Ternak Ruminansia Mekanisme kerja zeolite dalam tubuh ternak

Air harus dihilangkan dari kristal zeolite sebelum adsorpsi molekul dapat terlaksana, yaitu dengan pengeringan pada suhu antara 350 sampai 400ᴼC. Faktor yang mempengaruhi variasi sifat adsorpsi zeolite antara lain imbangan Si : Al bervariasi antara 1 sampai 5, tipe, konsentrasi dan letak kation dalam struktur zeolite alam. Dibidang peternakan, sifat adsorpsi zeolite dapat diaplikasikan misalnya pada pemurnian metan yang dihasilkan dalam pencernaan aerobik atau kotoran ternak.

2.3. Mekanisme kerja zeolite dalam tubuh ternak

Sehubungan dengan sifat-sifat fisik dan kimia yang dibahas dijelaskan pada bab terdahulu, berikut ini akan dibahas bagaimana aktivitas-aktivitas zeolite ini apabila diberikan kepada ternak, serta manfaat apa yang diperoleh. Mengingat adanya perbedaan prinsip metabolisme antara golongan ternak ruminansia dan non ruminansia, maka pembahasan diperinci kedalam dua golongan ini:

2.3.1. Ternak Ruminansia

Ternak ruminansia dewasa misalnya sapi, kerbau, kambing, domba terciri dengan perut gandanya, terdiri atas reticulum, rumen, omasum dan abomasum. Perhatian akan difokuskan kepada rumen. Kecuali ukurannya yang sangat besar, yang menurut Church 1969 ukuran rumen merupakan media yang kompleks untuk terselenggaranya interaksi antara pakan, mikrobia dalam rumen dan si ternak, yang secara terperinci dibahas oleh Van Soest 1982. Disinilah terjadi proses metabolisme karbohidrat dan protein, yang oleh manusia dapat diatur terutama melalui jenis dan cara-cara pemberian pakan, agar diperoleh hasil yang dikehendaki. Untuk ruminansia, nitrogen unsur pkok dalam protein diberikan melalui pakan dalam bentuk protein dan dalam bentuk non protein. Tujuan akhir adalah tersedianya asam amino yang akan diserap dalam intestine, setelah melewati reticulo-rumen. Ada dua strategi yang utama dalam pemberian nitrogen Chalupa, 1975. Pertama, nitrogen non protein NNP misalnya ures, yang menghasilkan amonia diharapkan dapat dimanfaatkan oleh mikrobia rumen untuk berkembang biak, sekaligus ke intestine dapat diserap dan dimanfaatkan untuk produksi daging, susu atau produk lain ternak ruminansia. Kedua, nitrogen dalam protein terutama dari bahan pakan sumber protein yang biasanya berharga mahal, harus di-bypass-kan, langsung ke intestine untuk menyediakan asam amino. Apabila tidak di-bypass-kan protein demikian akan mengalaim degradasi dalam rumen, dan yang terjadi adalah produksi amonia, sama saja dengan yang terjadi dalam pemberian ure yang relatif sangat murah. Jadi, sebenarnya strategi tersebut tiada lain adalah memaksimumkan sintesis protein oleh mirobia dalam rumen dengan menggunakan amonia yang berasal dari HHP; sementara itu, bypass protein juga harus dimaksimumkan. Kemampuan zeolite dalam aktivitas pertukaran kationnya bukan tidak mungkin dapat mempengaruhi metabolisme bakteri rumen. Clinoptilolite, yang merupakan salah satu pilihan dalam kemampuan pertukaran ionnya dengan merupakan dasar pemakaian zeolite pada ternak ruminansia, yaitu untuk mengurangi pengaruh keracunan dari yang tinggi dalam cairan rumen, terutama bila ruminansia diberi bahan pakan NNP misalnya urea dan biuret. Amonium yang terbentuk dari dekomposisi NNP oleh enzim urease akan segera ditukar dengan kation zeolite sehingga akan terikat pada struktur zeolite selama beberapa jam sampai akhirnya dilepas kembali oleh aksi regeneratif yang masuk ke dalama rumen bersama saliva selama periode fermentasi setelah pemberian pakan. Penelitian-penelitian, baik in vitro maupun in vivo, menunjukkan bahwa zeolite mampu menyerap untuk kemudian melepaskan ion amonium dalam cairan rumen sebesar 15 White dan Ohlrogge, 1974. Secara gradual ion amonium dilepaskan dan memberi peluang kepada mikrobia rumen menyintesis protein seluler dengan lebih baik. Hal ini dapat dikatakan bahwa zeolite merupakan reservoir amonia