LAPORAN RESMI PRAKTIKUM DASAR TEKNIK KIM

(1)

PRAKTIKUM DASAR TEKNIK KIMIA I

Materi :

IODO-IODIMETRI DAN PERMANGANOMETRI

Oleh :

Nama : Piontek Benedictus Brandon

NIM : 21030113120039

Kelompok : 7 / Selasa Pagi

PRAKTIKUM DASAR TEKNIK KIMIA I

TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG


(2)

PRAKTIKUM DASAR TEKNIK KIMIA I

Materi :

IODO-IODIMETRI DAN PERMANGANOMETRI

Oleh :

Nama : Piontek Benedictus Brandon

NIM : 21030113120039

Kelompok : 7 / Selasa Pagi

PRAKTIKUM DASAR TEKNIK KIMIA I

TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG


(3)

HALAMAN PENGESAHAN

I. Judul Praktikum : Iodo-Iodimetri dan Permanganometri II. Anggota

1. Nama Lengkap : Piontek Benedictus Brandon

NIM : 21030113120039

Jurusan : S1 – Teknik Kimia

Universitas/Institut/Politeknik : Universitas Diponegoro 2. Nama Lengkap : Xena Callista

NIM : 21030113140187

Jurusan : S1 – Teknik Kimia

Universitas/Institut/Politeknik : Universitas Diponegoro 3. Nama Lengkap : Tantik Esti Rahayu

NIM : 21030113120087

Jurusan : S1 – Teknik Kimia

Universitas/Institut/Politeknik : Universitas Diponegoro

Semarang, 18 Desember 2013 Asisten Laboratorium Dasar Teknik Kimia 1

Rizki Angga Anggita NIM. 21030112140036


(4)

PRAKATA

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Laporan Resmi Praktikum Dasar Teknik Kimia I.

Penyusunan laporan ini ditujukan sebagai salah satu syarat untuk melengkapi mata kuliah Praktikum Dasar Teknik Kimia I sekaligus mempelajari materi Iodo-Iodimetri dan Permanganometri yang telah diberikan dibangku kuliah.

Pada kesempatan ini penyusun menyampaikan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada :

1. Dosen Penanggung jawab Laboratorium Dasar Teknik Kimia I Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Diponegoro.

2. Segenap asisten yang telah membantu dan membimbing selama pelaksanaan praktikum.

3. Semua pihak yang telah membantu tersusunnya laporan ini.

Penyusun menyadari bahwa laporan ini masih terdapat kekurangan, namun demikian semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi pembaca, dapat diterima sebagai sumber pemikiran demi kemajuan ilmu pengetahuan, khususnya materi Iodo-Iodimetri dan Permanganometri.

Semarang, 18 Desember 2013


(5)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PENGESAHAN... ii

PRAKATA... iii

DAFTAR ISI... iv

DAFTAR TABEL... vii

DAFTAR GAMBAR... viii

INTISARI... ix

SUMMARY... x

BAB I PENDAHULUAN... 1

I.1. Latar Belakang... 1

I.2. Tujuan Percobaan... 1

I.3. Manfaat Percobaan... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 2

II.1. Pengertian Reduksi-Oksidasi... 2

II.2. Reaksi Redoks... 2

II.3. Iodometri... 3

II.4. Iodimetri... 3

II.5. Teori Indikator Amilum... 3

II.6. Mekanisme Reaksi... 4

II.7. Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan... 4

II.8. Sifat Fisik dan Kimia Reagen... 5

BAB III METODOLOGI PERCOBAAN ... 7

III.1. Alat dan Bahan... 7

III.2. Gambar Alat... 7

III.3. Keterangan Alat ... 8

III.4. Cara Kerja ... 9

BAB IV HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN ... 11


(6)

IV.2. Pembahasan... 11

IV.2.1. Kadar yang Ditemukan Lebih Kecil Dari Kadar Asli... 11

IV.2.2. Hidrolisa Amilum... 12

IV.2.3. Sampel + KI  Timbul Endapan... 13

BAB V PENUTUP ... 14

V.1. Kesimpulan... 14

V.2. Saran... 14

DAFTAR PUSTAKA o... 15

INITISARI... xi

SUMMARY... xii

BAB I PENDAHULUAN... 16

I.1. Latar Belakang... 16

I.2. Tujuan Percobaan... 16

I.3. Manfaat Percobaan... 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 17

II.1. Pengertian Permanganometri... 17

II.2. Kelebihan dan Kekurangan Analisa Permanganometri... 18

II.3. Sifat Fisik dan Kimia Reagen... 18

BAB III METODOLOGI PERCOBAAN ... 19

III.1. Alat dan Bahan... 19

III.2. Gambar Alat... 19

III.3. Keterangan Alat... 20

III.4. Cara Kerja... 20

BAB IV HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN ... 22

IV.1. Hasil Percobaan... 22

IV.2. Pembahasan... 22

IV.2.1. Kadar yang Ditemukan Lebih Besar Dari Kadar Asli... 22

IV.2.2. Pemanasan Saat Standarisasi... 23

IV.2.3. Larutan Standar (Baku)... 23

BAB V PENUTUP ... 25

V.1. Kesimpulan... 25

V.2. Saran... 25


(7)

LAMPIRAN

A. LEMBAR PERHITUNGAN ...A-1 B. LAPORAN SEMENTARA ...B-1 C. REFERENSI...C-1 LEMBAR ASISTENSI


(8)

DAFTAR TABEL

A. IODO-IODIMETRI

Tabel 1.1. Hasil Percobaan Iodo-Iodimetri... 11 B. PERMANGANOMETRI


(9)

DAFTAR GAMBAR

A. IODO-IODIMETRI

Gambar 3.1. Buret, Klem, dan Statif... 7

Gambar 3.2. Erlenmeyer... 7

Gambar 3.3. Gelas Ukur... 7

Gambar 3.4. Beaker Glass... 8

Gambar 3.5. Pipet Tetes... 8

Gambar 3.6. Pipet Volum... 8

Gambar 3.7. Corong... 8

Gambar 3.8. Pengaduk Kaca... 8

Gambar 3.9. Termometer... 8

Gambar 3.10. Indikator PH... 8

Gambar 3.11. Kompor Listrik... 8

B. PERMANGANOMETRI Gambar 3.1. Buret, Klem, dan Statif... 19

Gambar 3.2. Erlenmeyer... 19

Gambar 3.3. Gelas Ukur... 19

Gambar 3.4. Beaker Glass... 20

Gambar 3.5. Pipet Tetes... 20

Gambar 3.6. Pipet Volum... 20

Gambar 3.7. Corong... 20

Gambar 3.8. Termometer... 20


(10)

INTISARI

Reaksi-reaksi kimia yang melibatkan oksidasi reduksi dipergunakan secara luas oleh analisa titrimetrik. Ion-ion dari berbagai unsur dapat hadir dalam kondisi oksidasi yang berbeda-beda, menghasilkan kemungkinan banyak reaksi redoks. Banyak dari reaksi-reaksi ini memenuhi syarat untuk dipergunakan dalam analisis titrimetrik dan penerapan-penerapannya cukup banyak. Tujuan dari percobaan ini adalah untuk menentukan kadar Cu2+ di dalam sampel.

Proses reduksi-oksidasi (redoks) adalah suatu proses yang menyangkut perpindahan elektron dari suatu pereaksi ke pereaksi yang lain. Iodometri adalah analisa titrimetrik yang secara tidak langsung untuk zat yang bersifat oksidator seperti besi III, tembaga II, dimana zat ini akan mengoksidasi iodida yang ditambahkan membentuk iodin. Iodimetri adalah analisis titrimetrik yang secara langsung digunakan untuk zat reduktor atau natrium tiosulfat dengan menggunakan larutan iodin atau dengan penambahan larutan baku berlebihan. Amilum merupakan indikator kuat terhadap iodin, yang akan berwarna biru bila suatu zat positif mengandung iodin. Alasan dipakainya amilum karena harganya murah, mudah didapat, perubahan warna saat TAT jelas, reaksi spontan (tanpa pemanasan), dan dapat dipakai sekaligus dalam iodo-iodimetri.

Percobaan yang pertama kami lakukan adalah standarisasi Na2S2O3 dengan

K2Cr2O7. Ambil 10 ml K2Cr2O7, encerkan dengan aquades sampai 40 ml, tambahkan

2,4 ml HCl pekat, tambahkan 12 ml KI 0,1 N. Titrasi campuran tersebut dengan Na2S2O3 sampai muncul warna kuning hampir hilang. Kemudian tambahkann 3-4

tetes amilum sampai warna biru lanjutkan titrasi sampai warna biru hamper hilang. Percobaan kedua adalah menentukan kadar Cu2+ dalam sampel. Ambil 10 ml sampel, tes sampel, jika terlalu asam tambah NH4OH sampai PH 3-5, jika terlalu

basa tambah H2SO4 sampai PH 3-5. Kemudian masukkan KI 0,1 N 12 ml.titrasi

dengan Na2S2O3 sampai warna kuning hamper hilang.Tambahkan 3-4 tetes indicator

amilum sampai warna biru, lanjutkan titrasi sampai warna biri hilang.

Hasil percobaan yang kami dapatkan adalah kadar Cu2+ pada sampel I

173,36 ppm,kadar asli 599,04 ppm, persen error 71%. Sampel II dengan kadar 151,13 ppm, kadar asli 718,84 ppm, persen error 79%. Sampel III dengan kadar 315,6 ppm, kadar asli 838,65 ppm, persen error 62%. Kadar yang ditemukan lebih kecil dari kadar asli karena ada sebagian I2 yang menguap, penambahan indikator

amilum terlalu cepat, dan kecepatan reaksi I2 + 2S2O32- 2I- + S4O62- rendah.

Hidrolisa amilum adalah perubahan amilum menjadi sakar-sakarnya. Pada penambahan KI pada sampel timbul endapan karena kelarutan KI lebih kecil dibanding sampel yang mengandung Cu2+ sehingga terbentuk endapan KI.

Kesimpulan yang kami dapatkan kadar Cu2+ yang kami temukan lebih kecil

dari kadar aslinya. Saran dari kami adalah penambahan indikator amilum jangan terlalu cepat karena akan memperlambat laju reaksi dan teliti dalam melakukan titrasi agar TAT dapat teramati dengan baik. Usahakan membuat indikator amilum yang bagus (terbentuk 3 lapisan) serta melakukan prosedur kerja dengan benar. Jangan lupa mencuci semua alat yang digunakan sebelum dipakai agar tidak terkontaminasi.


