ANALISIS KEBIJAKAN FORMULASI SANKSI PIDANA MATI DALAM KEADAAN TERTENTU BERDASARKAN PASAL 2 AYAT (2) UU No 31 TAHUN 1999 Jo UU No 20 TAHUN 2001 TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI
ANALISIS KEBIJAKAN FORMULASI SANKSI PIDANA
MATI DALAM KEADAAN TERTENTU BERDASARKAN
PASAL 2 AYAT (2) UU No 31 TAHUN 1999 Jo UU No 20
TAHUN 2001 TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI
(Skripsi)
Oleh
OMEN SEFTYAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
(2)
ABSTRAK
ANALISIS KEBIJAKAN FORMULASI SANKSI PIDANA MATI DALAM KEADAAN TERTENTU BERDASARKAN PASAL 2 AYAT (2) UU No 31
TAHUN 1999 Jo UU No 20 TAHUN 2001 TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI
Oleh Omen Seftyan
Masalah korupsi cukup mengkhawatirkan karena dapat melemahkan sistem kehidupan sosial, yang secara tidak langsung memperlemah ketahanan nasional serta eksistensi suatu bangsa. Tindakan korupsi dimasukkan dalam kategori tindakan pidana yang sangat besar dan merugikan bangsa dan negara dalam suatu wilayah. Untuk mencegah meningkatnya pelaku korupsi dibentuklah undang-undang korupsi dan sistem peradilannya dengan hukuman terberat yaitu ancaman hukuman mati. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No 31 Tahun 1999 Jo UU No 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (TPK), akan tetapi masih terdapat banyak kelemahan dalam pasal ini yang membuat sanksi pidana mati tidak pernah diterpakan.
Penulisan skripsi ini menggunakan metode pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber data adalah data primer yang menggunakan metode wawancara dan data sekunder di peroleh dari hasil kepustakaan, responden dan penelitian di lakukan pada wilayah hukum Pengadilan Negeri Muara Enim, dengan sample satu orang hakim, dan Kejaksaan Negeri Muara Enim terdiri dari 2 orang Jaksa. Data yang dipeoleh dengan cara editing, interprestasi dan sistematika data.
Berdasarkan penelitian dan pembahasan yang dilakukan, dan hasil yang didapatkan adalah sebagai berikut, Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang No 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No 20 Tahun 2001 yang hanya terbatas pada Keadaan Tertentu seperti dana-dana yang diperuntukan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi. Keadaan tertentu seperti Negara dalam keadaan bahaya, keadaan bencana alam nasional mungkin terjadi hanya dalam waktu 50-60 tahun sekali begitu juga dengan krisis ekonomi, sehingga pidana mati sulit dijatuhkan. Untuk pengulangan tindak pidana (recidive) khususnya untuk Tindak Pidana Korupsi
(3)
belum memiliki kualifikasi dasar hukum yang baik.
Berdasarkan penjabaran diatas. kesimpulan dalam penelitian ini adalah tentang keadaan tertentu dan masih terdapat banyak faktor yang membuat sulitnya diberlakukan sanksi pidana mati seperti : belum adanya standard berapa besar kerugian Negara yang bisa dikenakan sanksi pidana mati, banyaknya hal-hal yang meringankan tersangka korupsi, dan pengulangan tindak pidana yang belum jelas kriterianya seperti apa untuk bisa dikenakan sanksi pidana mati. Saran yang dapat diberikan penulis dalam penelitian ini disarankan untuk memperbaiki struktur formulasi isi dalam Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang No 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No 20 Tahun 2001, mulai dari menambahkan standard dana kerugian Negara dan kualifikasi tentang pengulangan Tindak Pidana (recidive) harus lebih jelas, agar pemberlakuan sanksi pidana mati dapat diberlakukan secara maksimal.
(4)
(5)
(6)
DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang……….. .…1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian ... …… 6
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... …… 7
D. Kerangka Teoritis Dan Konseptual ... …… 8
E. Sistematika Penulisan ... ….. 17
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Korupsi dan Tindak Pidana Korupsi ... ….. 20
B. Unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi ... ….. 23
C. Pelaku Tindak Pidana Korupsi ... ….. 25
D. Pengertian Budaya Korupsi ... ….. 28
III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... ….. 35
B. Sumber Data... ….. 36
C. Penentuan Populasi dan Sampel………. 31
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data……….…….…38 E. Analisis Data ... …..39
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden ………..………....40
B. Analisis Tentang Keadaan Tertentu yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (2) UU No 31 Tahun 1999 Jo UU No 20 Tahun 2001………….… 41
(7)
V. PENUTUP
A. Simpulan ………..69
B. Saran ………70
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
(8)
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di Indonesia Korupsi dikenal dengan istilah KKN singkatan dari korupsi, kolusi dan
nepotisme. Korupsi sudah menjadi hal buruk yang bersifat menular di setiap aparat
negara dari tingkat yang paling rendah hingga tingkatan yang paling tinggi.
Berdasakan laporan tahunan dari lembaga internasional ternama, Political and
Economic Risk Consultancy (PERC) yang bermarkas di Hongkong, Indonesia adalah
negara yang paling banyak korupsinya nomor tiga di dunia dalam hasil surveinya
tahun 2001 bersama dengan Uganda. Indonesia juga paling banyak korupsinya nomor
4 pada tahun 2002 bersama dengan Kenya.
Masalah korupsi ini sangat mengkhawatirkan karena dapat menghancurkan sistem
kehidupan sosial, yang secara tidak langsung memperlemah ketahanan nasional serta
eksistensi suatu bangsa. Tindakan korupsi dimasukkan dalam kategori tindakan
pidana yang sangat besar dan sangat merugikan bangsa dan negara dalam suatu
(9)
undang-undang korupsi dan sistem peradilannya dengan hukuman terberat yaitu ancaman
hukuman mati. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No 31 Tahun
1999 Jo UU No 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (TPK) yang
menyatakan bahwa Tindak Pidana Korupsi adalah “setiap orang yang melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara,
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000
(dua ratus juta rupiah ) dan paling banyak Rp.1.000.000.000 ( satu milyar rupiah).” (2) UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 dan pada ayat kedua
dijelaskan bahwa apabila tindak pidana korupsi dilakukan dalam Keadaan Tertentu,
pidana mati dapat dijatuhkan. Pemberlakuan hukuman mati pada pelaku korupsi
diharapkan dapat menjamin asas kepastian hukum dan menimbulkan efek jera.
Keadaan Tertentu merupakan suatu keadaan yang memberi ketentuan pemberatan
bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindakan tersebut dilakukan pada waktu
negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang undang yang berlaku, pada
waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi,
atau pada waktu Negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Akan tetapi
disini terlihat bahwa pidana mati bagi koruptor sulit dilakukan dan tidak pernah
diberlakukan karena alasan diatas dan dibatasi pada negara dalam keadaan bahaya,
(10)
kasus korupsi yang masuk dalam kriteria Keadaan Tertentu. contohnya seperti pada
kasus korupsi bantuan dana bencana alam (Tsunami, Pulau Nias) yang pelakunya
adalah Binahati B.Baeha yang saat itu menjabat sebagai Bupati Nias, dan merugikan
Negara RP 3,8 Milyar dan hanya dituntut hukuman penjara 8 Tahun denda 250 juta
subsidair 6 bulan dan diwajibkan mengembalikan uang pengganti sebesar 2,6 milyar.
Hal ini benar-benar merusak kepercayaan publik tentang janji Presiden yang akan
membuat Indonesia menjadi Negara bebas korupsi. Bagaimana mau memberikan efek
jera pada pelaku tindak pidana korupsi, kalau pada prakteknya masih ada keringanan
hukuman seperti ini. Jika dipikir-pikir Bupati Nias hanya menjalankan hukuman 7
tahun 4 bulan dan masih memiliki dana 950 juta dari hasil korupsinya. Apa lagi
hukumannya yang nanti dipotong remisi. Dan juga masih banyak kasus lain yang
luput dari sanksi pidana mati, seperti kasus yang terkait dengan krisis moneter 1998
(BLBI). Namun hukuman mati belum pernah dijatuhkan. Ini adalah proses
pemiskinan rakyat Indonesia yang dipelihara oleh Negara.
