Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian Dan Sanksi Dalam UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001)

(1)

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA (PENAL POLICY)

DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA

KORUPSI (TINJAUAN ANALISIS TERHADAP

PEMBEBANAN PEMBUKTIAN DAN SANKSI DALAM

UU NO. 31 TAHUN 1999 JO UU NO. 20 TAHUN 2001)

TESIS

Oleh

IFRANSKO PASARIBU

057005009/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2007


(2)

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA (PENAL POLICY)

DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA

KORUPSI (TINJAUAN ANALISIS TERHADAP

PEMBEBANAN PEMBUKTIAN DAN SANKSI DALAM

UU No. 31 TAHUN 1999 Jo UU No. 20 TAHUN 2001)

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora Dalam Program

Studi Ilmu Hukum Pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

IFRANSKO PASARIBU

057005009/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2007


(3)

Judul Tesis

:

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA (PENAL

POLICY) DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI (TINJAUAN ANALISIS TERHADAP SISTEM PEMBEBANAN PEMBUKTIAN DAN SANKSI DALAM

UU No. 31 TAHUN 1999 Jo UU No. 20 TAHUN 2001)

Nama Mahasiswa

: Ifransko Pasaribu

Nomor Pokok

: 057005009

Program Studi

: Ilmu Hukum

Menyetujui: Komisi Pembimbing

(Prof. Muhammad Daud, SH) Ketua

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Chainur Arrasjid, SH)

Anggota Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa. B.MSc)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal 20 September 2007

PANITIA UJIAN TESIS

Ketua : 1. Prof. Muhammad Daud, SH

Anggota : 2. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH 3. Prof. Chainur Arrasjid, SH

4. Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, MHum 5. Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM


(5)

ABSTRAK

Tindak pidana korupsi semakin merajalela terjadi yang disertai dengan tidak adanya lagi rasa malu untuk melakukan perbuatan tersebut dikalangan pegawai negeri dan penyelenggara negara, serta semakin tersistematis dan canggihnya perbuatan tersebut dilakukan akhirnya memunculkan pandangan bahwa peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur mengenai tindak pidana korupsi ini, yaitu UU No.31 Tahun 1999 Jo UU No.20 Tahun 2001 diyakini tidak lagi mampu dan efektif untuk diberlakukan. Ketidakmampuan dan ketidak efektifan dari undang-undang tersebut khususnya dalam hal pembebanan pembuktian dan sanksi yang diterapkan.

Penelitian pada tesis ini adalah penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif analitis, dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara penelaahan terhadap bahan-bahan hukum yang bersumber dari data primer, dengan teknik pengumpulan data melalui studi dokumen, dengan penelusuran kepustakaan. Bahan-bahan hukum yang diperoleh dari penelusuran kepustakaan dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif.

Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa sistem pembebanan pembuktian yang dianut oleh undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi ini tidak mampu menjawab dan menanggulangi permasalahan pokok yang dihadapi. Dimana permasalahan utama yang dihadapi adalah penyidik dan penuntut umum sangat sulit untuk membuktikan dan mengungkap hal-hal yang menyangkut perkara pokok. Di satu sisi untuk dapat menghukum orang yang didakwakan melakukan tindak pidana korupsi adalah jika perkara pokok benar-benar terbukti. Artinya sistem pembebanan pembuktian yang menganut unsur-unsur dari pengertian pembuktian terbalik yang terdapat dalam pasal 12 B ayat 1 huruf (a) dan (b), pasal 37, pasal 37 A, serta pasal 38 B UU No.20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No.31 Tahun 1999, hanya sebagai bukti pendukung bila perkara pokok telah terbukti.

Kebijakan hukum pidana dalam hal perumusan sanksi sebagai mana yang terdapat dalam UU No.31 Tahun 1999 Jo UU No.20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi diyakini belum mendukung tujuan dari pembentukan UU ini. Adapun pasal-pasal yang menyangkut rumusan sanksi yang diyakini belum mendukung yakni pasal 2 ayat 1 UU No.31 Tahun 1999, yang mengatur mengenai pidana seumur hidup sebagai ancaman hukuman maksimum terhadap tindak pidana yang bersifat umum. Selanjutnya adalah pasal 3 UU No.31 Tahun 1999 yang hanya mengancam hukuman penjara paling singkat 1 tahun terhadap pegawai negeri dan penyelenggara negara yang melakukan tindak pidana korupsi.


(6)

ABSTRACT

Corruption is a crime that conducted in anywhere and anytime without a shy on the crime among the civil servant and government official and will be systematic and advanced. There is opinion that the act regulate the corruption, i.e Act No. 31 Of 1999 Jo Act No. 20 Of 2001 can not implemented effectively and efficiently specially ni the review on evidences and witnesses.

The study on this thesis is a normative law an analysis descriptive study by normative juridical approach, i.e a study by a review on any law subjects matters from the primary date by the date collecting method is document study in a library study. The law subject matters from the library research are analyzed by qualitative analysis method.

Based on the results of study, it is indicated that the with of evidences system applied by Act of eradication of corruption can not handle and eliminate any main problem in the eradication of corruption. In which the main problem is the difficult for investigator and general prosecutor to proof and investigate the main case. In one hand, to punish a suspected for a corruption if the main case have be proved. It means the evidences system that contain the elements of the reverse evidences in article 12 B paragraph 1 point (a) (b), article 37, article 37 A, and article 38 B of Act No. 20 Of 2001 concerning to the revision on Act No. 31 Of 1999 only as support evidences if the main case have been proved.

The penal policy in the sanction formulation in Act No. 31 Of 1999 Jo Act No. 20 Of 2001 concerning to eradication of corruption has not yet support the objective of this Act. The articles related to the formulation of the sanction that has not yet support i.e article 2 paragraph (1) of Act No. 31 Of 1999 that related to the life sentences as maximum sentences on the general corruption. And then article 3 on Act No. 31 Of 1999 that only determine a sanction as prison not less than 1 year on the civil servant and government official who do corruption.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah begitu banyak melimpahkan karunia dan berkahNya kepada kita semua, terutama sekali kepada penulis walaupun begitu besar cobaan dan rintangan yang penulis alami dalam penyusunan tesis ini, namun dengan kasih karunia yang dari padaNya dan dorongan dari semua pihak, akhirnya penulis berhasil menyelesaikan tesis ini, yang penulis beri judul “Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Analisis Terhadap Pembebanan Pembuktian dan Sanksi Dalam UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001).

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam tesis ini, karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan, untuk itu penulis sangat mengharapkan pengarahan dan sumbangan pemikiran dari semua pihak untuk menyempurnakan tesis ini.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Chairuddin P. Lubis DTM&H, SpA (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B.,MSc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Bismar Nasution SH, MH, Selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum sekaligus Pembimbing II Penulis.

4. Prof. Muhammad Daud SH, selaku Pembimbing I Penulis. 5. Prof. Chainur Arrasjid SH, selaku Pembimbing III Pernulis.

6. Prof. Dr. Syafrudin Kalo SH, M.Hum, selaku Dosen Penguji Penulis. 7. Dr. Syafrudin Hasibuan SH, M.H, DFM selaku dosen penguji penulis.

Terima kasih yang tidak terhingga dan kasih sayang penulis persembahkan untuk Ayahanda A. Pasaribu, dan Ibunda SD. Siahaan atas iringan doa dan kasih sayang yang tidak terhingga sehingga studi perguruan tinggi ini dapat penulis


(8)

selesaikan.Kakakku Imerta dan Adik-adikku Ifriyenti, Ikaheleni, dan Ifoando doa dan dorongan kalian merupakan rahmat bagiku dalam menyelesaikan studi dan tugas akhir ini.

Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Nur Siti, Viktor Kenan, Zefri Simamora, Julifer Lolo, Ariffudin Harahap, Sangkot Azhar dan seluruh teman-teman S2 yang telah memberikan dukungan dan semangat hingga selesainya tesis ini.

Tak lupa pula ucapan terima kasih penulis ucapkan buat Amang Boru dan Nam Boru Lala, serta ucapan salut dan terimakasih penulis ucapkan buat ketiga sahabat sejatiku Octo Siregar, Hendri Siagian, dan Eliston Hasugian, sebab dukungan semangat dari kalianlah akhirnya penulis dapat menyelesaikan studi ini.

Akhirnya Penulis mengharapkan tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan penulis ber doa semoga ilmu yang telah diperoleh dapat dipergunakan untuk kepentingan Bangsa dan Agama. Amin…

Medan, 20 September 2007

Penulis,

Ifransko Pasaribu


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP... v

DAFTAR ISI... vi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Keaslian Penelitian... 8

E. Manfaat Penelitian ... 9

F. Kerangka Teoritis... 10

F.1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi ... 10

F.2. Pengertian Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) ... 20

F.3. Pidana (Sanksi) dan Pemidanaan ... 23

F.4. Pembuktian ... 41

G. Metode Penelitian ... 43

G.1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 44

G.2. Metode Pengumpulan Data ... 45


(10)

BAB II. Pembebanan Pembuktian dalam UU No.31 Tahun 1999 Jo.UU

No.20 Tahun 2001... 47

A. Pembebanan Pembuktian ... 47

A.1. Sistem Pembebanan Pembuktian Perkara Korupsi ... 47

A.2. Sistem Pembuktian Terbalik Merupakan Langkah Preventif dan Represif ... 54

A.3. Hal-hal Yang Mengharuskan Sistem Pembebanan Pembuktian Terbalik Harus Diterapkan dalam UU Tindak Pidana Korupsi ... 66

BAB. III. Perumusan Sanksi Dalam UU No. 31 Tahun 1999/UU No. 20 Tahun 2001 ... 86

a. Tujuan Sanksi/Pemidanaan ... 86

b. Jenis-jenis Tindak Pidana Korupsi dan Sanksinya... 90

c. Patokan Sanksi/Pemidanan...103

d. Hukuman Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Sebagai Hukuman Maksimum ...111

BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN ...120


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada tahun 2004 Lembaga Transparency Corupption mengeluarkan sebuah hasil penelitian yang menyebutkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara terkorup di dunia. Menanggapi pernyataan ini negara Indonesia tidak melakukan gregat politik yang menggeliat, tidak ada gerakan massif kebudayaan, tidak juga langkah hukum, yang lantang menyuarakan gegap gempitanya tekad dan aksi yang tertata langkahnya karena sudah dijurang kehancuran karena korupsi yang sistemik dan merata vertikal dan horizontal, dan bahwa pemberantasan korupsi bisa menyelamatkan Indonesia.1

Ternyata korupsi telah menjadi gaya hidup di Indonesia. Banyak orang begitu nikmat dan enjoy melakukan korupsi. Sedemikian banyak manusia yang melakukan korupsi, dari pusat sampai daerah. Koruptor-koruptor ini terutama adalah manusia yang menduduki jabatan strategis dalam berbagai institusi negara dan pemerintahan, dari bawah sampai atas. Korupsi telah menjadi virus ganas di tanah air yang menyebar keberbagai wilayah dengan cepat dan sungguh menakjubkan.

