Analisis Yuridis Terhadap Undang-Undang No. 20 tahun 2001 (Tentang Pembalikan Beban Pembuktian Dalam Kerangka Optimalisasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi)

(1)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP UNDANG-UNDANG NO. 20 TAHUN 2001

(TENTANG PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN DALAM KERANGKA OPTIMALISASI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI)

T E S I S

Oleh

ANDY FAISAL

067005064/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(2)

NASKAH PUBLIKASI

ANALISIS YURIDIS TERHADAP UNDANG-UNDANG NO. 20 TAHUN 2001

(TENTANG PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN DALAM KERANGKA OPTIMALISASI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI)

T E S I S

Oleh

ANDY FAISAL

067005064 / HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(3)

ABSTRAK

Asas praduga tak bersalah merupakan bagian yg tidak terpisahkan dari prinsip

due process of law. Konsekuensi logisnya, tersangka atau terdakwa diberikan hak

oleh hukum untuk tidak memberikan keterangan yang akan memberatkan/merugikan dirinya di muka persidangan, dan untuk tidak memberikan jawaban baik dalam proses penyidikan maupun dalam proses persidangan. Dalam penulisan tesis ini terdapat tiga permasalahan, yaitu : bagaimana penerapan sistem pembalikan beban pembuktian (menurut ketentuan Pasal 37A dan 38A UU No. 20 Tahun 2001) dalam

pemberantasan korupsi dan apakah yang menjadi hambatan maupun kendala dalam penerapan sistem pembalikan beban pembuktian yang bersifat terbatas dan

berimbang serta bagaimana pengaturan yang efektif terhadap sistem pembalikan

beban pembuktian agar dapat optimal dalam pemberantasan korupsi.

Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif analitis dan merupakan penelitian hukum normatif yang diperluas, yaitu mengumpulkan, mengkaji dan menganalisis serta mensistematiskan kaidah-kaidah hukum yang berlaku berkaitan dengan asas, konsep tentang sistem pembalikan beban pembuktian yang bersifat terbatas dan berimbang dalam kerangka optimalisasi pemberantasan korupsi yang didukung dengan penelitian lapangan sebagai penunjang (support).

Hasil penelitian menunjukkan, pertama penerapan Pasal 37 A hanya dapat diterapkan di dalam persidangan perkara korupsi bagi mereka yang diduga melakukan delik gratifikasi ataupun suap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B Undang-undang No. 20 Tahun 2001. Sedangkan Pasal 38 A, penerapannya hanya terhadap hal-hal yang berkaitan dengan perampasan harta benda Terdakwa yang didakwa melakukan salah satu dari Pasal 2 s/d Pasal 16 Undang-undang No. 31 Tahun 1999. Tuntutan perampasan harta benda tersebut diajukan Penuntut Umum pada saat membacakan

Requisitoir dalam perkara pokoknya. Kedua hambatan dalam penerapan (Pasal 37 A),

antara lain berkaitan dengan rumusan Pasal 12 B Undang-undang No. 20 Tahun 2001, yaitu : kata-kata ”yang berhubungan dengan jabatan dan yang melakukan pekerjaan yang bertentangan dengan kewajiban”) seyogyanya tidak menjadi unsur Pasal 12 B. Ketiga pengaturan yang efektif dalam penerapan pembalikan beban pembuktian, antara lain melakukan rekonseptualisasi sistem pembuktiannya ke arah asas praduga bersalah (Presumption of Guilt) dengan merujuk kepada filosofi dan substansi ketentuan Pasal 28 J UUD 1945, yaitu konsep HAM Indonesia. Untuk itu disarankan, pertama : agar pelaksanaan sistem pelaporan LHKPN dapat dilakukan secara intensif dan tegas, guna dapat memonitor terjadinya pidana suap atau

gratifikasi dengan berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kedua agar dilakukan peninjauan kembali terhadap rumusan delik Pasal 12 B karena rumusan ini kontra produktif dengan Pasal 37 B. Adapun rujukannya minimal

kembali mengikuti rumusan Pasal 12 Undang-undang No. 31 Tahun 1999. Ketiga agar pengaturan pembalikan beban pembuktian perkara korupsi dapat

diterapkan secara efektif, sudah saatnya bangsa Indonesia melakukan rekonseptualisasi sistem pembuktiannya ke arah asas praduga bersalah dengan merujuk kepada filosofi dan substansi ketentuan Pasal 28 J UUD 1945, yaitu konsep HAM Indonesia.

Kata kunci : Analisis Yuridis, pembalikan beban pembuktian, optimalisasi pemberantasan korupsi.


(4)

KATA PENGANTAR

Bismillaahirrahmaanirrahim. Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Illahi Robbi karena atas perkenan Nya Penulis dapat menyelesaikan penulisan Tesis ini, yang merupakan tugas akhir dan syarat mendapatkan gelar Magister Humaniora pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa tidak akan dapat menyelesaikan Tesis ini tanpa bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, untuk itu Penulis mengucapkan

terimakasih yang ikhlas atas segala sumbangsih yang telah diberikan kepada Penulis guna penyelesaian Tesis ini, antara lain kepada :

1. Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A (k), selaku Rektor USU.

2. Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc., selaku Direktur Sekolah Pascasarjana

USU.

3. Prof. Dr. H. Bismar Nasution, SH, MH., selaku Ketua Program Magister Ilmu

Hukum Sekolah Pascasarjana USU dan juga selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Penguji.

4. Dr. Sunarmi, SH, M. Hum., selaku Sekretaris Program Magister Ilmu Hukum

Sekolah Pascasarjana USU dan juga selaku Anggota Komisi Pembimbing dan Penguji.

5. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MH., selaku Anggota Komisi Penguji.


(5)

7. Para Dosen yang telah bersusah payah memberikan ilmunya dan membuka cakrawala berpikir Penulis yang akan sangat berguna dalam menghadapi tugas-tugas di masa yang akan datang.

8. Ayah (Almarhum H. Sofyan) dan Ibunda (Hj. Lindawaty) yang tercinta, atas doa

dan jerih payahnya mendidik dan membesarkan Penulis sehingga semua keberhasilan ini dapat dicapai dengan baik.

9. Ananda Luqman Putera Faisal yang sangat Penulis cintai dan sayangi, atas doa

dan pengertiannya yang penuh, telah memberikan inspirasi dan motivasi yang tak terhingga bagi kesungguhan dan keseriusan Penulis dalam menyelesaikan studi ini.

10.Adinda H. Muhammad Ilham, SH dan Rurie Christiane, SE., yang telah

memberikan bantuan kepada Penulis baik secara langsung maupun tidak langsung hingga Penulis dapat menyelesaikan studi dengan baik.

11.Khusus buat Gina Olivia, SH., yang telah dengan setia, sabar dan penuh

pengertian memberikan motivasi yang sangat besar bagi Penulis dalam menyelesaikan studi ini.

12.Hj. Nuriah Alkomar, yang telah memberikan dorongan moril kepada Penulis baik

secara langsung maupun tidak langsung hingga Penulis dapat menyelesaikan studi dengan baik.

13.Sulaiman, yang tak henti-hentinya membantu Penulis baik secara langsung

maupun tidak langsung hingga Penulis dapat menyelesaikan studi dengan baik


(6)

(masing-masing sebagai Staf Ahli Jaksa Agung RI) yang telah banyak membimbing dan mendorong Penulis di dalam meniti karir sebagai Jaksa.

15.H. Mansyur Kartayasa, SH, MH (Mantan Jaksa Agung Muda Perdata dan

Tata Usaha Negara sekarang Hakim Agung pada Mahkamah Agung RI), yang telah memberikan dorongan kepada Penulis baik secara langsung maupun tidak langsung hingga Penulis dapat menyelesaikan studi dengan baik.

16.Serta rekan-rekan yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu,

untuk semua bantuan yang telah diberikan kepada Penulis.

Akhirnya penulis berharap agar Tesis ini dapat berguna dan bermanfaat sebagai sumbang saran dan pemikiran bagi Hukum Pidana Khusus, utamanya tentang Pembalikan Beban Pembuktian dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia dan juga bagi para pembaca yang berminat serta berkepentingan dengan bidang penulisan ini. Akhirulkalam, perkenankanlah penulis untuk merunduk dan berdo’a “Ya Allah berikanlah imbalan yang setimpal kepada mereka yang Engkau kasihi, amin ya Allah ya robbal alamin”.

Medan, Agustus 2008 Penulis,


(7)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Andy Faisal

Tempat/Tgl. Lahir : Langsa, 27 Desember 1972

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Pendidikan : - Sekolah Dasar Negeri 1 Langsa, Tahun

1979-1985

- Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Langsa,

Tahun 1985-1988

- Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Medan,

Tahun 1988-1991

- Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Tahun

1992-1996

- Program Magister Ilmu Hukum Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Tahun 2006 - 2008


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR SINGKATAN ... ix

DAFTAR ISTILAH ... x

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 10

1. Secara Teoritis ... 10

2. Secara Praktis ... 10

E. Keaslian Penelitian ... 10

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 11

1. Kerangka Teori... 11

2. Konsepsi ... 26

G. Metode Penelitian ... 27

1. Sifat Penelitian ... 28

2. Metode Pendekatan ... 28

3. Sumber Data ... 30

4. Teknik Pengumpulan Data ... 31

5. Alat Pengumpulan Data ... 31

6. Analisis Data ... 32

BAB II : PENERAPAN SISTEM PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN DALAM KERANGKA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI ... 33

A. Pengertian Sistem Pembuktian ... 33

B. Teori Pembuktian ... 35

C. Kekuatan Pembuktian ... 39

1. Keterangan Saksi ... 39

2. Keterangan Ahli ... 42

3. Alat Bukti Surat ... 45

4. Petunjuk ... 52

5. Keterangan terdakwa ... 53

D. Penerapan Pasal 37 dan 38 Tentang Pembalikan Beban Pembuktian yang Bersifat Terbatas dan Berimbang ... 56


(9)

BAB III : HAMBATAN DAN ATAU KENDALA PENERAPAN SISTEM PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN

DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI ... 64

A. Efektifitas Pasal 37 dan 38 Undang-undang No. 20 Tahun 2001 (Asas Pembalikan Beban Pembuktian) ... 64

B. Hambatan Dalam Penerapan Sistem Pembalikan Beban Pembuktian ... 76

C. Sikap dan Upaya yang Dilakukan oleh Penuntut Umum dan Hakim dalam Mengatasi Hambatan Penerapan Pembalikan Beban Pembuktian... 86

1. Sikap Penuntut Umum ... 86

2. Sikap Hakim ... 86

BAB IV : PENGATURAN SISTEM PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN UNTUK OPTIMALISASI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI ... 90