(11)

SUMMARY

Chemical reactions involving oxidation-reduction is widely used by titrimetric analysis. The ions of various elements can be present in the oxidation state different, resulting in the possibility of redox reactions. Many of these reactions are eligible for use in titrimetric analysis and its applications quite a lot. The purpose of this experiment was to determine the concentration of Cu2+ in the sample.

The process of reduction - oxidation ( redox ) is a process that involves the transfer of electrons from one reactant to another reactant. Iodometric titrimetric analysis which is indirectly for substances that are oxidizing agents such as iron III, copper II, where these substances will oxidize iodide to iodine. Iodimetri is titrimetric analysis that directly used for substances or reducing agent sodium thiosulfate using iodine solution or with the addition of standard solution redundant. Starch is a strong indicator of the iodine, which is blue when a substance containing iodine positive. The reason behind the starch was used because it's cheap, easy to obtain, change color when the TAT is clear, spontaneous reaction ( without heating ) , and can be used simultaneously in the iodo-iodimetri .

The first experiment we did was standardize Na2S2O3 with K2Cr2O7. Take 10 ml

of K2Cr2O7, dilute with distilled water to 40 ml, add 2.4 ml of concentrated HCl, add

12 ml of 0.1 N KI. The mixture titration with Na2S2O3 until the yellow colour almost

disappeared. Then add 3-4 drops of starch to continue the titration until the blue color is almost lost. The second experiment was to determine the levels of Cu2+ in the

sample. Take 10 ml of the sample, test sample, if it is too acidic add NH4OH until pH

3-5, if too alkaline add H2SO4 to pH 3-5 . Then add 0.1 N KI 12 ml. Titration with

Na2S2O3 until the yellow color almost gone. Add 3-4 drops of starch indicator until the

blue color, continue titration until the color of blue is lost .

The experimental results that we got is Cu2+ concentration in the sample I

173.36 ppm, 599.04 ppm original levels, 71 % percent error. Sample II with levels of 151.13 ppm, 718.84 ppm original levels, 79 % percent error. Sample III grading 315.6 ppm, 838.65 ppm original levels, 62 % percent error. Levels were found to be smaller than the original levels because there are some vaporized I2 , the addition of starch

indicator too fast, and reaction speed I2 + 2S2O32- 2I- + S4O62- low. Hydrolysis of

starch is change starch into sugar. In addition to the KI sediment samples arises because the solubility of KI is smaller than the samples containing Cu2+ to form a

precipitate of KI .

We get the conclusion that Cu2+ levels that we found are smaller than the

original levels. Our suggestion is the addition of starch indicator should not be too fast because it will slow the rate of reaction and meticulous in performing titrations for endpoint of titration can be observed very well . Try to make a good starch indicator ( form 3 layers ) as well as perform the procedure work correctly. Do not forget to wash all tools used before use to avoid contamination.


(12)

BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Reaksi-reaksi kimia yang melibatkan oksidasi reduksi dipergunakan secara luas oleh analisa titrimetrik. Ion-ion dari berbagai unsur dapat hadir dalam kondisi oksidasi yang berbeda-beda, menghasilkan kemungkinan banyak reaksi redoks. Banyak dari reaksi-reaksi ini memenuhi syarat untuk dipergunakan dalam analisis titrimetrik dan penerapan-penerapannya cukup banyak.

I.2. Tujuan Percobaan

Menentukan kadar Cu2+ di dalam sampel

I.3. Manfaat Percobaan

Sebagai alat bantu dalam penentuan kadar Cu2+ secara aplikatif dalam berbagai sampel yang didalamnya mengandung ion Cu2+


(13)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Pengertian Reduksi-Oksidasi

Proses reduksi-oksidasi (redoks) adalah suatu proses yang menyangkut perpindahan elektron dari suatu pereaksi ke pereaksi yang lain. Reduksi adalah penangkapan satu atau lebih elektron oleh suatu atom, ion, atau molekul. Sedangkan oksidasi adalah pelepasan sata atau lebih elektron dari suatu atom, ion, atau molekul.

Tidak ada elektron bebas dalam sistem kimia, dan pelepasan elektron oleh suatu zat kimia selalu disertai dengan penangkapan elektron oleh bagian yang lain, dengan kata lain reaksi oksidasi selalu diikuti reaksi reduksi. Dalam reaksi oksidasi reduksi (redoks) terjadi perubahan valensi dari zat-zat yang mengadakan reaksi. Disini terjadi transfer elektron dari pasangan pereduksi ke pasangan pengoksidasi.

Kedua reaksi paro dari suatu reaksi redoks umumnya dapat ditulis sebagai berikut:

red oks + n é

Dimana red menunjukan bentuk tereduksi (disebut juga reaktan atau zat pereduksi), oks adalah bentuk teroksidasi (oksidan atau zat pengoksidasi), n adalah jumlah elektron yang ditransfer dan é adalah elektron.

II.2. Reaksi Redoks

Reaksi redoks secara luas digunakan dalam analisa titrimetrik dari zat-zat anorganik maupun organik. Untuk menetapkan titik akhir titrasi redoks dapat dilakukan secara potensiometrik atau dengan bantuan indikator.

Contoh dari reaksi redoks: 5Fe2+ + MnO

4 + 8H+ 5Fe3+ + Mn2+ + 4H2O Dimana:


(14)

5Fe2+ 5Fe3+ + 5e merupakan reaksi oksidasi

MnO4 + 8H+ + 5e Mn2+ + 4H2O merupakan reaksi reduksi

II.3. Iodometri

Iodometri adalah analisa titrimetrik yang secara tidak langsung untuk zat yang bersifat oksidator seperti besi III, tembaga II, dimana zat ini akan mengoksidasi iodida yang ditambahkan membentuk iodin. Iodin yang terbentuk akan ditentukan dengan menggunakan larutan baku tiosulfat:

Oksidator + KI I2 + 2e I2 + Na2S2O3 NaI + Na2S4O6

II.4. Iodimetri

Iodimetri adalah analisis titrimetrik yang secara langsung digunakan untuk zat reduktor atau natrium tiosulfat dengan menggunakan larutan iodin atau dengan penambahan larutan baku berlebihan. Kelebihan iodin dititrasi kembali dengan larutan tiosulfat.

Reduktor +I2 2I

Na2S2O3 +I2 NaI + Na2S4O6

II.5. Teori Indikator Amylum

Amylum merupakan indikator kuat terhadap iodin, yang akan berwarna biru bila suatu zat positif mengandung iodin. Alasan dipakainya amilum sebagai indikator, diantaranya:

 Harganya murah  Mudah didapat

 Perubahan warna saat TAT jelas  Reaksi spontan (tanpa pemanasan)


(15)

Sedangkan kelemahan indikator ini adalah:  Tidak stabil (mudah terhidrolisa)  Mudah rusak (terserang bakteri)  Sukar larut dalam air

Cara pembuatan indikator amylum:

 3 gram kanji dimasukkan ke dalam beaker glass 250 ml, lalu ditetesi aquades sampai terbentuk pasta.

 Masukkan air yang telah dipanaskan pada suhu 60-65 C sebanyak 100 cc ke dalam beaker glass yang berisi pasta amylum tersebut kemudian diaduk sampai amylum benar-benar larut.

 Bila perlu tambahkan 3 tetes KI sebagai pelindung dari peruraian bakteri.  Diamkan sampai mengendap, setelah dingin ambil bagian tengah larutan

sebagai indikator.

II.6. Mekanisme Reaksi

Mekanisme reaksi adalah tahapan-tahapan reaksi yang menggambarkan seluruh rangkaian suatu reaksi kimia. Mekanisme reaksi iodo-iodimetri:

2Cu2+ + 4I-  2CuI + I 2

I2 + 2S2O32-  2I- + S4O6 2-I2 + I-  I3

-Amylum + I3-  Amylum + I- (biru)

II.7. Hal-hal yang Perlu Diperhatikan

1. Titrasi sebaiknya dilakukan dalam keadaan dingin, di dalam erlenmeyer tanpa katalis agar mengurangi oksidasi I- oleh O

2 dan udara menjadi I2.

2. Na2S2O3 adalah larutan sekunder yang harus distandarisasi terlebih dulu. 3. Penambahan indikator di akhir titrasi (sesaat sebelum TAT)


(16)

4. Titrasi tidak dapat dilakukan dalam medium asam kuat karena akan terjadi hidrolisa amylum.

5. Titrasi tidak dapat dilakukan dalam medium alkali kuat karena I2 akan mengoksidasi tiosulfat menjadi sulfat.

6. Larutan Na2S2O3 harus dilindungi dari cahaya karena cahaya membantu aktivitas bakteri thioparus yang mengganggu.

II.8. Sifat Fisik dan Kimia Reagen

1. Na2S2O3.5H2O (Natrium Tiosulfat) Fisis :

BM : 158,09774 gr/mol BJ : 1.667 gr/cm3, solid TD : terdekomposisi TL : 48,3°C

Chemist :

 Anion Tiosulfat bereaksi secara khas dengan asam (H+) menghasilkan sulfur, sulfur dioksida, dan air

S2O3(aq) + 2H+ S(s) + SO2(g) + H2O(l)

 Anion Tiosulfat bereaksi secara stokiometri dengan iodin dan terjadi reaksi redoks

2S2O32-(aq) + I2(aq) S4O62-(aq) + 2I-(aq) 2. HCl

Fisis :

BM : 36,47 gr/mol BJ : 1,268 gr/cc TD : 85°C TL : -110°C

Kelarutan dalam 100 bagian air 0°C = 82,3 Kelarutan dalam 100 bagian air 100°C = 56,3 Chemist :

 Bereaksi denga Hg2+ membentuk endapan putih Hg2Cl2 yang tidak larut dalam air panas dan asam encer tapi larut dalam amoniak encer, larutan KCN serta tiosulfat.