Di mana-mana, orang yang menduduki jabatan strategis pada institusi negara/pemerintahan, berlomba-lomba melakukan korupsi. Secara bangga, gagah berani, dan riang gembira, mereka berpacu menjarah uang negara dan rakyat, tidak

1

Surat Kabar Harian Kompas, 17 Januari 2005, Hal 5.


(12)

ada rasa malu dan bersalah lagi memerankan diri sebagai koruptor yang tentunya sama persis dengan garong dan maling. Di balik pakaian rapi dan trendi, dengan pemikiran yang intelektual, para koruptor di negeri ini sebenarnya adalah garong dan maling kelas kakap, bahkan superkakap. Di negeri ini, korupsi telah dilakukan secara terbuka dan terang-terangan. Kelebihan mereka dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi sepertinya dijadikan modal guna memuluskan perbuatan dan keinginannya dalam mengambil uang negara tersebut.

Himbauan moral, bahkan dengan menyertakan wacana agama dan Tuhan sekalipun, tidak bisa mengubah perilaku para koruptor menjadi jujur dan baik kembali. Para koruptor telah mengidap krisis moral yang sangat parah dan ketumpulan hati nurani yang akut, sehingga faktor agama tidak punya ruang dalam basis kesadaran mereka. Justru agama dijadikan kedok untuk melakukan korupsi. Terbukti, Departemen Agama adalah salah satu institusi pemerintahan yang tingkat korupsinya sangat tinggi, Karena himbauan moral dan gerakan sosial tidak mampu membendung laju korupsi, maka penegakan hukum secara tegas adalah salah satu cara yang paling mungkin untuk dilakukan. Hukum harus memberikan sanksi yang berat kepada para koruptor.

Praktik jual-beli hukum dan perkara, telah menjadi pemandangan yang biasa di negeri ini. Siapa yang kuat (kekuasaan, materi), dialah yang akan menguasai lapangan hukum dan peradilan. Dalam sejarah negeri ini, sebagaimana juga lapangan kehidupan yang lain, institusi hukum dan peradilan telah menjadi ajang korupsi dan kolusi yang kian mengganas, bahkan hingga kini. Jaringan korupsi di negeri ini


(13)

merupakan mafia tingkat tinggi yang sulit dilawan dan diberantas dan telah merusak institusi hukum dan peradilan. Jika dimasa orde baru, korupsi lebih banyak dilakukan dalam lingkaran eksekutif dan kroni-kroninya, maka di era kini (yang katanya “era reformasi”) korupsi telah menyebar dan merata di lembaga legislatif juga judikatif, dari pusat sampai daerah.

Saat ini skala korupsi jauh lebih luas, lebih sistematis, dan lebih canggih. Di era reformasi, korupsi juga dilakukan oleh manusia-manusia “sampah” yang mengatas namakan dirinya “wakil rakyat”. Tentu saja kondisi ini jauh lebih parah dibanding zaman orde baru. Di era reformasi inilah justru terjadi megakorupsi (korupsi maha luas dan maha besar). Korupsi dinegeri ini merupakan lingkaran setan yang sulit ditebas, karena jaringan korupsi telah sedemikian luas dan dalam, serta antara para koruptor yang satu dengan koruptor lainnya saling membantu, bekerja sama, dan saling melindungi. Para koruptor saling melindungi, karena korupsi ibarat fenomena “bola salju”, jika satu atau sekelompok orang terbongkar, maka kelompok-kelompok lain yang bahkan jauh lebih besar, akan terbongkar pula.

Di era reformasi ini juga dengan segera perundangan yang khusus mengatur tentang tindak pidana korupsi dibentuk. Dimana secara praktis dapat terlihat tujuan utama pembentukannya diarahkan untuk mampu mengembalikan dan menutupi kerugian uang negara yang terjadi pada waktu itu. Lahirnya Undang-Undang No 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dibarengi dengan di undangkannya Undang-Undang No 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, jelas bertujuan untuk sesegera


(14)

mungkin mampu menanggulangi dan memberantas semakin maraknya tindak pidana korupsi yang terjadi serta tidak lupa tujuan utama lainnya yaitu se efisien dan se efektif mungkin dapat mengurangi dan mengembalikan kerugian keuangan negara yang ditimbulkan perbuatan korupsi tersebut.

Kondisi negara Indonesia dari segi fiskal dan moneter pada kurun waktu pembentukan dan masa akan di undangkannya peraturan perundang-undangan yang menyangkut tentang tindak pidana korupsi tersebut diatas adalah sangat kritis dimana utang luar negeri sangat tinggi jumlahnya, usaha untuk meminta pinjaman luar negeri ini dilakukan bertujuan untuk mengisi kekosongan kas negara yang terjadi pada kurun waktu tersebut.

Akan tetapi kebijakan hukum pidana (penal policy) yang diambil dalam pembentukan dan dalam usaha melahirkan perundangan tindak pidana korupsi sebagai mana tersebut diatas dirasa dan diyakini oleh sebahagian besar kalangan masyarakat pada bangsa ini benar-benar belum mampu menyentuh hakikat dari pembentukan hukum itu sendiri. Salah satu ketidak jelasan dan ketidak tegasan tersebut dapat dilihat pada pengaturan mengenai pembebanan pembuktian dan sanksi hukuman yang dirasa kurang berat dan setimpal dengan dampak yang ditimbulkan dari perbuatan korupsi tersebut.

Sulit untuk dapat menyangkal bahwa korupsi sudah menjadi kultur dan kebudayaan, telah menjadi peradaban yang mendarah daging di tubuh bangsa ini, serta telah menjadi gaya hidup. Dalam fenomena korupsi dan ketimpangan


(15)

sosial-politik lainnya, manusia Indonesia adalah sosok yang berwatak hipokrit, tamak, korup, tidak jujur, tidak sportif, dan semacamnya.

Di Indonesia yang terjadi adalah para pejabat-pejabat tetap bertahan dan mencoba mencari pembenaran atas tindakannya. Sementara tindakan-tindakan pejabat ini jelas-jelas merupakan upaya menyalah gunakan wewenang, jabatan, dan kekuasaan. Jangankan mundur dari jabatannya secara sadar dan sportif, para pejabat negara, elit politik, pengusa negeri ini serta aparatur penyelenggara negara lainnya justru bergandengan tangan untuk menghempang dan menyerang orang-orang yang ingin menjadikan negara ini bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Wujud nyata dari semua perbuatan para pejabat serta aparat negara yang enggan memberangus perbuatan korupsi tersebut ialah dihasilkannya peraturan-peraturan tentang pemberantasan korupsi yang setengah hati dan tanpa ketegasan menyangkut sanksi maupun hal yang esensial lainnya.

Makin disadari oleh masyarakat luas bahwa korupsi merupakan masalah besar pada bangsa ini yang harus segera diatasi se efekktif mungkin. Sebab korupsi telah menimbulkan kemiskinan yang meluas, pengangguran terus menumpuk, utang negara kian membubung, layanan publik buruk, pembangunan terhambat, penyalahgunaan wewenang merajalela, pencuriaan uang rakyat secara besar-besaran dan lemahnya penegakan hukum.

Bangunan logika diatas yang mendorong praktek korupsi layak, bahkan wajib, digolongkan dalam tindak kejahatan luar biasa (ekstra ordinary crime).


(16)

Kategorisasi ini tidak lepas dari faktor kuatnya ekses atau akibat dari pencurian uang rakyat yang begitu masif tersebut, dan tidak cuma ekses yang muncul pada masyarakat saja yang membuktikan bahwa korupsi merupakan jenis kejahatan luar biasa, faktor dan alasan lain yang mendukung pernyataan tersebut yakni bahwa modus operandi dan para pelaku korupsi tersebut notabene merupakan orang-orang yang berintelektual, dan dengan keintelektualannya tersebut para koruptor berusaha memuluskan perbutannya.

Bagi negara-negara industri maju, korupsi sudah dianggap sebagai penyakit dunia yang harus dikepung, dicegah dan diberantas oleh semua negara dan warga dunia. Dengan pemahaman tersebutlah maka diadakan konvensi perserikatan bangsa-bangsa tentang Anti Korupsi (KAK) pada tahun 2004 di Merida (Meksiko).2 Dari konvensi tersebut maka dihasilkanlah kesepakatan-kesepakatan yang akhirnya ditandatangani secara bersama-sama oleh negara peserta yang hadir termasuk Indonesia.

Pelaksanaan asas KAK sangat tergantung kemauan politik pemerintah dari negara peserta. Dalam pelaksanaan asas-asas KAK di Indonesia, yang perlu dilakukan adalah pertama, melakukan proses penyesuaian peraturan perundangan yang ada, dan kedua, melakukan pembentukan peraturan perundangan yang baru untuk mendukung asas-asas yang terkandung dalam KAK yang belum tertampung dalam peraturan perundangan yang ada. Salah satu bagian terpenting dari KAK

2

Bismar Nasution, “Mencegah Korupsi dengan Keterbukaan”, (Forum No.36, 9 Januari 2005), Hal 68- 69


(17)

adalah satu pesan yang jelas bahwa tugas pokok pemerintah adalah: (i) melakukan pembentukan strategi pencegahan dan pemberantasan korupsi yang dituangkan dalam peraturan perundangan yang tegas dan efektif, (ii) melakukan proses pemantauannya secara berkesinambungan, dan (iii) melaksanakan penegakan hukum yang terkait dengan penyelesaian perkara-perkara korupsi, sedangkan tugas lainnya didistribusikan kepada peran lembaga yudikatif, parlemen dan masyarakat sipil termasuk lembaga swadaya masyarakat.3

Di lain pihak, jika hukum (substansi serta aparat penegak hukum) bisa berlaku efektif tentunya pencegahan dan pemberantasan terhadap para koruptor tersebut dapat segera direalisasikan, sehingga uang negara yang dikorupsi para koruptor tersebut.4 dapat kembali kepada negara, maka bisa jadi bangsa ini tidak terpuruk, terutama dari segi ekonomi.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan Uraian latar belakang masalah di atas, maka setelah memilih mana yang perlu diteliti dan yang tidak, maka dapat dirumuskan masalah yang berhubungan dengan kebijakan hukum pidana (penal policy) dalam menanggulangi Tindak Pidana Korupsi adalah sebagai berikut:

3

Barda Nawawi Arif, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Penerbit Alumni, 2003), Hal

4


(18)

1. Bagaimana Perumusan Pembebanan Pembuktian dalam Undang-Undang No 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi?

