Mazhab Hambali

b. Mazhab Hambali

Tidak ada pernyataan jelas yang dinukil Ahmad bin Hambal mengenai persoalan ini. Hanya saja, menurut interpretasi sebagian ulama, 2 ia berpendapat, tidak wajib hukumnya bersalawat kepada keluarga Nabi dalam tasyahud shalat. Interpretasi ini disimpulkan dari pernyataannya yang mewajibkan salawat kepada beliau Saw di sela-sela keterangannya tentang riwayat Abu Zar ′ah yang mengatakan bahwa salawat kepada Nabi Saw adalah perintah; dan barangsiapa meninggalkannya harus mengulang shalat. Menurut sebagian ulama tersebut, dalam pernyataan ini, Ahmad bin Hambal tidak menyebutkan salawat kepada keluarga Nabi (âl).

Interpretasi ini jelas-jelas tidak proporsional. Karena, Ahmad bin Hambal [menyatakan itu] dalam konteks menerangkan hukum wajib bersalawat dalam shalat, setelah sebelumnya berpendapat lain. Jadi, bukan dalam upaya menerangkan, siapa saja yang wajib menjadi subjek salawat. Di samping itu, ia juga sedang menjelaskan bukti kewajiban salawat tersebut; yaitu, perintah yang maktub dalam sejumlah hadis. Ini juga sebagaimana diisyaratkan Ibnu Qudamah- sebagaimana kutipannya telah disebutkan sebelumnya-dan dinyatakan secara jelas oleh Wazir Ibnu Hubairah Hambali (560 H) saat menukil pendapat Ahmad bin Hambal dari Abu Hamid sebagai berikut:

″Bukti Ahmad bin Hambal adalah riwayat Ka′ab bin Ajrah. Riwayat Ka ′ab ini memerintahkan salawat kepada keluarga Nabi (âl) beserta Nabi. Itulah sebabnya, tidak mungkin seseorang beralasan dengan riwayat ini untuk membuktikan kewajiban bersalawat kepada Nabi, tapi tanpa keluarga beliau; karena, perintah untuk bersalawat kepada Nabi dan keluarga beliau bersifat uniter (kesatuan integral). Atas dasar itu, ia berpendapat, wajib hukumnya bersalawat kepada keluarga Nabi dalam tasyahud shalat. Jika demikian duduk persoalannya di mata

1- Abu Qasim Abdu Karim Rafi ′i, Al-′Azîz fî Syarh Al-Wajîz, jld. 1, hlm. 533. 2- Interpretasi Qadhi Abu Ya ′la menurut kutipan kitab al-Mughnî karya Ibnu Qudamah (jld. 1, hlm. 379-380). Begitu pula Wazir Ibnu Hubairah dalam Al-Ifshâh, jld. 1, hlm. 90.

146 SALAWAT YANG TERPENGGAL

Abu Hamid, demikian pula di mata Ahmad bin Hambal; karena keduanya bersandar kepada hadis yang sama. ″

Abu Hamid, sahabat Ahmad bin Hambal, mengatakan: ″Kadar yang diperlukan untuk menunaikan salawat adalah wajib bersalawat kepada Nabi Muhammad, keluarga beliau, dan keluarga Nabi Ibrahim, seraya memohon berkah untuk Nabi Muhammad, keluarga beliau, dan keluarga Nabi Ibrahim. Karena, itulah hadis yang dirujuk Ahmad bin

Hambal. 1 ″ Darinya, dan atas dasar makna literal ucapan Ahmad bin Hambal yang

telah disebutkan sebelumnya, juga berdasarkan bukti yang dikemukakan Abu Hamid, kami lebih setuju mengategorikannya bersama sosok yang mewajibkan salawat kepada keluarga Nabi dalam tasyahud shalat, dan bukan sebaliknya —sebagaimana dipahami sebagian kalangan.