2HCl + Hg2+ 2H+ + Hg 2Cl2


(17)

 Beraksi dengan Pb2+ membentuk endapan putih PbCl 2

2HCl + Pb2+ PbCl

2↓ + 2H+

 Mudah menguap apalagi bila dipanaskan

 Konsentrasi tidak mudah berubah karena udara/cahaya  Merupakan asam kuat karena derajat disosiasinya tinggi 3. KI (Potasium Iodida)

Fisis :

BM : 166,0 gr/mol BJ : 3,13 gr/cm3, solid TD : 1330°C

TL : 681°C

Kelarutan dalam air pada suhu 6°C : 128 gr/100ml Chemist:

 Ion iodida merupakan reducing agent, sehingga mudah teroksidasi menjadi I2 oleh oxidising agent kuat seperti Cl2

2KI(aq) + Cl2(aq) 2KCl + I2(aq)

 KI membentuk I3- ketika direaksikan dengan iodin KI(aq) + I2 KI3(aq)


(18)

BAB III

METODE PERCOBAAN III.1. Alat dan Bahan

III.1.1. Bahan 1. Sampel 2. Na2S2O3 3. K2Cr2O7 4. HCl pekat 5. KI 0,1 N 6. Amylum

7. NH4OH dan H2SO4 8. Aquades

III.1.2. Alat

1. Buret, Klem, dan Statif 2. Erlenmeyer

3. Gelas ukur 4. Beaker glass 5. Pipet tetes 6. Pipet volum 7. Corong 8. Pengaduk 9. Termometer 10. Indikatot pH 11. Kompor listrik

III.2. Gambar Alat

Gambar 3.1. Gambar 3.2. Erlenmeyer Gambar 3.3. Buret, Klem dan Statif Gelas Ukur


(19)

.

Gambar 3.4. Gambar 3.5. Gambar 3.6. Pipet Volum Beaker Glass Pipet Tetes

Gambar 3.7. Gambar 3.8. Gambar 3.9. Termometer Corong Pengaduk Kaca

Gambar 3.10. Gambar 3.11. Kompor Listrik Indikator PH

III.3. Keterangan Alat

1. Buret : untuk tempat titran untuk titrasi.

Klem : untuk penyambung antara buret dan statif. Statif : untuk penyangga buret

2. Erlenmeyer : untuk tempat titrat.

3. Gelas Ukur : untuk mengukur volume larutan. 4. Beaker Glass : untuk tempat zat / larutan. 5. Pipet Tetes : untuk mengambil larutan.

6. Pipet Volum : untuk mengambil larutan dengan volume tertentu. 7. Corong : untuk membantu memindahkan larutan.


(20)

8. Pengaduk Kaca : untuk mengaduk. 9. Thermometer : untuk mengukur suhu. 10. Indikator PH : untuk mengukur PH larutan. 11. Kompor Listrik : untuk memanaskan.

III.4. Cara Kerja

III.4.1. Pembuatan amylum

1. Timbang 3 gram kanji, masukkan ke dalam beaker glass 250 ml

2. Tambahkan 100 ml aquades, panaskan sampai suhu 40°C sambil diaduk 3. Kemudian lanjutkan proses pemanasan sampai suhu 60°C tanpa pengadukan 4. Angkat, tutup dengan kantong plastik hitam, simpan di tempat gelap, tunggu

5 menit, lapisan tengah yang berwarna putih susu yang digunakan sebagai indikator

III.4.2. Standarisasi Na2S2O3 dengan K2Cr2O7 0,01 N

1. Ambil 10 ml K2Cr2O7, encerkan dengan aquadest sampai 40 ml. 2. Tambahkan 2,4 ml HCl pekat.

3. Tambahkan 12 ml KI 0,1 N.

4. Titrasi campuran tersebut dengan Na2S2O3sampai warna kuning hampir hilang.

5. Kemudian tambahkan 3-4 tetes amylum sampai warna biru. 6. Lanjutkan titrasi sampai warna biru hilang.

7. Catat kebutuhan titran Na2S2O3 seluruhnya. N Na2S2O3 =

(VxN)K2Cr2O7

V Na2S2O3 III.4.3. Menentukan kadar Cu2+ dalam sampel

1. Ambil 10 ml sampel.

2. Test sampel, jika terlalu asam tambah NH4OH sampai pH 3-5 dan jika terlalu basa tambah H2SO4 sampai pH 3-5

3. Masukkan 12 ml KI 0,1 N.

4. Titrasi dengan Na2S2O3 sampai warna kuning hampir hilang. 5. Tambahkan 3-4 tetes indikator amylum sampai warna biru. 6. Lanjutkan titrasi sampai warna biru hilang.


(21)

7. Catat kebutuhan Na2S2O3 seluruhnya. Cu2+ (ppm) = (VxN) Na

2S2O3 x BM Cu x

1000

V sampel

Atau Cu2+ (ppm) = (VxN) Na

2S2O3 x BM Cu x 1000

10 mgr/L

BAB IV

HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN IV.1. Hasil Percobaan

Tabel 1.1. Hasil Percobaan Iodo-Iodimetri

Sampel Kadar Asli (ppm) Kadar yang Ditemukan (ppm) % error

I 599,04 173,36 71%

II 718,84 151,13 79%


(22)

IV.2. Pembahasan

IV.2.1. Kadar yang Ditemukan Lebih Kecil dari Kadar Asli a. Sebagian I2 menguap.

Pada saat sampel ditambahkan dengan KI, ada sebagian I2 yang menguap karena sifatnya yang sensitive dengan udara. Reaksi yang terjadi :

2Cu2+ + 4 I-  2CuI + I 2

Adanya cahaya matahari membuat I2 menguap dan mengakibatkan I2 yang tersisa dalam sampel sedikit. Padahal I2 sangat berguna untuk mengikat I -menghasilkan I3- dengan reaksi :

I2 + I-  I3

-Amylum + I3-  Amylum + I- (biru)

Karena warna biru kurang optimal, maka TAT terjadi lebih awal. Hal itulah yang menyebabkan kadar Cu2+ yang kami dapatkan lebih kecil dari kadar asli.

(Underwood 296) b. Penambahan Indikator Amilum Terlalu Cepat

Mekanisme reaksi : 2Cu2+ + 4I-  2CuI + I

2

I2 + 2S2O32-  2I- + S4O6 2-I2 + I-  I3

-Amylum + I3-  Amylum + I- (biru)

Amilum menyerap iod sehingga menyebabkan iod sukar lepas kembali, sehingga yang bereaksi dengan tiosulfat dan membentuk kompleks trioksida menjadi berkurang.

Reaksi: I2 + 2S2O32-  2I- + S4O6 I2 + I-  I3-

Berkurangnya I2 menyebabkan kebutuhan Na2S2O3 pada saat titrasi menjadi semkain kecil sehingga kadar Cu2+ yang ditemukan pada saat percobaan menjadi lebih kecil.


(23)

(Underwood 296-298) c. Kecepatan Reaksi I2 + 2S2O32-  2I- + S4O62- Rendah

Adanya penguapan I2 dan penyerapan oleh amilum menyebabkan konsentrasi I2 dalam larutan menjadi kecil, selain itu karena adanya sebagian tiosulfat yang teroksidasi menjadi sulfat mengakibatkan konsentrasi S2O32- menjadi lebih rendah.

4I2 + S2O32- + 5H2O  8 I- + 2SO42- + 10H+

Kecilnya konsentrasi I2 dan SO32- menyebabkan laju pembentukan kompleks triodida melambat akibat rendahnya kompleks I3- menyebabkan reaksi dengan amilum menjadi lebih cepat sehingga TAT tercapai sebelum titik kesetaraan yang seharusnya.

(Underwood 296-298) IV.2.2. Hidrolisa Amilum

Teori yang mendasari hidrolisa amilum menurut Faseenden adalah amilum merupakan polisakarida yang terdapat pada sebagian besar tanaman, terbagi menjadi 2 fraksi yaitu Amilosa dan Amilopektin. Amilum dalam suasana asam bila dipanaskan akan terhidrolisis menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana.hidrolisis dapat menggunakan iodium dan hasil akhirnya ditegaskan dengan uji benedict. Percobaan diawali dengan pengaturan PH optimum. Setelah itu ditambakan air ludah.penambahan air liur pada amilum berfungsi sebagai enzim amylase yang akan mengubah amilum menjadi maltose karena amilum mengandung enzim ptyalin.

Proses perubahan amilum menjadi maltose merupakan hidrolisis. Tanpa adanya enzim amylase,pati akan susah terhidrolisis menjadi komponen sakar-sakarnya. Hidrolisis amilum akan optimum pada PH 5 dengan temperature 40oC. Pada kondisi optimalini, enzim amylase akakn lebih cepat dalam membantu proses hidrolisis kanji.

( http://kuhascexpress.blogspot.com/2010/05/hidrolisis-sukrosa-dan-pati-kanji.html) IV.2.3.Sampel + KI  Timbul Endapan

Pada saat sampel ditambahkan KI timbul sebuah endapan.endapan itu adalah endapan KI sebagai akibat dari sampel yang mengandung Cu2+ direaksikan dengan KI. Perhatikan perhitungan ksp berikut :


(24)

s3 = 3,2 x 10-13 s3 = 6,8 x 10-5

Ksp KI = 3,71 x 10-14

s2 = 3,71 x 10-14 s = 1,93 x 10-7


(25)

yang terlihat adalah endapan KI karena kelarutan KI lebih kecil daripada CuI2 . (http://www.ktf-split.hr/periodni/en/abc/kpt.html)

BAB V PENUTUP

V.1. Kesimpulan

1. Sampel 1 kadar Cu2+ yang ditemukan sebesar 173,36 ppm lebih kecil dari kadar aslinya sebesar 599,04 ppm dan persen errornya adalah 71%.

2. Sampel 2 kadar Cu2+ yang ditemukan sebesar 151,13 ppm lebih kecil dari kadar aslinya sebesar 718,84 ppm dan persen errornya adalah 79%.

3. Sampel 3 kadar Cu2+ yang ditemukan sebesar 315,6 ppm lebih kecil dari kadar aslinya sebesar 838,65 ppm dan persen errornya adalah 62%.

4. Kadar Cu2+ yang ditemukan lebih kecil disbanding kadar aslinya karena ada sebagian I2 yang menguap, penambahan indicator amilum terlalu cepat, dan kecepatan reaksi I2 + 2S2O32-  2I- + S4O62- Rendah.

5. Hidrolisa amilum adalah perubahan amilum menjadi sakar-sakarnya.

6. Pada penambahan KI pada sampel timbul endapan karena kelarutan KI lebih kecil dibanding sampel yang mengandung Cu2+ sehingga terbentuk endapan KI.

V.2.Saran

1. Penambahan indicator amilum jangan terlalu cepat karena akan memperlambat laju reaksi.


(26)

5. Mencuci semua alat yang digunakan sebelum dipakai agar tidak terkontaminasi.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Solubility Product Constants. http://.ktf-split.hr/periodni/en/abc/kpt.html. 16 Oktober 2013.