2. Bagaimana Perumusan Sanksi dalam Undang-Undang No 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui sejauh mana kebijakan hukum pidana (Penal Policy) menyangkut Pembuktian dalam UU No.31 Tahun 1999 Jo UU No.20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah mendukung penanggulangan tindak pidana korupsi.

2. Untuk mengetahui sejauh mana kebijakan hukum pidana (Penal Policy) menyangkut sanksi dalam UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah mendukung penanggulangan tindak pidana korupsi.

D. Keaslian Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah dan hasil-hasil penelitian yang ada pada perpustakaan Universitas Sumatera Utara (USU), penelitian mengenai kebijakan


(19)

hukum pidana (penal policy) dalam penanggulangan tindak pidana korupsi ini belum pernah ada dilakukan dalam topik dan permasalahan-permasalahan yang sama

Jadi penelitian ini merupakan hal yang baru dan dapat disebut “asli”, karena sesuai dengan asas-asas keilmuan, yang jujur, rasional, objektif dan terbuka, sehingga penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka untuk dikritisi yang sifatnya konstruktif sehubungan dengan topik dan permasalahan dalam penelitian ini.

E. Manfaat Penelitian

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan, khususnya kebijakan hukum pidana (penal policy) dalam penanggulangan tindak pidana korupsi di Indonesia. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan perangkat peraturan perundangan tentang tindak pidana korupsi di Indonesia.

Secara praktis, penelitian ini ditujukan kepada kalangan aparat penegak hukum, penyelenggara negara dan masyarakat. Dengan pemahaman yang lebih luas tentang kebijakan hukum pidana (penal policy) dalam pemberantasan korupsi diharapkan penyelenggaraan negara dapat bersih dan bebas dari korupsi dimasa kini dan yang akan datang.


(20)

F. Kerangka Teoritis

F.I. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Istilah Delik pidana atau Strafbarfeit berasal dari bahasa Belanda dan bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia mempunyai arti sebagai tindak pidana. Untuk terjemahan itu dalam bahasa Indonesia, istilah tindak pidana mempunyai ragam pengertian dan istilah, antara lain perbuatan yang dapat dihukum, perbuatan yang boleh dihukum, peristiwa pidana, pelanggaran pidana, perbuatan pidana. Perumusan tindak pidana, ialah perbuatan yang dilarang oleh undang-undang yang diancam dengan hukuman. Tindak pidana, memuat unsur-unsur: Suatu perbuatan manusia, Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang, dan perbuatan tersebut harus dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggung jawabkan, artinya dapat dipersalahkan karena melakukan perbuatan itu.

Korupsi berasal dari kata Corruptio atau Corruptus yang berarti kerusakan. Menurut Kamus Istilah Hukum Latin Indonesia Corruptio berarti penyogokan.5 Korupsi secara harafiah berarti jahat atau busuk,6 sedangkan A.I.N. Kramer ST. menerjemahkannya sebagai busuk, rusak atau dapat disuap.7 Oleh karena itu, tindak pidana korupsi berarti suatu delik akibat perbuatan buruk, busuk, jahat, rusak atau suap.

5

S. Adiwinata, Kamus Istilah Hukum Latin Indonesia, (Jakarta: P.T. Intermasa, Cetakan I1997), Hal 30

6

Jhon M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama,1997), Hal 149

7

A.I.N. Kramer ST, Kamus Kantong Inggris-Indonesia, (Jakrta: P.T. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), Hal 62


(21)

Gurnar Myrdal menyebutkan “to include not only all forms of improper or selfish exercise of power and influence attached to a public office or the special position one accupies in the public life but also the activity of the bribers”. Korupsi tersebut meliputi kegiatan-kegiatan yang tidak patut yang berkaitan dengan kekuasaan, aktivitas-aktivitas pemerintah atau usaha-usaha tertentu untuk memperoleh kedudukan secara tidak patut serta kegiatan lainnya seperti penyogokan).8 Sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia, korupsi ialah penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.9

Di Malaysia juga terdapat peraturan anti korupsi. Menurut Andi Hamzah disana tidak digunakan kata korupsi tetapi memakai istilah peraturan anti kekuasaan. Selain itu sering pula dipakai istilah resuah yang artinya sama dengan korupsi.10 Lebih lanjut menurut Andi Hamzah, arti harfiah dari kata korupsi ialah, kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.11

Korupsi adalah tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri), atau melanggar aturan-aturan

8

Gurnar Myrdal, (New York, Pantheon: Asia Drama Volume II, 1968), Hal 973

9

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta: Balai Pustaka, 1999), Hal 527

10

Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, (Jakarta: PT. Gramedia, 1984), Hal 19

11


(22)

pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi.12 Baharuddin Lopa dan Mohamad Yamin mengatakan pengertian korupsi adalah suatu tindak pidana yang berhubungan dengan perbuatan penyuapan dan manipulasi serta perbuatan-perbuatan lain yang merugikan atau dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, merugikan kesejahteraan dan kepentingan rakyat.13

Menurut Undang-undang No.3 Tahun 1971, pengertian korupsi tercantum di dalam pasal 1 yang berbunyi:

Dihukum karena tindak pidana korupsi, ialah:

1.a. barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan hukum yang secara langsung dapat merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

b. barang siapa dengan bertujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan hukum, menyalahgunakan wewenang, kesempatan-kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara

c. barang siapa melakukan kejahatan yang tercantum dalam pasal-pasal 209, 210, 387, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan 435 KUHP

12

Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998), Hal 31

13

Mohamad Yamin dan Baharuddin Lopa, Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana


(23)

d. barang siapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti dimaksud dalam pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau suatu wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya atau oleh si pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatannya atau kedudukan itu

e. barang siapa tanpa alasan yang wajar, dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya seperti tersebut pada pasal-pasal 418, 419, dan 420 KUHP, tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada pihak yang berwajib.

2. barang siapa melakukan percobaan atau pemufakatan untuk melakukan tindakan-tindakan pidana tersebut dalam ayat (1) a,b,c,d,e, pasal ini.14

Menurut Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka yang dimaksud dengan tindak pidana korupsi adalah suatu perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh orang perorangan dan atau korporasi yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri dan atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.15

14

Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

15


(24)

E. Ciri-ciri Khusus Tindak Pidana Korupsi

Korupsi dimanapun dan kapanpun akan selalu memiliki ciri khas. Ciri tersebut bisa bermacam-macam. Beberapa diantaranya antara lain sebagai berikut16:

1) Dalam Proyek pengadaan barang dan jasa. Proyek pengadaan barang dan jasa merupakan lahan yang sangat empuk untuk melakukan korupsi, karena biasanya mark up harga sangat mudah dilakukan dan sudah menjadi kebiasaan menaikkan harga beberapa kali lipat dari harga di pasaran;

2) Pelaku tindak pidana korupsi pada umumnya tingkat pendidikan nya relatif tinggi. Oleh karena itu pelaku secara dini mampu menyembunyikan atau menutupi perbuatannya, serta menghilangkan barang bukti yang berkaitan dengan perbuatannya;

3) Perbuatan tindak pidana korupsi pada umumnya dilakukan oleh beberapa orang, baik secara bersama-sama maupun melalui perantaraan staf atau bawahan;

4) Perkara tindak pidana korupsi pada umumnya berkaitan dengan jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara;

5) Perkara korupsi umumnya terungkap setelah berselang waktu yang relatif lama, akibatnya sulit untuk mendapatkan alat bukti dan barang bukti;

6) Pelaku pada umumnya adalah atasan/pimpinan dari saksi sehingga terkadang dalam persidangan saksi enggan memberikan kesaksian yang sebenarnya, saksi biasanya mengatakan tidak ingat lagi kejadiannya, apakah benar-benar lupa atau

16

Muljatno Sindhudarmoko, (et al), Ekonomi Korupsi, (Jakarta: Penerbit Pustaka Quantum, 2001), Hal 21


(25)

sengaja untuk membantu pelaku sebagai atasannya, bahkan dipersidangan sering kali saksi mencabut keterangannya yang pernah diberikan pada tahap penyidikan, apakah karena sudah dipengaruhi atau mendapat sesuatu imbalan atau bahkan tekanan/ancaman, sehingga mengaburkan alat bukti atau melemahkan pembuktian. Di samping itu, pada saat persidangan saksi berhadapan langsung dengan atasannya, sehingga menimbulkan beban psikologis bagi saksi unutk mengatakan fakta yang sebenarnya di lapangan dalam memberikan keterangan;

7) Alat atau sarana dan prasarana serta modus opernadi yang dipergunakan bersifat canggih, misalnya melalui sarana multi media seperti komputer, internet, dan lain sebagainya;

8) Berbeda dengan tindak pidana umum, yang dirugikan adalah individu, sehingga korbannya cepat melaporkan kasusnya kepada aparat yang berwenang, sedangkan korban tindak pidana korupsi atau pihak yang dirugikan bukan perseorangan, melainkan negara.

F. Faktor-Faktor Penyebab Korupsi

Perkembangan pembangunan khususnya disektor bidang ekonomi dan keuangan telah berjalan dengan cepat, serta banyak menimbulkan perubahan dan peningkatan kesejahteraan yang mengakibatkan terjadinya perubahan tatanan nilai di masyarakat, perubahan tatanan nilai tersebut diantaranya banyaknya sekelompok orang atau individu-individu yang menggunakan dan melakukan tindakan-tindakan penyimpangan berupa manipulasi data dan korupsi. Kebijakan pemerintah dalam meningkatkan eksport, peningkatan investasi melalui penanaman modal, kemudian


(26)

dibidang perbankan merupakan wadah-wadah yang sangat banyak ditemukan terjadinya perbuatan korupsi.

Bahwa mengingat ciri-ciri khusus tindak pidana korupsi yang multi dimensi terkait dengan kompleksitas masalah lainnya, antara lain masalah sikap mental/moral, masalah pola/sikap hidup dan budaya sosial, masalah kebutuhan/tuntutan ekonomi, dan struktur/sistem ekonomi, masalah lingkungan hidup/sosial dan kesenjangan sosial ekonomi, masalah struktur/budaya politik, masalah peluang yang ada didalam mekanisme pembangunan atau kelemahan birokrasi/prosedur administrasi (termasuk sistem pengawasan) dibidang keuangan dan pelayanan publik.17

Faktor-faktor yang berasal dari masa silam dan masih melekat pada masyarakat yang bersangkutan seperti solidaritas kekeluargaan dan kebiasaan saling memberi hadiah dianggap sebagai sebab korupsi yang lain.18 Jadi kausa dan kondisi yang bersifat kriminogen untuk timbulnya korupsi sangatlah luas (multidimensi), yaitu baik dibidang moral, sosial, ekonomi, politik, budaya, kesenjangan sosial ekonomi, kelemahan birokrasi/administrasi, dan lain sebagainya.