A. Reposisi Melalui Pendekatan Sistem Terhadap Ketentuan-ketentuan yang Berkenaan dengan Pembalikan Beban Pembuktian ... 90

B. Alternatif Penegakan Hukum (Pemberantasan Korupsi) Yang Solutif ... 106

C. Pendekatan Melalui Instrument United Nations Convention Against Corruption (2003) ... 113

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 117

A. Kesimpulan ... 117

B. Saran ... 119


(10)

DAFTAR SINGKATAN

ACA = Anti Corruption Agency

HAM = Hak Asasi Manusia

ICAC = Independence Commisison Anti Corruption (Hongkong)

KUHAP = Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

KUHP = Kitab Undang-undang Pidana

KKN = Kolusi Korupsi Nepotisme

KPK = Komisi Pemberantasan Korupsi

LHKPN = Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara

NCCC = National Counter Corruption Commission (Thailand)

PBB = Perserikatan Bangsa-bangsa

RUU = Rancangan Undang-undang

SCPIB = Singapore’s Corruption Prevention and Investigation Bureau


(11)

DAFTAR ISTILAH

Abuse of power : Penyalahgunaan kekuasaan

Agent provocateur : Penegak hukum yang melakukan undercover

Aannemelijk : Tepat dan masuk akal

Ancient regime : Orde lama

Banking crime : Kejahatan perbankan

Beredeneerde vertuging atau conviction raisonnee

: Teori keyakinan atas alasan logis

Black-mailing : Pemerasan

Bewijstvoering : Cara menggunakan alat bukti

Bloot gemoedelijke overtuiging : Pembuktian dengan keyakinan belaka

Bribery : Suap

Business as usual : Kegiatan bisnis yang sudah biasa/lazim

Bureaucratic and judicial bribery : Praktek penyuapan di pemerintahan dan peradilan

Certain cases : Kasus-kasus tertentu/spesifik atau khusus sifatnya

Charge dan a decharge : Saksi memberatkan dan meringankan

Civil law : Hukum Inggris untuk dipisahkan dengan

common law. Civil Law berlaku di Eropa Kontinental dan AS, bersumber pada hukum Romawi yang dikodifikasikan.

Civic-minded : Tentang hak dan kewajiban sebagai warga negara

Common law : Lihat pengertian Civil Law

Combat to Corruption : Memberantas korupsi

Crimes against humanity : Kejahatan hak azasi manusia

Conventional crime : Kejahatan biasa

Conviction intime : Pembuktian berdasar keyakinan hakim semata

Criminal justice system/cjs : Sistem peradilan pidana

Criminal injuries compensation : Kompensasi terhadap korban kejahatan

Criminal policy : Kebijakan kriminal

Criminal procedure : Hukum acara pidana

Crime control model : Model dalam beracara yang memiliki

karakteristik efisiensi, mengutamakan kecepatan dan presumption of guilt (praduga bersalah) sehingga tingkah laku kriminal harus segera ditindak dan si tersangka dibiarkan sampai ia sendiri yang melakukan perlawanan

Daad : Perbuatan

Dader : Orang/pembuat

Debt collector : Penagih hutang


(12)

Delict action : Kesalahan yang menimbulkan kewajiban

De materiele waarheid : Kebenaran sejati

Disenting-opinion : Perbedaan pendapat

Doctrinal research : Penelitian doktrinal

Dolus eventualis : Berbuat kejahatan yang diketahui dan dikehendaki

akibat dari kejahatan tersebut oleh si pelaku.

Dubble grondslag : Pembuktian yang berganda

Due process of law : Proses hukum yang berlangsung jujur, adil,

dan tidak memihak

Due process model : Model dalam beracara memiliki karakteristik

menolak efisiensi, mengutamakan kualitas dan presumption of innocent (praduga tidak

bersalah) sehingga peranan penasihat hukum amat penting dengan tujuan jangan sampai menghukum orang yang tidak bersalah

Economic crime : Kejahatan ekonomi (bagian dari kejahatan korupsi)

Economic power : Kuasa ekonomi

Embezzlement and misapropriation of banking credits and funds”

: Penggelapan dan penyalahgunaan kredit dan

dana-dana perbankan

Endemik : Suatu fase/tingkatan yang tidak dapat ditolerir lagi

Examining judges : Hakim yang memeriksa hak tersangka/terdakwa

yang mengajukan ”review” terhadap kebenaran tindakan pemaksaan yang dilakukan penyidik

Expertis, deskundigen : Saksi ahli

Extra ordinary crime : Kejahatan yang luar biasa, misalnya : tindak pidana

(korupsi) yang sulit pembuktiannya

Extra ordinary enforcement : Terjadinya pergeseran komprehensif terhadap

sistem pembuktian tindak pidana (korupsi) mengingat sulitnya pembuktian kejahatan ini

Fraud : Penipuan

Gerechtelijk bekentenis : Apa yang didakwakan itu seluruhnya benar

Gratification : Pemberian

High level economic : Ekonomi kelas atas

High level beurocratic : Birokrasi kalangan atas

Illegal secured evidence : Alat bukti yang tidak sah

Imperatif : Mengikat, suatu keharusan

Immunity for prosecution : Perlindungan hukum

Inquisitor : Tersangka sebagai objek pemeriksaan

Integrated : Keterpaduan dilakukan secara simultan,

integral dan paralel.

In zijn bedening : Penyelenggara negara yang memiliki kekuasaan

yang melekat pada jabatannya

In strijd met zijn plichr : Melakukan pekerjaan bertentangan dengan


(13)

Invisible crime : Kejahatan yang tidak tampak dan sangat sulit memperoleh prosedural pembuktiannya

Kealpaan : Lalai dalam kewajiban

Kickbacks : Penerimaan komisi secara tidak sah

Laconviction raissonnee : Alasan yang logis

Law as it written in the book : Hukum yang tertulis di dalam undang-undang

secara teori Law as it decided by the judge

through judical process

: Hukum berdasarkan keputusan hakim

Law enforcement officer act : Undang-undang menjadi kontrol terhadap para

aparat penegak hukum yang melakukan penegakan hukum terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi

Lay-man : Masyarakat awam hukum

Leer van hetminimum bewijs : Asas dan minimum bukti yang diminta oleh

undang-undang

Legalitas : Keadaan sah

Legal culture : Budaya hukum

Legal issue : Persoalan hukum

Legal opinion : Pendapat hukum

Lex certa : Prinsip yang seharusnya dipatuhi

Lex temporis : Berjalan sesuai waktu, tidak dapat mundur

Legal solution : Penyelesaian hukum

Lex talionis : Balas dendam

Library research : Penelitian kepustakaan

Locus delictie : Tempat kejadian

Materiele daad : Perbuatan materiil suatu pidana

Mede beklaagde : Kawan terdakwa

Money laundring : Tindak pidana pencucian uang

Mono-dualistik : Keseimbangan dua kepentingan, antara kepentingan

masyarakat dan kepentingan individu

Negatief wettelijk overtuiging : Teori pembuktian menurut undang-undang

secara negatif

Non-derogable rights : Hak yang tidak dapat dikurangi sedikit

apapun dan dengan alasan apapun juga, seperti halnya hak untuk hidup atau hak untuk tidak dituntut dengan hukum yang berlaku surut (non-retroaktif)

Non-law enforcement officer : Bukan pejabat penegak hukum

Nullum delictum, noella poena sine praevia lega poenali

: Suatu perbuatan tidak dapat dikenakan sanksi pidana, apabila tidak terdapat suatu peraturan undang-undang yang mendahului perbuatannya tersebut.

Offences beyond the reach of the law

: Pelanggaran-pelanggaran yang sulit terjangkau oleh hukum


(14)

Ontslagen van alle rechtsvervolging : Melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum

Overall : Total, menyeluruh

Pembujuk : Uitlokker

Positief wettelijke bewijstheorie : Sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif

Professional fringe violator : Kejahatan di lingkungan profesi yang penjahatnya adalah profesionalitas karier

Protection of witnesses Experts and Victims

: Perlindungan terhadap saksi, ahli dan korban

Protection of Reporting Persons : Perlindungan bagi mereka yang melaporkan

tentang terjadinya pidana

Protection of Cooperating Persons : Perlindungan bagi tersangka yang mau bekerjasama mengungkap kejahatan itu pula Proven guilty beyond reasonable

doubt

: Dinyatakan bersalah berdasarkan bukti-bukti yang sangat kuat atau tidak dapat diragukan sama sekali

Presumption of corruption : Praduga korupsi

Presumption of guilt : Praduga bersalah

Presumption of innocence : Azas praduga tak bersalah

Protected by principle of legality : Dilindungi oleh adanya prinsip legalitas

Public power : Pemegang kuasa dalam masyarakat, pemerintahan

Ratio concludendi : Pendapat dari hasil akal

Remedium : Tunai

Retro-aktif : Bcrlaku surut

Reversal of burden proof atau “omkering van bewijslast

: Suatu proses pembuktian Tindak pidana korupsi yang beban pembuktiannya diletakkan pada Terdakwa, artinya terdapat suatu

pembalikan beban pembuktian

Requisitoir : Tuntutan Jaksa

Right to remain silent : Hak untuk tidak memberikan jawaban baik

dalam proses penyidikan maupun dalam proses persidangan

Silogisme : Suatu bentuk proses penalaran yang berusaha

menghubungkan dua preposisi (pernyataan) yang berlainan untuk menurunkan suatu kesimpulan atau inferensi yang merupakan preposisi ketiga

Shifting of Burden Proof : Pergeseran tata urutan alat bukti

Strafbaar : Penerapan hukum

Systema : Sesuatu yang terorganisasi, suatu keseluruhan


(15)

Systemic approach : Pendekatan sistem

Tempus delictie : Waktu dilakukan perbuatan

Testimonium de auditu : Keterangan saksi yang diberikan, namun tidak

memenuhi kwalifikasi keterangan saksi yang sah.