R.A.Day,Jr.A.L.Underwood.1986.Analisis Kimia Kuantitatif edisi 5.Jakarta:Erlangga. Rachman,Lufti. Hidrolisa Sukrosa dan Pati. http://kuhascexpress.blogspot.com /


(27)

(28)

Reaksi redoks secara luas digunakan dalam analisa titrimetrik zat-zat anorganik maupun organik. Untuk menetapkan titik akhir pada titrasi redoks dapat dilakukan secara potensiometrik atau dengan bantuan indikator. Analisis volumetri yang berdasarkan reaksi redoks salah satu diantaranya adalah permanganometri. Tujuan percobaan ini adalah untuk menentukan kadar Fe yang terdapat dalam sampel.

Permanganometri adalah salah satu analisa kuantitatif volumetrik yang didasarkan pada reaksi oksidasi ion permanganat. Larutan standar yang digunakan adalah KMnO4. Oksidasi ion permanganat dapat berlangsung dalam suasana asam, netral, dan alkalis. Tetapi umumnya titrasi dilakukan dalam suasana asam karena akan lebih mudah mengamati titik akhir titrasinya.

Pada percobaan dimulai dengan melakukan standarisasi KMnO4 terlebih

dahulu dengan Na2C2O4 dengan cara mengambil 10 ml Na2C2O4 0,1 N ke dalam

Erlenmeyer, tambahkan 6 ml H2SO4 6 N, panaskan 70-80oC, titrasi dengan KMnO4

sampai muncul warna merah jambu yang tak hilang setelah pengocokan dan catat volume KMnO4. Kemudian menentukan kadar Fe dalam sampel dengan cara

mengambil 20 ml H2SO4 encer, masukkan sampel, diaduk hingga sedikit larut, titrasi

dengan KMnO4 0,1 N sampai timbul warna merah jambu yang tak hilang setelah

pengocokan.

Hasil percobaan yang kami dapatkan, kadar Fe yang ditemukan 0,07% lebih besar dari kadar aslinya yaitu 0,03718% dan persen errornya 88%. Kadar Fe yang ditemukan lebih besar karena larutan KMnO4 rusak dan penambahan KMnO4 yang terlalu cepat. Saat standarisasi larutan harus dilakukan pemanasan untuk menghancurkan substansi-substansi yang dapat direduksi. Larutan standar adalah larutan yang sudah diketahui konsentrasinya dengan pasti yang terbagi 2 jenis yaitu larutan standar primer dan sekunder.

Kesimpulan dari percobaan kami adalah kadar Fe yang ditemukan lebih besar dari kadar aslinya. Saran dari kami, lakukan titrasi dengan cermat agar TAT tidak terlampaui, melakukan prosedur kerja dengan benar, dan jangan lupa mencuci semua alat yang digunakan sebelum dipakai agar tidak terkontaminasi.Untuk melarutkan sampel terlebih dahulu dimaksukkan H2SO4 encer baru setelah itu dimasukkan

sampel. Serta jaga suhu pada saat standarisasi agar tetap pada kisaran 70 – 80oC.


(29)

the help of indicators. Volumetric analysis is based on the redox reaction of one of them is permanganometri. The purpose of this experiment is to determine the Fe content contained in the sample.

Permanganometri is one of many quantitative volumetric analysis based on permanganate ion oxidation reaction. Standard solution used is KMnO4.

Permanganate ion oxidation can go on condition acidic, neutral, and alkaline. But generally titration performed under acidic because it will be easier to observe the end point titration .

In the beginning standardized KMnO4 advance with Na2C2O4 by taking 10 ml

of 0.1 N Na2C2O4 into erlenmeyer, add 6 ml of 6 N H2SO4, heat 70-80oC, titration with

KMnO4 until a pink color that is not lost on mixing and write the volume of KMnO4 .

Then determine the Fe content in the samples by taking 20 ml of dilute H2SO4, enter

the sample, stirring until slightly soluble, titrate with 0.1 N KMnO4 to a pink color

arises not disappear after shaking.

We get the results of the experiment, the Fe content was found 0.07 % larger than the original concentration is 0.03718 % and 88 % percent of the error. Fe concentration were found to be bigger than the original concentration because solution of KMnO4 broken and the addition of a solution of KMnO4 too fast. When

standardized solution should be done to broke down the substances that can be reduced. Standard solution is a solution of known concentration with certainty that divided two types: primary and secondary standard solutions.

The conclusion of our experiments is the Fe content is found to be greater than the original concentration. Advice from our carefully titrate for TAT is not exceeded, perform the procedure work correctly , and do not forget to wash all the tools that are used before being used so as not to contamination. To dissolved sample, first input of dilute H2SO4 then input sample. Don’t forget to preserve the temperature when

standardiztion .


(30)

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Reaksi redoks secara luas digunakan dalam analisa titrimetrik zat-zat anorganik maupun organik. Untuk menetapkan titik akhir pada titrasi redoks dapat dilakukan secara potensiometrik atau dengan bantuan indikator.

Analisis volumetri yang berdasarkan reaksi redoks salah satu diantaranya adalah permanganometri.

I.2. Tujuan Percobaan

Menentukan kadar Fe yang terdapat dalam sampel

I.3. Manfaat Percobaan

Mengetahui besarnya kadar Fe di dalam sampel dan dapat menerapkan analisa ini dalam kehidupan sehari-hari


(31)

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Pengertian Permanganometri

Permanganometri adalah salah satu analisa kuantitatif volumetrik yang didasarkan pada reaksi oksidasi ion permanganat. Larutan standar yang digunakan adalah KMnO4. Sebelum digunakan untuk titrasi, larutan KmnO4 harus distandarisasi terlebih dahulu karena bukan merupakan larutan standar primer. Selain itu KmnO4 mempunyai karakteristik sebagai berikut:

1. Tidak dapat diperoleh secara murni 2. Mengandung oksida MnO dan Mn2O3 3. Larutannya tidak stabil (jika ada zat organik)

Reaksi :

4MnO4- + 2H2O  4MnO2 + 3O2 + 4 OH

-4. Tidak boleh disaring dengan kertas saring (zat organik) 5. Sebaiknya disimpan di dalam botol cokelat.

6. Distandarisasi dengan larutan standar primer.

Zat standar primer yang biasa digunakan antara lain : As2O3, Na2C2O4, H2C2O4, Fe(NH4)2(SO4)2, K4Fe(CN)6, logam Fe, KHC2O4H2C2O42H2O

Oksidasi ion permanganat dapat berlangsung dalam suasana asam, netral, dan alkalis.

1. Dalam suasana asam, pH +- 1

Reaksi : MnO4- + 8H+ + 5e  Mn2+ + 4H2O

Kalium permanganat dapat bertindak sebagai indikator, dan umumnya titrasi dilakukan dalam suasana asam karena akan lebih mudah mengamati titik akhir titrasinya.


(32)

Reaksi dalam suasana netral yaitu: MnO4- + 4H+ + 3e  MnO2 + 2H2O

3. Reaksi dalam suasana alkalis atau basa yaitu: MnO4- + 3e  MnO42

MnO42- + 2H2O + 2e  MnO2 + 4OH -MnO4- + 2H2O + 3e  MnO2 + 4OH

-II.2. Kelebihan dan Kekurangan Analisa Permanganometri

Kelebihan:

1. Larutan standarnya, yaitu KMnO4 mudah diperoleh dan harganya murah. 2. Tidak memerlukan indikator untuk TAT. Hal itu disebabkan karena KMnO4

dapat bertindak sebagai indikator.

3. Reaksinya cepat dengan banyak pereaksi. Kekurangan:

1. Harus ada standarisasi awal terlebih dahulu

2. Dapat berlangsung lebih baik jika dilakukan dalam suasana asam. 3. Waktu yang dibutuhkan untuk analisa cukup lama.

II.3. Sifat Fisik dan Kimia Reagen

1. KMnO4

 Berat molekul : 158,03

 Warna, bentuk kristalinnya dan refractive index: purple, rhb  Berat jenis (specific gravity) : 2,703

 Titik lebur (°C) : d<240

 Kelarutan dalam 100 bagian air dingin : 2,83°  Kelarutan dalam 100 bagian air panas : 32,3575° 2. H2SO4


(33)

 Warna, bentuk kristalinnya dan refractive index: purple, rhb  Berat jenis (specific gravity) : 1.8344180

 Titik lebur (°C) : 10.49  Titik didih (°C) : d. 340

 Kelarutan dalam 100 bagian air dingin : ∞  Kelarutan dalam 100 bagian air panas : ∞

BAB III

METODE PERCOBAAN

III.1. Alat dan Bahan

III.1.1. Bahan 1. Sampel 2. KMnO4 0,1 N 3. H2SO4 III.1.2. Alat

1. Buret, Klem, dan Statif 2. Erlenmeyer

3. Gelas Ukur 4. Beaker Glass 5. Pipet Tetes 6. Pipet volum 7. Corong 8. Termometer 9. Kompor Listrik


(34)

Buret, Klem, dan Statif Gelas Ukur

.

Gambar 3.4. Gambar 3.5. Gambar 3.6. Pipet Volum Beaker Glass Pipet Tetes

Gambar 3.7. Gambar 3.8. Termometer Gambar 3.9.

Corong Kompor Listrik

III.3. Keterangan Alat

1. Buret : untuk tempat titran untuk titrasi.

Klem : untuk penyambung antara buret dan statif. Statif : untuk penyangga buret


(35)

5. Pipet Tetes : untuk mengambil larutan.

6. Pipet Volum : untuk mengambil larutan dengan volume tertentu. 7. Corong : untuk membantu memindahkan larutan.

8. Thermometer : untuk mengukur suhu. 9. Kompor Listrik : untuk memanaskan.

III.4. Cara Kerja

III.4.1. Standarisasi KMnO4 dengan Na2C2O4

1. Ambil 10 ml larutan Na2C2O4 0,1 N kemudian masukkan ke dalam erlenmeyer

2. Tambahkan 6 ml larutan H2SO4 6 N 3. Panaskan 70-80°C

4. Titrasi dalam keadaan panas dengan menggunakan KMnO4

5. Hentikan titrasi jika muncul warna merah jambu yang tidak hilang dengan pengocokan

6. Catat kebutuhan KMnO4 N KMnO4 =

(VxN)Na2C2O4

V KMnO4

III.4.2. Menentukan Kadar Fe dalam sampel 1. Persiapkan sampel, alat, dan bahan

2. Ambil 20 ml asam sulfat encer kemudian masukkan ke dalam Erlenmeyer dan tambahkan sampel

3. Titrasi dengan KMnO4 0,1 N hingga timbul warna merah jambu yang tidak hilang dengan pengocokan

Reaksi yang terjadi :

MnO4- + 8H+ + 5Fe2+  Mn2+ + 4H2O + 5 Fe3+ Perhitungan :

mg zat = ml titran x N titran x BE zat BE zat = ekivalensiBM Fe


(36)

BAB IV

HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

IV.1. Hasil Percobaan

Tabel 1.2. Tabel Percobaan Permanganometri

Kadar Fe asli Kadar Fe yang ditemukan % error

0.03718 % 0.07 % 88 %

IV.2. Pembahasan

IV.2.1. Kadar yang Ditemukan Lebih Besar dari Kadar Asli a. Larutan KMnO4 pada Buret Rusak

Hal ini dapat mempengaruhi kesalahan karena sifat dari KMnO4 yang mudah rusak bila terkena cahaya matahari. Bila dilakukan dalam percobaan yang lama, KMnO4 menjadi rusak karena terpapar sinar matahari dimana akan terurai menjadi MnO2 . Akibat MnO2 itu, pada saat TAT akan terganggu, dimana yang seharusnya berwarna merah jambu menjadi coklat. Hal ini menyebabkan kami terus menerus menambahkan KMnO4 karena warnanya


(37)

aslinya.