Di antara ulama Hambali yang mewajibkan salawat kepada keluarga Nabi (âl) itu adalah Abu Khatthab. Dalam gugatannya terhadap bukti kelompok yang menolak kewajiban salawat terhadap keluarga Nabi (âl), ia menjelaskan bahwa mereka mengatakan, ″Itu adalah salawat kepada makhluk. Maka dari itu, ia [seperti salawat kepada keluarga Muhammad] tidak dapat disyaratkan dalam ritual shalat. ″ Kami perlu mengatakan kepada mereka, ″Jika penyebutan salawat kepada keluarga Nabi disyaratkan dalam pokok semua ibadah, yaitu iman, lantas mengapa salawat itu tidak disyaratkan dalam shalat? Menurut kami, wajib hukumnya bersalawat sampai kata-kata hamîdun

majîd . 2 ″ Maksud Abu Khatthab di sini adalah tatacara salawat yang maktub dalam hadis Ka ′ab bin Ajrah yang memuat keluarga Nabi Muhammad sampai kata-kata hamîdun majîd.

Ibnu Katsir menyatakan dalam buku tafsirnya, ″Sebagian imam mazhab Hambali mewajibkan agar dalam salawat menyebutkan sesuatu seperti yang telah diajarkan Nabi Saw kepada para sahabat

1- Wazir Aunudin Abu Mudzaffar Yahya bin Muhammad bin Hubairah Hambali, Al-Ifshâh ′an Ma′ânî Al-Shihâh, jld. 1, hlm. 90. 2- Abu Khatthab Mahfudz bin Ahmad Kaludzani Hambali, Al-Intishâr li Ahl Al- Sunnah wa Al-Hadîts fî Radd Abâthîl Hasan Al-Mâlikî , jld. 2, hlm. 291.

BAB IV: SYARIAT, HUKUM, DAN MOMEN … 147

saat mereka bertanya kepada beliau bagaimana caranya. 1 ″ Maksudnya, ajaran beliau yang tertera dalam riwayat Ka ′ab. Dengan kata lain, menurut para imam mazhab Hambali, sebagaimana disebutkan Ibnu Katsir, wajib [pula] hukumnya bersalawat kepada keluarga Nabi (âl) dalam tasyahud shalat.

Zarkasyi mendukung pendapat ini dan mengatakan, ″Kadar yang diperlukan untuk menunaikan kewajiban salawat adalah bersalawat kepada Nabi Muhammad beserta keluarga beliau dan keluarga Nabi Ibrahim. Begitu pula dengan memohon berkah untuk mereka semua sampai kata-kata hamîdun majîd. Pendapat ini dipilih Ibnu Hamid dan Abu Khatthab dengan menyandarkan alasan pada makna tekstual perintah untuk bersalawat dalam hadis Ka ′ab. Adapun menurut Qadhi dan dua Syekh, kadar yang diperlukan untuk itu hanyalah salawat kepada beliau. Karena, menurut mereka, itulah yang disepakati hadis- hadis tentang perintah bersalawat. Adapun selain itu hanya disebutkan

sebagian hadis dan tidak disebutkan sebagian hadis yang lain. 2 ″ Ibnu Qudamah Maqdisi hanya menganggap salawat plus keluarga

Nabi (âl) sebagai salawat yang lebih utama dan lebih sempurna. Ia mengatakan, ″Seutamanya seseorang menunaikan salawat kepada Nabi Saw sesuai cara yang disebutkan Khurqi. Karena hal itu sesuai dengan hadis Ka ′ab bin Ajrah yang merupakan hadis paling sahih mengenai salawat. Sebagian ulama mazhab kami mengatakan bahwa hukum salawat bersifat wajib sesuai cara yang maktub dalam riwayat Ka ′ab; karena Nabi memerintahkan cara itu, dan perintah berimplikasi pada kewajiban. Akan tetapi, pendapat pertama tadi lebih bagus, dan Nabi Saw memerintahkan cara itu kepada para sahabat ketika mereka meminta beliau mengajarkannya; dan bukan beliau sendiri yang

memulai memerintahkan atau mengajarkannya. 3 ″

Nampaknya, Ibnu Qudamah menyampaikan kata-kata terakhirnya ini dalam upaya membuktikan pendapatnya tersebut. Namun kata- katanya itu tidak layak dijadikan bukti. Karena, perihal ′adanya

1- Ibnu Katsir, op.cit., hlm. 1382, persisnya pada penafsiran ayat ke-56 surah al- Ahzab. 2- Syamsudin Zarkasyi, Syarh Al- Zarkasyiy ′alâ Mukhtashar Al-Khurqiy, jld. 1, hlm. 588. 3- Abu Muhammad Abdullah bin Qudamah Maqdesi, op. cit., jld. 1, hlm. 588.