Secara singkat korupsi dapat terjadi karena disebabkan beberapa faktor, antara lain:

1) Korupsi dapat terjadi karena faktor kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri. Kwik Kian Gie pernah mengatakan bahwa cikal bakal korupsi adalah

17

Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum

Pidana, (Bandung: PT.Citra Aditya Bhakti, 1998), Hal 72

18

Syeid Hussain Alatas, Korupsi Sifat Sebab dan Fungsi, (Jakarta: Penerbit LP3ES, 1987), Hal 126


(27)

memberi kekuasaan kepada seseorang, tetapi pendapatan yang diberikan padanya hanya cukup untuk hidup satu atau dua minggu, jelas kekuasaannya dijual untuk mempertahankan hidup. Pada umumnya orang menghubungkan tumbuh suburnya korupsi dengan sebab yang paling gampang dihubungkan, misalnya kurangnya gaji, buruknya perekonomian, mental pejabat yang kurang baik, administrasi dan manajemen yang buruk.

2) Korupsi dapat terjadi karena kultur (budaya). Korupsi karena kultur contohnya adalah budaya memberi hadiah sebagai ucapan terima kasih yang akhirnya sudah membudaya pada masyarakat Indonesia, sehingga mengakibatkan semakin suburnya tindak pidana korupsi di Indonesia.

3) Korupsi dapat terjadi karena buruknya manajemen, manajemen yang kurang baik akan menimbulkan kebocoran-kebocoran keuangan yang membawa akibat orang akan mudah melakukan penggelapan keuangan (korupsi).

4) Korupsi juga dapat terjadi karena arus modernisasi, Korupsi lebih banyak dijumpai pada masyarakat/negara yang sedang berkembang. Bukti ini menunjukkan bahwa luas perkembangan korupsi berkaitan dengan modernisasi sosial dan arus ekonomi yang cepat.

Modernisasi yang dapat menyuburkan korupsi, dibagi dalam tiga kategori, yaitu:

a) Modernisasi membawa perubahan-perubahan pada nilai dasar masyarakat;

b) Modernisasi juga ikut mengembangkan korupsi, karena modernisasi membuka sumber kekayaan dan kekayaan baru, hubungan sumber ini dengan kehidupan politik


(28)

yaitu tidak diaturnya norma-norma yang terpenting dalam masyarakat, sedangkan norma-norma baru dalam hal ini belum dapat diterima oleh golongan-golongan yang berpengaruh dalam masyarakat;

c) Modernisasi merangsang korupsi, karena perubahan-perubahan mengakibatkan bidang kegiatan sistem politik menjadi pangkal untuk memperbesar kekuasaan pemerintah dalam melipat gandakan kegiatan-kegiatan yang diatur oleh pemerintah. 5) Korupsi dapat terjadi karena faktor ekonomi

Kondisi ekonomi yang buruk dan tidak stabil menyebabkan timbulnya kejahatan-kejahatan terutama kejahatan-kejahatan-kejahatan-kejahatan terhadap harta benda. Lebih jauh bahwa kondisi ekonomi yang buruk dapat berakibat fatal yaitu sebagai faktor lahirnya kemiskinan global, kemiskinan disini dalam artian suatu faktor yang mempunyai pengaruh kuat dan sering menetralisir pengaruh penting dari pendidikan, akibat yang timbul dari kemiskinan ini banyak orang-orang berpendidikan yang tidak mempunyai moral dan tanggung jawab, sehingga dengan mudahnya melakukan perbuatan-perbuatan kriminal atau delik demi kepentingan pribadi atau kelompoknya. Selain faktor kemiskinan, faktor kesenjangan ekonomi juga menjadi faktor dan sumber terjadinya kejahatan yang dimotivasi oleh ketamakan. Pada masa ini orang melakukan korupsi bukan karena mempertahankan kehidupannya akan tetapi untuk mencukupi kelebihan materi dan kemewahan.

Sebenarnya, penyebab terjadinya korupsi tidak dapat dipungkiri bahwa “kesempatan dan jabatan/kekuasaan” sebagai sumber utama dari korupsi. Semua orang yang mempunyai kedua faktor tersebut cenderung menyalahgunakan jabatan


(29)

dan menggunakan kesempatan untuk memperkaya diri sendiri, dengan asumsi sifat “mumpung isme/aji mumpung”, seperti dikemukakan ilmuwan Inggris, Lord Acton, “Power tends to corrupt, absolut power tends to corrupt absolutely”.19

Salah satu penyebab korupsi ialah lemahnya integritas moral yang turut melemahkan disiplin dari aparatnya. Disamping itu lemahnya sistem juga merupakan salah satu penyebab, tidak dapat disangkal lemahnya mekanisme diberbagai sektor birokrasi dewasa ini, seperti dikeluhkan pengusaha kecil maupun pengusaha asing, karena masih banyaknya mata rantai yang harus mereka lalui untuk memperoleh suatu izin atau fasilitas kredit. Keadaan yang kurang menggembirakan ini menyebabkan suburnya suap menyuap dan pemberian komisi sebagai salah satu bentuk perbuatan korupsi, namun kelemahan sistem tersebut tidak dapat berdiri sendiri. Ia adalah produk dari integritas moral, dan untuk memperbaiki sistem tergantung pada integritas moral, karena yang dapat berfikir perlunya diperbaiki sistem ialah yang bermoral. Orang yang tidak bermoral atau bermoral rendah meskipun tidak mungkin terdorong untuk memperbaiki sistem karena kelemahan sistem itu sendiri diperlukannya untuk melakukan penyelewengan. Pola perbuatan ini sudah menjadi salah satu gejala umum yang sulit diberantas, karena korupsi ini dilakukan dengan rapi. Selain itu umumnya dilakukan oleh kalangan yang berpendidikan tinggi, sehingga pemberantasannya sering menghadapi hambatan.

19

Abdul Fickar Hadjar, Pengadilan Asongan:Realitas Sosial dalam Perspektif Hukum, (Jakarta: CV.Mitra Karya, 2001), Hal 127


(30)

Di samping itu pemusatan kekuasaan, wewenang dan tanggung jawab dalam penyelenggaraan negara serta partisipasi masyarakat yang lemah dalam menjalankan fungsi kontrol merupakan faktor penyebab meningkatnya korupsi di Indonesia. Faktor lain yang sering dianggap sebagai penyebab merebaknya korupsi adalah korupsi dianggap sudah membudaya dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam praktek kehidupan masyarakat sehari-hari.

F.2. Pengertian Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy)

Secara umum, pengertian kebijakan sebagai pengganti dari istilah “policy” atau “beleid” khususnya dimaksudkan dalam arti “wijsbeleid”, menurut Robert R.Mayer dan Ernest Greenwood, dapat dirumuskan sebagai suatu keputusan yang menggariskan cara yang paling efektif dan paling efisiean untuk mencapai tujuan yang ditetapkan secara kolektif.20 David L. Sills menyatakan bahwa pengertian kebijakan (policy) adalah suatu perencanaan atau program mengenai apa yang akan dilakukan dalam menghadapi problema tertentu dan bagaimana cara melakukan atau melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan atau diprogramkan.21

Dalam beberapa tulisan, ada pula yang menterjemahkan “policy” dengan kebijaksanaan, seperti Muhadjir Darwin menterjemahkan “publik policy analysis” karya William N. Dunn dengan “analisa kebijaksanaan publik”.22 Solichin Abbdul

20

Sultan Zanti Arbi, dan Wayan Ardana, Rancangan Penelitian Kebijakan Sosial, (Jakarta: CV.Rajawali Jakarta, 1997), Hal.63, yang terjemahan dari `The Design Of Sosial Policy` tulisan Robert R.Mayer dan Ernest Greenwood.

21

Barda Nawawi Arif, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan

Pidana Penjara, (Semarang: Disertasi, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1994), Hal 63.

22

William N. Dunn, Analisa Kebijaksanaan Publik, Penyadur Muhadjir Darwin (Yogyakarta: PT. Hadindita Graha Widia, 2000), Cet 6, Hal 37.


(31)

Wahab juga menggunakan istilah Kebijaksanaan untuk menterjemahkan istilah

“policy”. Akan tetapi di dalam bukunya yang berjudul “Analisa Kebijaksanaan”,

beliau juga memakai istilah kebijakan untuk menterjemahkan istilah “policy”.23

Menurut Marc Ancel, pengertian penal policy (kebijakan hukum pidana) adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.24

Selanjutnya Barda Nawawi Arif menyatakan bahwa pada hakikatnya masalah kebijakan hukum pidana bukanlah semata-mata pekerjaan teknik perundang-undangan yang dapat dilakukan secara yuridis normatif dan sistematik dogmatik. Di samping pendekatan yuridis faktual juga dapat berupa pendekatan sosiologis, historis dan komperatif, bahkan memerlukan pula pendekatan komprehensip dari berbagai disiplin ilmu sosial lainnya dan pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan pembangunan nasional pada umumnya.25

Barda Nawawi Arief mengemukakan pola hubungan antaral Penal Policy dengan upaya penanggulangan kejahatan, beliau mengemukakan bahwa, pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus digunakan dengan pendekatan integral dan ada

23

Solichin Abdul Wahab, Kebijakan Sosial, Analisis Kebijaksanaan, (Jakarta: Edisi Kedua, PT. Bumi Aksara, 1997), Hal 24.