( http://odeyoni.blogspot.com/2012/06/titrasi-permanganometri.html) b. Penambahan KMnO4 yang Terlalu Cepat

Akibat penambahan KMnO4 yang terlalu cepat pada H2C2O4 yang telah diberi H2SO4 dan dipanaskan, maka akan menyebabkan reaksi antara MnO4 -dan Mn2+, sesuai dengan reaksi berikut :

2MnO4- + 3 Mn2+ + 2H2O  5MnO2 + 4H+

Reaksi antara MnO4- dan Mn2+ membentuk MnO2 , dimana MnO2 akan menganggu saat TAT. MnO2 mengakibatkan dimana seharusnya TAT berwarna merah jambu menjadi coklat. Hal ini sama dengan larutan KMnO4 yang terpapar sinar matahari terlalu lama, diamana KmnO4 akan terurai menjadi MnO2 yang menggangu TAT. Oleh karena itu warna TAT yang kami dapat tidak merah jambu, maka kami terus menambahakan KMnO4 sehingga TAT telampaui dan kadar yang kami temukan lebih besar dari kadar aslinya.

(http://odeyoni.blogspot.com/2012/06/titrasi-permanganometri.html)

IV.2.2. Pemanasan Saat Standarisasi

Pada saat standarisasi harus dilakukan pemanasan karena permanganat bereaksi secara cepat dengan banyak agen pereduksi berdasarkan reaksi :

MnO4- + 8H+ + 5e  Mn2+ + 4H2O

Namun beberapa substansi membutuhkan pemanasan atau penggunaan sebuah katalis untuk mempercepat reaksi. Banyak kesulitan yang terjadi bila menggunakan reagen ini. Contohnya permanganate adalah agen unsur pengoksidasi yang cukup kuat untuk mengoksidasi Mn2+ menjadi MnO

2 sesuai persamaan :

2MnO4- + 3 Mn2+ + 2H2O  5MnO2 + 4H+

Kelebihan dari sedikit permanganat yang hadir pada TAT cukup untuk menyebabkan terjadinya pengendapan sejumlah MnO2. Tindakan pencegahan khusus harus dilakukan dalam pembuatan larutan permanganate. Tindakan-tindakan ini biasanya berupa larutan Kristal-kristalnya, pemanasan untuk menghancurkan substansi-substansi yang dapat direduksi dan penyaringan


(38)

(Underwood 290) IV.2.3. Larutan Standar (Baku)

Larutan baku adalah larutan yang konsentrasinya sudah diketahui dengan pasti. Larutan baku biasanya ditempatkan pada alat yang namanya buret, yang sekaligus berfungsi sebagai alat ukur volume larutan baku. Larutan yang akan ditentukan konsentrasinya atau kadarnya, diukur volumenya dengan menggunakan pipet seukuran/ gondok(pipet volumetri) dan ditempatkan di Erlenmeyer. Larutan baku ini ada 2 jenis yaitu :

1. Larutan baku primer

Larutan baku primer adalah larutan yang memiliki syarat sebagai berikut a. memiliki tingkat kemurnian yang tinggi;

b. kering, tidak terpengaruh oleh udara/lingkungan(zat tersebut stabil); c. mudah larut dalam air;

d. mempunyai massa ekivalen yang tinggi.

Larutan baku primer biasanya dibuat hanya sedikit, penimbangan yang dilakukanpun harus teliti, dan dilarutkan dengan volume yang akurat. Pembuatan larutan baku primer ini biasanya dilakukan dalam labu ukur yang volumenya tertentu. Zat yang dapat dibuat sebagai larutan baku primer adalah asam oksalat (C2H2O4.2H2O), Boraks(Na2B4O7.10H2O), asam benzoat(C6H5COOH).

2. Larutan baku sekunder

Larutan baku sekunder adalah larutan baku yang zat terlarutnya tidak harus zat yang tingkat kemurniannya tinggi. Larutan baku sekunder ini konsentrasinya ditentukan berdasarkan standarisasi dengan cara titrasi terhadap larutan baku primer. Sebagai larutan baku sekunder dapat digunakan larutan basa atau asam dari senyawa anorganik misalnya NaOH, HCl. Larutan baku sekunder ini umumnya tidak stabil sehingga perlu distandarisasi ulang setiap minggu.

Cara standarisasi larutan baku sekunder :

 Siapkan alat-alat untuk melakukan titrasi( Erlenmeyer, gelas kimia


(39)

 Bilas alat-alat ukur dengan larutan yang akan digunakan.

 Isi buret dengan larutan baku sekunder(NaOH) yang akan ditentukan

konsentrasinya.

 Ambil larutan baku primer menggunakan pipet gondok dan masukkan

Erlenmeyer

 Lakukan titrasi dengan cara meletakkan Erlenmeyer yang berisi larutan

baku primer tadi di bawah buret yang telah terisi larutan standar sekunder

 Catat kebutuhan larutan standar sekunder dan hitung konsentrasinya (http://lutfirachman.wordpress.com/2008/05/05/standarisasi-larutan-baku/)

BAB V PENUTUP V.1. Kesimpulan

1. Kadar Fe yang ditemukan sebesar 0,07% lebih besar daripada kadar aslinya sebesar 0,03718% dan persen errornya 88%.

2. Kadar Fe yang ditemukan lebih besar dari kadar aslinya karena larutan KMnO4 pada buret rusak dan penambahan KMNO4 yang terlalu cepat.

3. Saat standarisasi larutan harus dilakukan pemanasan untuk menghancurkan substansi-substansi yang dapat direduksi.

4. Larutan standar adalah larutan yang sudah diketahui konsentrasinya dengan pasti yang terbagi 2 jenis yaitu larutan standar primer dan sekunder.

V.2. Saran

1. Titrasi dilakukan dengan cermat agar TAT tidak terlampaui. 2. Melakukan prosedur kerja dengan benar.

3. Mencuci semua alat yang digunakan sebelum dipakai agar tidak terkontaminasi. 4. Untuk melarutkan sampel terlebih dahulu dimaksukkan H2SO4 encer baru

setelah itu dimasukkan sampel.


(40)

Ode Yoni. Titrasi Permanganometri. http://odeyoni.blogspot.com/2012/06/titrasi-permanganometri.html. 13 November 2013.

R.A.Day,Jr.A.L.Underwood.1986.Analisis Kimia Kuantitatif edisi 5.Jakarta:Erlangga. Tauipiono, Raditya Mahmud. Larutan Baku Primer dan Sekunder.

http://lutfirachman.wordpress.com/2008/05/05/standarisasi-larutan-baku. 16 Oktober 2013


(41)

(42)

(43)

LEMBAR PERHITUNGAN IODO-IODIMETRI

a. Standarisasi Na2S2O3 dengan K2Cr2O7 0,01N N. K2Cr2O7 = 0,01 N

V. K2Cr2O7 = 10 ml

V. Na2S2O3 = 13,6 + 0,9 = 14,5 ml N. Na2S2O3 = 10x o , o1

14,5

= 0,007 N

b. Menentukan Kadar Cu2+ dalam Sampel

o Sampel I  V. Na2S2O3 = 0,7 + 3,2 = 3,9 ml

Cu2+ (ppm) = 3,9 x 0,007 x 63,5 x 1000/10 = 173,36 ppm % error = 559,04−173,36

559,04

x100% =71%

o Sampel II  V. Na2S2O3 = 1,2 + 2,2 = 3,4 ml

Cu2+ (ppm) = 3,4 x 0,007 x 63,5 x 1000/10 = 151,13 ppm % error = 718,84−151,13718,84

x100% = 79%

o Sampel III  V. Na2S2O3 = 2,9 + 4,2 = 7,1 ml

Cu2+ (ppm) = 7,1 x 0,007 x 63,5 x 1000/10 = 315,6 ppm % error = 838,65−315,6838,65

x100% = 62%

LEMBAR PERHITUNGAN PERMANGANOMETRI

a. Standarisasi KMnO4 dengan Na2C2O4 N. Na2C2O4 = 0,1 N

V. Na2C2O4 = 10 ml V. KMnO4 = 8,5 ml N. KMnO4

=

10x0,01

8,5

= 0,1 N

b. Menetukan Kadar Fe dalam Sampel

o Sampel I  BE zat = 56


(44)

Kadar Fe = 2,24

3450

x 100% = 0,06%

o Sampel II

mg zat = 0,8 x 0,1 x 56 = 4,48 mg Kadar Fe = 32404,48

x 100% =0,14%

o Sampel III

mg zat = 0,4 x 0,1 x 56 = 2,24 mg Kadar Fe = 33802,24

x 100% = 0,07%

%error = 0,07−0,03718


(45)

(46)

LAPORAN SEMENTARA

PRAKTIKUM DASAR TEKNIK KIMIA I

Materi :

IODO-IODIMETRI DAN PERMANGANOMETRI

Oleh :

Kelompok : 7 / Selasa Pagi

Piontek Benedictus Brandon NIM : 21030113120039

Xena Callista NIM : 21030113140187

Tantik Esti Rahayu NIM : 21030113120087

LABORATORIUM DASAR TEKNIK KIMIA I TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG


(47)

I. TUJUAN PERCOBAAN

 Iodo-iodimetri

- Menentukan kadar Cu2+ di dalam sampel  Permanganometri

- Menentukan kadar Fe yang terdapat dalam sampel

II. PERCOBAAN

II.1. Bahan yang Digunakan

 Iodo-Iodimetri 1. Sampel 2. Na2S2O3 3. K2Cr2O7 4. HCl pekat

5. KI 0,1 N 6. Amilum

7. NH4OH dan H2SO4 8. Aquadest

 Permanganometri 1. Sampel 2. KMnO4 0,1 N 3. H2SO4

II.2. Alat yang Digunakan

 Iodo-Iodimetri

1. Buret, Klem, dan Statif 2. Erlenmeyer

3. Gelas Ukur 4. Beaker Glass 5. Pipet Tetes 6. Pipet Volum

7. Corong 8. Pengaduk 9. Termometer 10. Indikator PH 11. Kompor Listrik


(48)