Undercover : Jebakan

Unus testis nullus testis/ onvoldoende bewijs

: Satu saksi saja tidak dianggap sempurna oleh hakim

Victim of Conspiracy : Menurut sistem anglo saxon memiliki justifikasi

sebagai alasan adequate meniadakan punishment

Vrijspraak : Membebaskan terdakwa

Welfare crime : Kejahatan kemakmuran


(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ulasan tentang korupsi di Indonesia tak terhitung jumlahnya. Semua orang membicarakannya dan mencaci maki praktik tidak terpuji ini. Namun mereka secara sadar atau tidak sadar larut dalam praktik itu. Pakar budaya berpendapat korupsi telah masuk dalam sumsum tulang kebudayaan bangsa. Pakar ilmu sosial mengibaratkan masyarakat Indonesia yang hidup dalam sebuah sistem yang korup layaknya business

as usual.1

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah menyadari pemberantasan korupsi merupakan agenda politik yang harus menjadi prioritas Kabinet Indonesia Bersatu. Sejak memulai pemerintahan pada 20 Oktober 2004, Presiden telah

menaruh perhatian dalam penanganan kasus korupsi, misalnya pengungkapan kasus pembobolan bank BNI 1946, kasus korupsi di Komisi Pemilihan Umum (KPU), kasus Ilegal Logging, kasus penyelundupan BBM Pertamina, dugaan kasus korupsi di Mahkamah Agung dan lain-lain. Namun, setelah tiga tahun lebih pemerintah SBY, masyarakat tampaknya kurang puas dan berharap besar agar pemerintah lebih progressif dalam menangani masalah korupsi. Bahkan, ada kritik yang mengatakan

1

Prasetyantoko,”business as usual,” http://aprasetyantoko.blogspot.com/2006/04/business-as-usual.html


(17)

penegakan hukum masih bersifat "tebang pilih". Fenomena korupsi sebagai business

as usual sudah tidak asing lagi, namun tidak ada seorang pun yang bisa dituduh

melakukannya karena pembuktian korupsi mengalami kesulitan.

Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera, dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera tersebut, perlu secara terus menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan pemberantasan tindak pidana pada umumnya serta tindak pidana korupsi pada khususnya. Di tengah upaya

Pembangunan Nasional di berbagai bidang, aspirasi masyarakat memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya semakin meningkat, karena kenyataan adanya perbuatan korupsi telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar dan pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang. Untuk itu upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan dan diintensifkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat. Oleh karena korupsi di Indonesia sudah sangat endemik, yaitu suatu fase/tingkatan yang tidak dapat ditolerir lagi. Akibatnya korupsi telah begitu mengakar dan sangat sistematis, sampai-sampai disebut telah membudaya di bangsa ini. kerugian negara atas menjamurnya praktek korupsi sudah tidak terhitung lagi.


(18)

Berdasarkan hasil penelitian Transparency International (TI) selama enam tahun berturut-turut dari 1995-2000, Indonesia selalu menduduki posisi sepuluh besar sebagai negara paling korup di dunia.2 Selanjutnya, berdasarkan penelitian Political and Economic Risk Consultancy (PERC) tahun 1997, Indonesia menempati posisi negara terkorup di Asia.3 Pada tahun 2001, posisi Indonesia menjadi negara terkorup nomor dua setelah Vietnam.4 Tingkat korupsi di Tanah Air pada pada lima tahun berikutnya (dari tahun 2001 sampai 2005), tidak menunjukan penurunan berarti. Masih menurut hasil penelitian Transparency International, pada lima tahun terakhir itu Indonesia betah bertahan di sepuluh besar negara paling korup di dunia. Pada tahun 2004, misalnya, Indonesia menjadi negara paling korup nomor lima di dunia dengan Corruption Perception Index (CPI) 2.00, serta menjadi negara paling korup nomor satu di Asia Tenggara.

Pada tahun 2005, per Oktober 2005 atau setahun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang dipilih langsung oleh rakyat, peringkat Indonesia membaik tapi relatif sangat kecil, yaitu menjadi negara paling korup nomor enam di dunia, dan di Asia Tenggara tidak lagi menjadi negara paling korup nomor satu karena posisi itu ditempati Myanmar. Indonesia, dengan CPI 2.00, masih menjadi negara paling korup nomor dua di Asia Tenggara.5

2

Tranparency International, “Corruption Perception”, (Index 1995, 1996, 1997, 1998, 1999 dan 2000, Berlin Germany).

3

BPKP, ”Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional” Tempo, 22 Januari 1999, hal. 296.

4

Adnan Buyung Nasution, makalah, “Prinsip-prinsip Umum Pengadilan yang Baik”,

disampaikan pada acara lokakarya mengenai Pengadilan Khusus, yang dilaksanakan oleh Political and Economic Risk Consultancy di Jakarta, tanggal 19-10 Juni 2001, hal. 2.

5

Tranparency International, “Corruption Perception”, (Index 1995, 1996, 1997, 1998,1999 dan 2000, Berlin Germany).


(19)

Posisi Indonesia jauh lebih buruk dibandingkan negara tetangga di Asia Tenggara, selain Myanmar. Indonesia jauh tertinggal dari Singapura yang memiliki CPI 9.4 dan menjadi negara paling bersih nomor lima di dunia. Indonesia juga kalah dari Malaysia yang memiliki CPI 5.1, kemudian Thailand dengan CPI 3.8 Vietnam dan Laos masing-masing memiliki CPI 3.3, Filipina dengan CPI 2.5, dan Kamboja dengan CPI 2.3 atau 0.1 lebih baik dari Indonesia. Korupsi sudah terjadi pada semua bidang tata pemerintahan, baik itu eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Daniel Kaufmann dalam laporannya mengenai bureaucratic and judicial bribery menyatakan praktek penyuapan di peradilan Indonesia merupakan yang tertinggi di antara negara-negara berkembang.6 Disinyalir tidak sedikit Hakim di semua tingkatan peradilan yang melakukan korupsi. Akibat integritas yang rendah dan kemampuan terbatas dari Hakim ini menyebabkan banyak putusan pengadilan dalam kasus korupsi yang tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat.7

Dalam sistem peradilan pidana, pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan memegang peranan yang sangat penting karena merupakan bagian yang paling menentukan dalam penjatuhan sanksi pidana atau pernyataan bersalah atau tidak terhadap seorang terdakwa. Sejarah perkembangan hukum acara pidana menunjukkan beberapa sistem atau teori untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan seperti sistem pembuktian

berdasarkan Undang-undang secara positif (positief wettelijke bewijstheorie),

6

Daniel Kaufmann, “Governance and Corruption”, New Empirical Frontier For Program Design, Vol. 27, September 1998, hal. 81.

7


(20)

sistem pembuktian berdasarkan keyakinan Hakim saja, sistem pembuktian

berdasarkan keyakinan Hakim atas alasan yang logis (laconviction raissonnee) dan teori pembuktian berdasarkakan Undang-undang secara negatif (negatif wettelijke).8 Oleh karena itu dalam penanganan suatu perkara pidana masalah pembuktian memegang peranan yang sangat penting, dikarenakan tindakan aparat Penyidik maupun Penuntut Umum diarahkan kepada upaya pencarian alat-alat bukti yang berkaitan dengan apa yang dilakukan tersangka yang akhirnya harus dibuktikan oleh Jaksa di depan sidang Pengadilan. Hal itu terlebih penting lagi dalam penanganan perkara pidana khusus seperti halnya perkara korupsi karena kebanyakan perkara korupsi itu termasuk perkara yang sulit pembuktiannya, sebab korupsi pada umumnya dilakukan oleh orang yang memiliki suatu posisi atau jabatan dalam birokrasi pemerintah atau suatu badan usaha yang memperoleh kelonggaran atau fasilitas dari pemerintah. Bahkan korupsi acapkali/ sering dilakukan oleh orang-orang yang memegang jabatan yang sangat penting dan strategis dalam suatu birokrasi pemerintahan atau suatu proyek vital, yang sudah barang tentu orang-orang tersebut tahu caranya untuk menghilangkan jejak sehingga sulit untuk dilacak atau diketahui perbuatannya, dan mereka mengetahui pula cara menghindarkan diri dari upaya pembuktian atas perbuatannya tersebut. Oleh karena itulah korupsi sering

dikelompokkan sebagai “white collar crime” (kejahatan kerah putih) karena secara harfiah orang-orang yang memegang jabatan penting baik dalam struktur

pemerintahan maupun badan usaha tersebut biasanya memakai kemeja berkerah putih

8


(21)

atau berdasi serta memiliki tingkat sosial dan intelektualitas lebih tinggi yang membedakannya dengan orang kebanyakan atau orang biasa.9 Perbuatan atau tindakan orang-orang tersebut yang diduga telah merugikan keuangan negara atau perekonomian negara baik langsung atau tidak langsung, harus dibuktikan di depan persidangan berdasarkan hasil-hasil pemeriksaan dan alat bukti yang diperoleh pada waktu Penyidikan dilakukan maupun selama persidangan. Hal ini merupakan masalah yang berhubungan dengan beban pembuktian yang harus dilakukan oleh Jaksa

ataukah oleh terdakwa sendiri yang berhak menyatakan dirinya tidak bersalah dan membuktikan hal itu. Kedua hal tersebut merupakan masalah yang perlu dikaji mengingat selama ini pembuktian terhadap perkara-perkara korupsi sering menemui jalan buntu karena pembuktian terhadap kesalahan tersangka/terdakwa dihadapkan pada kendala dan hambatan struktural yang timbul dari ketentuan Undang-undang itu sendiri.

Kendala struktural yang dimaksud terletak pada sistem pembuktian yang dianut dalam Pasal 183 KUHAP, menyebutkan :

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti yang sah Ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.10

9

Mansyur Kartayasa, makalah, ”Beban Pembuktian dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi”, disampaikan pada acara rapat koordinasi Sekretaris Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus di Sasana Pradata, Jakarta, tanggal, Mei 2000, hal. 2

10


(22)

Ketentuan Pasal 183 KUHAP (“negative wettelijke beginsel”) yang berasal dari HIR dan dianut kembali, oleh sementara pakar hukum dipandang sebagai azas yang mengedepankan azas praduga tak bersalah (“asas presumption of innocence”) tanpa mempertimbangkan lebih dampak yang serius yang merugikan masyarakat banyak dan negara. Dengan diterbitkannya Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999, kendala struktural tersebut secara teoritis dapat diatasi, dengan menggunakan instrumen Pasal 37 dan 38, yaitu ketentuan mengenai adanya pembalikan beban pembuktian atau yang dikenal dengan sistem pembalikan beban pembuktian, yang merupakan suatu proses yang tidak lazim menurut sistem hukum pidana Indonesia.11 Sistem pembalikan beban pembuktian merupakan sistem yang meletakkan beban pembuktian pada terdakwa dan proses pembuktian ini hanya berlaku saat pemeriksaan di sidang pengadilan yaitu dimungkinkannya melakukan pemeriksaan tambahan (khusus) jika dalam pemeriksaan di persidangan diketemukan harta benda milik terdakwa yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi namun hal tersebut belum

didakwakan. Dalam Pasal 37 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 disebutkan : (1) Terdakwa mempunyai hak membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. (2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.

11


(23)

Ketentuan dalam Pasal 37 di atas sebagai konsekuensi berimbang atas penerapan pembalikan beban pembuktian terhadap terdakwa. Terdakwa tetap memerlukan perlindungan hukum yang berimbang atas pelanggaran hak-hak yang mendasar yang berkaitan dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) dan menyalahkan diri sendiri (non self- incrimination). Sistem pembalikan beban pembuktian dalam Undang-undang Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, merupakan ketentuan yang bersifat remedium.

