Emic-Etic: Meramu Pendekatan Riset

3. Emic-Etic: Meramu Pendekatan Riset

Masalah meramu dua atau lebih pendekatan atau disiplin keilmuan menjadi satu pendekatan terpadu diakui adalah sebagai

32 Acara “Malam Sagu” itu kembali dimuat “Mari Makan Sagu”, Femina No. 148, edisi 19 Desember 1978. Ditampilkan pula gambar makanan-makanan

yang terbuat dari sagu lengkap dengan resep dan cara membuatnya. 33 “Apa & Siapa Dr. Masri Singarimbun”, Kedaulatan Rakyat, Minggu, 14

Oktober 1973.

Pemikiran Agraria Bulaksumur keahlian Masri. Jauh dari menjadi rancu integrasi itu justru mam-

pu menjangkau wilayah yang awalnya tidak terlihat jika masing- masing pendekatan atau disiplin ilmu berdiri sendiri dan bekerja sendiri. Satu contoh dapat disebutkan misalnya, para ahli demo- grafi pada dasarnya tertarik pada perubahan struktur penduduk baik secara agregat maupun rata-rata. Perubahan struktur pendu- duk tersebut sangat dipengaruhi angka fertilitas. Salah satu ukuran yang biasa dipakai dalam fertilitas adalah angka fertilitas total yang menggambarkan rata-rata jumlah anak yang dilahirkan oleh wanita selama masa reproduksinya atau selama usia subur. Angka fertilitas total merupakan angka hipotetis sehingga tidak menggambarkan jumlah anak yang sebenarnya dari kehiduapan riil wanita sampai mereka mencapai saat monopouse. Sementara ahli antropologi tertarik pada budaya, struktur sosial komunitas manusia dan norma, serta nilai yang menuntun hidup manusia. 34

Ahli demografi bisa menjelaskan suatu fenomena demografi dengan fenomena demografi yang lain. Mereka dapat menjelas- kan “bagaimana” perubahan demografi terjadi. Perubahan angka fertilitas total misalnya, dapat dijelaskan dengan perubahan angka fertilitas menurut umur, perubahan usia perkawinan, dan seba- gainya. Bagi Masri penjelasan ini tidak memadai karena masih terdapat pertanyaan yang belum terjawab yaitu “mengapa”-nya. Mengapa pola fertilitas atau usia melahirkan berubah? Pertanyaan tersebut membutuhkan antropologi untuk menjawabnya. 35

Selain itu memang pada dasarnya ada perbedaan-perbedaan

34 Anke Niehof, “Orang-orang di Balik Angka-angka”, dalam Robert Parangin-Angin & Irawati Singarimbun (ed.), Op.cit., hlm. 145-149

35 Anke Niehof, “Orang-orang di Balik Angka-angka”, dalam Robert Parangin-Angin & Irawati Singarimbun (ed.), Op.cit., hlm. 145-149

Pemikiran Masri Singarimbun

antara demografi dan antropologi, yaitu pertentangan antara pen- dekatan “emic-etic”. Penjelasan “emic “ adalah suatu penjelasan yang bersumber “dari dalam” yang dibingkai dengan konsep- konsep masyarakat yang kepada siapa penjelasan atau definisi itu berlaku. Sedangkan penjelasan “etic” merupakan penjelasan “dari luar”, yang berasal dari konsep-konsep yang dibawa oleh peneliti atau pengamat. Implikasinya, bagi seorang ahli demografi fertilitas merupakan hasil aplikasi dari suatu definisi demografis terhadap data jumlah anak lahir hidup yang dilahirkan oleh ibu umur tertentu. Ini disebut definisi “etic”. Tetapi bagi antropologi fertilitas merupakan apa saja yang dianggap penduduk bermakna fertilitas dalam pengertian mereka sendiri, yaitu dimensi-dimensi yang mereka bedakan dan bahasa-bahasa yang mereka gunakan dalam memaknai dan menjelaskan hal tersebut. Pertentangan “emic-etic” ini kerap muncul dalam penggabungan pendekatan demografi dan antropologi. Namun bagi Masri, yang menekan- kan pendekatan interdisipliner, tidak menyerah untuk menda- patkan suatu pemahaman yang menyeluruh. Persoalan fertilitas dan fenomena ekonomi yang terkait dengannya seharusnya tidak dipandang sebagai penjelasan yang berdiri sendiri, tetapi sebagai refleksi ide-ide, motivasi-motivasi, dan keputusan-keputusan dari masyarakat itu sendiri. Oleh sebab itu, selalu diperlukan suatu analisis kebudayaan untuk memahami hakiki manusianya, yaitu orang-orang di balik angka-angka statistik. Tradisi “demografi humanistik” ini—jika bisa disebut demikian—yang telah di kem- bangkan Masri selama keterlibatanya dalam dunia penelitian kependudukan di Indonesia. 36

36 Ibid., hlm. 145-149

Pemikiran Agraria Bulaksumur

Bobot kepakaran Masri dalam bidang kependudukan diakui di dalam dan luar negeri. 37 Tahun 1996, ANU menganugerahkan dokteret honoris causis kepada Masri Singarimbun. Tahun itu juga adalah tahun kunjungan terakhirnya ke Australia. Manning (1999) menulis bahwa Masri adalah ilmuwan Indonesia pertama yang dianugerahi honoris causa oleh ANU. Penganugerahan itu tentu saja bukan karena tujuan politis-ekonomi tetapi didasarkan pada integritas kecendekiawanan Masri, dan karya-karyanya yang ber- pengaruh, hubungannya dengan ANU yang erat, dan dukungan- nya terhadap karir staf-stafnya di Lembaga Kependudukan UGM. Reid (1999) menyebutkan, “dia adalah salah satu dari sepuluh (bahkan orang Asia pertama) yang memperoleh penghargaan doktor kehormatan dari ANU, tepat pada ulang tahun ke-50 universitas tersebut di tahun 1996”. 38