Pasal 2 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 masih banyak
terdapat banyak kelemahan. Didalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU
No. 20 Tahun 2001 juga tidak dijelaskan seberapa besar jumlah kerugian negara,
yang dapat menjadi batas dasar untuk hukuman mati, apakah minimal 10 Milyar atau
100 Milyar, jika dilihat dari dari sisi ekonomis dan dampak yang dihasilkan. Hal ini
penting juga jangan sampai ada korupsi bencana alam yang merugikan negara hanya
(11)
jelas tidak ada dasar keadilan dalam pemberian hukuman. Pada kasus tindak pidana
korupsi. Seharusnya Pasal 2 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20
seharusnya dikaji lebih dalam lagi, karena masih banyaknya kelemahan dalam pasal
ini yang membuat sulitnya penerapan sanksi pidana mati dijatuhkan pada pelaku
tindak pidana korupsi. Selain itu tidak dilakukannya hukuman mati juga mungkin
dikarenakan korupsi masih dianggap kejahatan biasa atau bisa juga disebut dengan
bloodless crime yang dianggap hanya sebagai kasus pencurian uang semata. Padahal korupsi ini merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) dan merupakan tindak pidana yang berat dan merugikan masyarakat banyak. Sayangnya beberapa
kasus korupsi yang telah terungkap tidak membuat jera para pelaku korupsi lainnya,
dan semakin gencarnya pemerintah melakukan pemberantasan terhadap aksi korupsi
maka semakin cerdik pula tindakan para pelaku korupsi untuk mengelabuhi para
aparat pemerintahan khususnya. Kedudukan dan jabatan yang dipunyai menjadi
senjata ampuh di samping beberapa alasan untuk mengelabuhi para aparatur hukum
Negara di bidang pemberantasan korupsi.
Keadaan diatas sebagaimana mengakibatkan tindak pidana korupsi semakin
merajalela di Indonesia. Karena Pemerintah terkesan setengah-setengah untuk
memberantas kasus korupsi di Indonesia. Indonesia seharusnya belajar dari Negara
China dan Latvia yang sudah menerapkan sanksi pidana mati pada pelaku tindak
pidana korupsi dinegaranya dan terbukti menurunkan tingkat korupsi dinegaranya.
(12)
membahas tentang sanksi pidana mati yang tercantum dalam pasal 2 ayat (2) UU No.
31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 menunjukan kesan yang sia-sia, karna sulitnya
penerapan sanksi pidana mati yang terkesan tebang pilih di Negara Indonesia tercinta
ini. Jika ini dibiarkan maka, tidak menutup kemungkinan akan terjadi kehancuran
ekonomi luar biasa di Indonesia. Karena dengan makin banyaknya koruptor di
pemerintahan, maka makin banyak uang Negara yang akan dikorupsi, sedangkan
hutang Indonesia sendiri sampai sekarang pun belum mampu untuk dilunasi.
Pentingnya penerapan sanksi pidana mati pada tindak pidana korupsi untuk
menimbulkan efek jera pada pelaku tindak pidana korupsi. Walapun sanksi pidana
mati untuk kasus tindak pidana korupsi belum pernah di terapkan oleh majelis hakim
yang memeriksa dan mengadili perkara korupsi, karena pada pasal 2 ayat (2) UU No
31 Tahun 1999 Jo UU No 20 Tahun 2001 masih terdapat Keadaan Tertentu yang
membuat sulitnya pelaku tindak pidana korupsi dijatuhi hukuman mati. sehingga
pelaku tindak pidana korupsi bukannya menurun, justru meningkat disetiap tahunnya.
Hal inilah yang membuat penyusun tertarik untuk meneliti masalah tersebut dan
menuliskannya dalam penulisan skripsi yang diberi judul :”Analisis Kebijakan Formulasi Sanksi Pidana Mati Dalam Keadaan Tertentu Berdasarkan Pasal 2 UU No 31 Tahun 1999 Jo UU No 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana
(13)
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang, maka permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini
adalah sebagai berikut:
a. Apakah Definisi Keadaaan Tertentu dalam Pasal 2 ayat (2) UU No 31 Tahun
1999 Jo UU No 20 Tahun 2001 dilihat dari berbagai pendapat ahli dan
sumber-sumber hukum ?
b. Faktor-faktor yang melatar belakangi tidak pernah diberlakukannya sanksi pidana
mati yang dimuat didalam Pasal 2 ayat (2) UU No 31 Tahun 1999 Jo UU No 20
Tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi ?
2. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian merupakan fokus penelitian yang menggambarkan batas
penelitian, mempersempit permasalahan dan membatasi area penelitian.
Permasalahan yang akan dibahas, maka ruang lingkup penulisan ini terbatas pada
bagaimana Analisis Perumusan Kebijakan Sanksi Pidana Mati dalam Keadaan
Tertentu Berdasarkan Pasal 2 ayat 2 UU No 31 Tahun 1999 Jo UU No 20 Tahun
(14)
diberlakukannya hukuman mati, dan lokasi penelitian akan dilakukan di Kejaksaaan
Negeri Muara Enim.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Mengetahui makna “keadaan tertentu” yang terdapat dalam Pasal 2 Ayat (2) UU No 31 Tahun 1999 Jo UU No 20 Tahun 2001 dalam berbagai sisi hukum.
b. Untuk mengetahui faktor – faktor yang mempengaruhi tidak pernah diberlakukannya hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi menurut
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Keadaan Tertentu dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi
2. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah :
a. Kegunaan Teoritis
Hasil penelitian tersebut dapat secara teoritis untuk memahami dan mengembangkan
kemampuan dalam berkarya ilmiah guna mengungkap secara objektif melalui
pengkajian lebih dalam terhadap peraturan-peraturan yang ada, serta penerapan aparat
penegak hukum. Sehingga mengetahui dengan jelas aspek-aspek yang menjadi dasar
(15)
apabila tidak ada ketegasan dalam penegakan hukum serta kerugian apa saja yang
dapat ditimbulkan dari tindakan korupsi.
b. Kegunaan Praktis
Secara praktis penulisan ini diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan atau sumber
bagi pembaca yang ingin mengetahui lebih jauh mengenai dalam memahami tentang
proses pelaksanaan Pasal 2 ayat 2 UU No 31 Tahun 1999 Jo UU No 20 Tahun 2001.
D. Kerangka Teoritis Dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Kerangka Teoritis dalam penulisan skripsi berfungsi sebagai pemandu untuk
mengorganisasi, menjelaskan dan memprediksi fenomena-fenomena dan atau objek
masalah yang diteliti dengan cara mengkonstruksi keterkaitan antara konsep secara
deduktif ataupun induktif. Oleh karena objek masalah yang diteliti dalam skripsi ini
berada dalam ruang lingkup ilmu hukum, maka konsep-konsep yang akan digunakan
sebagai sarana analisis adalah konsep-konsep, asas-asas, dan norma-norma hukum
yang dianggap paling relevan.
Sebelum membicarakan lebih jauh mengenai urgensi penjatuhan pidana mati bagi
pelaku tindak pidana korupsi, maka perlu dikemukakan terlebih dahulu batasan atau
(16)
“Suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai
penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni
semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang
harus ditegakkan oleh Negara”.1
Mengenai pidana yang dapat dijatuhkan, pengaturannya diatur jenisnya dalam Pasal
10 KUHP yang terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan, pidana pokok terdiri
dari pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda dan pidana tutupan,
sedangkan pidana tambahan terdiri dari pidana tambahan perampasan barang-barang
tertentu, pencabutan hak-hak tertentu dan pengumuman keputusan hakim2.