Pengalaman empiris selama ini menunjukkan, walaupun secara teoritis kendala struktural tersebut dapat diatasi melalui instrumen Pasal 37 dan 38 Undang-undang No. 20 Tahun 2001, namun hemat peneliti kwantitas maupun kwalitas tindak pidana korupsi belum menunjukkan arah penurunan yang signifikan. Permasalahan inilah yang hendak peneliti kaji dan analisis, kaitan antara Pasal 37 tentang pembalikan beban pembuktian yang bersifat terbatas dan berimbang dalam kerangka optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi dalam upaya

menanggulangi masalah korupsi di Indonesia serta kendala-kendala yang ada di dalam sistem pembuktian tersebut. Adapun judul penelitian sebagai tugas akhir dalam menyelesaikan Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, diberi judul : “Analisis Yuridis Terhadap Undang-undang Nomor: 20 Tahun 2001 (tentang Pembalikan Beban Pembuktian Dalam Kerangka Optimalisasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi)”.


(24)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian-uraian tersebut dapat dirumuskan permasalahan, sebagai berikut :

1. Bagaimana penerapan sistem pembalikan beban pembuktian (menurut ketentuan

Pasal 37 dan 38 Undang-undang No. 20 Tahun 2001) dalam kerangka pemberantasan tindak pidana korupsi.

2. Apakah yang menjadi hambatan maupun kendala dalam penerapan sistem

pembalikan beban pembuktian yang bersifat terbatas dan berimbang tersebut.

3. Bagaimana pengaturan yang efektif terhadap sistem pembalikan beban

pembuktian agar dapat optimal dalam pemberantasan korupsi.

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui bagaimana implementasi Pasal 37 dan 38 Undang-undang

No. 20 Tahun 2001 dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi.

2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan dan kendala-kendala dalam upaya

penerapan sistem pembalikan beban pembuktian yang bersifat terbatas dan

berimbang.

3. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan yang efektif terhadap sistem

pembalikan beban pembuktian, agar dapat optimal dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.


(25)

D. Manfaat Penelitian 1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap pembangunan hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan penerapan sistem pembalikan beban pembuktian yang bersifat terbatas dan

berimbang dalam kerangka pemberantasan tindak pidana korupsi.

2. Secara Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu

pengetahuan hukum pidana yang berkaitan dengan penerapan sistem pembalikan beban pembuktian yang bersifat terbatas dan berimbang dalam kerangka pemberantasan tindak pidana korupsi.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran dalam kerangka penerapan sistem pembalikan beban pembuktian yang bersifat

terbatas dan berimbang bagi Jaksa Penuntut Umum serta Hakim dalam

menangani perkara tindak pidana korupsi khususnya dalam hal hukum pembuktian.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan dan hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai masalah pembalikan beban pembuktian yang bersifat terbatas dan berimbang dalam kerangka optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi berdasarkan ketentuan


(26)

Pasal 37 dan 38 Undang-undang No. 20 Tahun 2001 belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama. Oleh karenanya penelitian ini dapat disebut “asli” sesuai dengan asas-asas keilmuan, yaitu : jujur, rasional dan objektif serta terbuka. Semua ini merupakan konsekwensi etis dari proses menemukan suatu kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah pula.

Untuk menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap masalah yang sama, Peneliti melakukan pengumpulan data tentang penerapan “sistem pembalikan beban pembuktian yang bersifat terbatas dan berimbang dalam kerangka optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi”, dan juga pemeriksaan terhadap hasil-hasil penelitian yang ada mengenai hal-hal diatas. Dari hasil penelitian dimaksud ternyata penelitian ini belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama oleh peneliti lain, baik di lingkungan Universitas Sumatera Utara maupun Perguruan Tinggi lainnya.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Menurut M. Solly Lubis, kerangka teori adalah pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang dapat menjadi bahan perbandingan dan pegangan teoritis. Hal mana dapat menjadi masukan dan pegangan bagi peneliti.12

12


(27)

Menurut Radbruch, tugas teori hukum adalah untuk membuat jelas nilai-nilai hukum dan postulat-postulat hingga dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam,13 sehingga teori tentang ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang sesuai dengan objek penelitian yang dijelaskan untuk mendapatkan verifikasi, maka harus

didukung oleh data empiris yang membantu dalam mengungkapkan kebenaran.14

Dalam penelitian ini, teori yang digunakan adalah : teori yang coba menguraikan tentang sistem pembalikan beban pembuktian dalam hubungannya dengan asas praduga tidak bersalah. Asas hukum praduga tak bersalah, sejak abad ke 11 dikenal di dalam sistem hukum Common Law, khususnya di Inggeris, dalam Bill of Rights

(1648). Asas hukum ini dilatar belakangi oleh pemikiran individualistik–liberalistik

yang berkembang sejak pertengahan abad ke 19 sampai saat ini. Di dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system/cjs)15 berdasarkan sistem hukum Common

Law (sistem adversarial/sistem kontest), asas hukum ini merupakan prasyarat utama

untuk menetapkan bahwa suatu proses telah berlangsung jujur, adil, dan tidak

memihak (due process of law). Asas praduga tak bersalah merupakan bagian yg tidak terpisahkan dari prinsip due process tersebut. Friedman (1994) menegaskan bahwa, prinsip ”due process” yang telah melembaga dalam proses peradilan sejak dua ratus

13

Dikutip oleh W. Friedman, dalam bukunya Teori dan Filsafat Hukum, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1993), hal. 2.

14

M. Solly Lubis, Op. Cit, hal. 27.

15

Konsep Sistem Peradilan Pidana atau “Criminal Justice System”, yang terkenal dari Packer 1968, yaitu, model “Crime Control”, dan “Due Process” yang merupakan model antinomy normative. Selain itu, diakui, model rehabilitatif (Rehabilitative model), dari Griffith 1970; model birokratik (bureaucratic model) dari Reine 1993, dan model resotratif (restorative justice) dari Wright 1996, Fenwick 1997 (dikutip dari Clive Walker dan Keir Steimer, “Miscarriage of Justice; Blackstone Press Ltd, 1999), hal. 40.


(28)

tahun yang lampau,16 kini telah melembaga di dalam seluruh bidang kehidupan sosial. Di sektor kesehatan dan ketenaga kerjaan, jika distribusi hak rakyat atau buruh tidak dilakukan sesuai dengan kewajibannya maka akan disebut sebagai melanggar prinsip ”due process of law”. Bahkan, prinsip tersebut telah menjadi bagian dari ”budaya (masyarakat) Amerika”, yang telah mengalami perubahan cepat sesuai dengan perubahan masyarakatnya dan perkembangan Internasional yang terjadi sejak pertengahan abad 19 sampai saat ini.

Konsekuensi logis dari asas praduga tak bersalah ini maka kepada tersangka atau terdakwa diberikan hak oleh hukum untuk tidak memberikan keterangan yang akan memberatkan/merugikan dirinya di muka persidangan (the right of non-self

incrimination), dan untuk tidak memberikan jawaban baik dalam proses penyidikan

maupun dalam proses persidangan (the right to remain silent). Di dalam hukum acara pidana Belanda (1996), kepada tersangka/terdakwa hak seperti itu dijamin dan

dilindungi sedemikian rupa sehingga jika Penyidik memaksa keterangan dari tersangka/terdakwa, maka tersangka/terdakwa diberikan hak untuk mengajukan ”review” kepada ”examining judges” untuk memeriksa kebenaran ”review” dari tersangka/terdakwa yang bersangkutan.17

Menilik hukum acara pidana negeri Belanda sebagaimana diuraikan di atas, tampak hal yang sangat mencolok, yaitu keutamaan memberikan perlindungan atas hak individu, bukan hak kolektif (masyarakat), sekalipun anggota masyarakat atau

16

Lawrence M.Friedman, Total Justice, (Russel : Sage Foundation, 1994), hal. 80-81.

17


(29)

masyarakat sebagai suatu kolektivitas, telah dirugikan oleh perbuatan tersangka, dilain pihak perlu dicermati pendapat E. H. Sutherland: “White Collar Crime (WCC)

as a violation of criminal law by the person of the upper socio economic class in the course of this occupational activities”.18 Disini E.H. Sutherland berikut ingin menunjukkan bahwa kejahatan merupakan fenomena yang dapat juga ditemukan dalam kelas-kelas masyarakat yang lebih tinggi yang penyebabnya tidak dapat dijelaskan. Secara tradisional seperti kemiskinan atau faktor-faktor patologik yang bersifat individual. Dengan kata lain kemajuan dalam pembangunan ekonomi pun dapat menimbulkan meningkatnya kejahatan, antara lain : tindak pidana korupsi, tindak pidana korporasi, tindak pidana perbankan dan tindak pidana money laundring.

Hak seorang tersangka untuk tidak dianggap bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan sebaliknya (praduga tak bersalah) sesungguhnya juga bukan hak yang bersifat absolut, baik dari sisi formil maupun sisi materiel, karena hak ini tidak termasuk ”non-derogable rights” seperti halnya hak untuk hidup atau hak untuk tidak dituntut dengan hukum yang berlaku surut (non-retroaktif). Bahkan Undang-undang dasar 1945 dan Perubahannya, sama sekali tidak memuat hak, praduga tak bersalah. Asas ini hanya dimuat dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan di dalam Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP.

18

Mardjono, makalah, “Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan”, disampaikan pada acara seminar mengenai Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, yang dilaksanakan oleh Lembaga Kriminologi UI di Jakarta, 1994, hal. 126.


(30)

Rumusan kalimat dalam Pasal 8 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman (2004), dan Penjelasan Umum KUHAP, adalah : ”Setiap orang yang disangka,

ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya, dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.

Rumusan kalimat tersebut di atas, berbeda maknanya secara signifikan dengan rumusan asas praduga tak bersalah di dalam Pasal 14 paragrap 2, Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Politik (1966), yang dirumuskan dengan kalimat singkat: ”Everyone charged with criminal offence all have the right to be

presumed innocent until proved guilty according to law”.

Konvenan tersebut tidak hanya menegaskan, harus dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan berdasarkan Undang-undang; bahkan, tidak menegaskan juga masalah putusan yang memperoleh kekuatan hukum yang tetap, sebagai batas toleransi seseorang dapat dinyatakan bersalah. Pembuktian kesalahan seseorang berdasarkan sistem hukum Common Law sering ditegaskan dengan bunyi kalimat, ”proven guilty beyond reasonable doubt”, yang berarti, ”(Dinyatakan) Bersalah berdasarkan bukti-bukti yang sangat kuat atau tidak dapat diragukan sama sekali”; bandingkan dengan rumusan kalimat,” (Dinyatakan) Bersalah atas dasar putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.