24

Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002), Hal 23

25


(32)

keseimbangan antara “penal” dan “non penal”. Pencegahan dan pendekatan kejahatan dengan sarana “penal” merupakan “ penal policy” atau “Penal Law Enforcement Policy” yang fungsionalisasi dan atau operasionalisasinya melalui beberapa tahap yaitu :

a) Formulasi (kebijakan legislatif/legislasi) b) Aplikasi (kebijakan yudikatif/yudicial)26 c) Eksekusi (kebijakan eksekutif/administrasi)27

Masih menurut Barda Nawawi Arif, usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan hukum pidana merupakan tindakan penanggulangan kejahatan dengan menggunakan pidana (penal). Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Karena itu sering pula dikatakan bahwa kebijakan hukum pidana juga merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy).28

Usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang (hukum) pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat. Dengan demikian seandainya kebijakan penanggulangan kejahatan

26

Tahap Aplikasi yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari kepolisian sampai pengadilan, yang dapat disebut juga dengan tahap kebijakan yudikatif, lihat Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 1995), Hal 13 - 14

27

Tahap Eksekusi yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana yang dapat disebut juga dengan tahap kebijakan eksekutif atau administrasi, lihat Muladi, Ibid

28


(33)

(politik kriminil) dilakukan dengan menggunakan sarana “penal” (hukum pidana), maka kebijakan hukum pidana (penal policy), khususnya pada tahap formulasi/kebijakan legislasi yang merupakan tugas dari aparat pembuat undang-undang (aparat legislatif), harus memperhatikan dan mengarah pada tercapainya tujuan dari kebijakan sosial berupa “social-welfare” dan “social-defence”.29

F.3.Pidana (Sanksi) dan Pemidanaan 1. Pengertian Pidana (Sanksi)

Didalam kehidupan masyarakat, seseorang atau sekelompok orang akan berhadapan dengan anggapan-anggapan perbuatan yang sedikit banyak mengikat mereka. Anggapan-anggapan itu memberi petunjuk tentang bagaimana seseorang/masyarakat harus berbuat atau tidak berbuat. Anggapan-anggapan itu lazim disebut norma atau kaidah.30

Tiap masyarakat atau golongan menghendaki agar normanya dipatuhi. Kenyataan yang terjadi tidak semua orang bisa dan mau mematuhi norma tersebut, agar norma tersebut dipatuhi, masyarakat atau golongan itu membuat/menerapkan sanksi.31

Sebagian dari norma adalah norma hukum. Norma hukum menjadi aturan apabila norma tersebut berbentuk suatu rumusan tertentu. Salah satu norma hukum

29

Barda Nawawi Arif, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan, Op Cit, Hal 73 dan 74

30

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1991), Hal 13

31


(34)

adalah norma pidana. Norma hukum pidana mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang merupakan tindak pidana dan mengatur tentang sanksi-sanksi yang akan diterima oleh orang yang melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam norma pidana tersebut.

Sanksi dalam hukum pidana yang berupa pidana merupakan sanksi negatif dan hal inilah yang membedakan sanksi hukum pidana dengan sanksi bidang-bidang hukum lain. Istilah pidana sama dengan hukuman dalam arti sempit, yakni penghukuman dalam perkara pidana.

Para sarjana mengemukakan pendapatnya tentang pengertian pidana, diantaranya sebagai berikut:32

1).Sudarto

Yang dimakksud dengan pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.

2).Roeslan Saleh

Pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik.

3). Ted Honderich

Pidana adalah suatu pengenaan yang dijatuhkan oleh penguasa (berupa kerugian atau penderitaan) kepada pelaku tindak pidana. (punishment is an authorities infliction of

penalty something involving deprivation or distress on an offender for on offence)

32

Muhari Agus Santoso, Paradigma Baru Hukum Pidana, (Malang: Averroes Press, 2002), Hal 20


(35)

4).H.L.A. Hart Pidana harus:

a. Mengandung penderitaan atau konsekwensi-konsekwensi lainnya yang tidak menyenangkan;

b. Dikenakan kepada seseorang yang benar-benar atau disangka benar melakukan tindak pidana;

c. Dikenakan berhubungan suatu tindak pidana yang melanggar ketentuan hukum;

d. Dilakukan dengan sengaja oleh orang selain pelaku tindak pidana;

e. Dijatuhkan dan dilaksanakan oleh penguasa sesuai dengan ketentuan suatu sistem hukum yang dilanggar.

5). Alf Ross

Pidana adalah reaksi sosial yang:

a. Terjadi berhubungan dengan adanya pelanggaran terhadap aturan hukum;

b. Dijatuhkan dan dilaksanakan oleh orang-orang yang berkuasa sehubungan dengan tertib hukum yang dilanggar;

c. Mengandung penderitaan atau paling tidak konsekwensi-konsekwensi lain yang tidak menyenangkan;

d. Menyatakan pencelaan terhadap pelanggar.

Dari beberapa definisi diatas dapat disebutkan unsur-unsur atau ciri-ciri yang terkandung dalam pidana yaitu:


(36)

1). Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat tidak menyenangkan;

2). Pidana itu memang diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang)

3). Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.33

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kita, masalah tindakan ini penerapannya hanya dalam batas-batas tertentu saja yang terlebih dahulu harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang terutama terhadap anak-anak seperti yang diatur dalam pasal 45 KUHP dan terhadap orang-orang yang jiwanya tumbuh dengan tidak sempurna atau karena tergangu kejiwaannya (sakit jiwa). Sanksi yang berupa tindakan ini bertujuan untuk perlindungan masyarakat dan pengobatan, perbaikan dan pendidikan. Jadi bukan untuk menambah penderitaan kepada yang bersangkutan, tetapi apabila tindakan itu masih menimbulkan penderitaan, hal tersebut bukanlah tujuan utama dari pengenaan pidana/sanksi tersebut.

Menurut Rose, perbedaan antara “punishment”dengan “treatment” didasarkan pada ada atau tidak nya unsur penderitaan. Herbert L.Packerr berpendapat bahwa perbedaan antara punishment dengan treatment haruslah dilihat dari tujuannya dan seberapa jauh peranan dari perbuatan si pelaku terhadap adanya pidana atau tindakan

33


(37)

perlakuan.34Jadi perbedaan itu bukanlah didasarkan pada derajat ketidak kenaan atau kekejaman.

Menurut Packer, dasar pembenaran dari treatment ialah pandangan bahwa orang yang bersangkutan akan mungkin menjadi baik. Jadi, tujuan utama dari

treatment adalah untuk memberikan keuntungan atau untuk memperbaiki orang yang

bersangkutan. Fokusnya pada tujuan untuk memberikan pertolongan kepadanya bukan pada perbuatannya yang telah lalu atau yang akan datang. Jelas bahwa tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kesejahteraannya. Masih menurut H.L packer, pembenarannya didasarkan pada dua tujuan yaitu untuk mencegah terjadinya kejahatan atau perbuatan yang tidak dikehendaki atau perbuatan yang salah dan untuk mengenakan penderitaan atau pembalasan yang layak kepada sipelanggar.35

Jadi, dalam hal pidana, perbuatan mempunyai hal yang besar dan merupakan syarat yang harus ada, untuk adanya punishment tersebut. Dengan demikian, punishment memperlakukan seseorang karena orang tersebut telah melakukan suatu perbuatan yang salah, dengan tujuan untuk mencegah terulangnya perbuatan itu dan untuk menderitakan sipelaku. Berbeda halnya dengan punishment, treatment tidak memerlukan adanya hubungan dengan perbuatan. Salah satu contoh yang dikemukakan Packer adalah memasukkan seseorang penderita sakit jiwa kerumah sakit jiwa adalah merupakan treatment tetapi bila tindakan itu atas tuntutan keluarganya dengan alasan agar tidak mengganggu tanpa suatu harapan akan menjadi

34

Ibid, Hal 5

35


(38)

baik, tindakan demikian adalah suatu punishment. Mengenai perbedaan pidana dengan tindakan ini, Sudarto mengemukakan bahwa pidana itu adalah pembalasan atas kesalahan sipembuat, sedangkan tindakan semata-mata dilakukan untuk perlindungan masyarakat dan untuk pembinaan atau perawatan sipelaku pidana.36

Secara dogmatis dapat dikatakan bahwa pidana itu ditujukan pada orang yang mampu bertanggung jawab, sebab orang yang mampu bertanggung jawablah yang mempunyai kesalahan. Bagi orang yang tidak mampu bertanggung jawab tidak mempunyai kesalahan, oleh karena itu ia tidak dapat dipidana. Maka alternatif yang lain adalah tindakan. Dilihat secara empiris, memang pidana itu merupakan suatu penderitaan walaupun bukan merupakan suatu keharusan, hal ini disebabkan ada pidana tanpa penderitaan.

Berdasarkan uraian diatas, terlihat adanya perkembangan sanksi dalam hukum pidana, yaitu berupa tindakan, ini berarti bahwa sanksi dalam hukum pidana makin dihumanisasikan terhadap pelaku tindak pidana, sementara pidana khususnya pidana perampasan kemerdekaan menjadi semakin tidak populer dan ketinggalan zaman. Jadi, sanksi yang merupakan tindakan serta rehabilitas narapidana menjadi semakin dianggap penting karena dianggap lebih manusiawi.

2. Aliran-aliran dalam ilmu Hukum Pidana

Tujuan mengupas tentang aliran-aliran ilmu hukum pidana adalah unutuk mencari dan menemukan sistem dan teori hukum pidana yang praktis dan bermanfaat. Secara garis besar, aliran-aliran dalam ilmu hukum pidana dapat dibagi dalam:

36


(39)

a. Aliran Klasik

Aliran klasik ini muncul sebagai reaksi terhadap ancient regime yang menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidaksamaan hukum, ketidakadilan. Aliran ini terutama menghendaki hukum pidana yang tersusun secara sistematis, aliran ini ingin mengobjektifkan hukum pidana dari sifat-sifat pribadi sipelaku.37

Cesare Beccaria, yang merupakan salah satu tokoh aliran klasik, menulis essaya yang terkenal dei deliti edele pene berjudul on crimes and punishment. Menurut Beccaria, prinsip yang terpenting ialah:

a). Bahwa pidana harus ditentukan sebelumnya oleh undang-undang dan bahwa hakim terikat pada undang-undang ini, dan bahwa pidana yang kejam tidak ada gunanya;

b). Hakim tidak boleh menginterpretasikan undang-undang untuk menjaga kezaliman; c). Pembuat undang-undang bertugas menetapkan apa yang diancam dengan pidana dengan bahasa yang dapat dimengerti;

d). Dalam mengadili setiap kejahatan hakim harus menarik kesimpulan dari dua pertimbangan, yang pertama dibentuk oleh undang-undang dengan batas berlakunya, yang kedua adalah pertanyaan apakah perbuatan konkrit yang akan dia adili itu bertentangan dengan undang-undang atau tidak.38

Pada kesempatan lain Beccaria menghendaki agar susunan hukum pidana tetap ada dan tidak berubah-ubah dengan cara hukum pidana harus tertulis seehingga

37

Andi Hamzah dan Siti Rahayu, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1983), Hal 38

38


(40)

perlindungan hukum terhadap individu dapat terlindungi. Dalam hal ini Beccaria mengemukakan tujuan pemidanaan hanyalah untuk menghindari supaya sipenjahat/sipelaku jangan sampai merugikan masyarakat untuk kedua kalinya dan untuk menakuti orang lain supaya jangan melakukan kejahatan seperti itu yang sangat penting adalah akibat yang ditimbulkan oleh rakyat.39

