KEMISKINAN DI INDONESIA

4. KEMISKINAN DI INDONESIA

Membahas ketimpangan distribusi pendapatan tidak dapat dilepaskan dengan masalah kemiskinan. Ketimpangan distribusi yang ekstrim menunjukkan adanya perbedaan yang mencolok antara kelompok kaya dan miskin. Kelompok kaya menerima bagian yang sangat jauh lebih besar dibandingkan dengan kelompok miskin. Di Indonesia, tingkat kemisikan masih relatif tinggi. Di bawah ini dibahas tentang kemisikan di Indonesia.

a. Pengertian Kemiskinan

Badan Pusat Statistik (BPS) mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasar, baik kebutuhan pangan maupun nonpangan. Batas kecukupan makanan (pangan) didasarkan pada besarnya pengeluaran uang untuk memenuhi kebutuhan minimum energi 2.100 kalori perkapita perhari. Kebutuhan energi tersebut didasarkan pada 52 komoditas makanan terpilih sesuai dengan pola konsumsi penduduk. Sedangkan batas kecukupan nonpangan dihitung dari besarnya uang yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan minimum seperti perumahan, sandang,

kesehatan, pendidikan, transportasi, dan lain-lain. 53 Dalam membahas kemiskinan di Indonesia, BPS menetapkan batas pendapatan minimum per

kapita untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar, sebagai berikut: 54

53 BPS, Jakarta-Indonesia. Data Informasi Kemiskinan Tahun 2003, Katalog BPS: 2331 (Jakarta: VC Nasional, 2003), hh.2-3.

54 BPS, Jakarta-Indonesia. Statistik Indonesia 2002, Katalog BPS: 1401 (Jakarta: BPS, 2002), h. 578

Tabel-7.3 BATAS PENGELUARAN MINIMUM

UNTUK DAPAT MEMENUHI KEBUTUHAN DASAR

Pengeluaran/kapita/bulan

Tahun

Kota (Rp)

Desa (Rp)

Sumber Data: BPS 55

Ginanjar Kartasasmita (1999) menyatakan bahwa seseorang disebut miskin secara absolut apabila tingkat pendapatannya tidak cukup untuk

memenuhi kebutuhan dasar, yakni kebutuhan hidup minimum. 56

b. Kondisi Kemiskinan di Indonesia

Berdasarkan kriteria batas pengeluaran minimum sebagaimana Tabel-7.5 di atas, BPS menyajikan data jumlah penduduk miskin di Indonesia sebagai berikut:

55 Statistik Indonesia , Tabel 12.1.B 56 Entang Sastraatmadja, Anatomi dan Suara Kemiskinan, http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1103

/17/0802.htm

Tabel-7.4 PERKEMBANGAN JUMLAH PENDUDUK

MISKIN DI INDONESIA

Jumlah Penduduk Miskin (juta)

Tahun

Kota Desa Jumlah

Sumber Data: BPS 57

Sedangkan jumlah penduduk miskin di Indonesia dalam persentase adalah sebagai berikut:

Tabel-7.5 PERKEMBANGAN PROSENTASE

PENDUDUK MISKIN DI INDONESIA

Persentase Penduduk Miskin

Tahun

Kota Desa Jumlah

Sumber Data: BPS 58

57 Statistik Indonesia , Tabel 12.1.A 58 Statistik Indonesia , Tabel 12.1.B

Berdasarkan Tabel-7.4 dan Tabel-7.5 diketahui bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia relatif masih sangat tinggi. Secara total jumlahnya masih berkisar pada angka 40 juta orang atau sekitar 20% dari jumlah penduduk yang pada tahun 2006 yang mencapai jumlah 222,19 juta orang. Peta kemiskinan dapat dilihat pada komposisi daerah pedesaan dan perkotaan. Tabel-7.5 menunjukkan bahwa persentase kemiskinan di daerah pedesaan tahun 2006 sebanyak 21,81% (dari jumlah penduduk di pedesaan), jauh lebih besar dibandingkan dengan di daerah perkotaan yang hanya sekitar 13,47%. Hal ini dapat dilihat dari besarnya arus urbanisasi, karena di pedesaan relatif lebih sulit mendapatkan pekerjaan dibandingkan dengan di perkotaan.

Tren kondisi kemiskinan di Indonesia menunjukkan bahwa secara absolut jumlahnya meningkat pada saat krisis ekonomi, yaitu dari 34,5 juta orang pada tahun 1996 menjadi 49,5 juta orang pada tahun 1998 dan menurun lagi menjadi 30,3 juta pada tahun 2006. Secara relatif juga hampir tidak ada perbedaan, yaitu secara total sebesar 17,7% pada tahun 1996 menjadi 24,5% pada tahun 1998 dan menurun lagi menjadi 17,75 % pada tahun 2006.

Krisis telah memperburuk harkat kemanusiaan dengan meningkatkan jumlah penduduk miskin, terutama melalui kenaikan harga-harga secara mendadak dan nilai rupiah terdepresiasi sangat cepat. Kenaikan harga-harga, khususnya harga barang-barang impor menyebabkan tekanan sektor riil. Akibatnya, tekanan pada kesempatan kerja, permintaan atas barang-barang dan jasa-jasa melemah, selanjutnya sektor industri mengurangi produksi sehingga banyak terjadi pemutusan hubungan kerja. Tingkat produksi serta pendapatan dari pertanian di pedesaan cenderung menurun.

c. Implikasi Kemiskinan

Kemiskinan merupakan masalah yang kompleks. Masyarakat miskin tidak saja rendah dari segi pendapatan dan tingkat konsumsinya, tetapi juga rendah tingkat pendidikan dan kesehatannya, tidak berdaya untuk berpartisipasi dalam Kemiskinan merupakan masalah yang kompleks. Masyarakat miskin tidak saja rendah dari segi pendapatan dan tingkat konsumsinya, tetapi juga rendah tingkat pendidikan dan kesehatannya, tidak berdaya untuk berpartisipasi dalam

memenuhi kebutuhan pangan dan pada akhirnya berpengaruh terhadap keadaan gizi terutama anak balita, ibu hamil dan menyusui.

Todaro (1989) dan Komaruddin (1991) mengatakan bahwa kemiskinan berkaitan dengan hal-hal yang mempengaruhi kebutuhan manusia. Kemiskinan dapat dikaitkan dengan kekurangan modal, kekurangan gizi, perumahan yang tidak sehat, pelayanan kesehatan yang tidak memadai, tingkat pendidikan yang

rendah, dan pendapatan yang rendah. 60 Sementara di beberapa kasus, seperti ditemukan Irawan (1998),

penurunan pendapatan secara tajam menyebabkan banyak rumah tangga menjadi sangat nestapa. Mereka mengalami kesulitan untuk membeli makanan. Penurunan ini umumnya mengakibatkan berubahnya pola pengeluaran konsumsi dengan proporsi lebih besar, untuk kebutuhan makanan dibandingkan untuk kebutuhan bukan makanan, seperti untuk kebutuhan pendidikan dan kesehatan. Pada studi lainnya, Irawan (1999) juga menemukan bahwa mayoritas penduduk pedesaan cenderung merubah pola konsumsi makanan, baik kualitas maupun kuantitas, seperti dari nasi ke jagung

atau umbi-umbian, dari sebanyak 3 kali ke 1 atau 2 kali makan sehari. 61 Menjadi tugas negara untuk mengentaskan kemisikinan. Pembukaan