Untuk mencegah tafsir hukum yang berbeda-beda di atas, tampaknya solusi realistik telah diberikan oleh Kovenan, yaitu dengan merinci luas lingkup atas tafsir hukum ”hak untuk dianggap tidak bersalah”, yang meliputi 8 (delapan) hak, yaitu :


(31)

1. Hak untuk diberitahukan jenis kejahatan yang di dakwakan;

2. Hak untuk disediakan waktu yang cukup dalam mempersiapkan pembelaannya

dan berkomunikasi dengan penasehat hukum yang bersangkutan; 3. Hak untuk diadili tanpa ditunda-tunda;

4. Hak untuk diadili yang dihadiri oleh yang bersangkutan;

5. Hak untuk didampingi penasehat hukum jika yang bersangkutan tidak

mampu;

6. Hak untuk diperiksa dan memeriksa saksi-saksi yang berlawan dengan yang

bersangkutan;

7. Hak untuk memperoleh penerjemah jika diperlukan oleh yang bersangkutan;

8. Hak untuk tidak memberikan keterangan yang merugikan dirinya atau hak untuk

tidak dipaksa mengakui perbuatannya.

Sejalan dengan Konvenan tsb, asas praduga tak bersalah harus diartikan, bahwa selama terhadap seorang tersangka/terdakwa diberikan secara penuh hak-hak hukum sebagaimana dirinci dalam konvenan tersebut, maka selama itu pula perlindungan atas asas praduga tak bersalah, telah selesai dipenuhi oleh lembaga penegak hukum. Putusan pengadilan yang menyatakan seorang terdakwa bersalah yang didasarkan bukti-bukti yang tidak meragukan majelis Hakim (akan kesalahan terdakwa), harus diartikan sebagai akhir dari perlindungan hukum atas hak terdakwa untuk dianggap tidak bersalah.


(32)

Adapun landasan teori yang saya gunakan disini adalah teori-teori tentang justifikasi pembalikan beban pembuktian dalam Hukum Pidana Formil. Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting acara pidana. Dalam hal ini pun hak asasi dapat

dipertaruhkan. Untuk inilah maka Hukum Acara Pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil berbeda dengan Hukum Acara Perdata yang cukup puas dengan kebenaran formil. Kebenaran dalam perkara pidana merupakan kebenaran yang disusun dan didapatkan dari jejak, kesan, dan refleksi dari keadaan dan/atau benda yang berdasarkan ilmu pengetahuan dapat berkaitan dengan kejadian masa lalu yang diduga menjadi perbuatan pidana.19 Suatu pembuktian yang benar-benar sesuai dengan kebenaran tidak mungkin dicapai, oleh karenanya Hukum Acara Pidana sebenarnya hanya menunjukkan jalan untuk berusaha mendekati sebanyak mungkin persesuaian dengan kebenaran. Hukum pembuktian memberi petunjuk bagaimana hakim dapat menetapkan sesuatu hal cenderung kepada kebenaran. Dalam menilai kekuatan pembuktian tersebut dikenal beberapa sistem atau teori pembuktian, yaitu : 1. Teori pembuktian yang hanya berdasarkan kepada alat-alat pembuktian yang

disebut oleh undang-undang secara positif (positief wettelijk bewijstheorie). Artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Teori ini disebut juga teori pembuktian formil (formele bewijstheorie).

19

Bambang Poernomo, Pertumbuhan Hukum Penyimpangan di luar Kodifikasi Hukum Pidana, (Jakarta : Bina Aksara, 1984), hal. 38.


(33)

Teori ini berusaha menyingkirkan segala pertimbangan hakim yang bersifat

subyektif, oleh karena itu mengikat secara tegas supaya hakim hanya tergantung pada ada atau tidak adanya sejumlah alat bukti yang formil tercantum dalam

undang-undang cukup untuk menjatuhkan putusan.20 Wirjono Prodjodikoro menolak teori ini untuk dianut di Indonesia, karena menurutnya hakim hanya dapat menetapkan kebenaran dengan cara mengatakan kepada keyakinannya tentang kebenaran itu, lagi pula keyakinan seorang hakim yang jujur dan berpengalaman mungkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan masyarakat.21 2. Teori pembuktian berdasar keyakinan hakim semata-mata (conviction intime).

Artinya jika dalam pertimbangan keputusan hakim telah menganggap terbukti sesuatu perbuatan sesuai dengan keyakinan yang timbul dari hati nurani seorang hakim, maka dapat dijatuhkan putusan. Sistem ini menurut Martiman

Prodjohamidjojo tidak dianut dalam peradilan umum ataupun dalam KUHAP. Contoh dari sistem ini dipergunakan dalam peradilan yuri.22 Sedangkan menurut Wirjono Prodjodikoro sistem pembuktian demikian pernah dianut di Indonesia yaitu pada peradilan distrik dan peradilan Kabupaten. Sistem ini memungkinkan hakim menyebut apa saja yang menjadi dasar keyakinannya, misalnya keterangan medium atau dukun.23

20

Ibid, hal. 40.

21

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta : Sapta Artha Jaya, 1996), hal. 259.

22

Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat Bukti. (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1983), hal. 12.

23


(34)

3. Teori pembuktian berdasar keyakinan hakim dalam batas-batas tertentu atas alasan yang logis (conviction raisonee). Teori ini disandarkan pada keyakinan hakim atas dasar pertimbangan akal atau menurut logika yang tepat

(berendeneerde overtuiging) dan memberikan keleluasaan kepada hakim secara bebas untuk menggunakaan alat bukti yang lain.

4. Teori pembuktian berdasar keyakinan hakim yang timbul dari alat-alat bukti dalam undang-undang secara negatif (negatief wettelijk bewijstheori). Dalam sistem ini ada dua hal yang merupakan syarat, yaitu :

a. Wettelijk, yaitu alat-alat bukti yang sah dan ditetapkan oleh undang-undang. b. Negatief, maksudnya dengan alat-alat bukti yang sah dan ditetapkan

undang-undang saja, belum cukup untuk memaksa hakim pidana menganggap bukti sudah diberikan, tapi masih dibutuhkan adanya keyakinan hakim.24 Dari keempat teori pembuktian di atas, ketentuan Hukum Acara Pidana Indonesia mengikuti prinsip dari teori negatief wettelijk bewijstheorie. Hal ini bisa dilihat dari ketentuan Pasal 183 KUHAP :

“Hakim tidak boleh menjatuhkan putusan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

24


(35)

Berdasar ketentuan di atas, maka dalam Pasal 183 KUHAP terdapat dua unsur, yaitu :

1. Sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang sah,

2. Dengan dasar alat bukti yang sah itu hakim yakin bahwa : tindak pidana telah terjadi dan terdakwa telah bersalah. Sehingga dengan demikian antara alat-alat bukti dan keyakinan hakim harus ada hubungan causal (sebab-akibat).

Hal tersebut sama dengan ketentuan dalam Pasal 294 Ayat (1) HIR yang menyatakan :

“Tidak seorang pun boleh dikenakan pidana selain jika hakim mendapat keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar telah terjadi perbuatan yang dapat dipidana dan bahwa orang-orang yang didakwa itulah yang bersalah melakukan perbuatan itu.”

Ketentuan yang sama juga telah diatur dalam Pasal 8 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman :

“Tiada seorang juga pun dapat dijatuhi pidana kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat keyakinan, bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya.”

Selain itu, asas negatief wettelijk ini juga tercermin dalam Pasal 189 ayat (4) KUHAP :

“Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.”


(36)

Sedangkan mengenai kewajiban pembuktian, atau siapa yang harus membuktikan, menurut KUHAP adalah dibebankan kepada Penuntut Umum. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 66 KUHAP :

“Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian.” Menurut penjelasan Pasal 66 tersebut, ketentuan ini adalah penjelmaan dari asas “praduga tak bersalah”, di mana mengenai asas tersebut diatur dalam penjelasan umum butir 3 c KUHAP :

“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau

dihadapkan di muka sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”

Asas praduga tak bersalah ini juga telah diakui oleh dunia internasional, antara lain diatur dalam Pasal 14 Ayat (2) Perjanjian Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik Tahun 1966 :

“Setiap orang yang dituduh melakukan pelanggaran pidana akan berhak atas praduga tak bersalah sampai terbukti bersalah menurut hukum.”

Sebagai komponen dasar dari hak atas suatu peradilan yang fair, asas praduga tak bersalah antara lain berarti bahwa beban pembuktian dalam suatu peradilan pidana tergantung pada penuntutan dan si tertuduh mempunyai keuntungan sebagai orang yang diragukan.25 Selain itu dalam Pasal 14 Ayat (3) huruf g Perjanjian Internasional tersebut dinyatakan bahwa :

25

Lawyer Committee for Human Right, Fair Trial (Prinsip-Prinsip Peradilan yang Adil dan Tidak Memihak), Diterjemahkan oleh Ahmad Fauzan, (Jakarta : Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1997), hal. 23.


(37)

“Dalam penentuan tuduhan pelanggaran pidana terhadapnya, setiap orang berhak untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian terhadap diri sendiri atau mengaku bersalah.”.