Tokoh lain dari aliran klasik adalah Jeremmy Bentham, ia adalah seorang filsuf Inggris yang diklasifikasikan sebagai penganut Utilitarian Hedonist. Salah satu teorinya yang sangat penting adalah dinamakan felcific calculus. Teori ini menyatakan bahwa manusia adalah makhluk rasional yang akan memilih secara sadar kesenangan dan menghindari kesusahan. Oleh karena itu, suatu pidana harus ditetapkan atau diberikan pada setiap kejahatan sedemikian rupa sehingga kesusahan akan lebih kuat dari pada kesenangan yang ditimbulkan oleh kejahatan. Hal ini merupakan sumber pemikiran yang menyatakan bahwa pidana harus cocok dengan kejahatannya, sebagai mana yang ditegaskan oleh Hide Filsafat mengenai Let the

punishment fit the crime, sebagai seorang pembaharu hukum pidana Bentham

mengemukakan beberapa tujuan dari pidana diantaranya yaitu: a) Mencegah semua pelanggaran;

b) Mencegah pelanggaran yang paling kuat; c) Menekan kejahatan;dan

d) Menekan kerugian/biaya sekecil-kecilnya.40

39

Ibid, Hal 30

40


(41)

Masih menurut Bentham, huku pidana jangan digunakan sebagai sarana pembalasan terhadap penjahat, tetapi harus digunakan untuk mencegah kejahatan. Aliran Klasik berpijak pada tiga tiang berikut:

a) Asas Legalitas, yang menyatakan bahwa tiada tindak pidana tanpa undang-undang dan tiada penuntutan tanpa undang-undang;

b) Asas Kesalahan, yang menyatakan bahwa orang hanya dapat dipidana untuk tindak pidana yang dilakukannya dengan sengaja atau karena kealpaan;

c) Asas Pengimbalan yang sekuler, yang menyatakan bahwa pidana secara konkrit tidak dikenakan dengan maksud untuk mencapai hasil yang bermanfaat.

b. Aliran Modern

Aliran Modern ini lahir pada akhir abad -19 dan yang menjadi pusat perhatiannya adalah usaha-usaha untuk menemukan sebab kejahatan dengan menggunakan metode ilmu alam dan bermaksud untuk langsung mendekati dan mempengaruhi penjahat secara positif sejauh dia masih dapat diperbaiki.

Aliran modern ini dipelopori Lambroso, Ferri, dan Garofalo. Lambroso dalam karyanya uomo delin quente menyampaikan bahwa penjahat adalah manusia yang dilahirkan sebagai penjahat yang karena keturunan tetap tinggal pada tingkat manusia primitif. Menurut pemeriksaan yang dilakukan 2/5 dari penjahat adalah penjahat karena keturunan, sedangkan yang 3/5 lagi faktor lingkungan lah yang memainkan peranan disamping telah ditentukan secara biologis. Lambroso percaya bahwa setiap penjahat mempunyai kebutuhan yang berbeda sehingga merupakan kebodohan.


(42)

3. Tujuan Pemidanaan

Setelah kita membahas pengertian pidana dan aliran dalam hukum pidana maka selanjutnya, akan dibicarakan tujuan pemidanaan. Tujuan pemidanaan dapat dikemukakan dalam dua sudut pandangan, yaitu didasarkan pada tujuan pemidanaan yang tradisional dan tujuan pemidanaan sebagai perlindungan masyarakat.

a. Tujuan Pemidanaan yang Tradisional

Secara tradisional tujuan pemidanaan pada umumnya dibagi dalam tiga kelompok teori, yaitu sebagai berikut:

a). Teori Absolut atau teori Pembalasan

Menurut teori absolut (retributive/ver-gelding theorien), pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana. Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan.41 Dasar pembenaran dari pidana menurut teori absolut ini terletak adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri.

Hugo de Grootius sebagai salah satu penganut teori absolut mengatakan bahwa adalah merupakan kehendak alam barang siapa yang telah melakukan sesuatu yang bersifat jahat, maka sudah layak akan diperlakukan secara jahat pula.42

Penganut teori absolut lainnya ialah Immanuel Kant, Kant mengatakan bahwa dasar pembenaran dari suatu pidana itu terdapat didalam apa yang disebut Kategorischen

Imperative, yakni menghendaki agar setiap perbuatan melawan hukum itu harus

41

Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2003), Hal 12

42


(43)

dibalas. Keharusan menurut keadilan dan menurut hukum tersebut bersifat mutlak, sehingga setiap pengecualian atau setiap pembalasan yang semata-mata didasarkan pada suatu tujuan itu harus di kesampingkan.43

Tuntutan keadilan bersifat absolut ini terlihat dengan jelas dalam pendapat Immanuel Kant didalam bukunya Philosophy of Law sebagaimana dikutip Muladi, beliau mengatakan,

“Pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi sipelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat, tetapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan. Hal ini harus dilakukan karena setiap orang seharusnya menerima ganjaran dari perbuatannya, dan perasaan balas dendam tidak boleh tetap ada pada anggota masyarakat karena apabila demikian mereka semua dipandang sebagai orang yang ikut ambil bagian dalam pelanggaran terhadap keadilan umum.”

Tokoh lain penganut teori absolut ialah Hegel, beliau berpendapat bahwa pidana merupakan keharusan logis sebagai konsekwensi dari adanya kejahatan. Kejahatan adalah pengingkaran terhadap ketertiban umum negara yang merupakan perwujudan dari cita-susila maka pidana merupakan peniadaan atau pengingkaran terhadap pengingkaran (negation der negation).44

43

Ibid, Hal 13

44


(44)

Seorang tokoh lagi yang menganut teori absolut ini ialah Polak, beliau menyatakan bahwa kesamaan antara sesama manusia membawa akibat bahwa kebahagiaan dan penderitaan harus dibagi antara mereka secara nyata. Tiap-tiap kejahatan mengganggu usaha pembagian ini. Penderitaan yang dialami oleh tiap-tiap individu yang menghormati hukum dituangkan menjadi pidana maksimum yang diancamkan terhadap suatu kejahatan. Masih menurut beliau, keuntungan yang semula diperoleh seorang penjahat harus diobjektifkan, karena itulah teorinya disebut “teori yang mengobjektifkan” atau objectiverings theorie.45

Pendapat-pendapat penganut teori absolut ini pada intinya menyatakan bahwa pidana mengandung nilai moral. Cateris Paribus, dunia akan menjadi baik, bila mana nilai-nilai moral dilindungi dengan memberikan penderitaan atas penjahat. Dengan pernyataan ini, pendapat retributif dikategorikan sebagai teori pembalasan.

b. Teori Relatif atau Teori Tujuan

Teori relatif (utilitarian atau doeltheorieen) berusaha mencari dasar pembenaran dari suatu pidana, semata-mata pada suatu tujuan tertentu. Para penganut teori relatif ini tidak melihat pidana itu sebagai pembalasan, dan karena itu, tidak mengakui bahwa pemidanaan itulah yang menjadi tujuan utama, melainkan pemidanaan itu adalah suatu cara untuk mencapai tujuan yang lain dari pemidanaan itu sendiri. Pemidanaan dengan demikian mempunyai tujuan, oleh karena itu teori ini sering juga disebut dengan teori tujuan (utilitarian theory). Jadi, dasar pembenaran

45


(45)

adanya pidana menurut teori tujuan terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan karena orang berbuat jahat melainkan supaya orang jangan melakukan kejahatan.46

Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai dari pemidanaannya, maka teori relatif ini masih dibagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut:

i) Teori Pencegahan Umum

Menurut teori ini, tujuan yang ingin dicapai adalah membuat jera setiap orang agar mereka itu tidak melakukan kejahatan. Dengan perkataan lain, pencegahan kejahatan itu ingin dicapai oleh pidana yang akhirnya dapat mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakat untuk tidak melakukan tindak pidana.

Menurut Andenaes, ada tiga bentuk pengaruh dalam pengertian general

prevention, yaitu:

a) Pengaruh Pencegahan

b) Pengaruh untuk memperkuat larangan-larangan moral

c) Pengaruh untuk mendorong kebiasaan perbuatan patuh pada hukum

Dalam pengertian general prevention tidak hanya tercakup pengaruh pencegahan (deterrent effect) tetapi juga termasuk didalamnya pengaruh moral atau pengaruh yang bersifat pendidikan sosial dari pidana (the moral of social paedagigcal

influence of punishment)

ii) Teori Pencegahan Khusus (bijzondere preventie theorieen)

Para sarjana yang menganut teori ini ialah Grolman, Von List dan Karl O.Christiansen.

46


(46)

Menurut Grolman, tujuan dari pemidanaan adalah untuk melindungi masyarakat, dengan membuat penjahatnya menjadi tidak berbahaya atau dengan membuat penjahatnya itu menjadi jera untuk melakukan sesuatu kejahatan kembali.

Von List mengemukakan bahwa hukum itu gunanya untuk melindungi kepentingan hidup manusia, yang oleh hukum telah diakui sebagai kepentingan-kepentingan hukum dan mempunyai tugas untuk menentukan batas-batas dari kepentingan-kepentingan hukum yang dimiliki oleh orang yang satu dengan orang yang lain. Hukum telah menetapkan norma-norma yang harus ditegakkan oleh negara, dan negara harus menjatuhkan pidana bagi setiap orang yang telah melanggar norma-norma tersebut. Lebih lanjut dikatakan bahwa ancaman pidana itu sifatnya memperingatkan dan mempunyai sifat yang menjerakan, sedangkan pidana itu adalah untuk kepentingan semua warga masyarakat.

Berkenaan dengan teori relatif, Christiansen mengemukakan secara terperinci tentang ciri-ciri pokok atau karakteristik dari teori tersebut sebagai berikut:

1) Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention)

2) Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat

3) Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada sipelaku yang memenuhi syarat untuk adanya pidanya

4) Pidana harus ditetapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat untuk mencegah kejahatan


(47)

6) Pidana dapat mengandung unsur pencelaan, tetapi baik untuk pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.

iii). Teori Gabungan

Sebagai pelopor teori gabungan (vereniging theorieen) adalah Pellegrino Rossi (1787-1884). Menurut pandangan teori gabungan, selain dimaksudkan sebagai upaya pembalasan atau pengimbalan atas perbuatan jahat yang telah dilakukan oleh seseorang, pidana tersebut tidak boleh melampaui suatu pembalasan yang adil. Dengan menyimak pandangan teori gabungan ini terlihat gambaran bahwa teori ini mempunyai kecenderungan yang sama dengan yang dikatakan oleh Muladi sebagai retributivisme teleologis atau aliran integratif. Pandangan ini menganjurkan untuk mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus dan bersifat utilitarian, misalnya pencegahan dan rehabilitasi yang kesemuanya harus dicapai oleh suatu rencana pemidanaan. Pidana dan pemidanaan terdiri dari proses kegiatan terhadap pelaku tindak pidana yang dengan satu cara tertentu diharapkan untuk dapat mengasimilasikan kembali narapidana dalam masyarakat.

b. Tujuan pemidanaan Sebagai Perlindungan Masyarakat

Perbuatan jahat atau tindak pidana merupakan gejala sosial yang perlu ditanggulangi secara serius. Usaha-usaha untuk menanggulangi kejahatan biasa disebut sebagai politik kriminal.