148 SALAWAT YANG TERPENGGAL

pertanyaan terlebih dulu, bukan sejak awal hadis disampaikan secara langsung ′ sama sekali tidak berpengaruh bagi upaya menyimpulkan hukum syariat dari sabda Nabi Saw. Kita semua berkewajiban untuk mengikuti sabda beliau (dalam kapasitas beliau sebagai penjelas syariat Allah Swt) secara mutlak, baik berupa jawaban atas pertanyaan maupun keterangan beliau sendiri yang disampaikan tanpa didahului pertanyaan apa pun. Tak satu pun bukti yang menunjukkan pembedaan terhadap kedua bentuk sabda beliau ini. Juga, tak satu pun ulama yang berpendapat seperti itu. Bahkan, dalam al-Quran sendiri, terdapat banyak sekali hukum syariat yang diwahyukan dalam bentuk

jawaban atas suatu pertanyaan. 1 Apakah kita masih ragu menerima hukum-hukum itu? Di samping itu, Anda sendiri juga telah menggunakan bukti tersebut untuk mewajibkan salawat kepada Nabi Saw; lalu, apa alasan Anda membeda-bedakannya; padahal persoalannya adalah satu?

Pemberlakuan (Syariat) Salawat Terpenggal

Pada pembahasan sebelumnya, kiranya sudah jelas adanya dua pendapat di kalangan Ahli Sunah mengenai hukum salawat kepada keluarga Nabi (âl). Di antara mereka, terdapat kalangan yang menetapkan apa pun hukum yang mereka tetapkan pada Nabi Saw dan keluarga beliau, baik berupa hukum wajib maupun sunah. Terdapat pula di antara mereka yang menolak penetapan seperti itu; kendati mereka sendiri mengakui penyebutan keluarga Nabi (âl) dalam salawat jauh lebih utama. Namun, bagi mereka, penunaian hukum salawat sudah dianggap ditunaikan-hanya dengan menyebutkan Nabi Saw —tanpa [perlu] menyebutkan keluarga beliau. Itu artinya, mereka membolehkan penghapusan keluarga Nabi (âl) dari teks salawat. Dengan kata lain, mereka telah memberlakukan [syariat] salawat yang terpenggal. Padahal, sebagaimana Anda telah jelas memahaminya, pemberlakuan jenis salawat ini jelas-jelas bertolak belakang dengan

1- Seperti di dalam firman Allah Swt. di surat Al-Baqarah, ayat 217: } ِهللها ِليِب َس نَع ٌّدَصَو ٌيِْبَك ِهيِف ٌلاَتِق ْلُق ِهيِف ٍلاَتِق ِماَرَْلْا ِرْهََّلا ِنَع َكَنوُلَأْسَي {

Artinya: ″Dan mereka bertanya kepada kamu tentang perang pada bulan haram, katakanlah, ″berperang di bulan itu adalah dosa besar, dan -adapun- menghalangi - manusia- dari jalan Allah... .″ Begitu pula halnya dengan ayat ke219 dan ayat 222 dari surat yang sama serta ayat- ayat yang lain.

BAB IV: SYARIAT, HUKUM, DAN MOMEN … 149

konsensus atau kesepakatan hadis-hadis yang menerangkan tatacara salawat. Hadis-hadis tersebut —sebagaimana telah kami buktikan kepada Anda sebelumnya dan telah diakui pula kalangan pakar —tidak pernah membeda-bedakan salawat kepada Nabi Saw dengan salawat keluarga beliau, walau hanya sekali.