Mumpton dan Fishman, 1977 dan memberikan peluang lebih besar untuk suplementasi NNP pada pakan. Hal inilah yang dijadikan oleh orang- orang Kanada untuk mendapatkan patent penggunaan zeolite dalam ransum ruminansia yang mengandung urea. Kemampuan zeolit yang lain dalam rumen dikemukakan oleh Petersen McCollum dan Galyean, 1983, yaitu bahwa bila zeolit diberikan ke dalam suasana asam, dapat melakukan pertukaran ion dengan ion hidrogen. Ini berarti bahwa zeolit bertindak sebagai buffer atau penyangga. Hal ini sangat penting khususnya untuk ternak yang diberi konsentrat dalam porsi yang besar seperti penelitian yang dilakukan oleh McCollum dan Galyean 1983 untuk penggemukan sapi. Penelitian-penelitian tentang larutan penyangga misalnya natrium bikarbonat untuk ternak ruminansia telah banyak dilakukan. Pada ternak perah, penelitian ini sangat bermanfaat mengingat variasi porsi konsentrat yang mempengaruhi keasaman rumen dapat mengakibatkan penyakit metabolisme disamping mengakibatkan variasi bikarbonat selanjutnya mempunyai pengaruh-pengaruh 1 terhadap lemak susu Muller dan Kilmer, 1969, 2 meningkatkan konsumsi bahan kering dan produksi susu serta mengurangi jumlah sapi yang enggan makan Kilmer dan Muller, 1981, bila ransum diubah dari yang porsi hijauannya tinggi menjadi ransum yang porsi konsentratnya tinggi, dan 3 kecernaan seratnya juga mengingkat Rogers et al., 1982. Dengan pertimbangan bahwa zeolit mempunyai peranan serupa, maka Jonhson et al. 1988, melakukan percobaan dengan ternak perah untuk membandingkan peranan antara natrium bikarbonat dengan zeolit atau gabungan keduanya. Galyean dan Chabot 1981 membandingkannya dengan natrium bentonit dan penyangga garam McDougall untuk sapi potong dengan ransum yang tinggi porsi hijauannya. Sebenarnya, penelitian- penelitian ini mengharapkan zeolit berperanan dalam penyerapan cairan atau liquid dilution rate. Dengan demikian, akan meningkatkan efisiensi fermentasi dalam rumen. Seperti telah disebutkan di muka bahwa fermentasi dalam rumen sangat kompleks dengan interaksi antara jenis pakan yang masuk, perkembangan mikrobia rumen dan ternak itu sendiri. Interaksi ini pun dapat diamati bila ditinjau dari segi metabolisme karbohidrat. Zeolit yang hadir dalam rumen karena sifat kimia dan fisiknya, dapat mempengaruhi pola produksi valatile fatty acids, dan tentunya akan berpengaruh pada produksi ternak. Sweeney et al. 1980 melaporkan bahwa nisbah asetat: propionat meningkat pada sapi perah dengan ransum yang diberi zeolit. Demikianlah, zeolit pada ternak ruminansia dewasa yang rumennya telah berkembang, terlihat peranan utamanya dalam mempengaruhi proses fermentasi dalam rumen. Disamping peranan ini, peranan lain yang dapat diberikan pula oleh zeolit pada ternak ruminansia muda adalah dalam kaitannya dengan penyerapan molekul air yaitu dalam hal mengurangi terjadinya diarrhea atau tinja lembab, untuk selanjutnya meningkatkan pertumbuhan dengan meningkatnya nafsu makan, seperti dilaporkan oleh Kondo et al. Dari Jepang Mumpton dan Fishman, 1977 pada pedet. Sehubungan dengan pertukaran ion yang dapat dilakukan, zeolit ternyata juga berperanan dalam menanggulangi masalah keracunan mineral tertentu. Domba pada umumnya kurang tahan terhadap keracunan Cu. Walaupun domba pada padang pengembalaan tanpa suplementasi Cu, dilaporkan terjadi keracunan Cu karena kadar Cu dalam tanah atau rumput tinggi. Clinoptilolit dicoba oleh Pond 1989 untuk domba. Data menunjukkan adanya pengaruh yang menguntungkan bahwa clinoptilolit meningkatkan pertambahan berat badan bila kadar protein cukup. Walaupun clinoptilolit dapat mencegah keracunan Cd, Pb dan amonia, namun pencegahan terhadap keracunan Cu belum dapat dibuktikan dengan alasan nisbah antara Cu dan clinoptilolit yang tidak tepat dan juga karena adanya kompetisi ion Cu dengan ion-ion lain pada pakan dalam saluran pencernaan.

2.3.2 Ternak non ruminansia