Menjaga Nilai-nilai Akhlak
1. Menjaga Nilai-nilai Akhlak
Karakteristik khusus pertama adalah menjaga nilai-nilai akhlak
atau makârim al-akhlâq. Yang dimaksud dengan menjaga nilai-nilai akhlak atau makârim al-akhlâq di sini adalah menerapkan nilai-nilai akhlak yang telah diajarkan oleh Islam dalam kehidupan sehari-hari, terutama ketika seseorang sedang berinteraksi dengan orang lain, baik dalam
maupun bernegara. Muhammad Thâhir ibn 'Âsyûr dalam buku "al-Nizhâm al-Ijtimâ'i fî al- Islâm " menilai bahwa makârim al-akhlâq merupakan hal penting yang harus tetap dijaga dalam kehidupan bermasyarakat, karena keutuhan suatu masyarakat sangat tergantung kepadanya. Bila makârim al-akhlâq ini dijaga dengan baik, maka keutuhan masyarakat pun akan terjaga. Sebaliknya, persatuan atau ikatan antar sesama anggota masyarakat akan rusak bila makârim al-akhlâq sudah tidak diperhatikan lagi oleh mayoritas anggotanya dan tidak diterapkan dalam sebagian besar urusan atau mu'âmalah 30 di antara mereka.
Pentingnya makârim al-akhlâq dalam kehidupan bermasyarakat sangat terkait dengan kedudukan manusia sebagai makhluk termulia di antara makhluk-makhluk Allah lainnya. Makârim al-akhlâq bertujuan
30 Lihat Muhammad Thâhir ibn 'Âsyûr, al-Nizhâm al-Ijtimâ'i fî al-Islâm, (Mesir: Dâr al-Salâm, 2005), cet. ke-1, h. 116.
untuk mengantarkan manusia agar sampai pada kedudukan atau derajat mulia tersebut serta untuk mencegahnya agar tidak terjatuh ke dalam derajat yang paling hina yaitu derajat binatang. Oleh karena itu, ketika mencela orang-orang yang tidak memegang nilai-nilai akhlak yang semestinya dipegang
dan diperhatikan oleh manusia, Allah Swt. menegaskan bahwa mereka mempunyai hati, tetapi hati itu tidak dipergunakannya untuk memahami ayat-ayat atau tanda-tanda kekuasaan Allah; mereka mempunyai mata tetapi tidak dipergunakannya untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah; dan mereka mempunyai telinga tetapi telinga itu tidak dipergunakannya untuk mendengar ayat-ayat Allah. Di sini, Allah menyamakan orang-orang seperti itu dengan binatang ternak, bahkan menurut-Nya, mereka lebih sesat daripada binatang. Mereka itu adalah orang-orang yang lalai yang akan menjadi isi neraka
Jahannam. 31 Dengan makârim al-akhlâq, manusia dapat mencapai derajat yang
pantas baginya, yaitu derajat termulia di antara makhluk-makhluk lain. 32 Sebaliknya, dengan meninggalkan makârim al-akhlâq, manusia akan
berada pada derajat binatang karena pada saat itu dirinya dapat dikatakan sama dengan binatang yang tak pernah mengenal nilai-nilai akhlak. Bahkan tidak menutup kemungkinan, derajatnya akan lebih hina daripada binatang.
Karena begitu pentingnya makârim al-akhlâq bagi kehidupan bermasyarakat, maka Allah Swt. pun mengutus Nabi Muhammad Saw. di
31 Lihat Q.S. al-A'râf (7): 179. 32 Mengernai derajat termulia bagi manusia ini, lihat Q.S. al-Tîn (95): 4 dan Q.S. al-Isrâ`
tengah-tengah masyarakat Arab yang pada saat itu sudah tidak mengenal nilai-nilai akhlak. Mereka benar-benar berada pada puncak kebobrokan moral, tak ada lagi norma-norma yang harus dijunjung tinggi, tak ada lagi nilai-nilai akhlak yang harus dipatuhi dan tak ada lagi rasa malu yang menghalangi
perbuatan-perbuatan asusila. Kehidupan mereka benar-benar sudah seperti kehidupan binatang. Nabi Muhammad Saw. pun diutus oleh Allah Swt. guna mengembalikan nilai- nilai akhlak yang sudah ditinggalkan oleh masyarakat Arab pada saat itu serta untuk menyempurnakannya. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Sa'îd ibn Manshûr, dari 'Abd al-'Azîz ibn Muhammad, dari Muhammad ibn 'Ajlân, dari al-Qa'qâ' ibn Hakîm, dari Abû Shâlih, dari Abû Hurairah, Rasulullah Saw. menegaskan bahwa diri beliau tidaklah diutus oleh Allah kecuali untuk menyempurnakan (meluruskan) budi
pekerti yang baik. 33
Sebagai orang yang diutus guna menyempurnakan makârim al- akhlâq , Rasulullah Saw. memiliki akhlak yang mulia dan sangat sempurna. Pengakuan bahwa beliau memiliki akhlak yang mulia tidak hanya datang dari manusia, tetapi juga dari Allah Swt. langsung. Allah Swt. mengakui bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad Saw. benar-benar
berbudi pekerti yang agung. 34 Pengakuan seperti itu juga datang dari orang-orang terdekat beliau seperti isteri beliau, Aisyah Ra.. Suatu ketika,
Aisyah Ra. ditanya oleh para sahabat tentang akhlak Rasulullah Saw., maka dia mengatakan bahwa akhlak (budi pekerti) beliau adalah al-
33 Hadis ini hanya diriwayatkan oleh Ahmad, hadis no. 8595. 34 Lihat Q.S. al-Qalam (68): 4.
Qur`an. 35 Maksudnya, akhlak beliau persis seperti nilai-nilai akhlak yang terkandung dalam al-Qur`an. Akhlak beliau merupakan cerminan ajaran- ajaran yang terkandung dalam al-Qur`an. Tidak ada satu nilai akhlak pun dalam al-Qur`an kecuali nilai akhlak itu ada pada diri Rasululllah. Kemuliaan dan kesempurnaan akhlak beliau itu sangat terkait dengan tugas beliau untuk menyempurnakan makârim al-akhlâq dan juga tugas sebagai pengemban misi dakwah. Inilah yang harus dicontoh oleh para pengemban misi dakwah, termasuk para pengemban amar makruf nahi mungkar.
Pentingnya karakteristik menjaga nilai-nilai akhlak ini bagi pengemban amar makruf nahi mungkar berkaitan erat dengan tujuan amar makruf nahi mungkar pada khususnya dan dakwah Islamiyyah pada umumnya, yaitu agar ajaran-ajaran Islam dapat diterima dan diamalkan oleh seluruh manusia di muka bumi ini, di setiap tempat dan zaman, kapan dan di manapun mereka berada. Untuk mencapai tujuan itu, maka para pengemban misi dakwah dan amar makruf nahi mungkar harus menjunjung tinggi nilai-nilai akhlak sehingga perkataan mereka akan diterima oleh mad'û (obyek dakwah), kemudian segala tindak-tanduk dan perbuatan mereka pun akan menjadi teladan yang baik bagi setiap mad'û. Mereka harus mengikuti jejak Rasulullah Saw., yaitu menerapkan nilai- nilai akhlak yang terkandung dalam al-Qur`an al-Karîm. Pengertian ini senada dengan perintah Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw. pada khususnya dan para da'i pada umumnya untuk menyeru manusia kepada jalan Tuhan dengan menggunakan metode hikmah dan pelajaran yang
35 Diriwayatkan oleh al-Bukhâri pada kitab al-Jumu'ah, hadis no. 939, dan kitab al-Da'awât , hadis no. 5835; Muslim pada kitab Shalât al-Musâfirîn wa Qasruhâ, hadis
no. 1215-1222; al-Nasâ`i pada kitab Qiyâmul Lail wa Tathawwu' al-Nahâr, hadis no. 1583; al-Tirmidzi pada kitab al-Shalâh, hadis no. 404; al-Tirmidzi pada kitab al-Shaum 'an Rasûlillâh , hadis no. 676; dan Abû Dâwûd pada kitab al-Shalâh, hadis no. 1064.
baik, bahkan bila memang perlu ada perbantahan, maka perbantahan itu harus dilakukan dengan cara yang baik. 36
Di antara ayat-ayat yang mengandung lafazh amar makruf nahi mungkar, ayat yang mengandung karakteristik menjaga nilai-nilai akhlak bagi pengemban amar makruf nahi mungkar ini adalah firman Allah Swt. pada Q.S. al-A'râf (7): 199. Pada ayat tersebut disebutkan lafazh khudz al- 'afwa (Jadilah engkau pemaaf). Yang dimaksud dengan al-akhdzu bi al- 'afwi adalah bersikap legowo terhadap perilaku dan perbuatan orang-orang
yang menjadi obyek dakwah atau amar makruf nahi mungkar, serta tidak membebani mereka dengan hal-hal yang terasa berat oleh mereka dan tidak pula memata-matai mereka. Menurut Wahbah al-Zuhaili, yang termasuk ke dalam katagori al-akhdzu bi al-'afwi ini antara lain: menyambung tali silaturahim terhadap orang-orang yang memutusnya, memberi maaf kepada orang-orang yang berbuat zhalim, bersikap lembut kepada orang-orang mukmin, serta menjaga akhlak-akhlak lainnya yang
menjadi ciri khas orang-orang yang taat. 37 Pada ayat tersebut juga terdapat lafazh wa a'ridh 'an al-jâhilîn (dan
berpalinglah dari orang-orang yang bodoh). Maksudnya, janganlah kamu mengikuti perbuatan mereka, jauhilah mereka dan janganlah kamu terus bersama mereka. Lafazh ini mengandung pengertian bahwa ketika seseorang sedang menegakkan amar makruf nahi mungkar, tidak tertutup kemungkinan ada sebagian orang bodoh yang ingin mengganggu atau menyakitinya, atau ada sebagian orang yang ketidaksukaannya kepada apa yang dilakukan oleh pengemban amar makruf nahi mungkar menyebabkan
36 Lihat Q.S. al-Nahl (16): 125.
37 Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, juz 9, h. 217.
mereka melakukan hal-hal yang tidak menyenangkan terhadapnya. Dalam kondisi seperti itu, tidak ada pilihan lain bagi pengemban amar makruf nahi mungkar kecuali dengan berpaling dari mereka, dengan tujuan untuk menghindarkan diri dari kejahatan mereka.
Meskipun demikian, orang yang menegakkan amar makruf nahi mungkar dituntut untuk memaafkan mereka dan tidak melakukan balas dendam terhadap mereka. Hal ini disebabkan karena sifat suka memberi maaf merupakan salah satu akhlak terpuji yang memiliki keutamaan besar.
Dalam surah Âli 'Imrân, setelah Allah Swt. menyuruh orang-orang yang beriman untuk bersegera meraih ampunan-Nya dan berusaha untuk mendapatkan surga yang seluasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, Allah Swt. pun menyebutkan ciri-ciri orang-orang yang bertakwa itu,
orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, baik di waktu lapang maupun sempit, serta orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan
mereka adalah
kesalahan orang lain. 38 Di ayat lain, Allah Swt. menegaskan bahwa pemberian maaf adalah
lebih dekat kepada ketakwaan. Maksudnya, jika seseorang dizhalimi atau diperlakukan tidak baik oleh orang lain, kemudian dia memaafkan kesalahan atau perbuatan tidak menyenangkan yang dilakukan oleh orang lain itu, maka dia telah mendekati derajat takwa, atau dengan kata lain, apa
yang dilakukannya itu merupakan cerminan ketakwaan dirinya. 39
38 Lihat Q.S. Âli 'Imrân (3): 133 dan 134. 39 Lihat Q.S. al-Baqarah (2): 237.
Ayat lain yang mengandung karakteristik menjaga nilai-nilai akhlak bagi pengemban amar makruf nahi mungkar adalah firman Allah Swt. dalam Q.S. Luqmân (31): 17. Di sana disebutkan salah satu akhlak mulia yang memiliki hubungan erat dengan tugas amar makruf nahi mungkar. Sifat yang dimaksud adalah sifat sabar. Yang dimaksud dengan sifat sabar di sini adalah kuat dan tahan dalam menghadapi berbagai macam musibah atau cobaan yang ada dalam kehidupan ini. Sifat tersebut terkandung dalam firman Allah Swt. "washbir 'alâ mâ ashâbak" (dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu).
Sebagaimana diketahui, sifat sabar juga merupakan akhlak mulia yang memiliki keutamaan besar. Dalam surah al-Baqarah, Allah Swt. memerintahkan kepada Nabi Muhammad Saw. untuk memberikan berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan "Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji'ûn " (Sesungguhnya kami milik Allah dan hanya kepada-Nya kami akan kembali). Maksudnya, orang-orang yang menyadari sepenuhnya bahwa apa yang mereka miliki adalah milik Allah, sehingga ketika Allah menguji mereka dengan suatu musibah atau cobaan yang menyebabkan apa yang mereka miliki itu hilang darinya, mereka pun menerimanya dengan ikhlas tanpa ada perasaan emosi atau kesal sedikitpun. Di akhir ayat, Allah menegaskan bahwa mereka itu akan mendapatkan keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka adalah orang-
orang yang mendapat petunjuk. 40 Sifat sabar sangat dibutuhkan oleh pengemban amar makruf nahi
mungkar, karena pada umumnya, orang yang menyuruh kepada yang
40 Q.S. al-Baqarah (2): 155-157.
makruf dan mencegah dari yang mungkar akan menghadapi berbagai hal yang tidak menyenangkan bagi dirinya, baik berupa perkataan yang menyakitkan
menyenangkan yang dilakukan terhadapnya. Karena itu, seorang pengemban amar makruf nahi mungkar pun dituntut untuk bersabar ketika sedang mengemban tugasnya yang mulia itu. Berdasarkan hal ini, maka ketika menasehati puteranya untuk
hatinya ataupun
perbuatan tidak
mungkar, Luqman pun memerintahkan puteranya itu untuk bersabar dalam menghadapi apa yang akan menimpanya. Bahkan,
menegaskan bahwa hal itu merupakan salah satu hal yang diwajibkan Allah Swt.. 41
Luqman