Dalil-dalil Pengendalian Populasi

1. Dalil-dalil Pengendalian Populasi

Sesungguhnya teori-teori yang mendasari pentingnya upaya untuk mengontrol laju petumbuhan penduduk tidak tunggal melainkan beragam. Umum dilihat bahwa teori Malthus dengan deret ukur dan deret hitung-nya itu mendasari kepentingan kebijakan kependudukan. Malthus mengungkapkan tesisnya bahwa laju pertambahan penduduk seturut dengan deret ukur, sedangkan kemampuan produksi pangan untuk memenuhi

Pemikiran Agraria Bulaksumur kebutuhan penduduk cenderung mengikuti deret hitung. Teori

Malthus menjadi begitu berpengaruh lebih disebabkan oleh kontroversi atas pernyataan-pernyataannya yang kasar terhadap orang miskin. Pendapat Malthus menyebutkan bahwa kondisi golongan yang miskin tidak dapat ditingkatkan dengan cara melakukan distribusi pendapatan. Pendapat ini adalah jawaban Malthus tentang sistem yang dinamakan “Undang-undang Burack” di Inggris pada abad 18. 41

Malthus mengajukan proposisi bahwa penduduk akan cenderung berlipat ganda dua kali dengan sendirinya dalam jangka waktu 25 tahun, sedangkan produksi pertanian akan tetap sama setiap 25 tahun.

“Di seluruh dunia ini manusia akan bertambah menurut perhitungan 1, 2, 4, 8, 16, 32, 64, 128, 256, sedangkan produksi makanan hanya akan bertam- bah menurut perhitungan 1, 2, 3 , 4, 5, 6, 7, 8, 9 dan seterusnya. Dalam jangka waktu dua abad perbandingan jumlah penduduk dengan jumlah makanan akan menjadi 256:9”. 42

Terkait dengan pemenuhan pangan bagi penduduk, Malthus berpendapat bahwa tanah akan dikuasai oleh hukum deminishing return , yaitu “bila semua tanah yang subur sudah ditempati manusia, pertambahan jumlah makanan selama satu tahun harus tergantung dari peningkatan tanah yang sudah diduduki itu”. Teori ini, pada tahap selanjutnya, diteruskan oleh aliran ekonomi klasik. Aspek ekonomi yang dikombinasikan dengan deminishing

41 Rozy Munir & Budiarto (terj.), Teori-teori Kependudukan (Jakarta: Bina Aksara, 1983), hlm. 29-31.

42 Thomas R. Malthus, An Essay on The Pronciple of Population, edisi ke-7 (tahun 1982), buku 1, bab 1, dalam Rozy Munir & Budiarto (terj.), Op.cit., hlm.

Pemikiran Masri Singarimbun

return menyanggah asumsi ini. Bagi aliran klasik, hukum deminshing return hanya dianggap berlaku untuk masalah tanah saja, sedangkan untuk bidang industri yang selalu memberi kemungkinan untuk meningkatkan pembagian kerja dan peningkatan teknologi, dianggap dapat beroperasi secara konstan atau malah akan menghasilkan keuntungan yang semakin bertambah. 43

Penilaian bahwa kepadatan jumlah penduduk merupakan masalah besar yang menuntut negara melakukan kontrol muncul setelah pada abad-abad sebelumnya masalah jumlah penduduk dianggap sebagai bagian dari kekayaan negara. Plato dan Aris- toteles melihat persoalan kependudukan dalam perspektif negara kota. Mereka melihat perlunya penduduk sampai tingkat opti- mum, tidak hanya dari sudut ekonomi tetapi juga dari segi pengembangan potensi penduduk. Bagi Plato penduduk negara kota yang ideal adalah 5.040, karena jika terlalu besar pemerin- tahan konstitusional tidak bisa berjalan dengan baik. Untuk membatasi jumlah penduduk, Plato menyarankan kolonisasi, sedangkan Aristoteles menghalalkan pembunuhan bayi dan aborsi. Berbeda dengan orang-orang Romawi yang melihat jum- lah penduduk yang besar sebagai aset pertahanan, mereka justru merangsang pertumbuhan jumlah penduduk. Di abad per- tengahan penulis-penulis Kristen melihat masalah kependudukan tidak dalam perspektif duniawi tetapi mereka lebih menekankan

aspek moral dan etik 44 . Mereka mengutuk aborsi, pembunuhan

43 Ibid. 44 Penolakan kaum agama terhadap kontrol kelahiran atau Keluarga Berencana juga terjadi di Indonesia pada awal-awal ketika ide atau program ini hendak dijalankan.

Pemikiran Agraria Bulaksumur bayi, penelantaran anak, perceraian dan poligami. Di zaman

modern ketika Barat menemukan wilayah-wilayah jajahan baru dan meningkatnya perdagangan antar benua, mereka cenderung menginginkan pertambahan penduduk. Sejalan dengan ini, kaum merkantilis pada abad 17 dan 18 melihat pertumbuhan penduduk dan jumlah penduduk yang besar merupakan keuntungan eko- nomi, politik, dan militer. Di abad 19, kalangan Marxis melihat persoalan penduduk bukan dalam konteks pertumbuhan dan pertambahannya melainkan menganggap bahwa kemelaratan penduduk bukan disebabkan oleh jumlah penduduk yang besar tetapi akibat dari kepincangan distrubusi pendapatan dan kepincangan-kepincangan lainnya di dalam tatanan masyarakat. 45

Disiplin demografi muncul di Amerika Serikat setelah Perang Dunia I, lebih cenderung menggunakan kerangka eugenistik yang melihat penduduk dalam ketegori gen-gen unggul atau gen-gen

lemah. 46 Pada 1952, di Amerika Population Council didirikan oleh John. D Rockefeller, dimana fokus utamanya adalah persoalan

45 Masri Singarimbun, “Masalah Penurunan Angka Kelahiran, Aspek- aspek Sosial Budaya dan Program”, Prisma No. 6, Tahun XXIII, Mei 1994.

hlm. 27-28. Tulisan ini adalah ringkasan dari tulisan berjudul “Penurunan Angka Kelahiran: Aspek-aspek Sosial Budaya dan Program” yang disampaikan dalam pengukuhan Jabatan Guru Besar Fakultas Sastra UGM di muka Rapat Senat Terbuka Universitas Gadjah Mada, 9 Februari 1994.