Ketentuan ini sering disebut juga dengan asas non self incrimination. Meskipun ketentuan ini tidak secara tegas mengatur tentang bukti yang di dapat dengan cara pemaksaan, namun telah lama ditafsirkan bahwa bukti tersebut tidak dapat diterima di pengadilan. Disamping itu diamnya tersangka atau terdakwa tidak dapat digunakan sebagai bukti untuk menyatakan bersalah dan tidak ada konsekuensi yang negatif dapat ditarik dari pelaksanaan hak untuk diam dari seorang tersangka.26 Dari penjelasan di atas terlihat bahwa asas praduga tak bersalah secara tegas telah diatur oleh peraturan perundang-undangan, yang tidak hanya diakui di Indonesia, tetapi juga diakui di dunia internasional. Asas praduga tak bersalah ini merupakan salah satu bentuk jaminan

perlindungan terhadap hak asasi manusia. Penerapan asas pembalikan beban pembuktian dalam suatu perkara pidana jelas-jelas merupakan pelanggaran terhadap asas praduga tak bersalah ini. Dalam asas pembalikan beban pembuktian hakim berangkat dari praduga bahwa terdakwa telah bersalah

melakukan suatu pelanggaran hukum atau presumption of guilt atau presumption

of corruption. Kemudian terdakwalah yang harus membuktikan bahwa dirinya

26


(38)

tidak bersalah atau tidak korupsi, dan jika dia tidak dapat membuktikan hal itu, maka ia dinyatakan bersalah tanpa perlu pembuktian lagi dari pihak Penuntut Umum. Bila tersangka atau terdakwa ditahan maka hampir mustahil hal itu bisa

dilakukan. Dalam sistem pembuktian seperti tersebut di atas, tampak bahwa hak-hak seorang terdakwa tidak dijamin, bahkan dilanggar. Padahal dalam Pasal 183 KUHAP, sebagaimana telah dijelaskan di atas telah diatur secara tegas bahwa :

“Hakim tidak boleh menjatuhkan putusan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Dalam asas pembalikan beban pembuktian, ketentuan tersebut secara terang-terangan disimpangi, karena Hakim dapat saja menjatuhkan putusan pidana tanpa adanya suatu alat bukti, yaitu jika terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Jadi di sini hanya dengan adanya keyakinan hakim sudah cukup untuk menyatakan kesalahan terdakwa, tanpa perlu adanya alat bukti. Hal ini sama dengan sistem dalam teori pembuktian conviction intime

(pembuktian berdasar keyakinan hakim semata) yang telah diuraikan di atas. Hal ini tentu saja sangat merugikan terdakwa. Menurut Luhut MP Pangaribuan, bila sistem pembuktian terbalik ini diterapkan maka akan membawa implikasi negatif yang luar biasa yaitu :


(39)

”Pertama, secara umum kita akan kembali pada satu zaman yang disebut dengan ancient regime. Pada zaman ini berkuasa The Holy Inqusition yang kemudian dikenal dalam hukum acara pidana dengan sistem inkuisitoir. Tersangka dan Terdakwa menjadi obyek. Sebab pengakuan merupakan alat bukti yang penting. Kedua, dalam situasi rendahnya kapabilitas dan integritas aparatur penegak hukum dewasa ini maka sistem pembalikan beban

pembuktian bisa menjadi alat black-mailing yang efektif untuk memperkaya diri dan bentuk penyalahgunaan penegakan hukum yang lain. Ketiga, usaha untuk meningkatkan profesionalitas dan integritas penegak hukum akan menjadi tidak perlu bila sistem pembuktian terbalik/pembalikan beban

pembuktian diterima. Sebab ia cukup mengandalkan perasaan maka bila orang itu gagal narapidanalah ia. Jadi aparatur penegak hukum itu cukup setingkat debt collector.”27

Akan tetapi meskipun asas pembalikan beban pembuktian mengandung banyak kelemahan seperti di atas, hal ini bukan berarti asas pembalikan beban pembuktian tidak dapat diterapkan. Penerapan sistem pembalikan beban pembuktian terhadap tindak pidana korupsi ini sudah dianut di Hongkong, Malaysia, dan Singapura. Di Hongkong misalnya, pembuktian terbalik ini diatur dalam Pasal 10 (1b)

Prevention of Bribery Ordonance 1970, Added 1974 :

“or is in control of pecuniary resources of property disproportionate to his present or past official emoluments, shall, unless he gives satisfactory explanation to the court as to how he was able to maintain such a standard of living or how such pecuniary resources of property came under his control, be guilty of an offence.”

Dari ketentuan tersebut terlihat bahwa menguasai sumber-sumber pendapatan atau harta yang tidak sebanding dengan gajinya pada saat ini atau pendapatan resmi di masa lalu, akan dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran, kecuali kalau ia dapat memberikan suatu penjelasan yang memuaskan kepada pengadilan mengenai

27

Luhut MP Pangaribuan, Sistem Pembuktian Terbalik, (Kompas : Jakarta 2 April 2001), hal. 1.


(40)

bagaimana ia mampu memperoleh standar hidup yang demikian itu atau bagaimana sumber-sumber pendapatan atau harta itu dapat dikuasai. Penerapan sistem

pembalikan beban pembuktian ini menurut keterangan seorang pejabat Independent Comission Against Corruption Hongkong cukup efektif untuk memberantas tindak pidana korupsi, karena seseorang akan takut melakukan korupsi. Sebab akan sulit baginya memberikan penjelasan yang memuaskan tentang sumber kekayaannya kalau memang kekayaannya itu diperoleh dengan cara yang tidak sah.28

Mengingat “merajalelanya” tindak pidana korupsi di Indonesia, maka tidak salah jika pemerintah kemudian merumuskan sistem pembalikan beban pembuktian di dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 yang kemudian di amandemen melalui Undang-undang No. 20 Tahun 2001 guna pemberantasan korupsi. Hal ini sesuai dengan teori tujuan hukum menurut Jeremy Bentham dalam bukunya Introduction to

the Morals and Legislation, yaitu bahwa hukum bertujuan untuk mewujudkan

semata-mata berfaedah bagi orang. Karena apa yang berfaedah bagi seseorang mungkin saja merugikan orang lain, maka tujuan hukum adalah menjamin

kebahagiaan sebanyak-banyaknya bagi orang sebanyak-banyaknya.29 Penerapan sistem pembalikan beban pembuktian terhadap tindak pidana korupsi memang di satu pihak akan merugikan terdakwa, karena hak-haknya kurang terlindungi, tetapi di lain pihak hal ini akan membawa kebahagiaan atau kemanfaatan bagi banyak orang, karena dapat mengurangi tindak pidana korupsi yang telah begitu banyak merugikan negara.

28

Andi Hamzah, Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara, (Jakarta : Sinar Grafika), 2005), hal. 21.

29

CST Cansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1989), hal. 44.


(41)

2. Konsepsi

Dalam bagian ini akan dijelaskan hal-hal yang berkenaan dengan konsepsi30 yang berkaitan dengan definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini. Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindari perbedaan penafsiran dan pengertian dari beberapa istilah yang digunakan, antara lain :

“Shifting of Burden Proof” adalah suatu “pergeseran beban pembuktian”

yang dianut oleh Undang-undang No. 3 Tahun 1971 dan Undang-undang No. 31 Tahun 1999. Kedua produk perundang-undangan ini tetap hanya menempatkan pembuktian sebagai suatu “pergeseran” saja, bukan “pembalikan” beban pembuktian, sehingga istilah yang populer pada Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang pembalikan beban pembuktian adalah Sistem Pembalikan Beban Pembuktian yang bersifat Terbatas dan Berimbang.

Arti ”terbatas”, karena memang pembalikan beban pembuktian tidak dapat dilakukan secara total dan absolute terhadap semua delik yang diatur dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999, Sedangkan “berimbang” artinya beban pembuktian terhadap dugaan adanya tindak pidana korupsi tetap dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum.

“Reversal of burden proof” atau “omkering van bewijslast” adalah suatu proses pembuktian Tindak pidana korupsi yang beban pembuktiannya diletakkan pada Terdakwa, artinya terdapat suatu pembalikan beban pembuktian.31

30

Bandingkan dengan M. Solly Lubis, Pandangan Konseptual dalam arti mampu berpikir dan memproduk buah pikiran yang bernilai konseptual untuk menunjang kegiatan-kegiatan konseptualisasi baik melalui jalur formal maupun non formal, M. Solly Lubis, Sistem Nasional, (Bandung : Mandar Maju, 2002), hal. V.

31

Indriyanto Seno Adji, Korupsi Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum Pidana, (Jakarta : Diadit Media, 2007), hal. 331.


(42)

“Extra ordinary crime” adalah tindak pidana (korupsi) yang sulit pembuktiannya. Sedangkan “extra ordinary enforcement”, yaitu terjadinya pergeseran komprehensif terhadap sistem pembuktian tindak pidana (korupsi) mengingat sulitnya pembuktian kejahatan ini.

Korupsi sebagai “white collar crime”, adalah kejahatan (kerah putih), mengingat secara harfiah orang-orang yang memegang jabatan penting baik dalam struktur pemerintahan maupun badan usaha tersebut biasanya memakai kemeja berkerah putih atau berdasi serta memiliki tingkat sosial dan

intelektualitas lebih tinggi yang membedakannya dengan orang kebanyakan atau orang biasa.32

G. Metode Penelitian

Berdasarkan objek penelitian yang merupakan hukum positif, maka metode yang akan dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yang diperluas yaitu mengumpulkan, mengkaji dan menganalisis serta

mensistematiskan kaidah-kaidah hukum yang berlaku berkaitan dengan asas, konsep tentang sistem pembalikan beban pembuktian yang bersifat terbatas dan berimbang dalam kerangka optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi yang didukung dengan penelitian lapangan sebagai penunjang (support).

32


(43)

Sebagai sebuah penelitian ilmiah, maka rangkaian kegiatan penelitian dimulai dari pengumpulan data sampai pada analisis data dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah penelitian ilmiah, sebagai berikut :

1. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriftif analitis. Dengan demikian dalam penelitian ini tidak hanya ditujukan untuk mendeskripsikan gejala-gejala atau fenomena-fenomena hukum yang terkait dengan pembalikan beban pembuktian yang bersifat terbatas dan berimbang dalam kerangka optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi, akan tetapi lebih ditujukan untuk menganalisis fenomena-fenomena hukum tersebut dan kemudian mendeskripsikannya secara sistimatis sesuai dengan kaidah-kaidah penelitian.

2. Metode Pendekatan

Sesuai dengan karakteristik perumusan masalah yang ditujukan untuk

menganalisis kaidah-kaidah hukum tentang sistem pembalikan beban pembuktian yang bersifat terbatas dan berimbang dalam kerangka optimalisasi pemberantasan tindak pidana korupsi maka jenis penelitian ini tergolong pada penelitian yuridis normatif yang diperluas. Dalam penelitian ini, hukum dipandang sebagai kaidah atau norma yang bersifat otonom dan bukan sebagai sebuah fenomena sosial. Oleh karena itu, penelitian ini menjadikan kaidah hukum sebagai hasil penelitian.


(44)

Metode penelitian hukum normatif adalah penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Ronald Dworkin menyebut metode penelitan tersebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu suatu penelitian yang menganalisis baik hukum sebagai law as it written in the book, maupun hukum sebagai law as it decided by the judge through judical process. 33

Dalam penelitian ini, selain untuk mengumpulkan dan menganalisis data

tentang kecukupan kaidah-kaidah hukum dalam Hukum Pidana Khusus,34 maka akan

ditinjau pula tentang keserasian kaidah-kaidah hukum dalam Hukum Pidana Khusus tersebut dengan Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 dan peraturan lainnya yang terkait dalam penelitian ini.

33

Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, disampaikan pada dialog Interaktif Tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penelitian Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, tanggal 18 Pebruari 2003, hal. 2.

