Pendekatan Lapsus Edisi 11 Agustus 2016

9

B. Pendekatan

Hibrida Perang-Hukum dalam Perang Melawan Teror Setelah serangan 11 September, Presiden AS waktu itu, George W. Bush, menyatakan bahwa pelakunya akan dibawa ke pengadilan. Selanjutnya, Bush mengumumkan bahwa AS akan melakukan Perang Melawan Terorisme. Dari kedua pernyataan di atas, pernyataan pertama menggunakan bahasa hukum kriminal dan pengadilan kriminal. Ia memperlakukan serangan 11 September sebagai kejahatan yang mengerikan, dan pemerintah AS ingin menghukum pelaku dan perencana yang terlibat dalam aksi tersebut. Sedangkan pernyataan kedua, Perang Melawan Terorisme, menekankan pada sikap dan tindakan pemerintah yang berbeda, bukan pendekatan hukum lagi, tapi pendekatan perang. Dampaknya, statement tersebut berujung pada meluasnya ruang lingkup tindakan pemerintah AS, karena mereka yang dituduh teroris, yang tidak tahu sama sekali mengenai serangan 11 September, bisa diberi label sebagai musuh. Tapi, itu semua hanya permulaan. Model perang memberikan tali kekang yang lebih longgar dibanding pendekatan hukum, untuk itulah ia dipakai pasca 911. Pertama, dalam perang, bukan dalam hukum, diperbolehkan menggunakan senjata mematikan yang diarahkan kepada pasukan musuh, apapun tingkat keterlibatannya. Tukang masak merupakan target yang sama sahnya dengan jenderal musuh.Kedua, dalam perang, bukan dalam hukum, collateral damage, yaitu pembunuhan non-kombatan yang tidak disengaja, diperbolehkan. Polisi tidak diperbolehkan mengebom bangunan apartemen yang penuh dengan penghuni hanya karena si pembunuh ada di tempat tersebut. Tapi, pasukan udara bisa mengebom satu bangunan jika di dalamnya ada target militer. Ketiga, bukti secara drastis lebih lemah dalam perang dibanding dalam pengadilan kriminal. Satu pasukan tidak perlu bukti yang sangat valid untuk menyatakan bahwa seseorang adalah pasukan musuh sebelum melakukan tembakan atau menangkap dan memenjarakanya. Mereka tidak butuh bukti sama sekali, hanya sekadar data intelijen yang masuk akal. Karenanya, tidak heran jika saat warga sipil jadi korban serangan AS, yang terucap seringkali hanya penyesalan, bukan permintaan maaf. Keempat, dalam perang seseorang bisa menyerang musuh tanpa memerhatikan apa yang telah mereka lakukan. Dalam perang, target yang sah adalah mereka yang karena perang mungkin akan membahayakan kita, bukan mereka yang telah membahayakan kita. Mungkin ada perbedaan signifikan lainnya, namun poin dasarnya cukup jelas: karena mandat dari Washington untuk mencegah terjadinya serangan ala 911 di masa depan, model perang memberikan keuntungan lebih banyak dibanding model hukum. Namun, pilihan tersebut juga ada konsekuensi atau kerugian yang harus diterima. Dalam perang, bukan dalam model hukum, melawan balik adalah respon yang legitimate. Kedua, saat satu negara melakukan perang, negara lain mungkin boleh memilih untuk netral. 10 Ketiga, karena melawan balik adalah legitimate, dalam perang, pasukan musuh berhak mendapatkan perlakukan khusus saat ia cedera atau menyerahkan diri. Tidak diperbolehkan untuk menghukum mereka karena peran mereka dalam peperangan. Mereka juga tidak boleh diinterogasi secara keras saat ditangkap. Konvensi Jenewa ketiga menyatakan bahwa: Tahanan perang yang menolak untuk menjawab [pertanyaan] tidak boleh diancam, dihina, atau diperlakukan secara tidak menyenangkan atau tidak menguntungkan. Dan ketika perang berakhir, pasukan musuh harus dikembalikan. Nah, di sini, Washington mempunyai ide lain, untuk mengeliminir kerugian yang ada dalam model perang tradisional. Washington memandang mereka yang diduga teroris tidak hanya sebagai musuh militer, tapi juga sebagai pelaku kriminal. Dalam model hukum, kriminal tidak diperkenankan untuk menembak balik, dan aksi kekerasan yang mereka lakukan membuat mereka bisa dibawa ke dalam hukuman yang legitimate. Inilah yang kita lihat dalam perilaku Washington dan sekutunya dalam Perang Melawan Terorisme. Dengan secara selektif mengombinasikan elemen yang ada dalam model perang dan elemen yang ada dalam model hukum, Washington mampu memaksimalkan kemampuannya untuk memobilisasi pasukan yang mematikan melawan entitas yang mereka anggap teroris sembari menghapuskan hak yang dimiliki oleh pasukan militer musuh, juga hak orang-orang yang tak bersalah yang terperangkap di tengah baku tembak. Perang Melawan Terorisme menjadi ancaman tersendiri bagi hak asasi manusia, karena dalam perang menghargai hak asasi manusia secara praktek tidak mungkin atau secara teori tidak diperlukan. Kombatan menjadi target yang legitimate, non kombatan yang terluka secara tidak sengaja dianggap sebagai collateral damage, bukan sebagai korban kekejaman. Dalam model hibrida perang-hukum semakin mengurangi hak asasi mereka dengan mengklasifikasikan musuh sebagai unlawful combatan. Salah satu contoh dari pengurangan hak asasi manusia adalah toleransi terhadap penyiksaan. Sejak 11 September, AS telah banyak mentransfer puluhan tersangka terorisme ke negara yang nantinya akan menyiksa mereka. Penyiksaan pun menjadi praktik yang lazim oleh negara terhadap tahanan kasus terorisme. Seringkali hal tersebut dilakukan dengan alasan bahwa penangguhan hak asasi manusia adalah tindakan darurat untuk mengatasi ancaman terorisme. Namun pertanyaannya, sampai kapan hak asasi manusia akan terus ditangguhkan? Kapan perang akan berakhir? 11

C. Genosida dalam Perang Melawan Teror