3. Gelas Ukur 4. Beaker Glass 5. Pipet Tetes

8. Termometer 9. Kompor Listrik

II.3. Cara Kerja

 Iodo-iodimetri

a. Pembuatan amylum

5. Timbang 3 gram kanji, masukkan ke dalam beaker glass 250 ml 6. Tambahkan 100 ml aquades, panaskan sampai suhu 40°C sambil

diaduk

7. Kemudian lanjutkan proses pemanasan sampai suhu 60°C tanpa pengadukan

8. Angkat, tutup dengan kantong plastik hitam, simpan di tempat gelap, tunggu 5 menit, lapisan tengah yang berwarna putih susu yang digunakan sebagai indikator

b. Standarisasi Na2S2O3 dengan K2Cr2O7 0,01 N

8. Ambil 10 ml K2Cr2O7, encerkan dengan aquadest sampai 40 ml. 9. Tambahkan 2,4 ml HCl pekat.

10. Tambahkan 12 ml KI 0,1 N.

11. Titrasi campuran tersebut dengan Na2S2O3sampai warna kuning hampir hilang.

12. Kemudian tambahkan 3-4 tetes amylum sampai warna biru. 13. Lanjutkan titrasi sampai warna biru hilang.

14. Catat kebutuhan titran Na2S2O3 seluruhnya. N Na2S2O3 =

(VxN)K2Cr2O7

V Na2S2O3


(49)

9. Test sampel, jika terlalu asam tambah NH4OH sampai pH 3-5 dan jika terlalu basa tambah H2SO4 sampai pH 3-5

10. Masukkan 12 ml KI 0,1 N.

11. Titrasi dengan Na2S2O3 sampai warna kuning hampir hilang. 12. Tambahkan 3-4 tetes indikator amylum sampai warna biru. 13. Lanjutkan titrasi sampai warna biru hilang.

14. Catat kebutuhan Na2S2O3 seluruhnya. Cu2+ (ppm) = (VxN) Na

2S2O3 x BM Cu x V sampel1000 Atau

Cu2+ (ppm) = (VxN) Na

2S2O3 x BM Cu x 100010 mgr/L

 Permanganometri

a. Standarisasi KMnO4 dengan Na2C2O4

7. Ambil 10 ml larutan Na2C2O4 0,1 N kemudian masukkan ke dalam erlenmeyer

8. Tambahkan 6 ml larutan H2SO4 6 N 9. Panaskan 70-80°C

10. Titrasi dalam keadaan panas dengan menggunakan KMnO4

11. Hentikan titrasi jika muncul warna merah jambu yang tidak hilang dengan pengocokan

12. Catat kebutuhan KMnO4 N KMnO4 =

(VxN)Na2C2O4

V KMnO4

b. Menentukan Kadar Fe dalam sampel 4. Persiapkan sampel, alat, dan bahan


(50)

6. Titrasi dengan KMnO4 0,1 N hingga timbul warna merah jambu yang tidak hilang dengan pengocokan

Reaksi yang terjadi :

MnO4- + 8H+ + 5Fe2+  Mn2+ + 4H2O + 5 Fe3+ Perhitungan :

mg zat = ml titran x N titran x BE zat BE zat = ekivalensiBM Fe

Kadar = mg zat

mg sampelx100b/b

II.4. Hasil Percobaan

IODO-IODIMETRI

c. Standarisasi Na2S2O3 dengan K2Cr2O7 0,01N


(51)

14,5

d. Menentukan Kadar Cu2+ dalam Sampel o Sampel I  V. Na2S2O3 = 0,7 + 3,2 = 3,9 ml

Cu2+ (ppm) = 3,9 x 0,007 x 63,5 x 1000/10 = 173,36 ppm % error = 559,04−173,36

559,04

x100% =71%

o Sampel II  V. Na2S2O3 = 1,2 + 2,2 = 3,4 ml

Cu2+ (ppm) = 3,4 x 0,007 x 63,5 x 1000/10 = 151,13 ppm % error = 718,84−151,13

718,84

x100% = 79%

o Sampel III  V. Na2S2O3 = 2,9 + 4,2 = 7,1 ml

Cu2+ (ppm) = 7,1 x 0,007 x 63,5 x 1000/10 = 315,6 ppm % error = 838,65−315,6838,65

x100% = 62%

PERMANGANOMETRI

c. Standarisasi KMnO4 dengan Na2C2O4 N. Na2C2O4 = 0,1 N

V. Na2C2O4 = 10 ml

V. KMnO4 = 8,5 ml

N. KMnO4

=

10x0,01

8,5

= 0,1 N

d. Menetukan Kadar Fe dalam Sampel

o Sampel I  BE zat = 56

mg zat = 0,4 x 0,1 x 56 = 2,24 mg Kadar Fe = 2,24

3450

x 100% = 0,06%

o Sampel II

mg zat = 0,8 x 0,1 x 56 = 4,48 mg Kadar Fe = 32404,48

x 100% =0,14%

o Sampel III

mg zat = 0,4 x 0,1 x 56 = 2,24 mg Kadar Fe = 2,24

3380

x 100% = 0,07%

%error = 0,07−0,03718


(52)

(53)

SOLUBILITY PRODUCT CONSTANTS

Compound Formula Ksp (25 °C)

Aluminium hydroxide Al(OH)3 3×10-34

Aluminium phosphate AlPO4 9.84×10-21

Barium bromate Ba(BrO3)2 2.43×10-4

Barium carbonate BaCO3 2.58×10-9

Barium chromate BaCrO4 1.17×10-10

Barium fluoride BaF2 1.84×10-7

Barium hydroxide octahydrate Ba(OH)2×8H2O 2.55×10-4

Barium iodate Ba(IO3)2 4.01×10-9

Barium iodate monohydrate Ba(IO3)2×H2O 1.67×10-9

Barium molybdate BaMoO4 3.54×10-8

Barium nitrate Ba(NO3)2 4.64×10-3

Barium selenite BaSeO4 3.40×10-8

Barium sulfate BaSO4 1.08×10-10

Barium sulfite BaSO3 5.0×10-10

Beryllium hydroxide Be(OH)2 6.92×10-22

Bismuth arsenate BiAsO4 4.43×10-10

Bismuth iodide BiI 7.71×10-19

Cadmium arsenate Cd3(AsO4)2 2.2×10-33

Cadmium carbonate CdCO3 1.0×10-12


(54)

Cadmium hydroxide Cd(OH)2 7.2×10-15

Cadmium iodate Cd(IO3)2 2.5×10-8

Cadmium oxalate trihydrate CdC2O4×3H2O 1.42×10-8 Cadmium phosphate Cd3(PO4)2 2.53×10-33

Cadmium sulfide CdS 1×10-27

Caesium perchlorate CsClO4 3.95×10-3

Caesium periodate CsIO4 5.16×10-6

Calcium carbonate (calcite) CaCO3 3.36×10-9 Calcium carbonate (aragonite) CaCO3 6.0×10-9

Calcium fluoride CaF2 3.45×10-11

Calcium hydroxide Ca(OH)2 5.02×10-6

Calcium iodate Ca(IO3)2 6.47×10-6

Calcium iodate hexahydrate Ca(IO3)2×6H2O 7.10×10-7

Calcium molybdate CaMoO 1.46×10-8

Calcium oxalate monohydrate CaC2O4×H2O 2.32×10-9 Calcium phosphate Ca3(PO4)2 2.07×10-33

Calcium sulfate CaSO4 4.93×10-5

Calcium sulfate dihydrate CaSO4×2H2O 3.14×10-5 Calcium sulfate hemihydrate CaSO4×0.5H2O 3.1×10-7 Cobalt(II) arsenate Co3(AsO4)2 6.80×10-29

Cobalt(II) carbonate CoCO3 1.0×10-10

Cobalt(II) hydroxide (blue) Co(OH)2 5.92×10-15 Cobalt(II) iodate dihydrate Co(IO3)2×2H2O 1.21×10-2 Cobalt(II) phosphate Co3(PO4)2 2.05×10-35


(55)

Cobalt(II) sulfide (alpha) CoS 5×10-22

Cobalt(II) sulfide (beta) CoS 3×10-26

Copper(I) bromide CuBr 6.27×10-9

Copper(I) chloride CuCl 1.72×10-7

Copper(I) cyanide CuCN 3.47×10-20

Copper(I) hydroxide Cu2O 2×10-15

Copper(II) iodide CuI2 1.27×10-12

Copper(I) thiocyanate CuSCN 1.77×10-13

Copper(II) arsenate Cu3(AsO4)2 7.95×10-36

Copper(II) hydroxide Cu(OH)2 4.8×10-20

Copper(II) iodate monohydrate Cu(IO3)2×H2O 6.94×10-8

Copper(II) oxalate CuC2O4 4.43×10-10

Copper(II) phosphate Cu3(PO4)2 1.40×10-37

Copper(II) sulfide CuS 8×10-37

Europium(III) hydroxide Eu(OH)3 9.38×10-27 Gallium(III) hydroxide Ga(OH)3 7.28×10-36

Iron(II) carbonate FeCO3 3.13×10-11

Iron(II) fluoride FeF2 2.36×10-6

Iron(II) hydroxide Fe(OH)2 4.87×10-17

Iron(II) sulfide FeS 8×10-19

Iron(III) hydroxide Fe(OH)3 2.79×10-39

Iron(III) phosphate dihydrate FePO4×2H2O 9.91×10-16

Lanthanum iodate La(IO3)3 7.50×10-12


(56)

Lead(II) carbonate PbCO3 7.40×10-14

Lead(II) chloride PbCl2 1.70×10-5

Lead(II) chromate PbCrO4 3×10-13

Lead(II) fluoride PbF2 3.3×10-8

Lead(II) hydroxide Pb(OH)2 1.43×10-20

Lead(II) iodate Pb(IO3)2 3.69×10-13

Lead(II) iodide PbI2 9.8×10-9

Lead(II) oxalate PbC2O4 8.5×10-9

Lead(II) selenate PbSeO4 1.37×10-7

Lead(II) sulfate PbSO4 2.53×10-8

Lead(II) sulfide PbS 3×10-28

Lithium carbonate Li2CO3 8.15×10-4

Lithium fluoride LiF 1.84×10-3

Lithium phosphate Li3PO4 2.37×10-4

Magnesium ammonium phosphate MgNH4PO4 3×10-13

Magnesium carbonate MgCO3 6.82×10-6

Magnesium carbonate trihydrate MgCO3×3H2O 2.38×10-6 Magnesium carbonate pentahydrate MgCO3×5H2O 3.79×10-6