Hakikat ini, menurut standar fikih dan argumentasi, merupakan bukti kuat dan otoritas niscaya yang memaksa mayoritas Ahli Sunah menyatakan wajib hukumnya menyebutkan keluarga Nabi Saw bersama beliau dalam salawat. Mereka tidak berhak meninggalkan bukti itu kecuali jika terdapat bukti yang lebih kuat darinya. Sungguh, tidak sepatutnya mereka meninggalkan bukti itu, dan malah bersandar pada dalih-dalih yang tidak layak dijadikan sandaran, serta tidak berdaya untuk menandingi bukti tersebut. Ini mengingat bahwa dasar pembuktian kalangan yang menolak kewajiban bersalawat kepada keluarga Nabi (âl) beserta beliau adalah sejumlah hadis yang tidak mencantumkan penyebutan keluarga Nabi (âl); dan, menurut mereka, seandainya penyebutan keluarga Nabi hukumnya wajib, niscaya hadis- hadis itu mustahil mengabaikannya.

Yang dimaksud mereka dengan hadis-hadis itu adalah hadis Abu Sa ′id Khudri dan hadis Abu Humaid Sa ′idi. Pada saatnya kelak, kami akan menjawab alasan mereka secara terperinci. Namun, ada baiknya pula jika kami menyinggung pernyataan sebagian kalangan yang menyangkal bukti mereka itu. Terkait dengan hadis Abu Sa ′id Khudri, telah kami buktikan bahwa sosok ini tidak menghafalkan sabda Nabi itu dengan cara benar. Karena, ternyata, terdapat beberapa redaksi yang berbeda-beda untuk sabda tersebut. Kami juga telah membuktikan soal ada pula juru riwayat yang menukilnya secara sempurna dan lengkap, dengan keluarga Nabi Saw beserta beliau. Oleh karena itu, hadis Abu Sa ′id Khudri yang mereka ajukan tidak pantas dijadikan bukti. Sehingga, dengan demikian, mereka tidak memiliki bukti selain hadis Sa ′idi yang menempatkan istri-istri nabi dan keturunan beliau sebagai representasi keluarga beliau (âl). Status hadis ini bermasalah dari segi konteksnya, sekaligus tergolong langka [dari segi teksnya] karena bertentangan dengan konsensus serta ihwal mutawatir. Itulah sebabnya, tidak satu pun ulama yang mempercayai tatacara salawat tersebut. Ini merupakan bukti nyata perihal absurditas hadis Sa ′idi. Terlebih jika ditambah dengan berbagai kritik terhadap

150 SALAWAT YANG TERPENGGAL

matarantai periwayatannya-yang nanti akan kami ulas secara terperinci.

Klaim kami bahwa tidak satu riwayat pun yang tidak menyebutkan keluarga Nabi (âl), telah ditegaskan —sebagaimana pernah kami kemukakan sebelumnya —oleh Ibnu Qayim Jauzi. Khususnya, saat ia mengatakan, ″Mayoritas hadis sahih dan hasan, bahkan semua hadis

itu, jelas-jelas menyebutkan Nabi Saw sekaligus keluarga beliau. 1 ″ Begitu pula Hasan Seqaf yang mengatakan, ″Wajib hukumnya, menurut pendapat yang benar, salawat kepada keluarga Nabi Saw dalam tasyahud akhir shalat; karena, redaksi salawat paling singkat yang sampai kepada kita dari Rasulullah Saw adalah menyebutkan salawat sekaligus kepada keluarga beliau (âl). Tidak satu redaksi salawat pun yang beliau ajarkan kosong dari penyebutan keluarga beliau (âl). Ini sebagaimana hadis Zaid bin Kharijah yang meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, ′Bersalawatlah kalian kepadaku dan gigihlah dalam berdoa serta bersalawatlah sebagai berikut:

ٍدَّمَ ُمح ِلآ یَلَع َو ٍدَّم َُمح یَلَع ِّلَص َّمُهلَّلَا ″Ya Allah! [Kumohon] bersalawatlah kepada