Pidana mati ditempatkan sebagai pidana yang terberat karena objek dan sasarannya
adalah nyawa seseorang yang merupakan sesuatu yang sangat berharga dan tidak
ternilai harganya, oleh karena itu setiap manusia, selalu berusaha untuk
mempertahankan nyawanya untuk tetap hidup. Pidana mati ditujukan untuk
membinasakan penjahat yang dianggap tidak dapat diperbaiki lagi agar kejahatannya
tidak ditiru oleh orang lain atau tidak semakin bertambah orang yang dirugikan.
Pidana mati biasanya diancamkan secara selektif dan selalu diikuti dengan ancaman
pidana lain sebagai alternatifnya.
1
. P.A.F. Lamintang, Hukum Panitensier Indonesia, (Bandung: Armico, 1984), hal.47
2
(17)
Berkenaan dengan pidana mati ini Modderman mengatakan bahwa:
“Demi ketertiban umum pidana mati dapat dan harus diterapkan, namun penerapan ini hanya sebagai sarana terakhir dan harus dilihat sebagai
wewenang darurat yang dalam keadaan luar biasa dapat diterapkan”3.
Selanjutnya Oemar Seno Adji juga memberikan pendapatnya mengenai penjatuhan
pidana mati sebagai berikut :
“Selama negara kita masih meneguhkan diri, masih bergulat dengan kehidupan sendiri yang terancam bahaya, selama tata tertib masyarakat di kacaukan dan
dibahayakan oleh anasir-anasir yang tidak mengenal perikemanusiaan ia masih
memerlukan pidana mati”4.
Wirjono Prodjodikoro mengemukakan pendapatnya mengenai tujuan penjatuhan
pidana mati sebagai berikut:
“Tujuan menjatuhkan dan menjalankan hukuman mati selalu diarahkan kepada khalayak ramai agar mereka dengan ancaman hukuman mati akan takut
melakukan perbuatan-perbuatan kejam yang akan mengakibatkan mereka
dihukum mati. Berhubungan dengan inilah zaman dahulu hukuman mati
dilaksanakan di muka umum”5.
3
J.E. Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, (Jakarta: C.V. Rajawali), hlm. 47.
4
Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Ibid, hlm. 28.
5
(18)
Adapun pengertian korupsi itu sendiri dapat dilihat dari beberapa pendapat antara lain
menurut Andi Hamzah dinyatakan sebagai berikut:
“Korupsi ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang
menghina atau memfitnah”6.
Pengertian tindak pidana korupsi dapat dilihat dalam rumusan Pasal 2 Undang
Undang Nomor 20 tahun 2001 jo UU No. 31 Tahun 1999 yang menyebutkan bahwa:
1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
denda paling sedikit Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
2. Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Selain yang diatur
dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 jo UU No. 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pengertian tindak pidana korupsi juga
diatur dalam Pasal 3, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11,
6
(19)
Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15 dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor Nomor
20 tahun 2001 jo UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Berkenaan dengan tindak pidana korupsi, Muladi dan Barda Nawawi Arief
berpendapat:
“Tindak pidana korupsi termasuk jenis tindak pidana yang penanggulangannya sangat diprioritaskan, namun diakui termasuk jenis
perkara yang sulitpenanggulangannya atau pemberantasannya. Kongres PBB
Ke-VI mengenai The Prevention of Crime and The Treatment of Effenders
pada tahun 1980 mengklasifikasikan jenis tindak pidana korupsi sebagai tipe
tindak pidana yang sukar dijangkau oleh hukum (offences beyond the reach of
the law)”7.
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menggantikan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka penjatuhan pidana
mati bagi pelaku tindak pidana korupsi memiliki landasan hukum yang kuat karena
sudah diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor Nomor 20 tahun 2001 jo
UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana sudah penulis sebutkan sebelumnya.
7
(20)
Adapun penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan:
“Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi palaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana
tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan
undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadinya bencana alam nasional,
meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak
pidana korupsi atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan
moneter”8
.
Penjatuhan pidana yang tegas khususnya pidana mati bagi pelaku tindak pidana
korupsi harus menjadi prioritas utama dalam rangka penyelesaian kasus-kasus
korupsi sehingga tidak berlarut-larut yang akan menimbulkan ketidakpercayaan
masyarakat terhadap aparat-aparatnya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan
oleh Ramelan selaku mantan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus sebagai
berikut :
“Sesuai dengan prinsip-prinsip yang dianut dalam negara demokrasi dimana supremasi hukum senantiasa dikedepankan dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegara, maka konsepsi dalam penanganan perkara tindak pidana
korupsi adalah menggunakan asas-asas kepastian hukum dimaksudkan agar
8
(21)
penanganan suatu perkara tidak berlarut-larut, transparansi terbuka
penanganannya, tidak ditutup-tutupi dan bukan karena rekayasa”9.
Penjatuhan pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana sudah diatur
dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor Nomor 20 tahun 2001 jo UU No. 31
Tahun 1999 tentunya merupakan dasar hukum yang kuat bagi aparat penegak hukum
khususnya hakim dalam menjatuhkan pidana mati bagi koruptor-koruptor yang
melanggar ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor Nomor 20 tahun 2001
jo UU No. 31 Tahun 1999.
Kekeliruan dalam menderivasikan nilai-nilai Pancasila dan tujuan yang dicita-citakan
bangsa Indonesia pada masa Orde Baru terjadi tanpa hambatan. Model penataan oleh
hukum mengikuti cara sentralisme dan regimentasi, yang secara sepihak memaksakan
kehendak dan tidak toleran terhadap orang lain serta tidak menerima perbedaan atau
pluralisme sebagai berkah dan kekayaan. Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, yang
terkandung dalam nilai-nilai dasar hukum nasional, merupakan nilai sentral dan
menjiwai nilai-nilai yang lain. Hal ini mengisyaratkan bahwa hukum nasional
mengenal adanya hukum Tuhan, hukum kodrat dan hukum susila. Berpangkal dari
keyakinan dan kebenaran bahwa manusia ciptaan Tuhan, dan Tuhan memberikan
aturan-aturan bagi ciptaan-Nya, maka sudah semestinya hukum kodrat dan hukum
9
Ramelan, Profesionalisme Jaksa Menyongsong Penegakan Hukum Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(22)
susila tidak bertentangan dengan hukum Tuhan. Ketiga macam hukum ini tidak
berdiri sendiri ataupun terpisah satu sama lain10.
Republik Indonesia tidak mengenal doktrin pemisahan antara agama dan negara.
Karena doktrin semacam ini sangat bertentangan dengan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945. Adapun lima unsur utama itu bertumpu pada suatu prinsip yang
sangat mendasar bagi segenap bangsa Indonesia yaitu sila pertama dari Pancasila
Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena sila pertama ini menurut Hazairin mempunyai
”posisi yang istimewa”, ia ”terletak diluar ciptaan akal budi manusia”. Dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, inilah maka negara hukum Pancasila memiliki bukan
hanya suatu ciri tertentu tetapi ciri yang paling khusus dari semua konsep negara
hukum. Sila pertama merupakan pula dasar kerohanian dan dasar moral bagi Bangsa
Indonesia dalam bernegara dan bermasyarakat, artinya, penyelenggaraan kehidupan
bernegara dan bermasyarakat wajib memperhatikan dan mengimplementasikan
petunjuk-petunjuk Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu, dengan sila Ketuhanan Yang
Maha Esa itu dan dengan empat sila lainnya setiap orang yang arif dan bijaksana akan
melihat banyak persamaan antara konsep nomokrasi Islam dengan konsep Negara
Hukum Pancasila. Persamaan itu antara lain tercermin dari lima sila atau Pancasila
yang sudah menjadi Asas Bangsa dan Negara Indonesia.