(48)

Politik kriminal adalah usaha yang rasional untuk menanggulangi kejahatan.47 Politik kriminal atau kebijakan penanggulangan kejahatan merupakan bentuk dari kebijakan mengenai perencanaan perlindungan sosial (social defence planning), yang tujuan akhirnya adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.48

Kebijakan penanggulangan kejahatan dapat dilaksanakan dengan sarana hukum pidana (penal) ataupun dengan sarana tidak menggunakan hukum pidana (non penal). Dengan demikian, pelaksanaan politik kriminal dengan sarana hukum pidana (penal) pada akhirnya juga tidak dapat dilepaskan dengan tujuan untuk mewujudkan kebijakan penyelenggaraan perlindungan dan kesejahteraan masyarakat.49

Menurut Ancel, ada dua konsepsi atau interpretasi pokok mengenai social defence (perlindungan masyarakat), yaitu interpretasi tradisional dan interpretasi modern.50

Secara tradisional, pengertian perlindungan masyarakat yaitu “penindasan kejahatan”

(repression of crime). Jadi, menurut penafsiran pertama ini social defence diartikan

sebagai perlindungan masyarakat terhadap kejahatan (the protection of society

againts crime). Oleh karena itu, penindasan kejahatan merupakan “the essential needs of social defence”, sedangkan interpretasi modern tentang perlindungan masyarakat

47

Sudarto, Hukum Pidana, (Semarang: Fakultas Hukum UNDIP, 1975), Hal 38

48

Muladi & Arif Barda Nawawi, Loc Cit, Hal 54-55

49

Ibid, Hal 55

50


(49)

dalam arti pencegahan kejahatan dan pembinaan para pelanggar (the prevention of

crime and the treatment of offenders)

Senada dengan pendapat Ancel tentang makna perlindungan masyarakat dalam penafsiran yang modern, Bassiouni mengemukakan tujuan yang ingin dicapai oleh pidana, yaitu kepentingan-kepentingan sosial yang ingin dilindungi oleh hukum pidana, yaitu:

a) Pemeliharaan tertib masyarakat;

b) Perlindungan warga masyarakat dari kejahatan, kerugian atau bahaya-bahaya yang tidak dapat dibenarkan, yang dilakukan oleh orang lain; c) Memasyarakatkan kembali (resosialisasi) para pelanggar hukum;

d) Memelihara atau mempertahankan integritas pandangan-pandangan dasar tertentu mengenai keadilan sosial, martabat kemanusiaan dan keadilan individu.51

Menurut Arief, tujuan pemidanaan berupa perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahtaraan masyarakat merupakan induk dari keseluruhan pendapat atau teori-teori mengenai tujuan pidana (pemidanaan). Lebih lanjut Arief mengemukakan secara ringkas tujuan pemidanaan yang mengandung dua aspek pokok, yaitu: (1) aspek perlindungan masyarakat terhadap tindak pidana dan (2) aspek perlindungan terhadap individu atau pelaku tindak pidana. Aspek pokok pertama meliputi tujuan-tujuan: mencegah, mengurangi/mengendalikan tindak pidana, dan memulihkan keseimbangan masyarakat yang perwujudannya antara lain: menyelesaikan konflik,

51


(50)

mendatangkan rasa aman, memperbaiki kerugian atau kerusakan yang timbul, memperkuat nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Aspek pokok yang kedua bertujuan memperbaiki sipelaku, seperti: melakukan rehabilitasi dan memasyarakatkan kembali sipelaku, mempengaruhi tingkah laku sipelaku untuk tertib dan patuh pada hukum, melindungi sipelaku dari pengenaan sanksi atau pembalasan yang sewenang-wenang diluar hukum.52

Masih berkaitan dengan tujuan pemidanaan berupa perlindungan dan kesejahteraan masyarakat, Roeslan Saleh mengemukakan ada tiga tujuan yang harus diperhatikan hakim dalam menjatuhkan pidana, yang pertama koreksi, kedua resosialisasi, ketiga pengayoman kehidupan masyarakat.53 Koreksi artinya bahwa terhadap orang yang melanggar suatu norma, pidana yang dijatuhkan itu sebagai peringatan bahwa perbuatan seperti itu tidak boleh berulang lagi. Resosialisasi adalah usaha yang bertujuan untuk menjadikan terpidana dapat hidup dalam masyarakat tanpa melakukan kejahatan lagi ketika ia telah selesai menjalani hukumannya. Dengan demikian tujuan pemidanaan disini adalah pengayoman kehidupan masyarakat berupa pengenaan sanksi/pidana bagi mereka yang melakukan kejahatan.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku saat ini, tidak ditemukan tujuan pemidanaan, tetapi bisa dilihat dari usul rancangan KUHP pada pasal 51 ayat (1) dan (2) yakni:

52

Ibid, Hal 167

53


(51)

(1) Pemidanaan bertujuan untuk:

(1) a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;

(1) b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;

(1) c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia.54

Sehubungan dengan perumusan tujuan pemidanaan dalam konsep Rancangan KUHP tersebut diatas, Sudarto mengatakan, bahwa dalam tujuan pertama tersimpul pandangan perlindungan masyarakat (social defence), sedang dalam tujuan kedua dikandung maksud rehabilitasi dan resosialisasi terpidana. Tujuan ketiga sesuai dengan pandangan hukum adat mengenai “adat reactie”, sedangkan tujuan yang keempat bersifat spritual yang sesuai dengan sila pertama Pancasila.55

F.4. Pembuktian

Yang dimaksud dengan pembuktian adalah suatu usaha atau peristiwa untuk menentukan dan menemukan kebenaran mengenai bersalah tidaknya terdakwa terhadap tindak pidana yang didakwakan padanya.56

54

Panitia Penyusunan RUU KUHP 1991-1992, Naskah Rancangan KUHP (baru), Hal 12

55

Muladi, Jenis-Jenis Pidana Pokok Dalam KUHP Baru, (Jakarta: BPHN, 1986), Hal 4

56

Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana (suatu Pengantar), (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1989), Hal 106


(52)

Untuk membuktikan bersalah tidaknya seorang terdakwa haruslah melalui pemeriksaan di depan sidang pengadilan. Dalam hal pembuktian ini, Hakim perlu memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan terdakwa. Kepentingan masyarakat berarti, bahwa seseorang yang telah melanggar ketentuan pidana, harus mendapat hukuman yang setimpal dengan kesalahannya. Sedangkan kepentingan terdakwa, berarti bahwa terdakwa harus diperlakukan secara adil sedemikian rupa, sehingga tidak ada seorang yang tidak bersalah mendapat hukuman, atau kalau seseorang memang bersalah jangan sampai mendapat hukuman yang terlalu berat dan atau jangan terlalu ringan, tetapi hukuman itu harus seimbang dengan kesalahannya.

Teori tentang pembuktian ada empat (4) macam, yaitu:

(1). Teori Pembuktian Positif, Bahwa bersalah atau tidaknya terdakwa tergantung sepenuhnya kepada sejumlah alat bukti yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Keyakinan hakim menurut teori ini harus dikesampingkan;

(2). Teori Pembuktian Negatif, bahwa hakim hanya boleh menjatuhkan pidana, apabila sedikitnya alat-alat bukti yang telah ditentukan dalam undang-undang ada, ditambah keyakinan hakim yang diperoleh dari adanya alat-alat bukti itu. Terdakwa dapat dipersalahkan melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, apabila alat-alat bukti ada ditambah keyakinan hakim sendiri. Artinya kewajiban atau beban pembuktian awal guna membuktikan bahwa terdakwa bersalah berada pada Jaksa Penuntut Umum, dan jika JPU tidak mampu menghadirkan bukti-bukti yang memberatkan terdakwa, maka hakim berdasarkan pembuktian tersebut dapat menarik keyakinannya yang selanjutnya menjatuhkan putusan, KUHAP menganut teori ini;


(53)

(3). Teori Pembuktian bebas, Bahwa alat-alat bukti dan cara pembuktian tidak ditentukan dalam undang-undang. Teori ini mengakui adanya alat-alat bukti dan cara pembuktian, akan tetapi tidak ditentukan atau tidak diatur dalam undang-undang; (4). Teori Pembuktian berdasarkan keyakinan, bahwa hakim menjatuhkan pidana semata-mata berdasarkan keyakinan pribadinya dan dalam putusan tidak perlu menyebut alasan-alasan putusannya.57

Asas pembuktian yang dianut oleh KUHAP, adalah asas presumption of

innocence (praduga tidak bersalah). Dengan demikian dapat dimaklumi, bahwa

hukum acara pidana Indonesia (KUHAP) menganut teori pembuktian negatif. Hal ini jelas terlihat dari bunyi pasal 183 KUHAP, yang menyatakan bahwa alat-alat bukti yang sah, adalah alat-alat yang ada hubungannya dengan suatu tindak pidana, dimana alat-alat tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian, guna menimbulkan keyakinan bagi hakim, atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.

G. Metode Penelitian

Kata metode berasal dari bahasa yunani “methods” yang berarti jalan dan cara. Sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja, yaitu cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.58

57

Ibid, Hal 110

58

Koentjara Ningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1997),Hal 16


(54)

Penelitian59 dalam bahasa Inggris “research”, yang berawal dari kata “re” yang berarti “kembali” dan “to research” yang berarti “mencari”, pada dasarnya yang dicari itu adalah “pengetahuan yang benar” untuk menjawab pertanyaan dan permasalahan yang didapatkannya lewat kegiatan berfikir dengan menggunakan logika yang ditempuh melalui proses penalaran.

G.1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penyusunan tesis ini adalah yuridis normatif, yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan dalam penelitian melalui pendekatan asas-asas hukum serta mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundangan di Indonesia. Mengambil istilah Ronald Dworkin, Penelitian semacam ini juga disebut dengan peneltian doctrinal (doctrine research) yaitu penelitian yang menganalisis hukum, baik yang tertulis di dalam buku maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan.60

Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analisis yang bertujuan untuk menggambarkan, menginventarisir dan menganalisis teori-teori dan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini. Maka metode penelitian hukum yang digunakan dalam penyusunan penelitian ini dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif.