34

Loebby Loqman mengatakan dari sejak dirancangnya Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disadari bahwa Undang-undang tersebut merupakan Undang-undang hukum pidana khusus. Yaitu Undang-undang hukum pidana yang sekaligus mengatur substansi maupun hukum acara pidana di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sebagai Undang-undang Hukum Pidana khusus di bidang korupsi, Undang-undang tersebut dapat dianggap sebagai pendamping peraturan perundang-undangan yang ada, yakni ketentuan yang terdapat di dalarn KUHP. Karena dianggap ketentuan yang ada kurang dapat melakukan pemberantasan korupsi dengan seksama, cepat dan effisien, Dapat dilihat dalam Loebby Loqman, Laporan Akhir Penelitian Ilmiah Masalah Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, (Jakarta : Departemen Kehakiman RI Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1998/1999), hal. 6.


(45)

3. Sumber Data

Sumber bahan hukum pada penelitian ini didasarkan pada bahan-bahan sumber berupa perpustakaan dan dokumen pemerintah. Penelitian lapangan juga dilakukan untuk mendapatkan bahan-bahan guna melengkapi dan menunjang bahan-bahan kepustakaan dan dokumen.

Penelitian lapangan yang dilaksanakan merupakan upaya memperoleh bahan-bahan langsung berupa dokumentasi dari instansi-instansi pemerintah yang berwenang dan terkait. Hal ini dilakukan oleh karena kemungkinan besar tidak semua bahan-bahan yang diperlukan dapat diperoleh atau tersedia di perpustakaan. Adapun yang menjadi informan, adalah :

a. Tiga orang Jaksa di wilayah hukum Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara

b. Satu orang Hakim di wilayah hukum Pengadilan Tinggi Sumatera Utara

Penelitian deskriftif lebih mengutamakan data sekunder atau library research, yakni :

a. Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang

No. 31 Tahun 1999, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berhubungan dengan objek penelitian adalah merupakan bahan hukum primer.


(46)

b. Bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa hasil penelitian para ahli, hasil karya ilmiah, buku-buku ilmiah, ceramah atau pidato dan dokumen dari instansi terkait lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini adalah merupakan bahan hukum sekunder.

c. Bahan hukum tertier, kamus hukum, kamus bahasa Inggris, Indonesia, Belanda

dan artikel-artikel lainnya baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri, baik yang berdasarkan civil law maupun common law yang bertujuan untuk mendukung bahan hukum primer dan sekunder.

4. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dari penelitian terdahulu yang berhubungan dengan objek telaahan penelitian ini yang dapat berupa peraturan perundang-undangan, buku, tulisan ilmiah dan karya-karya ilmiah lainnya.

5. Alat Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan melalui rekaman audio Jaksa Pununtut Umum dan studi dokumen dimana seluruh data sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan mempergunakan studi pustaka (library research).


(47)

Pada tahap awal pengumpulan data, dilakukan inventaris seluruh data dan atau dokumen yang relevan dengan topik pembahasan. Selanjutnya dilakukan

pengkategorian data-data tersebut berdasarkan rumusan permasalahan yang telah ditetapkan. Data tersebut selanjutnya dianalisis dengan metode analisis yang sudah dipilih.

6. Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan tersebut, selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif, artinya peneliti hanya berpatokan kepada data sekunder/tertulis saja dan didukung oleh logika berpikir secara induktif. Dipilihnya metode analisis induktif adalah agar gejala-gejala normatif yang

diperhatikan dapat dianalisis dari berbagai aspek secara mendalam dan terintegrasi secara komprehensif antara aspek yang satu dengan lainnya.

Setelah data dikumpulkan, data tersebut kemudian diabstraksikan untuk menentukan konsep-konsep yang lebih umum. Konsep yang lebih umum sebagai hasil abstraksi merupakan jawaban-jawaban dari permasalahan yang dalam

pendeskripsiannya didukung oleh argumentasi-argumentasi yang diperoleh dari data-data sekunder yang sudah ada. Dengan demikian data yang dikumpulkan,

termasuk kaidah-kaidah hukum yang merupakan data berkarakter khusus.

Sedangkan hasil abstraksi dari data tersebut adalah konsep yang bersifat lebih khusus, sesuai dengan pendekatan logika induktif.


(48)

BAB II

PENERAPAN SISTEM PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN DALAM KERANGKA PEMBERANTASAN

TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Pengertian Sistem Pembuktian

Sistem berasal dari istilah Systema (bahasa Yunani), yang berarti sesuatu yang terorganisasi, suatu keseluruhan kompleks. Dengan demikian tidak perlu dipertentangkan antara sistem dan sub sistem, sebab sub sistem adalah bagian dari suatu sistem. Jadi, sistem mengandung arti terhimpunnya bagian atau komponen yang saling berhubungan secara beraturan dan merupakan suatu

kasatuan.35 Mengacu pada pengertian tersebut, maka sistem hukum pembuktian

dapat diartikan sebagai suatu keseluruhan dari unsur-unsur hukum pembuktian yang berkaitan dan berhubungan satu dengan lainnya serta saling mempengaruhi dalam suatu kesatuan.

Dalam pemeriksaan perkara pidana (korupsi), Hakim mempunyai kewajiban menerapkan hal-hal yang berkaitan dengan hukum pembuktian dan alat-alat bukti (Pasal 183 sampai dengan Pasal 232 KUHAP) guna memperoleh kebenaran materiil, terhadap :

35


(49)

a. Perbuatan manakah yang dapat dianggap terbukti.

b. Apakah telah terbukti, bahwa terdakwa bersalah atas perbuatan yang

didakwakan kepadanya.

c. Delik apa yang dilakukan sehubungan dengan perbuatan terdakwa tersebut. d. Pidana apa yang harus dijatuhkan kepada terdakwa.

Mengkaji keempat persoalan ini bukan pekerjaan yang mudah, jika hendak memperoleh kebenaran materiil. Menurut Wiryono Prodjodikoro, kebenaran itu biasanya hanya mengenai keadaan-keadaan tertentu pada masa yang sudah lampau. Oleh karena itu kebenaran atas keadaan pada masa lampau, sukar bagi Hakim untuk menyatakan kebenarannya, tidak dapat mungkin dicapai. Maka hukum acara pidana hanya dapat menunjukkan jalan berupaya guna mendekati sebanyak mungkin persesuaian antara keyakinan Hakim dan kebenaran sejati (de materiele waarheid).36 Menelusuri kebenaran sejati sangat luas aspeknya, oleh karena dalam KUHAP ada beberapa tahapan dalam mencari kebenaran sejati, yakni melalui penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan persidangan.

36

Martiman Prodjohamidjojo, Pembahasan Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta : Pradnyaparaminta, 1988), hal. 133.


(50)

B. Teori Pembuktian

Ada beberapa teori atau sistem pembuktian, yakni:

Teori Tradisionil, ada beberapa teori tentang pembuktian yang tradisionil, yakni :

a. Teori Negatief

Teori ini mensyaratkan bahwa Hakim boleh menjatuhkan pidana jika Hakim mempunyai keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa telah terjadi perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa. Pada dasarnya disini adalah : Keharusan adanya keyakinan Hakim, dan keyakinan itu didasarkan kepada alat-alat bukti yang sah.

b. Teori Positief

Teori ini mengatakan bahwa Hakim hanya boleh menyatakan kesalahan terdakwa, bila ada bukti minimum yang ditentukan oleh undang-undang. Apabila bukti minimum tersebut dipenuhi, maka Hakim wajib

menyatakan terdakwa bersalah. Titik berat dari ajaran ini ialah positivitas. Tidak ada bukti, tidak dihukum, ada bukti meskipun sedikit harus

dihukum.37

37


(51)

c. Teori Bebas

Teori ini tidak membatasi Hakim kepada undang-undang. Hal yang dijadikan pokok, adalah keyakinan tentang kesalahan terdakwa, yang didasarkan pada alasan-alasan yang dapat dimengerti dan dibenarkan oleh pengalaman.38

d. Teori Modern

a) Teori pembuktian dengan keyakinan belaka (bloot gemoedelijke

overtuiging, atau conviction intime). Aliran ini tidak membutuhkan suatu

peraturan tentang pembuktian dan menyerahkan segala sesuatunya kepada kebijaksanaan Hakim, terkesan Hakim sangat bersifat subjektif. Menurut aliran ini sudah dianggap cukup bahwa Hakim mendasarkan terbuktinya suatu keadaan atas keyakinan belaka, dengan tidak terikat oleh suatu peraturan. Dalam sistem ini, Hakim dapat menentukan apakah suatu perbuatan (pidana) telah terbukti. Karenanya aliran ini disebut conviction

intime atau bloote gemoedelijke overtuiging.39 Dasar pertimbangannya

menggunakan pikiran secara logika dengan memakai silogisme,40

38

Bosh-Kemnper, Komentar Atas Reglemen Hukum Acara Didalam Pemeriksaan Dimuka Pengadilan Negeri, (Jakarta : NV Versluys, 1972), hal. 242.

39

Wiryono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, (Bandung : Sumur, 1962), hal. 71.

40

Silogisme adalah suatu bentuk proses penalaran yang berusaha menghubungkan dua preposisi (pernyataan) yang berlainan untuk menurunkan suatu kesimpulan atau inferensi yang


(52)

yakni premise mayor, premise minor dan konklusio,

sebagai hasil penarikan pikiran dan logika. Sistem penjatuhan pidana tidak didasarkan pada alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Contoh silogisme :

Premise mayor : Semua buruh adalah manusia pekerja. Premise minor : Semua tukang batu adalah buruh.

Konklusio : Semua tukang batu adalah manusia pekerja.

Kelemahan pada sistem ini, terlalu banyak memberikan kepercayaan kepada Hakim dan akibatnya sulit melakukan pengawasan. Praktek peradilan juri di Prancis membuat pertimbangan berdasarkan metode ini, dan banyak mengakibatkan putusan bebas yang sangat aneh.41

b) Teori pembuktian menurut undang-undang secara positif (positief

wettelijke bewijstheorie). Dalam sistem ini undang-undang menetapkan

alat-alat bukti mana yang boleh digunakan oleh Hakim, dan bagaimana pula Hakim mempergunakan alat-alat bukti tersebut serta bagaimana kekuatan pembuktiannya. Jika alat-alat bukti ini sudah dipakai sebagaimana mestinya, Hakim harus menetapkan keadaan yang sudah terbukti,

walaupun Hakim mungkin berkeyakinan bahwa yang harus dianggap

merupakan preposisi ketiga. Kedua proposisi pertama disebut premis. Dapat dilihat dalam Gorys Keraf, Argumentasi dan Narasi, (Jakarta : Gramedia, 1987), hal. 58.

41

Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1999), hal. 241.