10
(23)
2. Konseptual
Kerangka Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara
konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan
dengan istilah-istilah yang yang akan diteliti11. Penulisan dasar yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
a. Analisis adalah penyelidikan suatu peristiwa karangan, perbuatan dan sebagainya
untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya, sebab musabab, duduk perkaranya
dan sebagainya12.
b. Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar
rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan13.
c. Penggunaan adalah pemanfaatan keterampilan dan pengetahuan baru di bidang
Hukum14.
d. Pidana Mati adalah ialah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan
pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang
dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya15.
e. Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang di bentuk oleh
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan persetujuan bersama Presiden.
11
(Soerjono Soekanto, 1986:132)
12
(Tim penyusun kamus pusat bahasa,2005:43)
13
(http://id.wikipedia.org/wiki/Kebijakan)
14
(Kamus Pusat Bahasa Indonesia Online )
15
(24)
undang memiliki kedudukan sebagai aturan main bagi rakyat untuk konsolidasi
posisi politik dan hukum, untuk mengatur kehidupan bersama dalam rangka
mewujudkan tujuan dalam bentuk Negara. Undang-undang dapat pula dikatakan
sebagai kumpulan-kumpulan prinsip yang mengatur kekuasaan pemerintah, hak
rakyat, dan hubungan di antara keduanya16..
f. Korupsi yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok)
adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak
lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan
tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada
mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak17 .
E. Sistematika Penulisan
Pada sub bab ini agar penulisan dapat mencapai tujuan yang diharapkan dan mudah
dipahami maka sistematika penulisan yang memuat uraian secara garis besar
mengenai urutan kegiatan dalam melakukan penulisan bab demi bab maupun sub bab.
Sistematika dalam penulisan ini yaitu :
16
(http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-undang)
17
(25)
I. PENDAHULUAN
Bab ini yang memuat latar belakang dari permasalahan yang diselidiki, masalah yang
dijadikan fokus studi, ruang lingkup permasalahan, tujuan dan kegunaan penelitian,
kerangka teoritis, kerangka konseptual, dan sistematika penulisan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi tentang teori teori hukum sebagai latar belakang pembuktian masalah
dan hipotesis, umumnya yang ada kaitan dengan masalah yang akan dibahas yang
terdiri dari pengertian penegakan hukum, faktor penghambat penegakan hukum,
pengertian tindak pidana, dan dasar hukum pemberlakuan hukuman mati pada tindak
pidana korupsi.
III.METODE PENELITIAN
Merupakan bab yang menjelaskan metode yang dipakai guna memperoleh dan
mengolah data akurat. Adapun metode yang digunakan terdiri dari pendekatan
masalah, sumber dan jenis data, metode pengumpulan dan pengolahan data serta
analisa data.
IV.HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berisi tentang pembahasan berdasarkan hasil penelitian terhadap permasalahan dalam
penelitian ini yaitu berisi tentang eksistensi pemberlakuan hukuman mati di Indonesia
(26)
mati pada pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia, berdasarkaN Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, serta dampak
positif yang dihasilkannya.
V. PENUTUP
Merupakan bab yang berisi tentang kesimpulan dari hasil pembahasan yang
merupakan jawaban terhadap permasalahan berdasarkan hasil penilitian serta
berisikan saran-saran penulisan mengenai apa yang harus kita tingkatkan dari
(27)
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Korupsi dan Tindak Pidana Korupsi
a. Pengertian Korupsi
Pengertian korupsi menurut masyarakat awam khususnya adalah suatu tindakan
mengambil uang negara agar memperoleh keuntungan untuk diri sendiri. Akan
tetapi menurut buku yang menjadi reverensi bagi penulis pengertian korupsi
sendiri yang juga dikutip dari kamus besar bahasa indonesia pengertian korupsi
sebagai berikut :
”penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan, dan sebagainya untuk keuntungan pribadi atau orang lain.
(28)
Akan tetapi korupsi juga mempunyai beberapa macam jenis, menurut Beveniste
dalam Suyatno korupsi didefenisikan dalam 4 jenis yaitu sebagai berikut:
1. Discretionery corupption, ialah korupsi yang dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan kebijakan, sekalipun nampaknya bersifat sah,
bukanlah praktik-praktik yang dapat diterima oleh para anggota organisasi.
Contoh : Seorang pelayan perizinan Tenaga Kerja Asing, memberikan
pelayanan yang lebih cepat kepada ”calo”, atau orang yang bersedia membayar lebih, ketimbang para pemohon yang biasa-biasa saja. Alasannya
karena calo adalah orang yang bisa memberi pendapatan tambahan.
2. Illegal corupption, ialah suatu jenis tindakan yang bermaksud mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan dan regulasi hukum.Contoh: di
dalam peraturan lelang dinyatakan bahwa untuk pengadaan barang jenis
tertentu harus melalui proses pelelangan atau tender. Tetapi karena waktunya
mendesak (karena turunnya anggaran terlambat), maka proses itu tidak
dimungkinkan. Untuk pemimpin proyek mencari dasar hukum mana yang bisa
mendukung atau memperkuat pelaksanaan sehingga tidak disalahkan oleh
inspektur. Dicarilah pasal-pasal dalam peraturan yang memungkinkan untuk
bisa digunakan sebagai dasar hukum guna memperkuat sahnya pelaksanaan
tender. Dalam pelaksanaan proyek seperti kasus ini, sebenarnya sah atau tidak
sah, bergantung pada bagaimana para pihak menafsirkan peraturan yang
berlaku. Bahkan dalam beberapa kasus, letak illegal corruption berada pada
kecanggihan memainkan kata-kata; bukan substansinya.
3. Mercenery corruption, ialah jenis tindak pidana korupsi yang dimaksud untuk memperoleh keuntungan pribadi, melalui penyalahgunaan wewenang dan
(29)
kekuasaan. Contoh: Dalam sebuah persaingan tender, seorang panitia lelang
mempunyai kewenangan untuk meluluskan peserta tender. Untuk itu secara
terselubung atau terang-terangan ia mengatakan untuk memenangkan tender
peserta harus bersedia memberikan uang ”sogok” atau ”semir” dalam jumlah tertentu.
4. Ideologi corruption, ialah jenis korupsi ilegal maupun discretionery yang dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok.Contoh: Kasus skandal
watergate adalah contoh ideological corruption, dimana sejumlah individu memberikan komitmen mereka terhadap presiden Nixon ketimbang kepada
undang-undang atau hukum. Penjualan aset-aset BUMN untuk mendukung
pemenangan pemilihan umum18
b. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Pengertian Tindak Pidana Korupsi sendiri adalah kegiatan yang dilakukan untuk
memperkaya diri sendiri atau kelompok dimana kegiatan tersebut melanggar
hukum karena telah merugikan bangsa dan negara. Dari sudut pandang hukum,
kejahatan tindak pidana korupsi mencakup unsur-unsur sebagai. berikut :
a. Penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, dan sarana
b. memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi
c. merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
18
(30)
Ini adalah sebagian kecil contoh-contoh tindak pidana korupsi yang sering terjadi,
dan ada juga beberapa prilaku atau tindakan korupsi lainnya:
a. Memberi atau menerima hadiah (Penyuapan)
b. penggelapan dan pemerasan dalam jabatan
c. ikut serta dalam penggelapan dana pengadaan barang
d. menerima grativikasi.
Melihat dalam arti yang luas, korupsi adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk
memperkaya diri sendiri agar memperoleh suatu keuntungan baik pribadi maupun
golongannya. Kegiatan memperkaya diri dengan menggunakan jabatan, dimana
orang tersebut merupakan orang yang menjabat di departemen swasta maupun
departeman pemerintahan. Korupsi sendiri dapat muncul dimana-mana dan tidak
terbatas dalam hal ini saja, maka dari itu untuk mempelajari dan membuat
solusinya kita harus dapat membedakan antara korupsi dan kriminalitas kejahatan.
B. Unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi
Tindak pidana korupsi atau yang disebut juga suatu perbuatan memperkaya diri
sendiri atau suatu golongan merupakan suatu tindakan yang sangat merugikan
orang lain, bangsa dan negara. Adapun unsur-unsur tindak pidana korupsi bila
dilihat pada ketentuan pasal 2 ayat (1) undang-undang No.31 tahun 1999
selanjutnya dikaitkan dengan tindak pidana korupsi, yaitu: pasal 2 ayat (1) UU
Tindak Pidana Korupsi “TPK” yang menyatakan bahwa Tindak Pidana Korupsi adalah “setiap orang yang melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
(31)
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup
atau penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan denda paling sedikit Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah ) dan paling
banyak Rp.1.000.000.000 ( satu milyar rupiah).”Pasal 2 ayat (2) UU Pidana Korupsi menyatakan bahwa dalam hal tindak pidana korupsi Sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat
Dijatuhkan. Yang dimaksud dengan “keadaaan tertentu” dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana tersebut dilakukan
terhadap dana dana yang diperuntukan bagi penanggulangan keadaan keadaan
bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang
meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak
pidana korupsi Ada 3 unsur tindak pidana korupsi, antara lain:
1. Setiap orang adalah orang atau perseorangan atau termasukkorporasi. Dimana
korporasi tersebut artinya adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang
terorganisir, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum,
terdapat pada ketentua umum Undang-undang No.31 tahun1999 pasal 1 ayat
(1).
2. Melawan hukum, yang dimaksud melawan hukum adalah suatu tindakan
dimana tindakan tersebut bertentangan dengan perturan perundang-undangan
yang berlaku. Karena di dalam KUHP (kitab undang-undang hukum pidana)
Buku kesatu, aturan umum Bab 1 (satu). Batas-batas berlakunya aturan pidana
(32)
dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undanganpidana
yang telah ada.
3. Tindakan, yang dimaksud tindakan dalam pasal 1 ayat (1) Undang-undang
No.31 tahun 1999 adalah suatu tindakan yang dimana dilakukan oleh diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan
yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian negara, dipidana
dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1
(satu)tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan/atau denda paling
sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Dalam ketentuan ini menyatakan bahwa
keterangan tentang tindakan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
korporasi dengan cara melakukan tindak pidana korupsi merupakan suatu
tindakan yang sangat jelas merugikan Negara.
C. Pelaku Tindak Pidana Korupsi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pelaku adalah orang yang melakukan
suatu perbuatan. Jadi dapat disimpulkan bahwa Pelaku Tindak Pidana adalah
orang yang melakukan perbuatan atau rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan
(33)
Menurut KUHP, macam pelaku yang dapat dipidana terdapat pada pasal 55 dan
56 KUHP, yang berbunyi sebagai berikut:
1. Pasal 55 KUHP
Dipidana sebagai pembuat sesuatu perbuatan pidana:
a. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta
melakukan perbuatan.
b. Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan
menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau
penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan,
sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
c. Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja yang dianjurkan sajalah
yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
2. Pasal 56 KUHP.
Dipidana sebagai pembantu sesuatu kejahatan : Mereka yang dengan sengaja
memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan.Mereka yang dengan
sengaja memberi kesempatan, sarana, atau keterangan untuk melakukan
kejahatan.Pada ketentuan Pasal 55 KUHP disebutkan perbuatan pidana, jadi
baik kejahatan maupun pelanggaran yang di hukum sebagai orang yang
melakukan disini dapat dibagi atas 4 macam, yaitu :
a. Pleger
Orang ini ialah seorang yang sendirian telah mewujudkan segala elemen dari
(34)
b. Doen plegen
Disini sedikitnya ada dua orang, doen plegen dan pleger. Jadi bukan orang
itu sendiri yang melakukan peristiwa pidana, akan tetapi ia menyuruh
orang lain, meskipun demikian ia dipandang dan dihukum sebagai orang
yang melakukan sendiri peristiwa pidana.
c. Medpleger
Turut melakukan dalam arti kata bersama-sama melakukan,
sedikit-dikitnya harus ada dua orang, ialah pleger dan medpleger. Disini diminta,
bahwa kedua orang tersebut semuanya melakukan perbuatan pelaksanaan,
jadi melakukan elemen dari peristiwa pidana itu. Tidak boleh hanya
melakukan perbuatan persiapan saja, sebab jika demikian, maka orang
yang menolong itu tidak masuk medpleger, akan tetapi dihukum sebagai
medeplichtige.
d. Uitlokker
Orang itu harus sengaja membujuk melakukan orang lain, sedang
membujuknya harus memakai salah satu dari jalan seperti yang
disebutkan dalam Pasal 55 ayat (2), artinya tidak boleh memakai jalan
lain.19
Sedangkan pada pasal 56 KUHP dapat dijelaskan bahwa seseorang adalah
medeplichtig, jika ia sengaja memberikan bantuan tersebut, pada waktu sebelum
19
R. Soesilo, KUHP Serta Komentar lengkap pasal demi pasal, Politeia, Bogor, 1973, hal 63
(35)
kejahatan itu dilakukan. Bila bantuan itu diberikan sesudah kejahatan itu
dilakukan, maka orang tersebut bersekongkol atau heling sehingga dapat dikenakan Pasal 480 atau Pasal 221 KUHP.Elemen sengaja harus ada, sehingga
orang yang secara kebetulan dengan tidak mengetahui telah memberikan
kesempatan, daya upaya atau keterangan itu, jika niatnya itu timbul dari orang
yang memberi bantuan sendiri, maka orang itu melakukan uitlokking. Bantuan yang diberikan itu dapat berupa apa saja, baik moril maupun materiel, tetapi
sifatnya harus hanya membantu saja, tidak boleh demikian besarnya, sehingga
orang itu dapat dianggap melakukan suatu elemen dari peristiwa pidana, sebab
jika demikian, maka hal ini masuk golongan medplegen dalam Pasal 55 KUHP.
D. Pengertian Budaya Korupsi
Indonesia adalah negara besar dan kaya akan nilai-nilai sejarah serta hasil
alamnya. Indonesia mempunyai banyak sekali cerita sejarah, dikarenakan pada
zaman dahulu Indonesia merupakan negara yang terdiri dari banyak sekali
kerajaan-kerajaan besar. Begitu pula dengan praktek korup yang ada, dari zaman
sebelum kemerdekaan indonesia sampai dengan era demokrasi sekarang
praktek-praktek korup telah banyak terjadi dan mengalami banyak sekali peningkatan
karena berkembangnya ilmu pengetahuan serta tekhnologi. Hal ini pula yang
membuat praktek praktek korupsi semakin sulit untuk diberantas.
(36)
a. Pada Zaman Kerajaan Pada zaman kerajaan praktek korupsi hanya terjadi
pada perebutan kekuasaan dimana hal ini juga dilakukan untuk
memperkaya diri dan keluarga serta untuk memperluas wilayah
kekuasaannya. Pada era Indonesia Merdeka dan pada era setelah
Indonesia merdeka. Didalam era tersebut yang masih di bawah pimpinan
presiden Ir.Soekarno terlihat jelas bahwa telah dua kali di bentuk Badan
Pemberantas Korupsi yaitu Paran dan Operasi Budhi. Kedua badan
tersebut dibentuk untuk mengawasi praktek-praktek korupsi yang terjadi
pada era tersebut dimana salah satunya dengan cara mengisi formulir
yang zaman sekarang dikenal dengan daftar kekayaan pejabat negara.