Magnesium fluoride MgF2 5.16×10-11

Magnesium hydroxide Mg(OH)2 5.61×10-12

Magnesium oxalate dihydrate MgC2O4×2H2O 4.83×10-6 Magnesium phosphate Mg3(PO4)2 1.04×10-24 Manganese(II) carbonate MnCO3 2.24×10-11 Manganese(II) iodate Mn(IO3)2 4.37×10-7


(57)

Manganese(II) hydroxide Mn(OH)2 2×10-13 Manganese(II) oxalate dihydrate MnC2O4×2H2O 1.70×10-7 Manganese(II) sulfide (pink) MnS 3×10-11 Manganese(II) sulfide (green) MnS 3×10-14

Mercury(I) bromide Hg2Br2 6.40×10-23

Mercury(I) carbonate Hg2CO3 3.6×10-17

Mercury(I) chloride Hg2Cl2 1.43×10-18

Mercury(I) fluoride Hg2F2 3.10×10-6

Mercury(I) iodide Hg2I2 5.2×10-29

Mercury(I) oxalate Hg2C2O4 1.75×10-13

Mercury(I) sulfate Hg2SO4 6.5×10-7

Mercury(I) thiocyanate Hg2(SCN)2 3.2×10-20

Mercury(II) bromide HgBr2 6.2×10-20

Mercury(II) hydroxide ** HgO 3.6×10-26

Mercury(II) iodide HgI2 2.9×10-29

Mercury(II) sulfide (black) HgS 2×10-53

Mercury(II) sulfide (red) HgS 2×10-54

Neodymium carbonate Nd2(CO3)3 1.08×10-33

Nickel(II) carbonate NiCO3 1.42×10-7

Nickel(II) hydroxide Ni(OH)2 5.48×10-16

Nickel(II) iodate Ni(IO3)2 4.71×10-5

Nickel(II) phosphate Ni3(PO4)2 4.74×10-32

Nickel(II) sulfide (alpha) NiS 4×10-20


(58)

Palladium(II) thiocyanate Pd(SCN)2 4.39×10-23 Potassium hexachloroplatinate K2PtCl6 7.48×10-6

Potassium perchlorate KClO4 1.05×10-2

Potassium periodate KIO4 3.71×10-4

Potassium Iodide KI 3,71 x 10-14

Praseodymium hydroxide Pr(OH)3 3.39×10-24

Radium iodate Ra(IO3)2 1.16×10-9

Radium sulfate RaSO4 3.66×10-11

Rubidium perchlorate RuClO4 3.00×10-3

Scandium fluoride ScF3 5.81×10-24

Scandium hydroxide Sc(OH)3 2.22×10-31

Silver(I) acetate AgCH3COO 1.94×10-3

Silver(I) arsenate Ag3AsO4 1.03×10-22

Silver(I) bromate AgBrO3 5.38×10-5

Silver(I) bromide AgBr 5.35×10-13

Silver(I) carbonate Ag2CO3 8.46×10-12

Silver(I) chloride AgCl 1.77×10-10

Silver(I) chromate Ag2CrO4 1.12×10-12

Silver(I) cyanide AgCN 5.97×10-17

Silver(I) iodate AgIO3 3.17×10-8

Silver(I) iodide AgI 8.52×10-17

Silver(I) oxalate Ag2C2O4 5.40×10-12

Silver(I) phosphate Ag3PO4 8.89×10-17


(59)

Silver(I) sulfite Ag2SO3 1.50×10-14

Silver(I) sulfide Ag2S 8×10-51

Silver(I) thiocyanate AgSCN 1.03×10-12

Strontium arsenate Sr3(AsO4)2 4.29×10-19

Strontium carbonate SrCO3 5.60×10-10

Strontium fluoride SrF2 4.33×10-9

Strontium iodate Sr(IO3)2 1.14×10-7

Strontium iodate monohydrate Sr(IO3)2×H2O 3.77×10-7 Strontium iodate hexahydrate Sr(IO3)2×6H2O 4.55×10-7

Strontium oxalate SrC2O4 5×10-8

Strontium sulfate SrSO4 3.44×10-7

Thallium(I) bromate TlBrO3 1.10×10-4

Thallium(I) bromide TlBr 3.71×10-6

Thallium(I) chloride TlCl 1.86×10-4

Thallium(I) chromate Tl2CrO4 8.67×10-13 Thallium(I) hydroxide Tl(OH)3 1.68×10-44

Thallium(I) iodate TlIO3 3.12×10-6

Thallium(I) iodide TlI 5.54×10-8

Thallium(I) thiocyanate TlSCN 1.57×10-4

Thallium(I) sulfide Tl2S 6×10-22

Tin(II) hydroxide Sn(OH)2 5.45×10-27

Yttrium carbonate Y2(CO3)3 1.03×10-31

Yttrium fluoride YF3 8.62×10-21


(60)

Yttrium iodate Y(IO3)3 1.12×10-10

Zinc arsenate Zn3(AsO4)2 2.8×10-28

Zinc carbonate ZnCO3 1.46×10-10

Zinc carbonate monohydrate ZnCO3×H2O 5.42×10-11

Zinc fluoride ZnF 3.04×10-2

Zinc hydroxide Zn(OH)2 3×10-17

Zinc iodate dihydrate Zn(IO3)2×2H2O 4.1×10-6 Zinc oxalate dihydrate ZnC2O4×2H2O 1.38×10-9

Zinc selenide ZnSe 3.6×10-26

Zinc selenite monohydrate ZnSe×H2O 1.59×10-7

Zinc sulfide (alpha) ZnS 2×10-25


(61)

Hidrolisis Sukrosa dan Pati (Kanji)

Teori yang mendasari hidrolisis pati menurut Feseenden adalah, pati (starch) atau amilum merupakan polisakarida yang terdapat pada sebagian besar tanaman, terbagi menjadi dua fraksi yaitu amilosa dan amilopektin. Amilosa (+- 20 %) memilki strusktur linier dan dengan iodium memberikan warna biru serta larut dalam air. Fraksi yang tidak larut disebut amilopektin (+- 80 %) dengan struktur bercabang. Dengan penambahan iodium fraksi memberikan warna ungu sampai merah. Patai dalam suasana asam bila dipanaskan akan terhidrolisis menjdi senyawa-senyawa yang lebih sedrhana. Hasil hidrolisis dapat dengan iodium dan menghaislkan warna biru samapi tidak berwarna. Hasil akhir hidrolisis dapat ditegaskan dengan uji Benedict. Eksperimen yang pertama kami lakukan adah penentuan pH optimum untuk hidrolisis pati atau kanji dengan amylase air ludah. Sebelumnya kami mengumpulkan air ludah atau liur terlebih dahulu dari salah seorang praktikan. Penambahan air liur pada pati di awal sebelum proses ini berfungsi sebagai enzim yang akan mengkatalisis proses hidrolisa senyawa pati, karena pada air liur terdapat enzim amylase yang akan mengubah amilum menjadi maltosa, dan pati merupakan amilum. Amylase pada air ludah ini juga sering disebut dengan enzim ptialin. Proses perubahan amilum menjadi maltosa merupakan hidrolisis. Seperti pada website rismakafiles wordpress, bahwa Bila amilum ditambahkan air liur (amilase) maka molekul-molekulnya akan terhidrolisis manjadi maltosa dengan BM 360 dan glukosa. Amilosa merupakan suatu polimer linear yang terdiri dari unit-unit D-glukosa dalam ikatan 1,4 glukosida. Berbeda dengan amilopektin, amilosa merupakan suatu polisakarida yang bercabang dan terdiri dari unit-unit D-glukosa dalam ikatan. Tanpa adanya enzim amylase pati akan susah untuk terhidrolisis menjadi komponen sakar – sakarnya.


(62)

LARUTAN STANDAR (BAKU)

Larutan baku adalah larutan yang konsentrasinya sudah diketahui dengan pasti. Larutan baku biasanya ditempatkan pada alat yang namanya buret, yang sekaligus berfungsi sebagai alat ukur volume larutan baku. Larutan yang akan ditentukan konsentrasinya atau kadarnya, diukur volumenya dengan menggunakan pipet seukuran/ gondok(pipet volumetri) dan ditempatkan di Erlenmeyer. Larutan baku ini ada 2 jenis yaitu larutan baku primer dan larutan baku sekunder. Mengapa larutan baku ada 2 jenis? Apa perbedaan antara larutan baku primer dan sekunder ini? Zat seperti apakah yang dapat digolongkan sebagai larutan baku primer dan sekunder. Larutan baku dapat dibuat dengan cara penimbangan zatnya lalu dilarutkan dalam sejumlah pelarut(air). Larutan baku ini sangat bergantung pada jenis zat yang ditimbangnya/dibuat. Larutan yang dibuat dari zat yang memenuhi syarat-syarat tertentu disebut larutan baku primer. Syarat agar suatu zat menjadi zat baku primer adalah:

1. memiliki tingkat kemurnian yang tinggi;

2. kering, tidak terpengaruh oleh udara/lingkungan(zat tersebut stabil); 3. mudah larut dalam air;

4. mempunyai massa ekivalen yang tinggi.

Larutan baku primer biasanya dibuat hanya sedikit, penimbangan yang dilakukanpun harus teliti, dan dilarutkan dengan volume yang akurat. Pembuatan larutan baku primer ini biasanya dilakukan dalam labu ukur yang volumenya tertentu. Zat yang dapat dibuat sebagai larutan baku primer adalah asam oksalat{C2H2O4 2H2O), Boraks(Na2B4O710 H2O), asam benzoat(C6H5COOH). Larutan baku sekunder adalah larutan baku yang zat terlarutnya tidak harus zat yang tingkat kemurniannya tinggi. Larutan baku sekunder ini konsentrasinya ditentukan berdasarkan standarisasi dengan cara titrasi terhadap larutan baku primer. Sebagai larutan baku sekunder dapat digunakan larutan basa atau asam dari senyawa anorganik misalnya NaOH, HCl. Larutan baku sekunder ini umumnya tidak stabil sehingga perlu distandarisasi ulang setiap minggu.