(53)

terbukti itu tidak benar. Sebaliknya, jika tidak dipenuhi cara-cara menggunakan alat bukti, meskipun mungkin Hakim berkeyakinan bahwa keadaan itu benar-benar terjadi, maka dikesampingkanlah sama sekali keyakinan Hakim tentang terbukti atau tidaknya sesuatu hal.42 D. Simons menyatakan bahwa system positief wettelijk di benua Eropa dipakai pada waktu berlakunya Hukum Acara Pidana yang bersifat

inquisitor. Peraturan itu menganggap terdakwa sebagai objek

pemeriksaan belaka; dalam hal ini Hakim hanya merupakan alat perlengkapan saja.43 Kelemahan pada sistem ini tidak memberikan kepercayaan kepada Hakim. Hal ini bertentangan dengan prinsip Hukum Acara Pidana, yaitu putusan Hakim harus didasarkan atas kebenaran. c) Teori pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief

wettelijk overtuiging) dan Teori keyakinan atas alasan logis (beredeneerde vertuging atau conviction raisonnee). Kedua teori pembuktian ini,

jika dibandingkan, maka akan ditemukan persamaan dan perbedaannya, yaitu,

Persamaannya :

Hakim diwajibkan menghukum orang, apabila ia yakin bahwa perbuatan Terdakwa terbukti dan keyakinan ini harus disertai dengan alasan-alasan yang berdasarkan atas suatu rangkaian buah pikiran (logika).

42

Wiryono Prodjodikoro, Op.Cit., hal. 72.

43

D. Simons, Beknopte handleiding tot het wetbook van Strafvordering, (Bohn : Haarlem de Erven, 1952), hal. 114.


(54)

Perbedaannya :

Teori ini berdasarkan alat bukti (wettelijke bewijsmiddelen) yang telah ditetapkan undang-undang. Tidak boleh menggunakan alat bukti lain, selain yang ditetapkan. Cara menggunakan alat bukti (bewijstvoering), Hakim juga terikat pada undang-undang. Sedangkan, teori keyakinan atas alasan logis, Hakim dalam mengambil keputusan dan menggunakan alat bukti tidak terikat (bebas) sepanjang hal itu tepat menurut logika.44

C. Kekuatan Pembuktian

1. Keterangan Saksi

Dapat tidaknya seorang saksi dipercayai, tergantung dari banyak hal yang harus diperhatikan oleh Hakim. Dalam Pasal 185 ayat (6), dikatakan dalam menilai keterangan saksi, Hakim harus sungguh-sungguh memperhatikan beberapa hal, yakni:

a. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan saksi yang lain. b. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain.

c. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi memberikan keterangan

tertentu.

d. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya

dapat mempengaruhi dapat/tidaknya keterangan saksi itu dipercaya.

44


(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku :

Adji, Indriyanto Seno, Korupsi Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum Pidana, Jakarta : Diadit Media, 2007.

Arief, Barda Nawawi, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung : Alumni, 1991. Baxi Uppendra, Liberty and Corruption, Lalbagh : Luctnow EBC Publising Ltd,

1990.

Cansil, CST, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1989.

Cooal, David, and Tyrer, Criminal Justice, An Introduction to the Criminal Justice System in England and Wales, New York : Longman Group Ltd, 1995. Friedman, W, Teori dan Filsafat Hukum, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1993 Friedman, Lawrence M., Total Justice, Russel : Sage Foundation, 1994

Gautama, Sudargo, Pengertian Tentang Negara Hukum, Bandung : Penerbit Alumni, 1983.

Gibbons Don C., Society Crime and Criminal Careers., New Delhi : Prentice Hall of India, 1987

Hamzah, Andi, Perkembangan Pidana Khusus, Jakarta: Rineka Cipta, 1991. __________ , Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 1993 __________ , Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 1993. __________ , Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta : Sapta Artha Jaya, 1996. __________ , KUHP dan KUHAP, Jakarta : Rineka Cipta, 1998.

__________ , Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1999.


(2)

__________ , Pemberantasan Korupsi Ditinjau dari Hukum Pidana, Jakarta : Pusat Studi Hukum Pidana Universitas Trisakti, 2002.

__________ , Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Jakarta: Radja Grafindo, 2003.

__________ , Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara, Jakarta : Sinar Grafika, 2005.

Hornby, A. S, The New Webster International Dictionary, Oxford : 1980

Kemnper, Bosh, Komentar Atas Reglemen Hukum Acara Didalam Pemeriksaan Dimuka Pengadilan Negeri, Jakarta : NV Versluys, 1972.

Keraf, Gorys, Argumentasi dan Narasi, Jakarta : Gramedia, 1987.

Lawyer Committee for Human Right, Fair Trial (Prinsip-Prinsip Peradilan yang Adil dan Tidak Memihak), Diterjemahkan oleh Ahmad Fauzan, Jakarta : Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1997.

Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung : Mandar Maju, 1994. __________ , Sistem Nasional, Bandung : Mandar Maju, 2002.

__________ , Pembahasan Undang-Undang 1945, Alumni, 1975.

Macinto Donald A., fundamental of the Criminal Justice System, Ontario : The Carswell Ltd, 1989.

Mochtar, M. Akil, Memberantas Korupsi, Q-Communication, Jakarta 2006.

Muladi & Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung : Alumni, 1992.

Pitlo, Bewijs en Verjaring naar het Nederlands Burgelijk wetboek, Nederlands : Wetbook, 1968.

Poernomo, Bambang, Pertumbuhan Hukum Penyimpangan di luar Kodifikasi Hukum Pidana, Jakarta : Bina Aksara, 1984.


(3)

__________ , Pembuktian Hukum Pidana, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian hukum UI, 1995.

Prodjohamidjojo, Martiman, Sistem Pembuktian dan Alat Bukti. Jakarta : Ghalia Indonesia, 1983.

__________ , Pembahasan Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Jakarta : Pradnyaparaminta, 1988.

Reksodiputro Mardjono, Kemajuan Perkembangan Ekonomi & Kejahatan, Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan & Pengabdian Hukum UI, 1994.

__________ , Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, Jakarta : Lembaga Kriminologi UI, 1994.

__________ , Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Universitas Indonesia, 1995.

Remmelink, J., Hukum Pidana : Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, Jakarta :

Gramedia, 2003.

Rosjadi, Imron., Badjeber, Zain, Undang-undang Hukum Acara Pidana, Jakarta : Eko Jaya, 1979.

Rukmini, Mien, Perlindungan Ham melalui Azas Praduga Tidak Bersalah dan Azas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana, Jakarta : Jembatan, 2005.

Simons, D., Beknopte handleiding tot het wetbook van Strafvordering, Bohn : Haarlem de Erven, 1952.

__________ , Leerboek van het Nederlansche Strafrecht, Nederlansche : 1910. Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum, Bandung : Alumni, 1983. Soebekti, Aneka Perjanjian, Bandung : Alumni 1984.


(4)

.Stafford Wadsworth& Louise Rayar The Dutch Penal Code, diterjemahkan oleh, Colorado : Rothman & Co., 1997.

Tak, P.J.P., The Dutch Criminal Justice System, Boom : Juridische Uitgever, 2003.

Walker, Clive and Starmer, Keir, Justice in Error, London : Blackstone Paris Ltd, 1993.

__________ , Miscarriage of Justice, Blackstone Press Ltd, 1999.

Yarbrough, Tinsley E., A Possion for Justice, Oxford : University Press, 1987.

B. Makalah :

Kartayasa, Mansyur, Beban Pembuktian dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, Disampaikan pada Rakor Sesjampidsus Kejaksaan RI di Sasana Pradata Kejagung RI, tanggal, Mei 2000.

Kaufmann, Daniel, Governance and Corruption: New Empirical Frontier For Program ,Design, dalam T. Mulya Lubis, “Reformasi Hukum Anti Korupsi”, Makalah Disampaikan dalam Konferensi Menuju Indonesia Bebas Korupsi, Depok, 18 September 1998

Loqman, Loebby Laporan Akhir Penelitian Ilmiah Masalah Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, disampaikan di Departemen Kehakiman RI Badan

Pembinaan Hukum Nasional, 1999.

Nasution, Adnan Buyung, Prinsip-prinsip Umum Pengadilan yang Baik, Lokakarya Pengadilan Khusus di Jakarta, tanggal 19-10 Juni 2001.

Nasution, Bismar, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, disampaikan pada dialog Interaktif Tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penelitian Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, tanggal 18 Pebruari 2003.

C. Jurnal :

Adji, Indriyanto Seno, Newsletter Komisi Hukum Nasional Vol. 7, No. 2, Maret-April 2007.


(5)

Kaufmann, Daniel, Governance and Corruption, New Empirical Frontier For Program Design, Vol. 27, September 1998.

Majalah Time No. 15, tanggal 12 April 1993, hal. 40 – 41.

Pangaribuan, Luhut M, Sistem Pembuktian Terbalik, Kompas : Jakarta 2 April 2001, hal. 1.

Pendapat Akhir Fraksi Partai Golkar atas Perubahan Undang-undang No. 31 Tahun 1999.

Majalah Tempo, 22 Januari 1994, dalam BPKP, Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional.

Tranparency International, “Corruption Perception”, Index 1995, 1996, 1997, 1998,1999 dan 2000, Berlin Germany.

__________ , Corruption Perception Index 2001, 2002, 2003, 2004, 2005, Berlin Germany.

D. Peraturan/ Undang-undang :

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta : Nuasa Aulia, 2006.

Himpunan Engelbrecht, Jakarta : Iktiar Baru van Hoove, 1960.

Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Jakarta : Pantjuran Tudjuh, 1982.

Undang-undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)

Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta : Q-Communication, 2006.

Undang-undang No. 39 Tahun 1999, tentang Hak Asasi Manusia (HAM).

Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta : Q-Communication, 2006.


(6)

Undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberanrasan Korupsi. Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Peraturan KPK No. 07/KPK/02 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pemeriksaan Harta

Kekayaan Penyelenggara Negara. United Nations Convention Against Corruption, 2003.

Singapore Prevention of Corruption Act, Chapter 241, Singapore : 1993.

E. Internet :

Prasetyantoko,”business as usual,”

http://aprasetyantoko.blogspot.com/2006/04/business-as-usual.html


Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Terhadap Upaya Pengembalian Keuangan Negara Atas Tindak Pidana Korupsi Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

0 6 42

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

1 34 229

IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PEMBERIAN SANKSI DI PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI MEDAN.

0 4 25

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 0 8

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 0 1

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 1 28

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 0 36

Eksistensi Pidana Denda dalam Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi

0 0 3

Pembuktian Terbalik Oleh Jaksa Penuntut Umum Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

0 0 14

PENCANTUMAN SANKSI PIDANA KUMULATIF SEBAGAI SUATU PENAL POLICY DALAM PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DIKAITKAN DENGAN UNDANG UNDANG NO.20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NO.31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDA

0 0 16