Sedangkan Operasi Budhi sendiri kebanyakan bergerak di
perusahaan-perusahaan negara yang dimana dianggap rawan akan praktek korupsi.
b. Pada Era Orde Baru Pada masa orde baru sendiri juga terlihat akan adanya
praktek-praktek korupsi dengan dibentuknya suatu badan khusus yang
menangani akan hal ini, yaitu komite empat dan juga Opstib (Operasi
tertib).
c. Pada Era Reformasi Di dalam orde reformasi praktek korupsi telah
menjalar kemana-mana seperti virus yang menjangkit seluruh elemen
penyelenggara negara. Pada orde tersebut pimpinan Negara Indonesia
adalah Presiden BJ Habibie. Pada waktu kepemimpinannya Presiden
membuat suatu rumusan undang-undang yaitu Undang-undang No.28
tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari
KKN dan juga pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti
(37)
presiden selanjutnya yaitu Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid
membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(TGPTPK).
d. Pada Era Demokrasi Beralih ke zaman sekarang, yaitu Demokrasi adanya
badan yang mengurus tentang Tindak Pidana Korusi yang dimana telah
kita ketahui yaitu KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dimana KPK di
bantu oleh lembaga-lembaga hukum yang ada di Indonesia dalam misi
pemberantasan Korupsi. KPK adalah lembaga independen yang berdiri
sendiri dan bebas dari pengaruh kekuasaan apapun. Tugas dan wewenang
KPK telah terurai jelas di dalam Undang-undang No.30 tahun 2002.
b. Faktor-Faktor Penyebab Meningkatnya Korupsi di Indonesia
Setiap apapun tindakan yang dilakukan seseorang itu mempunyai banyak arti atau
mempunyai maksud dan tujuan, ada tujuan yang baik ada juga tujuan yang
bermaksud buruk. Ada juga tujuan yang menurut mereka baik untuk diri mereka
sendiri akan tetapi membuat hasil yang buruk bagi orang lain. Dikaitkan dengan
pembahasan dalam skripsi tersebut yaitu korupsi, merupakan tindakan yang baik
menurut atau untuk diri mereka akan tetapi sangat merugikan orang lain dalam hal
ini adalah rakyat, bangsa dan negara. Seiring berkembangnya sistem tekhnologi di
Negara Indonesia tersebut, hal ini juga yang membuat tradisi atau budaya. korupsi
(38)
melakukan Tindak Pidana Korupsi. Dalam perkembangan zaman atau dapat di
bilang sebagai era globalisasi, dimana era tersebut merupakan perkembangan dari
era-era yang sudah ada atau yang terdahulu maka kebutuhan setiap individu pun
akan pribadinya akan semakin berkembang. Hal ini juga yang merupakan sebab
dari meningkatnya budaya korupsi. Kecanggihan tekhnologi, kebutuhan ekonomi,
dan minimnya penghasilan yang di dapat merupakan hal-hal yang menjadi
landasan orang melakukan korupsi dan yang membuat mereka untuk
meningkatkan tata cara berkorupsi demi menghasilkan keuntungan bagi
pribadinya sendiri. Adapula pendapat lain tentang penyebab korupsi diantarnya
dari beberapa pakar ahli hukum khususnya dibidang korupsi.
Klitgaar Hamzah, Lopa menyatakan bahwa penyebab korupsi sebagai berikut:
“deskresi pegawai yang terlalu besar, rendahnya akuntanbilitas public. Lemahnya kepemimpinan, gaji pegawai publik dibawah kebutuhan hidup,
kemiskinan, moral rendah atau disiplin rendah. Disamping itu juga sifat
komsumtif, pengawasan dalam organisasi kurang, kesempatan yang
tersedia, pengawasan ekstern lemah, lembaga legislative lemah, budaya
memberi upeti, permisif (serba memperbolehkan), tidak mau tahu,
keserakahan, dan lemahnya penegakan hukum”20.
20
Surachmin, Suhandi Cahaya, Strategi dan Teknik Korupsi Mengetahui untuk Mencegah,
(39)
Adapun Ilham Gunawan menyatakan bahwa korupsi dapat terjadi karena berbagai
faktor seperti berikut:
Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mampu
memberikan ilham dan mempengaruhi tingkah laku yang menjinakkan korupsi.
a. Kelemahan ajaran-ajaran agama dan etika.
b. Akibat kolonialisme atau suatu pengaruh pemerintah asing tidak menggugah
kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi.
c. Kurang dan lemahnya pengaruh pendidikan.
d. Kemiskinan yang bersifat struktural.
e. Sanksi hukum yang lemah.
f. Kurang dan terbatasnya lingkungan yang anti korupsi.
g. Struktur pemerintahan yang lunak.
h. Perubahan radikal, sehingga terganggunya kestabilan mental. Ketika suatu
sistem nilai mengalami perubahan radikal, korupsi muncul sebagai suatu
penyakit tradisional.
i. Kondisi masyarakat karena korupsi dalam suatu birokrasi bisa memberikan
cerminan keadaan masyrakat secara keseluruhan.21
3. Dampak Korupsi
Setiap perbuatan pasti mempunyai sebab dan akibat dimana sebab dan akibat
tersebut dapat berdampak buruk bagi lingkungan sekitar. Dihubungkan dengan
tindak pidana korupsi, sebab dan akibat yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut
21
(40)
sangat berdampak luas bagi kehidupan rakyat dalam suatu negara. Bukan hanya
itu saja korupsi juga sangat berdampak buruk bagi perkembangan suatu negara.
Bahkan dampak suatu tindak pidana korupsi juga dapat menggoyahkan kedaulatan
suatu negara. Dalam hubungan internasional juga, jika didalam suatu negara
tindak pidana korupsi sangat sering terjadi hingga mengakibatkan perekonomian
di dalam tersebut terganggu dapat membuat hubungan bilateral antarnegara juga
kurang harmonis. Dikarenakan negara yang menjalin hubungan kerja sama merasa
tidak nyaman serta membuat negara lain tidak mau menjalin hubungan kerja sama
di kemudian hari.
Dari beberapa sumber yang saya temukan dampak dari korupsi sebagai berikut:
a. Berkurangnya Kepercayaan Terhadap Pemerintah Akibat pejabat pemerintah
melakukan korupsi mengakibatkan berkurangnya kepercayaan terhadap
pemerintah tersebut. Disamping itu, negara lain juga lebih mempercayai
negara yang pejabatnya bersih dari korupsi, baik kerja sama di bidang politik,
ekonomi, ataupun dalam bidang lainya. Hal ini akan mengakibatkan
pembangunan ekonomi serta mengganggu stabiltas perekonomian negara yang
stabilitas politik.
b. Berkurangnya Kewibawaan Pemerintah Dalam Masyarakat Apabila banyak
dari pejabat pemerintah yang melakukan penyelewengan keuangan negara,
masyarakat akan bersifat apatis terhadap segala anjuran dan tindakan
pemerintah. Sifat apatis tersebut akan mengakibatkan ketahanan nasional akan
(41)
Negara Penerimaan negara untuk pembangunan didapatkan dari dua Sektor,
yaitu dari pungutan bead an penerimaan pajak pendapatan Negara dapat
berkurang apabila tidak diselamatkan dari penyelundupan dan penyelewengan
oleh oknum-oknum pemerintah pada sector sekto penerimaan tersebut.
c. Rapuhnya Keamanan dan Ketahanan Negara Keamanan dan ketahanan negara
akan rapuh apabila para pejabat pemerintah mudah disuap karena kekuasaan
asing yang hendak memaksakan ideologi atau pengaruhnya terhadap bangsa
Indonesia. menggunakan penyuapan sebagai suatu sarana untuk mewujudkan
cita-citanya.
d. Hukum Tidak Lagi Dihormati . Negara kita adalah negara hukum dimana
segala sesuatu harus didasarkan pada hukum. Cita-cita untuk menggapai tertib
hukum tidak akan terwujud apabila para penegak hukum melakukan tindakan
korupsi sehingga hokum tidak dapat ditegakkan, ditaati, serta tidak diindahkan
(42)
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris.
Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan cara menelaah dan
meng-interpretasikan hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas, konsepsi,
doktrin dan norma hukum yang berkaitan dengan pembuktian perkara pidana.
Adapun pendekatan yuridis empiris dilakukan dengan penelitian lapangan yang
ditujukan pada penerapan hukum acara pidana dalam perkara pidana.
1. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan
berdasarkan bahan hukum utama dengan cara menelaah teori-teori,
konsep-konsep, asas-asas hukum serta peraturan perundang-undangan
yang berhubungan dengan penelitian ini. Pendekatan ini dikenal pula
dengan pendekatan kepustakaan, yakni dengan mempelajari buku-buku,
peraturan perundang-undangan dan dokumen lain yang berhubungan
dengan penelitian ini.
2. Pendekatan yuridis empiris yakni dilakukan dengan melihat kenyataan
yang ada dalam praktek dilapangan. Pendekatan ini dikenal pula dengan
(43)
B. Sumber Data
Didalam, sumber utamanya adalah bahan hukum yang dikaitkan dengan fakta
sosial karena dalam penelitian ilmu hukum empiris yang dikaji adalah
bukanhanya bahan hukum saja akan tetapi di tambah dengan pendapat para ahli.
Penulisan proposal skripsi ini menggunakan data primer, yaitu data yang
diperoleh langsung dari sumbernya, baik melalui wawancara, observasi maupun
laporan yang berbentuk dokumen tidak resmi yang kemudian diolah oleh peneliti,
dan data sekunder, yaitu data yang di ambil dari bahan pustaka yang terdiri dari 3
(tiga) sumber bahan hukum yaitu bahan hukum primer,sekunder dan tersier.
Untuk lebih jelasnya penulis akan mengemukakan sebagai berikut:
1. Bahan hukum primer
1. Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
3. Undang-undang Republik Indonesia No.28 tahun 1999 tentang
Penyelenggaran Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.
4. Peraturan Presiden Republik Indonesia No.71 tahun 2000 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan
Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
5. Undang-undang Republik Indonesia No.30 tahun 2000 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi.
(44)
Data sekunder adalah data yang diperoleh secara langsung dari penelitian
lapangan yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti, yakni
dilakukannya wawancara.
3. Bahan Hukum Tersier.
Bahan hukum yang menguatkan penjelasan dari bahan hukum primer dan
sekunder yaitu berupa kamus hukum.
C. Penentuan Populasi dan Sampel
Populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit yang ciri-cirinya akan di duga18. Dalam penelitian ini populasi adalah penegak hukum pidana yang mencakup
aparat penegak hukum dalam tahap formulasi dan aplikasi, yaitu : Polisi, Jaksa
Penuntut Umum, Hakim.
Sample adalah sejumlah objek yang jumlahnya kurang dari populasi, dalam
menentukan sample dari populasi yang akan diteliti penulis menggunakan metode
purposive sampling, yaitu metode yang mengambil simple melalui proses penunjukan berdasarkan tujuan yang ingin diperoleh melalui responden.
Sample yang penulis gunakan, adalah metode purposive sampling, yaitu metode yang mengambil sample melalui proses penunjuk berdasarkan tujuan yang ingin
18
(45)
diperoleh melalui informan, maka yang dijadikan sample sebagai responden
adalah sebagai berikut :
Hakim Pengadilan Negeri Muara Enim : 1 orang
Kejaksaan Negeri Muara Enim : 3 orang
Jumlah: 4 orang
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
1. Prosedur Pengumpulan Data a. Data Primer
Dikumpulkan dengan cara menelaah dan menganalisis literatur dan dokumen
yang berkaitan dengan obyek penelitian, kemudian membuat
pernyataan-pernyataan.
b. Data Sekunder
Data primer dikumpulkan melalui wawancara langsung dengan responden
2. Pengolahan Data
Setelah data terkumpul baik yang diperoleh dari studi kepustakaan, studi
dokumentasi maupun yang diperoleh melalui studi lapangan, maka diolah dengan
cara berikut :
a. Editing, yaitu data yang diperoleh diperiksa dan diteliti kembali mengenai kelengkapannya, kejelasannya, dan kebenarannya, sehingga terhindar dari
(46)
b. Sistematisasi, yaitu melakukan penyusunan dan penempatan data pada tiap-tiap pokok bahasan secara sistematis.
E. Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis kualitatif, artinya
menguraikan data yang diolah secara rinci kedalam bentuk kalimat-kalimat
(deskritif). Analisis kualitatif yang dilakukan bertitik tolak dari analisis empiris, yang dalam pendalamannya dilengkapi dengan analisis normatif. Berdasarkan
hasil analisis ditarik kesimpulan secara dedukatif, yaitu cara berpikir yang didasarkan pada fakta-fakta yang bersifat umum untuk kemudian ditarik suatu
(47)
V. PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil uraian-uraian yang telah dikemukakan dan hasil pembahasan
sebelumnya maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Keadaan tertentu tersebut dijelaskan dalam penjelasan mengenai Pasal 2 Ayat
(2) Undang-Undang No 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No 20 Tahun
2001 yaitu “bila dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku; pada waktu terjadinya bencana alam
nasional; sebagai pengulangan; atau pada waktu Negara dalam keadaan krisis
ekonomi dan moneter”. Akan tetapi Keadaan tertentu seperti Negara dalam keadaan bahaya, keadaan bencana alam nasional mungkin terjadi hanya dalam
waktu 50-60 tahun sekali begitu juga dengan krisis ekonomi, sehingga pidana
mati sulit dijatuhkan. Sedangkan Recidive (pengulangan tindak pidana) juga tidak memiliki definisi khusus yang seperti apa, agar pelaku tindak pidana
korupsi dapat dijerat sanksi pidana mati, karna penghapusan beberapa pasal
yang membuat abstraknya penjelasan tentang pengulangan tindak pidana yang
seperti apa yang bisa dipidana mati.
2. faktor-faktor penghambat yang menyebabkan tidak pernah diberlakukannya
sanksi pidana mati seperti belum adanya penentuan berapa besaran kerugian
(48)
meringankan tersangka korupsi, rasa toleran rakyat Indonesia sendiri yang
masih menganggap bahwa korupsi adalah pencurian biasa, bukan kejahatan
luar biasa (extra ordinary crime), tuntutan hukuman oleh jaksa yang terlalu rendah yang menyebabkan Hakim tidak bisa memaksimalkan hukuman karna
tidak boleh melebihi tuntutan Jaksa, dan keputusan Hakim yang masih
terkesan ragu-ragu untuk menjatuhkan hukuman yang berat bagi koruptor
apalagi untuk menjatuhkan hukuman mati, karena takut melanggar Hak Asasi
Manusia (HAM) karna mengambil hak hidup seseorang.
B. Saran
1. Dilakukan Studi lebih mendalam lagi pada Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang
No 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No 20 Tahun 2001, karena jelas sekali
masih memiliki kekurangan yang membuat tidak pernah diberlakukannya
sanksi pidana mati, contohnya : “masih belum adanya standard berapa besar kerugian negara, agar terpidana korupsi bisa dipidana mati, dan pengulangan
tindak pidana seperti apa yang bisa dikenakan sanksi pidana mati.
2. Bagi Kejaksaan yaitu dengan menghapuskan hal-hal yang meringankan bagi
pelaku tindak pidana korupsi untuk bisa memaksimalkan hukuman bagi
pelaku tindak pidana korupsi. Hal-hal yang meringankan seperti :
pengurangan hukuman terpidana korupsi yang telah mengembalikan uang
hasil korupsinya, penghapusan perkara pidana apabila pelaku tindak pidana
korupsi telah mengembalikan dana yang dikorupsi pada waktu proses
(49)
3. Bagi Hakim yaitu dengan menjatuhkan putusan seadil-adilnya dengan berlaku
tegas terhadap pelaku tindak pidana korupsi, jangan melihat korupsi sebagai
kasus pencurian uang biasa, karena pada kenyataannya jelas sangat berbeda
dampak yang ditimbulkan. jangan ragu-ragu untuk menjatuhkan pidana mati
jika pelaku tindak pidana korupsi dinilai pantas menerimanya hanya karena
takut mengambil hak hidup seseorang dan melanggar Hak Asasi Manusia
(HAM) padahal sebenarnya pelaku tindak pidana korupsi sendiri adalah
individu-individu yang telah mengambil hak hidup sejahtera orang lain, dan
korupsi sendiri adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang dampaknya sangat membahayakan bagi kestabilan ekonomi Negara.