Cara menstandarkan larutan baku sekunder adalah sebagai berikut. • Siapkan alat-alat untuk melakukan titrasi( Erlenmeyer, gelas kimia kecil, kaca arloji, corong pendek, pipet gondok, buret, statip, klem buret, alas yang berwarna putih, tabung reaksi, kertas isap, larutan indikator, larutan baku primer, dan larutan baku sekunder).

• Bilas alat-alat ukur (alat untuk mengukur volume larutan)dengan larutan yang akan digunakan. Misalnya Buret dibilas dengan larutan baku sekunder, pipet gondok dengan larutan baku primer. Selain itu lakukan juga pembilasan ini untuk alat-alat bantu yang berhubungan dengan alat ukur tersebut, misalnya corong pendek dan gelas kimia kecil berhubungan dengan buret jadi harus dibilas dengan larutan sekunder, sedangkan tabung reaksi berhubungan dengan pipet gondok jadi harus dibilas dengan

larutan baku primer.


(63)

(perhatikan buret dicapit dengan klem buret dan disimpan tegak pada statif harus benar-benar tegak). Cara mengisi buret adalah tuangkan larutan baku sekunder dari gelas kimia ke dalam buret melalui corong pendek sampai sedikit di atas batas tertentu. Buka kran buret dan biarkan cairan mengalir beberapa saat sampai bagian bawah buret(bagian kran) terisi penuh. (perhatikan bahwa semua bagian bawah dari ukuran buret harus terisi penuh). Keringkan bagian atas buret kemudian tanda bataskan buret pada volume tertentu misalnya 0 cm3 • Pipet sejumlah volume tertentu dari larutan baku primer misalnya 25 cm3 asam oksalat 0,1 M dengan cara menyedot larutan baku ini menggunakan pipet gondok. Perhatikan cara memipet larutan ini yaitu ibu jari dan jari tengah memegang pipet, sedangkan jari telunjuk dapat bergerak bebas. Masukkan pipet pada larutan baku primer dan sedot larutan ini sampai melewati tanda batas. Angkat pipet dengan cara ujung pipet ditutup oleh jari telunjuk dan keringkan bagian luar pipet dengan kertas isap. Tanda bataskan larutan dalam pipet dengan cara membuka ujung pipet yang ditutup telunjuk secara perlahan-lahan. Setelah larutan berada pada tanda batas, ujung pipet ditutup kembali dengan telunjuk dan pipet diangkat, lalu dipindahkan ke Erlenmeyer.Tuangkan isi dari pipet tadi ke Erlenmeyer dengan cara pipet berdiri tegak lurus dan erlenmeyer pada posisi miring dengan sudut kemiringan 45 º. Tunggu sampai cairan semua berpindah dan biarkan pipet berada pada posisi seperti semula selama 30 detik(perhatikan jangan sekali-kali meniup pipet). Angkat pipet dan disimpan dalam tabung reaksi. Bilas pinggiran Erlenmeyer dengan menggunakan botol semprot, lalu teteskan 3 tetes larutan indikator(larutan fenolftalein). • Lakukan titrasi dengan cara meletakkan Erlenmeyer di bawah buret, jangan lupa alas untuk titrasi harus putih. Kran buret dipegang dengan tangan kiri dan Erlenmeyer dipegang tangan kanan. Buka kran buret dan teteskan larutan baku sekunder, ke dalam Erlenmeyer yang berisi larutan baku primer, sambil Erlenmeyer ini digoyangkan berlawanan arah jarum jam. Amati terus penambahan larutan ini(jangan palingkan mata Anda dari paduan alat yang sedang Anda pegang dan jangan hentikan goyangan pada Erlenmeyer), sampai terjadi perubahan warna dari indikator dan tutup kran dengan segera. Baca volume larutan baku sekunder pada buret. Dan catat pada

bukuMisalnya 24,5cm3

• Tuliskan data-data ini dalam tabel pengamatan dan berdasarkan data-data yang telah dilakukan tentukan konsentrasi larutan baku sekunder.


(64)

TITARSI PERMANGANOMETRI

Permanganometri merupakan titrasi yang dilakukan berdasarkan reaksi oleh Kalium permanganat (KMnO4). Reaksi ini difokuskan pada reaksi oksidasi dan reduksi yang terjadi antara KMnO4 dengan bahan baku tertentu. Titrasi dengan KMnO4 sudah dikenal lebih dari seratus tahun, kebanyakan titrasi dilakukan dengan cara langsung atas alat yang dapat dioksidasi seperti Fe+, asam atau garam oksalat yang dapat larut dan sebagainya. Beberapa ion logam yang tidak dioksidasi dapat dititrasi secara tidak langsung dengan permanganometri seperti:

a. Ion-ion Ca, Ba, Sr, Pb, Zn, dan Hg (II) yang dapat diendapkan sebagai oksalat. Setelah endapan disaring dan dicuci dilarutkan dalam H2SO4berlebih sehingga terbentuk asam oksalat secara kuantitatif. Asam oksalat inilah akhirnya dititrasi dan hasil titrasi dapat dihitung banyaknya ion logam yang bersangkutan.

b. Ion-ion Bad an Pb dapat pula diendapkan sebagai garam khromat. Setelah disaring, dicuci, dan dilarutkan dengan asam, ditambahkan pula larutan baku FeSO4 berlebih. Sebagian Fe2+ dioksidasi oleh khromat tersebut dan sisanya dapat ditentukan banyaknya dengan menitrasinya dengan KMnO4.

Zat organic dapat dioksidasi dengan KMnO4 dalam suasana asam dengan pemanasan. Sisa KMnO4 direduksi dengan asam oksalat berlebih. Kelebihan asam oksalat dititrasi kembali dengan KMnO4.

Metode permanganometri didasarkan pada reaksi oksidasi ion permanganat. Oksidasi ini dapat berlangsung dalam suasana asam, netral dan alkalis.

MnO4- + 8H+ + 5e → Mn2+ + 4H2O

Kalium permanganat dapat bertindak sebagai indicator, jadi titrasi permanganometri ini tidak memerlukan indikator, dan umumnya titrasi dilakukan dalam suasana asam karena karena akan lebih mudah mengamati titik akhir titrasinya. Namun ada beberapa senyawa yang lebih mudah dioksidasi dalam suasana netral atau alkalis contohnya hidrasin, sulfit, sulfida, sulfida dan tiosulfat . Reaksi dalam suasana netral yaitu MnO4 + 4H+ + 3e → MnO

4 +2H2O

Kenaikan konsentrasi ion hidrogen akan menggeser reaksi kekanan Reaksi dalam suasana alkalis :

MnO4- + 3e → MnO4

2-MnO42- + 2H2O + 2e → MnO2 + 4OH MnO4- + 2H2O + 3e → MnO2 +4OH

Reaksi ini lambat dalam larutan asam, tetapi sangat cepat dalam larutan netral. Karena alasan ini larutan kalium permanganat jarang dibuat dengan melarutkan jumah-jumlah yang ditimbang dari zat padatnya yang sangat dimurnikan misalnya proanalisis dalam


(65)

air, lebih lazim adalah untuk memanaskan suatu larutan yang baru saja dibuat sampai mendidih dan mendiamkannya diatas penangas uap selama satu/dua jam lalu

menyaring larutan itu dalam suatu penyaring yang tak mereduksi seperti wol kaca yang telah dimurnikan atau melalui krus saring dari kaca maser.

Permanganat bereaksi secara cepat dengan banyak agen pereduksi berdasarkan pereaksi ini, namun beberapa pereaksi membutuhkan pemanasan atau penggunaan sebuah katalis untuk mempercepat reaksi. Kalau bukan karena fakta bahwa banyak reaksi permanganat berjalan lambat, akan lebih banyak kesulitan lagi yang akan ditemukan dalam penggunaan reagen ini. Sebagai contoh, permanganat adalah agen unsure pengoksida, yang cukup kuat untuk mengoksidasi Mn(II) menjadi MnO2 sesuai dengan persamaan

3Mn2+ + 2MnO4- + 2H2O → 5MnO2 + 4H+

Kelebihan titrasi permanganometri adalah Titrasi permanganometri ini lebih mudah digunakan dan efektif, karena reaksi ini tidak memerlukan indicator, hal ini

dikarenakan larutan KMnO4 sudah berfungsi sebagai indicator, yaitu ion MnO4 -berwarna ungu, setelah diredukdsi menjadi ion Mn- tidak berwarna, dan disebut juga sebagai autoindikator.

Sumber-sumber kesalahan pada titrasi permanganometri, antara lain terletak pada: Larutan pentiter KMnO4- pada buret Apabila percobaan dilakukan dalam waktu yang lama, larutan KMnO4 pada buret yang terkena sinar akan terurai menjadi

MnO2sehingga pada titik akhir titrasi akan diperoleh pembentukan presipitat coklat yang seharusnya adalah larutan berwarna merah rosa. Penambahan KMnO4 yang terlalu cepat pada larutan seperti H2C2O4 yang telah ditambahkan H2SO4 dan telah dipanaskan cenderung menyebabkan reaksi antara MnO4- dengan Mn2+.

MnO4- + 3Mn2+ + 2H2O ↔ 5MnO2 + 4H+.

Penambahan KMnO4 yang terlalu lambat pada larutan seperti H2C2O4 yang telah ditambahkan H2SO4 dan telah dipanaskan mungkin akan terjadi kehilangan oksalat karena membentuk peroksida yang kemudian terurai menjadi air.

H2C2O4 + O2 ↔ H2O2 + 2CO2↑ H2O2 ↔ H2O + O2↑

Hal ini dapat menyebabkan pengurangan jumlah KMnO4 yang diperlukan untuk titrasi yang pada akhirnya akan timbul kesalahan titrasi permanganometri yang

dilaksanakan.

Dalam bidang industri, metode titrasi permanganometri dapat dimanfaatkan dalam pengolahan air, dimana secara permanganometri dapat diketahui kadar suatu zat sesuai dengan sifat oksidasi reduksi yang dimilikinya, sehingga dapat dipisahkan apabila tidak diperlukan atau berbahaya.


(66)

(67)

(68)

(69)

(70)

(71)

DIPERIKSA

KETERANGAN TANDA TANGAN


(72)

(1)

IODOIODIMETRI DAN PERMANGANOMETRI


(2)

IODOIODIMETRI DAN PERMANGANOMETRI


(3)

IODOIODIMETRI DAN PERMANGANOMETRI


(4)

IODOIODIMETRI DAN PERMANGANOMETRI


(5)

LEMBAR ASISTENSI

DIPERIKSA

KETERANGAN TANDA TANGAN NO. TANGGAL


(6)