Muhammad dan kepada keluarga Muhammad ′″ 2 Dalam Miftâh Al-Hishn, Ibnu Jazri mengatakan, ″Mencukupkan diri

hanya dengan [membaca] salawat kepada Nabi Saw —tanpa menyebutkan keluarga beliau besertanya —merupakan sesuatu yang tidak pernah saya temukan dalam hadis marfu ′ yang berujung pada beliau. Kecuali dalam kitab Sunan Al-Nasâ ′î yang berkenaan dengan akhir doa qunut. Adapun semua hadis yang menerangkan salawat kepada beliau Saw pasti mengikutsertakan keluarga Nabi (âl) bersama

beliau. 3 ″

1- Ibnu Qayim Jauzi, op. cit., hlm. 225. 2- Hasan bin Ali Seqaf: Shohîh Shifah Sholât Al-Nabî (shallallâhu ′alaihi wa âlihi),

hlm. 214. 3- Yusuf bin Isma′il Nabbahani, op. cit., hlm. 30. Perlu Anda ketahui, hadis Nasa′i yang disinggung Ibnu Jazri di atas tidak termasuk kategori hadis tentang tatacara salawat, melainkan sekedar kalimat-kalimat yang diajarkan Nabi Saw kepada cucu beliau yang bernama Hasan as, untuk diucapkan pada momen qunut shalat witir. Pada saat yang sama, tidak seorang pun selain Nasa′i yang meriwayatkan kalimat-kalimat

BAB IV: SYARIAT, HUKUM, DAN MOMEN … 151

Nabbahani mengutip perkataan penulis buku Dzakhîrat Al-Khair, ″Salawat kepada keluarga Nabi Saw adalah sunah yang khas. Sebagaimana tertera dalam hadis-hadis sahih, sabda nabi mennutut hal itu, begitu pula para imam menyatakan hal itu. Nabi Saw sendiri senantiasa menyebutkan mereka dalam seluruh tatacara salawat yang

telah diriwayatkan dari beliau. 1 ″

Nasirudin Albani, setelah meneliti seluruh hadis ihwal tatacara salawat —penelitian yang menurut klaimnya, tak seorang pun

sebelumnya yang sanggup melakukan penelitian sebaik itu 2 — mengatakan, ″Semua redaksi salawat, dengan segenap perbedaan jenisnya, memuat salawat kepada Nabi Saw beserta keluarga beliau

dan istri-istri serta keturunan beliau. 3 Itulah sebabnya, siapa pun yang mencukupkan diri hanya dengan menyebutkan Allâhumma shalli ′alâ muhammad- tanpa menyertakan keluarga beliau-maka perbuatannya tidak terbilang sebagai sunah nabawi, juga tidak terhitung telah menunaikan perintah Nabi dalam hal ini. Sebaliknya, jika ingin menjalankan sunah Nabi dan menunaikan perintah salawat beliau, ia harus menunaikannya sesuai salah satu cara yang beliau ajarkan secara sempurna; tak ada bedanya, apakah salawat itu dilakukan dalam tasyahud awal shalat ataupun dalam tasyahud kedua. Inilah pendapat yang dinyatakan Syafi

′i dalam kitabnya, Al-Umm.″ 4

ajaran beliau tersebut memuat salawat kepada Nabi Saw . Artinya, hanya Nasa′i yang meriwayatkan tambahan salawat dalam kalimat qunut tersebut. Itu pun ia meriwayatkannya dengan sanad yang lemah, dan sedikit banyak kita telah membahasnya pada pembahasan sebelum ini.

1- Ibid., hlm. 29. 2- Klaim itu dia sampaikan di catatan kaki bukunya yang berjudul Sifah Sholât Al-

Nabî (shallallâhu ′alaihi wa âlihi), halaman 130, yaitu ketika dia memuji salah satu faedah bukunya dan yang berkenaan dengan penelusuran dia terhadap hadis-hadis tentang cara salawat, dia mengatakan, ″Pada hakikatnya, ini adalah salah satu faedah buku saya, ketelitiannya di dalam menelusuri hadis-hadis yang terkait dan redaksi- redaksi salawat serta perpaduan di antara mereka, dan penelusuran yang lengkap seperti ini tidak pernah ada sebelumnya, ini adalah karunia Allah Swt. ″

3- Dia membubuhkan kata ″istri-istri dan keturunan″ dengan bersandar kepada hadis Sa ′idi dan hadis sahabat lain yang tak dikenal, dua-duanya diriwayatkan oleh Abu Bakar bin Hazm, dan pada saatnya nanti kami akan buktikan bahwa dua hadis tersebut batil serta tidak layak untuk dijadikan bukti.

4- Muhammad Nasirudin Albani, op. cit., hlm. 133.

152 SALAWAT YANG TERPENGGAL

Fakta ini dijadikan bukti kalangan yang menolak kewajiban bersalawat kepada keluarga Nabi (âl) untuk mensyariatkan salawat kepada Nabi Saw dalam tasyahud awal-sebagaimana pada tasyahud kedua dalam shalat! Mereka menukil kitab Jalâ ′ al-Afhâm, seraya mengatakan, ″Jika memang salawat hukumnya sunah, maka salawat kepada keluarga Nabi (âl) juga hukumnya sunah. Karena, Nabi Saw tidak memerintahkan salawat kepada beliau sendiri tanpa keluarganya; melainkan beliau memerintahkan mereka bersalawat kepada diri dan

keluarganya, baik dalam ritual shalat maupun pada kesempatan lain. 1 ″ Rangkaian pernyataan ini, selain menekankan bahwa tak satu hadis

pun-ihwal tatacara salawat-yang tidak menyebutkan keluarga Nabi (âl) beserta beliau, juga menegaskan hal lain. Bahwa salawat yang tidak menyebutkan keluarga Nabi (âl) —yakni, salawat yang terpenggal-bertentangan dengan perintah Nabi Saw. Inilah pernyatan Albani sebelumnya, dan telah berulang kali ditegaskannya saat menggugat kalangan yang menolak pemberlakuan [syariat] salawat kepada keluarga Nabi (âl) pada tasyahud pertama dalam shalat. Ia mengatakan, ″Pendapat yang mengatakan, makruh hukumnya seseorang, dalam salawat kepada Nabi Saw pada tasyahud pertama, untuk menambahkan sesuatu yang lebih dari Allâhumma shalli ′alâ muhammad , adalah pendapat yang tidak mengakar dalam sunah kenabian dan tidak pula terdapat bukti untuknya. Bahkan sebaliknya, kami memandang siapa pun yang bersalawat seperti itu berarti tidak melaksanakan perintah Nabi Saw yang telah kami kutip sebelumnya, yaitu, ′Katakanlah: Allâhumma shalli ′alâ muhammad wa ′alâ âli

muhammad 2 …′″ Maksud perkataan Albani ″tidak mengakar dalam sunah kenabian ″ adalah, tidak satu hadis pun [ihwal salawat] yang tidak menyebutkan keluarga Nabi (âl) dan layak dijadikan bukti.

Shan ′ani juga menekankan hal yang sama, seraya berkata, ″Salawat kepada Nabi Saw tidak akan lengkap dan seseorang tidak akan dinilai telah menunaikan tugas itu, kecuali jika melaksanakan salawat sesuai redaksi kenabian yang menyebutkan keluarga Nabi (âl). Karena, si penanya mengucapkan, ″Bagaimana caranya kami bersalawat kepadamu? ″ Beliau pun menjawab dengan tatacara salawat yang

1- Ibnu Qayim Jauzi, op. cit., hlm. 278. 2- Muhammad Nasirudin Albani, op. cit., hlm. 129.

BAB IV: SYARIAT, HUKUM, DAN MOMEN … 153

menyebutkan sekaligus diri dan keluarganya. Oleh karena itu, barangsiapa bersalawat tanpa menyebutkan keluarga beliau, berarti belum menunaikan perintah salawat tersebut dan tidak terhitung sebagai individu yang telah bersalawat kepada Nabi Saw. Dan barangsiapa memisahkan elemen-elemen salawat ini dengan mewajibkan sebagiannya seraya menjadikan sebagia lainnya sunah,

maka sungguh, sama sekali tidah memiliki bukti untuk itu. 1 ″ Terdapat sejumlah indikator yang mengafirmasi pernyataan-

pernyataan di atas. Sejauh penelitian saya seputar argumentasi mereka, Anda tidak akan menemukan mereka berdalil kecuali dengan dua hadis; Ka ′ab bin Ajrah dan Abu Mas′ud Anshari. Plus hadis Abu Hurairah yang diajukan Syafi ′i sebagai bukti. Fakta ini menunjukkan bahwa menurut mereka, hadis-hadis itulah yang paling sahih matarantai periwayatannya, sekaligus paling sempurna kandungan maknanya dalam konteks ini. Itulah sebabnya, hanya segelintir hadis tersebut yang patut dijadikan sandaran, tidak yang lain. Atas dasar itu pula, Ibnu Hajar dalam kitabnya, Bulûgh Al-Marâm min Jam ′ Adillat Al-Ahkâm , hanya mencukupkan diri dengan menyebutkan hadis Abu Mas ′ud Anshari sebagai bukti terhadap hukum salawat kepada Nabi Saw. Shan ′ani memberi keterangan, seraya berkata, ″Hadis ini merupakan bukti bagi kewajiban salawat kepada Nabi dalam shalat. Karena itulah makna literal perintah beliau [ ″katakanlah″] dalam hadis, dan perintah itu juga merupakan bukti atas kewajiban bersalawat kepada keluarga beliau. Inilah pendapat Hadi, Qasim, dan Ahmad bin Hambal. Orang yang berargumentasi dengan hadis ini untuk mewajibkan salawat kepada Nabi Saw sama sekali tidak memiliki alasan untuk tidak mewajibkan salawat kepada keluarga

beliau. 2 ″ Begitu pula menurut Jama ′ili Hambali yang hanya menyebutkan hadis

Ka ′ab bin Ajrah sebagai bukti dari sabda Nabi untuk hukum salawat

kepada beliau Saw. 3

1- Muhammad bin Isma′il Amir Shan′ani, op. cit., jld. 1, hlm. 305, komentar hadis ke-236. 2- Ibid. 3- Abu Muhammad Abdul Mughni Muqaddas Jama ′ili [Hambali], ′Umdat al-Ahkâm

min Kalâm Khair al-Anâm ′Alaihi al-Shalâh wa al-Salâm, hlm. 45.

154 SALAWAT YANG TERPENGGAL

Inilah hakikat sebenarnya yang juga ditegaskan Thahawi dengan cara yang berbeda. Ia mengatakan, ″Apa yang menjadi kepastian bagi ulama Madinah berkenaan dengan tatacara salawat kepada Nabi Saw yang maktub dalam hadis Abu Mas ′ud, sama dengan yang menjadi kepastian bagi ulama Kufah berkenaan dengan tatacara salawat yang maktub dalam hadis Ka

′ab bin Ajrah.″ 1 Menurutnya, tidak seorang pun yang bersandar pada bukti-bukti tekstual selain kedua hadis

tersebut. Dengan demikian, siapa saja yang mempercayai bukti-bukti tekstual

yang secara serempak menyertakan keluarga Nabi Saw beserta beliau dalam salawat, bagaimana mungkin dan dengan tolok ukur apa dapat memisahkan beliau dari keluarganya, padahal perintah bersalawat kepada mereka berdua adalah satu dan sama? Bagaimana mungkin dan dengan tolok ukur apa [ia dapat mengabaikan bukti itu dan sebaliknya] mementingkan riwayat yang langka dari segi makna, bermasalah dari aspek matarantai periwayatan, dan bertentangan dengan konsensus hadis-hadis yang menyertakan keluarga Nabi (âl) beserta beliau; dengan jumlah periwayatannya yang berlimpah, matarantai periwayatannya yang sahih, dan maknanya yang sempurna?