(50)
DAFTAR PUSTAKA
Literatur Buku
Andrisman, Tri. 2008. Tindak Pidana Khusus Diluar KUHP. Bandar Lampung
Efendi, marwan, 2005, Kejaksaan RI: Posisi Dan Fungsinya Dari Presfektif Hukum. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Hartati, Evi, 2005, Tindak Pidana Korupsi Edisi Kedua. Semarang: Sinar Grafika
Poerwadarminta, W,J.S 1976 Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka
Rohim. 2008. Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Pena Multi Media
Seno adji, Indriyanto. 2009. Korupsi dan Penegakan Hukum. Jakarta: Diadit Media Jakarta.
Soekanto, Soerjono. 1984. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Universitas Lampung. 2007. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Universitas Lampung. University press. Bandar lampung
Wawancara dengan Bapak Deni Agustian S,H sebagai Jaksa Tindak Pidana Khusus di Kejaksaan Negeri Muara Enim. Tanggal 02 juni 2013, pukul 13:00 di Kantor Kejaksaan Negeri Muara Enim.
Wawancara dengan Bapak Faisol S,H sebagai Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus di Kejaksaan Negeri Muara Enim. Tanggal 02 juni 2013, pukul 15:00 di Kantor Kejaksaan Negeri Muara Enim.
(51)
Sumber Internet http://www.artikata.com
http://www.hukumonline.com
http://www.ricardosiregar.com/permasalahan-mengenai-pidana-mati-di-indonesia/
http://arsam8.blogspot.com/2012/05/recidive-pidana-pengulangan-tindak.html
http://wordpress.com
http://wikipidia.com.
Peraturan perundang-undangan
Undang-Undang No 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Korupsi
(1)
E. Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis kualitatif, artinya menguraikan data yang diolah secara rinci kedalam bentuk kalimat-kalimat (deskritif). Analisis kualitatif yang dilakukan bertitik tolak dari analisis empiris, yang dalam pendalamannya dilengkapi dengan analisis normatif. Berdasarkan hasil analisis ditarik kesimpulan secara dedukatif, yaitu cara berpikir yang didasarkan pada fakta-fakta yang bersifat umum untuk kemudian ditarik suatu kesimpulan bersifat khusus.
(2)
69
V. PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil uraian-uraian yang telah dikemukakan dan hasil pembahasan sebelumnya maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Keadaan tertentu tersebut dijelaskan dalam penjelasan mengenai Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang No 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No 20 Tahun 2001 yaitu “bila dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku; pada waktu terjadinya bencana alam nasional; sebagai pengulangan; atau pada waktu Negara dalam keadaan krisis
ekonomi dan moneter”. Akan tetapi Keadaan tertentu seperti Negara dalam keadaan bahaya, keadaan bencana alam nasional mungkin terjadi hanya dalam waktu 50-60 tahun sekali begitu juga dengan krisis ekonomi, sehingga pidana mati sulit dijatuhkan. Sedangkan Recidive (pengulangan tindak pidana) juga tidak memiliki definisi khusus yang seperti apa, agar pelaku tindak pidana korupsi dapat dijerat sanksi pidana mati, karna penghapusan beberapa pasal yang membuat abstraknya penjelasan tentang pengulangan tindak pidana yang seperti apa yang bisa dipidana mati.
2. faktor-faktor penghambat yang menyebabkan tidak pernah diberlakukannya sanksi pidana mati seperti belum adanya penentuan berapa besaran kerugian Negara yang bisa membuat pelaku tindak pidana korupsi, hal-hal yang
(3)
luar biasa (extra ordinary crime), tuntutan hukuman oleh jaksa yang terlalu rendah yang menyebabkan Hakim tidak bisa memaksimalkan hukuman karna tidak boleh melebihi tuntutan Jaksa, dan keputusan Hakim yang masih terkesan ragu-ragu untuk menjatuhkan hukuman yang berat bagi koruptor apalagi untuk menjatuhkan hukuman mati, karena takut melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) karna mengambil hak hidup seseorang.
B. Saran
1. Dilakukan Studi lebih mendalam lagi pada Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang No 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No 20 Tahun 2001, karena jelas sekali masih memiliki kekurangan yang membuat tidak pernah diberlakukannya
sanksi pidana mati, contohnya : “masih belum adanya standard berapa besar kerugian negara, agar terpidana korupsi bisa dipidana mati, dan pengulangan tindak pidana seperti apa yang bisa dikenakan sanksi pidana mati.
2. Bagi Kejaksaan yaitu dengan menghapuskan hal-hal yang meringankan bagi pelaku tindak pidana korupsi untuk bisa memaksimalkan hukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi. Hal-hal yang meringankan seperti : pengurangan hukuman terpidana korupsi yang telah mengembalikan uang hasil korupsinya, penghapusan perkara pidana apabila pelaku tindak pidana korupsi telah mengembalikan dana yang dikorupsi pada waktu proses penyidikan, dan pemberian subsider bagi pelaku tindak pidana korupsi.
(4)
71
3. Bagi Hakim yaitu dengan menjatuhkan putusan seadil-adilnya dengan berlaku tegas terhadap pelaku tindak pidana korupsi, jangan melihat korupsi sebagai kasus pencurian uang biasa, karena pada kenyataannya jelas sangat berbeda dampak yang ditimbulkan. jangan ragu-ragu untuk menjatuhkan pidana mati jika pelaku tindak pidana korupsi dinilai pantas menerimanya hanya karena takut mengambil hak hidup seseorang dan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) padahal sebenarnya pelaku tindak pidana korupsi sendiri adalah individu-individu yang telah mengambil hak hidup sejahtera orang lain, dan korupsi sendiri adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang dampaknya sangat membahayakan bagi kestabilan ekonomi Negara.
(5)
Literatur Buku
Andrisman, Tri. 2008. Tindak Pidana Khusus Diluar KUHP. Bandar Lampung
Efendi, marwan, 2005, Kejaksaan RI: Posisi Dan Fungsinya Dari Presfektif Hukum. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Hartati, Evi, 2005, Tindak Pidana Korupsi Edisi Kedua. Semarang: Sinar Grafika
Poerwadarminta, W,J.S 1976 Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka
Rohim. 2008. Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Pena Multi Media
Seno adji, Indriyanto. 2009. Korupsi dan Penegakan Hukum. Jakarta: Diadit Media Jakarta.
Soekanto, Soerjono. 1984. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Universitas Lampung. 2007. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Universitas Lampung. University press. Bandar lampung
Wawancara dengan Bapak Deni Agustian S,H sebagai Jaksa Tindak Pidana Khusus di Kejaksaan Negeri Muara Enim. Tanggal 02 juni 2013, pukul 13:00 di Kantor Kejaksaan Negeri Muara Enim.
Wawancara dengan Bapak Faisol S,H sebagai Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus di Kejaksaan Negeri Muara Enim. Tanggal 02 juni 2013, pukul 15:00 di Kantor Kejaksaan Negeri Muara Enim.
(6)
Wawancara dengan Bapak Haries Suharman Lubis, S,H sebagai Hakim Pratama Madya di Pengadilan Negeri Muara Enim. Tanggal 03 juni 2013, pukul 11:00 di Kantor Pengadilan Negeri Muara Enim.
Sumber Internet http://www.artikata.com http://www.hukumonline.com
http://www.ricardosiregar.com/permasalahan-mengenai-pidana-mati-di-indonesia/
http://arsam8.blogspot.com/2012/05/recidive-pidana-pengulangan-tindak.html http://wordpress.com
http://wikipidia.com.
Peraturan perundang-undangan
Undang-Undang No 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Korupsi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)