SYARIAT, HUKUM, DAN MOMEN … 161

BAB IV: SYARIAT, HUKUM, DAN MOMEN … 161

mengikuti sebagian saja dari shalat imam jamaah, lalu imam duduk di akhir shalatnya, maka makmum tidak boleh menambahkan sesuatu atas tasyahud pertamanya, melainkan hendaknya mengulang-ulang tasyahud nya. Ahmad bin Hambal secara tegas berkata tentang orang yang sempat mengikuti imam hanya dalam satu rakaat dari shalat jamaahnya, agar mengulangi tasyahudnya dan tidak boleh hukumnya

bersalawat kepada Nabi Saw [dalam tasyahud pertamanya itu]. 1 ″ Sedemikian aneh dan bertentangannya pendapat ini dengan kewajaran

argumentasi, sehingga peneliti buku ini sendiri tidak tahan melihatnya dan langsung menggugat, seraya berkata, ″Apakah untuk hal ini juga terdapat bukti berupa sabda Rasulullah Saw, perbuatan beliau, atau perkataan salah seorang sahabat beliau? Padahal, salawat kepada Nabi

termasuk zikir yang paling utama. 2 ″

Adapun kelompok yang meyakini pemberlakuan [secara syariat] salawat dalam tasyahud pertama, menyangkal bukti peringkasan tasyahud pertama yang diajukan kelompok lawan untuk menolak pemberlakuan [secara syariat] tersebut. Mereka mengklaim bahwa peringkasan itu tidak dapat [dijadikan alasan] melarang salawat kepada Nabi Saw. Karena kedua hal tersebut masih mungkin dipertemukan. Lalu mereka membuktikan pemberlakuan [secara syariat] itu dengan mengatakan bahwa dalil-dalil yang mewajibkan salawat kepada Nabi Saw tidak mengkhususkannya untuk tasyahud akhir, dan tidak ada dalil untuk mengkhususkan dalil-dalil mutlak tersebut [dari aspek ini]. Maka, dengan demikian, terbuktilah pemberlakuan [secara syariat] salawat, baik dalam tasyahud pertama maupun dalam tasyahud akhir shalat. Ini pula hal yang telah disinggung Muhammad Jamil Zinu dalam kata-katanya yang baru saja

kami kutip. Nasirudin Albani juga mendukungnya. 3 Sementara Sakhawi juga menyebutkannya sebagai bukti bagi kelompok yang meyakini pemberlakuan [secara syariat] salawat dalam tasyahud. 4

1- Abu Muhammad Abdullah bin Qudamah Maqdesi, op, cit., jld. 1, hlm. 376. 2- Ibid. 3- Muhammad Nasirudin Albani, op. cit., hlm. 129. 4- Muhammad bin Abdul Rahman Sakhawi, op. cit.

162 SALAWAT YANG TERPENGGAL Pemberlakuan [Syariat] Salawat dalam Tasyahud Pertama

Kiranya sudah jelas dari pembahasan sebelumnya bahwa kelompok yang meyakini pemberlakuan [secara syariat] salawat kepada Nabi Saw dalam tasyahud pertama shalat berargumentasi dengan generalitas bukti-bukti pemberlakuan [secara syariat] salawat kepada beliau. Pada saat yang sama, mereka membantah bukti kelompok yang menolak pemberlakuan [secara syariat] tersebut. Alasan mereka adalah tidak adanya pertentangan sama sekali antara peringkasan tasyahud pertama shalat dengan zikir salawat kepada Nabi Saw; justru keduanya sangat mungkin berpadu.

Anehnya, dalam persoalan ini, mayoritas kalangan yang meyakini pemberlakuan [secara syariat] salawat dalam tasyahud pertama shalat melarang penyebutan keluarga Nabi (âl) di dalamnya. Menurut mereka, hukumnya makruh. Bahkan sebagian mereka sampai mengharuskan sujud sahwi bagi siapa pun yang menyebut keluarga beliau saat itu! Lebih mengherankan lagi, untuk itu mereka berargumentasi dengan peringkasan yang harus tetap dijaga dalam tasyahud pertama shalat. Dan [menurut klaim mereka], pengujaran keluarga Nabi (âl) bersama beliau dalam salawat tasyahud pertama shalat bertentangan dengan peringkasan tasyahud tersebut!

Mereka lupa —atau pura-pura lupa—bahwa ini merupakan bukti yang sebelumnya diajukan lawan-lawan mereka sendiri. Saat itu mereka membantahnya dengan alasan ′peringkasan sama sekali tidak bertentangan dengan salawat kepada Nabi Saw ′. Namun, kali ini saya tidak mengerti; apakah peringkasan tasyahud pertama shalat tidak bertentangan dengan ucapan ′Allahumma shalli ′alâ muhammad′ dan pada saat yang sama itu bertentangan dengan pembubuhan kata ′wa âli muhammad ′? Atau, pada hakikatnya, di balik semua itu terdapat sesuatu yang lain?

Jangan-jangan mereka lupa —atau pura-pura lupa—bahwa keluarga Nabi Saw merupakan bagian dari tatacara salawat yang diperintahkan syariat berdasarkan konsensus hadis-hadis yang berkenaan dengannya. Ini merupakan argumentasi kalangan yang menolak pemberlakuan [secara syariat] salawat dalam tasyahud pertama shalat. Karena, menurut mereka, sudah tentu pengujaran Nabi Saw menuntut pula diujarkannya keluarga beliau. Karena, beliau tidak mengistimewakan dirinya [tanpa keluarga beliau] dalam salawat. Pernyataan ini dapat