59

C.F.G. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia pada Abad ke-20,(Bandung: Alumni, 1994), Hal 94

60

Bismar Nasution, “Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum”, Makalah disampaikan pada dialog interktif tentang penelitian hukum dan hasil penulisan hukum pada majalah akreditasi, (Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,18 Februari 2003), Hal 1


(55)

G.2. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi, teori, atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dari peneliti pendahulu yang berhubungan dengan objek telaahan penelitian ini yang dapat berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya.

Dari sudut informasi, maka penelitian kepustakaan dapat dibagi atas tiga kelompok,61 yaitu:

a. Bahan hukum primer, yaitu UU No.31 Tahun 1999 Jo UU No.20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No.30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, UU No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang bebas dari kolusi, Korupsi, dan Nepotisme.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya, bahkan dokumen pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum sepanjang relevan dengan objek penelitian ini.62

61

Alvi Syahrin, Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan

Pemukiman Berkelanjutan, (Medan: Pustaka Bangsa Press 2003), Hal 17

62

Ronny Haitijo Soemitro, Metodologi Penemuan Hukum, (Jakarta: Ghalian Indonesia, 1982), Hal 24


(56)

c. bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus, majalah dan jurnal ilmiah.63

G.3. Analisis Data

Dalam analisis data akan dilakukan penelaahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kebijakan hukum pidana (penal policy) dalam penanggulangan tindak pidana korupsi. Data yang berupa penelitian tersebut akan dianalisis secara deduktif agar sampai pada suatu kesimpulan akhir yang akan menjawab semua pokok permasalahan dalam penelitian ini.64

63

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, (Raja Grafindo Persada, 1995), Hal 13

64

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), Hal 196


(57)

BAB II

PEMBEBANAN PEMBUKTIAN DALAM UU NO.31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Pembebanan Pembuktian

A.1. Sistem Pembebanan Pembuktian Perkara Korupsi

Pembuktian sebagai suatu kegiatan adalah usaha untuk membuktikan seseuatu (objek yang dibuktikan) melalui alat-alat bukti yang boleh dipergunakan dengan cara-cara tertentu pula untuk menyatakan apa yang dibuktikan itu benar-benar terbukti menunjukkan kesalahan atau tidak.

Sistem pembuktian mengacu pada ketentuan tentang standar-standar dalam hal membuktikan sesuatu in casu kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana melakukan tindak pidana yang didakwakan. Seperti dalam sistem negatif menurut undang-undang yang terbatas (negatief wettelijk) dalam pasal 183 KUHAP, standar bukti untuk menyatakan terbuktinya kesalahan terdakwa, ialah :

(1). Harus ada atau berdasarkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah;

(2). Dari dua alat bukti itu hakim memperoleh keyakinan terjadinya tindak pidana dan terdakwa bersalah melakukannya.

Sedangkan sistem pembebenan pembuktian mengacu pada pihak mana yang dibebani kewajiban membuktikan dan hal apa yang harus dibuktikan, juga mengenai standar pengukur untuk menemukan terbukti tidaknya pembuktian.


(1)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Dari uraian sebagaimana yang telah disebutkan diatas, maka penulis mengambil kesimpulan:

1. Penerapan pembuktian terbalik terhadap pelaku tindak pidana korupsi sudah seharusnya dirumuskan dalam UU tindak pidana korupsi. Alasannya karena pembebanan pembuktian yang sekarang dianut dalam UU ini sangat tidak mendukung dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, sebab jaksa penuntut umum dirasakan sangat kesulitan dalam membuktikan tentang telah terjadinya perbuatan tindak pidana korupsi. Kesulitan tersebut terjadi karena modus yang dilakukan oleh pelaku-pelaku tindak pidana korupsi sangat ter sistematis dan canggih, kecanggihan yang dimaksud dalam hal ini ialah perbuatan tersebut dilakukan dengan menggunakan teknologi canggih seperti layanan internet dan lain sebagainya.

2. Alasan mengapa hukuman mati harus dianut dalam UU ini karena sanksi yang berat dirasakan masih sangat tepat diterapkan sebagai langkah pencegahan dalam menanggulangi dan meminimalisir terjadinya tindak pidana korupsi dalam penyelenggaraan negara. Mengingat tingkat pengetahuan dan kedekatan para pelaku tindak pidana korupsi dengan arus informasi dan teknologi, haruslah


(2)

diimbangi dengan langkah preventif yang ekstrim. Artinya kewenangan, kekuasaan, pengetahuan dan pemahaman mereka dengan banyak hal, haruslah diredam dan diantisipasi dengan tindakan yang tegas, ketegasan yang dimaksud adalah dengan memberikan ancaman pidana mati bagi setiap kejahatan yang menyangkut penyalahgunaan kewenangan, kekuasaan, pengetahuannya. Dimana kelebihan yang ada padanya seyogyanya ditujukan untuk membantu dan menolong masyarakatnya.

B. Saran

1. Pembebanan pembuktian terbalik harus diterapkan hanya didalam proses persidangan, hal ini dilakukan guna menghindari pemerasan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum pada tingkat penyelidikan dan penyidikan, sebab tingkat pemeriksaan dipengadilan terbuka untuk umum, sedangkan tingkat penyelidikan dan penuntutan tidak terbuka untuk umum.

2 Penerapan sanksi pidana mati tidak ditujukan sebagai upaya balas dendam melainkan diarahkan sebagai upaya preventif. Sehingga tujuan dan cita-cita dari berdirinya negara Idonesia benar-benar dapat terwujud.


(3)

DAFTAR PUSTAKA Buku-Buku

Abidin A.Zainal, et.al. Hukum Pidana Makasar: Taufik, 1962

Agus Muhari Santoso, Paradigma Baru Hukum Pidana, Malang: Averroes Press, 2002

Alatas, Syed Hussain, Korupsi Sifat, Sebab dan Fungsi, Jakarta: Penerbit LP3ES, 1987

Arif, Barda Nawawi, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan

Hukum Pidana, Bandung: P.T. Citra Aditya Bhakti, 1998

_____,Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana

Penjara, Disertasi, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro,

1994

_______, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: PT. Citra Aditya, 2003 Chazawi Adami, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Bandung: Penerbit PT.

Alumni, 2006

Dunn, N William, Analisa Kebijaksanaan Publik, Penyadur Muhadjir Darwin,

Yogyakarta: PT. Hadindita Graha Widia, 2000

Hadjar Abdul Fickar, Pengadilan Asongan:Realitas Sosial dalam Perspektif Hukum, Jakarta: CV.Mitra Karya, 2001

Hamzah, Andi, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, Jakarta: PT. Gramedia, 1984

Hamzah Andi dan A.Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lain, Kini dan

di Masa Depan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985

Haitijo, Ronny, Soemitro, Metodologi Penemuan Hukum, Jakarta: Ghalian Indonesia, 1988)

Hartono, Sunaryati C.F.G, Penelitian Hukum di Indonesia pada Abad ke-20, Bandung: Alumni, 1994


(4)

Klitgaard, Robert, Membasmi Korupsi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998 Mertokusumo Sudikno, Mengenal Hukum, Yogyakarta: Liberty,199)

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 1995)

Myrdal, Gurnar, Asia Drama Volume II New York: Pantheon, 1968

Ningrat, Koentjara, metode-metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1997 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan

Singkat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995

Solichin Abdul Wahab, Kebijakan Sosial, Analisis Kebijaksanaan, Edisi Kedua,

Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1997

Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998

Syahrin, Alvi, Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan

Pemukiman Berkelanjutan, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003

Yamin, Mohamad, dan Baharuddin Lopa, Undang-undang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi (UU No.3 Tahun 1971), Bandung: Penerbit Alumni, 1987 Makalah

Nasution Bismar, “Mencegah Korupsi dengan Keterbukaan”, Forum No.36, 2005 Nasution Bismar, “Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum”, Makalah disampaikan pada dialog interktif tentang penelitian hukum dan hasil penulisan hukum pada majalah akreditasi, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 18 Februari 2003

Raida L.Tobing, “Perkembangan Kejahatan Kerah Putih Sebagai Akibat Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)”, Majalah Hukum, 2002

Surat Kabar Harian Kompas, 17 Januari 2005 UNAFEI, Nikiforov dimuka peserta kursus, 1965

UNAFEI, United Nations, “Summary Report”, Resource Material Series No 7, 1974


(5)

Sumber Internet:

Syahruddin Husein, “Pidana Mati Menurut Hukum Pidana Indonesia”.

http://www.usulibrary.com, 26 Mei, 2005 AA Oka Mahendra, “Pemberantasan Korupsi di Indonesia”.

http://www.kimpraswil.go.id, 02 Februari 2006 Mansur Kartayasa, UU Pemberantasan TP Korupsi dan Prospeknya. http://www.said – okezone.or.id,

“Maju Mundur Revisi UU Pemberantasan Korupsi” http:www.sindo.go.id.

Moh Din SH MH, “Qanun Anti Korupsi, PengaturanYang Bagaimana” http//www.qanun-antikorupsi. Co.id

Romli Atmasasmita

http://www.portalhukum.com

Fauziah Rasad, “Pemberantasan Korupsi Bermula dan Berakhir Berdasar Legalitas”. http://www.transparansi.or.id,Agustus, 2006

Tri Agung Kristanto, “Pembuktian Terbalik: Perpu atau Amandemen UU 31/1999”. http://www.kompas.com

Komisi Hukum Nasional, “Pembuktian Terbalik dalam RUU KUHP”. http://www.komisihukum.go.id, April, 2007

Hariyanto Kurniawan, “Sistem Pembuktian Terbalik Dapat Dijadikan UU”,. http://www.okezone.com, Senin, 09 April, 2007 Achmad Ali, ”Ambisi Untuk Memberantas Korupsi”

http://www.pu.go.id,

Kamus/Peraturan Perundang-undangan

A.I.N. Kramer ST, “Kamus Kantong Inggris-Indonesia”, (Jakarta: P.T. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997)


(6)

Echols, Jhon M, dan Hassan Shadil, “Kamus Inggris-Indonesia”, (Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama, 1997)

S. Adiwinata, “Kamus Istilah Hukum Latin Indonesia”, Jakarta: P.T. Intermasa, Cetakan I, 1997

Soerjono Soekanto, Pudji Santoso,” Kamus Kriminologi”, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, Jakarta: Balai Pustaka, 1999

UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi

UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi