Di Balik Topeng Kontraterorisme

6 Dari segala bentuk pembunuhan, tidak ada yang lebih mengerikan dibanding apa yang dilakukan oleh sebuah negara terhadap rakyatnya sendiri. Dan dari semua korban pembunuhan, mereka yang dibunuh oleh negara adalah yang paling rapuh dan tak berdaya, karena entitas yang mereka percayakan kehidupan dan keamanan mereka atasnya, justru menjadi pembunuh mereka. Saat negara membunuh, kejahatan mereka direncanakan oleh orang-orang kuat. Mereka menggunakan rasionalitas yang dingin dan efisiensi administratif yang sama dengan saat mereka mengambil keputusan untuk melakukan kampanye pemberangusan hama pertanian yang menjengkelkan. Clyde Snow, dikutip dari Witness from the Grave: The Stories Bones Tell, Christopher Joyce dan Eric Stover Kita harus berpihak. Netralitas justru membantu para penindas, tidak pernah membantu para korban. Diam akan menyemangati para penyiksa, bukan orang yang disiksa. Kadang, kita harus ikut campur. Saat kehidupan manusia terancam, saat harga diri manusia berada dalam bahaya, batas-batas dan sensitivitas nasional menjadi tidak relevan. Saat laki-laki dan wanita dibunuh karena ras, agama, atau pandangan politiknya, maka tempat tersebut pada waktu itu harus menjadi pusat alam semesta. Elie Wiesel, The Night Trilogy: NightDawnThe Accident

