilih untuk netral.
10
Ketiga, karena melawan balik adalah legitimate, dalam
perang, pasukan
musuh berhak
mendapatkan perlakukan khusus saat ia cedera atau menyerahkan diri. Tidak diperbolehkan
untuk menghukum mereka karena peran mereka dalam peperangan. Mereka juga tidak boleh
diinterogasi secara
keras saat
ditangkap. Konvensi Jenewa ketiga menyatakan bahwa:
Tahanan perang yang menolak untuk menjawab [pertanyaan] tidak boleh diancam, dihina, atau
diperlakukan secara tidak menyenangkan atau tidak menguntungkan.
Dan ketika perang berakhir, pasukan musuh harus dikembalikan.
Nah, di sini, Washington mempunyai ide lain, untuk mengeliminir kerugian yang ada
dalam model perang tradisional. Washington memandang mereka yang diduga teroris tidak
hanya sebagai musuh militer, tapi juga sebagai pelaku kriminal. Dalam model hukum, kriminal
tidak diperkenankan untuk menembak balik, dan aksi kekerasan yang mereka lakukan membuat
mereka bisa dibawa ke dalam hukuman yang legitimate. Inilah yang kita lihat dalam perilaku
Washington dan sekutunya dalam Perang Melawan Terorisme. Dengan secara selektif
mengombinasikan elemen yang ada dalam model perang dan elemen yang ada dalam model
hukum, Washington mampu memaksimalkan kemampuannya untuk memobilisasi pasukan
yang mematikan melawan entitas yang mereka anggap teroris sembari menghapuskan hak yang
dimiliki oleh pasukan militer musuh, juga hak orang-orang
yang tak
bersalah yang
terperangkap di tengah baku tembak. Perang
Melawan Terorisme
menjadi ancaman tersendiri bagi hak asasi manusia,
karena dalam perang menghargai hak asasi manusia secara praktek tidak mungkin atau
secara teori tidak diperlukan. Kombatan menjadi target yang legitimate, non kombatan yang
terluka secara tidak sengaja dianggap sebagai collateral damage,
bukan sebagai
korban kekejaman. Dalam model hibrida perang-hukum
semakin mengurangi hak asasi mereka dengan mengklasifikasikan musuh sebagai
unlawful combatan.
Salah satu contoh dari pengurangan hak asasi
manusia adalah
toleransi terhadap
penyiksaan. Sejak 11 September, AS telah banyak mentransfer puluhan tersangka terorisme ke
negara yang nantinya akan menyiksa mereka. Penyiksaan pun menjadi praktik yang lazim oleh
negara terhadap tahanan kasus terorisme. Seringkali hal tersebut dilakukan dengan alasan
bahwa penangguhan hak asasi manusia adalah tindakan darurat untuk mengatasi ancaman
terorisme. Namun pertanyaannya, sampai kapan hak asasi manusia akan terus ditangguhkan?
Kapan perang akan berakhir?
11
C. Genosida dalam Perang Melawan Teror