A. Di Balik Topeng Kontraterorisme

Pasca serangan 11 September, George W. Bush mendeklarasikan apa yang ia istilahkan dengan perang salib , perang melawan teror . Tak lama setelah itu, AS melakukan invasi ke Afghanistan. Sejak itulah mereka mulai melakukan penculikan di seluruh dunia untuk kemudian di tangkap, diinterogasi, dan disiksa. AS menjalankan sejumlah program rahasia, termasuk detention program , rendetion program , dan enhanced interrogation techniques program . Pada bulan Februari 2002, tahanan pertama tiba di Guantanamo Bay. Salah satu fitur utama dalam Perang Melawan Teror adalah menolak nilai-nilai dan sistem hukum yang berlaku. Untuk itu, mereka mengklaim bahwa hal tersebut diperlukan untuk melawan ancaman terorisme. Mentalitas ini tidak hanya berhenti di pemerintah AS dalam perang mereka melawan Al-Qaidah, tapi juga diperluas sampai hampir seluruh negara di dunia ini yang mengadopsi kebijakan-kebijakan yang menggerus sebagian besar hak-hak dasar manusia atas nama Perang Melawan Teror. Serangkaian kebijakan tersebut secara perlahan melegitimasi perang, penahanan, pengawasan, pembunuhan di luar pengadilan, 7 profiling, pengadilan rahasia, dan penahanan tanpa pengadilan. Terorisme sering identik dengan kejahatan negara, yang hampir selalu jauh lebih serius daripada kekerasan yang diduga mereka lawan. Kontraterorisme juga seringkali kontraproduktif dengan tujuan yang dinyatakannya, karena ia justru mendorong kekerasan oleh aktor-aktor non-negara yang mereka labeli dengan terorisme. Negara, melalui militer, polisi, intelijen dan aparat keamanannya memiliki kapasitas yang sangat besar untuk memaksa dan menimbulkan kekerasan. Tidak mengherankan jika kemudian kejahatan negara yang menyamar dalam topeng kontraterorisme bertanggung jawab atas penderitaan manusia pada skala yang lebih besar dari kekerasan oleh aktor-aktor non-negara yang berlabel terorisme. Kontraterorisme mencakup hukum, polisi, keamanan, dan kekuatan militer serta tindakan lain yang diarahkan pada apa yang oleh negara dianggap sebagai ancaman teroris. Terorisme sangat sulit untuk didefinisikan, dan definisinya pun seringkali diterapkan secara selektif. Kesulitan mendefinisikan terorisme, dikombinasikan dengan mudahnya negara untuk memberikan label, berarti bahwa apa yang kita lihat sebagai terorisme sebagian besar justru dibentuk melalui langkah-langkah kontraterorisme. Eksploitasi ketakutan masyarakat terhadap terorisme memberikan peluang kepada negara untuk terlibat dalam agresi militer dan menerapkan hukum yang represif sesuatu yang biasanya dianggap tidak dapat diterima, terutama di negara yang mengaku demokratis. Sejak serangan 11 September 2001, terorisme telah mengambil panggung utama dalam agenda keamanan nasional. Namun selama dekade terakhir, kontraterorisme yang dilakukan dalam perang melawan teror justru sangat terkait dengan kejahatan negara termasuk kejahatan agresi, penyiksaan, kejahatan polisi, korupsi, dan kejahatan korporasi negara. Negara berargumen bahwa dalam menghadapi ancaman luar biasa dari terorisme, perlu untuk melanggar hak asasi manusia, dan terkadang, perlu juga untuk melakukan aksi militer preemptive. Namun, sejarah menunjukkan bahwa kontraterorisme seringkali melakukan kekerasan yang jauh lebih berbahaya daripada kekerasan yang ingin mereka atasi. Negara memiliki kekuatan yang sangat besar untuk menjelekkan musuh mereka sebagai teroris, terlepas dari fakta-fakta yang ada. Kemampuan negara untuk melabeli musuh mereka sebagai teroris membuat kontraterorisme sebagai cara yang dianggap tepat guna untuk menargetkan lawan dan kelompok politik yang dianggap sebagai ancaman. Melabeli negara lain sebagai teroris, atau sebagai pendukung teroris, dapat memberikan dasar yang kredibel untuk melakukan invasi militer dan pendudukan. Amerika juga selalu menegaskan bahwa kontraterorisme merupakan pertahanan yang diperlukan untuk melawan kekerasan dari pihak lain. Namun, negara seringkali terlibat langsung, atau melalui proxy, merancang, atau 8 memprovokasi terorisme sebagai taktik untuk mengejar agenda tersembunyi. Dalam dekade sebelumnya, misalnya, perang global melawan teror telah menjadi sarana utama untuk menggapai apa yang oleh Noam Chomsky disebut sebagai Imperial Grand Strategy. Selain menutupi dan memfasilitasi kejahatan negara, kontraterorisme juga dapat memicu perpecahan politik dan konflik yang mendukung kekerasan yang justru katanya mereka lawan. Meningkatnya ekspresi kekerasan oleh aktor-aktor non-negara seringkali digunakan sebagai pembenaran bagi tindakan lebih lanjut negara yang justru menjadi bagian dari siklus kekerasan yang semakin meningkat. Tindakan preemptive membentuk dasar dari kebijakan kontraterorisme saat ini. Langkah- langkah preemptive meliputi sejumlah praktek koersif dari negara, mulai dari pengawasan, interogasi koersif, penahanan tanpa tuduhan atau pengadilan, tembakan untuk membunuh, dan invasi militer. Dalam semua kasus di atas, negara bertindak sebelum bukti ancaman konkret. Meskipun koersi negara adalah nyata, dan seringkali menghancurkan, dan terkadang fatal, ancaman masa depan yang dicegah justru sering sekali bersifat spekulatif. Intelijen, bukan bukti yang diuji di pengadilan terbuka, adalah dasar bagi negara untuk mengklaim prediksi ancaman teroris dan dasar bagi diambilnya tindakan preemptive. Intelijen adalah aspek yang sangat tidak akuntabel dalam kegiatan negara; seringkali dimanipulasi demi kepentingan negara. Intelijen dikumpulkan dan ditafsirkan melalui asumsi yang dirahasiakan, kecenderungan ideologis, prasangka rasial dan kepentingan politik, dan kebijakan luar negeri. Ketua United States Senate Select Committee on Intelligence, misalnya, menyimpulkan dalam sebuah pernyataan pada tahun 2008 tentang invasi ke Irak bahwapemerintah AS berulang kali menyajikan data intelijen sebagai fakta. Padahal kenyatannya data tersebut tidak berdasar, bertentangan atau bahkan tidak ada. Pengalaman kontraterorisme kontemporer menunjukkan hubungan panjang dan intim antara kontraterorisme dan kejahatan negara. Setelah rezim militer di Argentina digulingkan pada tahun 1983, sebuah komisi penyelidikan menyimpulkan bahwa terorisme yang dilakukan rezim militer waktu itu jauh lebih buruk dibanding teror yang diduga mereka perangi. Israel terus menerus melakukan pelanggaran sistematis terhadap hak asasi manusia warga Palestina, termasuk penyiksaan, penghancuran rumah, pemukulan, serangan kekerasan, dan pembunuhan di luar hukum dengan alasan kontraterorisme. Contoh lain, kebijakan kontraterorisme Inggris di Irlandia selama tahun 1970 meliputi kebijakan menembak untuk membunuh, penyiksaan, penahanan tanpa tuduhan atau pengadilan, pelarangan kebebasan berekspresi. Belajar dari kontraterorisme Inggris di Irlandia selama dekade tersebut, Paddy Hillyard sangat menekankan bahwa mereka yang berkuasa seharusnya tidak meninggalkan aturan hukum, dan pencegahan terorisme preventing of terrorism seharusnya juga tidak menjadi teror pencegahanterror of prevention. 9

B. Pendekatan