46 Menurut Malthus, kemiskinan adalah kondisi “alamiah” yang dihasilkan oleh kelahiran orang-orang miskin dari pada sebuah akibat dari sistem sosial

dan ekonomi. Pernyataan ini mengimplikasikan bahwa kemiskinan merupakan penurunan gen-gen tertentu yang lemah. Sebab itu kelompok eugenistic percaya bahwa program pembatasan kelahiran termasuk sterilisasi merupakan cara yang dapat mengurangi penyakit yang umumnya diderita oleh orang-orang miskin. Ross, Malthus Factor, Poverty, Politics, and Population in Capitalist Development (Tt: The Corner House, 2000), p. 5-6.

Pemikiran Masri Singarimbun

dampak potensial dari pertumbuhan populasi di negara-negara berkembang. Fokus ini menunjukkan simpati kalangan eugenic pada dekade pertamanya. Badan ini menyediakan dana untuk Masyarakat Eugenic Amerika (American Eugenic Society) dan menawarkan dukungan bagi terbitan Eugenic Quarterly. Popula- tion Council sejak saat itu memainkan peran kritis dalam riset- riset teoritik mengenai “masalah populasi” dan melakukan pengembangan tenik-teknik kontrasepsi. Salah satu teknik yang diperkenalkan adalah norplant. Teknik ini dibuat untuk digunakan oleh program pendukung kontrol kelahiran yang disiapkan terutama untuk perempuan di Dunia Ketiga agar membatasi ferti- litas mereka di bawah kondisi-kondisi yang tidak sepenuhnya mereka lakukan secara suka rela. Beberapa individu yang diaso- siasikan dengan Population Council menunjukkan bahwa teknologi kontrol kelahiran adalah cara untuk mempertahankan kepen- tingan-kepentingan Barat di masa-masa kolonisasi dan revolusi. 47

Meskipun teori Malthus di atas dinilai memiliki kelemahan, seperti bahwa ia tidak meramalkan kemampuan manusia mencip- takan alat kontrasepsi untuk membatasi kelahiran, ia tidak mera- malkan akan adanya migrasi yang merupakan klep (saluran) yang mampu mengurangi tekanan penduduk, dan ia tidak memper- kirakan perkembangan teknologi yang memungkinkan pening- katan produksi tanah yang berlipat ganda; namun teori ini masih dianggap relevan. Masri mencatat dalam tulisannya bahwa semenjak berakhirnya perang dunia kedua, dirasakan bahwa teori Malthus mengandung banyak kebenaran. Negara-nagara yang sedang berkembang di Amerika Latin, Afrika, dan Asia masih terus bergulat untuk meningkatkan taraf hidup rakyatnya. Kekha-

47 Ross, Op.cit., p. 7-8.

Pemikiran Agraria Bulaksumur watiran Malthus lebih dari 1,5 abad yang lalu seolah menjadi

kenyataan: pada periode tertentu pertambahan penduduk mele- bihi pertambahan produksi pangan dan terjadi bahaya kelaparan pada musim paceklik, walaupun teknologi senantiasa bertambah maju dan pemakaian kontrasepsi bertambah luas. 48

Kebutuhan akan pangan mau tidak mau harus diupayakan semaksimal mungkin. Faktor utama produksi pangan adalah tanah, maka harus dilakukan intensifikasi produksi tanah berupa pangan dengan melakukan intervensi teknologi. Di akhir tahun 60-an, revolusi hijau dipandang membawa harapan baru. Brown dan Eckholm, sebagaimana dikutip Masri, mengungkapkan penilaianya terhadap revolusi hijau; “revolusi hijau itu bukanlah pemecahan masalah pangan, lebih tepat kalau dikatakan suatu alat untuk mengulur waktu—barangkali untuk 15 tahun—dan memberi jalan kepada kita untuk mengurangi laju pertambahan penduduk”. 49

Masri melihat bahwa di Indonesia masalah pertumbuhan penduduk sudah mengkhawatirkan. Ia mengutip Dr. Sutami untuk menunjukkan hal ini, menurut Sutami; “pulau Jawa dengan keadaan geografi dan tingkat pertumbuhan ekonomi seperti seka- rang ini, sebaiknya dihuni oleh penduduk sejumlah 60-70 juta or- ang, sehingga dapat dilakukan konsilidasi wilayah yang lebih baik”. Pernyataan ini sejalan dengan pendapat Sumitro, “dengan kepadatan penduduk rata-rata di atas 1000 jiwa/km pada tahun 2001, pulau Jawa akan menjadi seperti “pulau kota” waktu itu nanti. 50

48 “Kata Pengantar Masri Singarimbun,” dalam Paul R. Ehrlich, Ledakan Penduduk (Jakarta: Gramedia, 1981), hlm. VII-VIII.

49 “Kata Pengantar Masri Singarimbun,” dalam Paul R. Ehrlich, Op.cit., hlm. IX.

50 Ibid., hlm. X.

Pemikiran Masri Singarimbun

Beberapa penilaian tentang pembangunan dan kaitannya dengan kesejahteraan rakyat, masalah kependudukan dinilai sangat terkait dengan upaya pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasil- hasil pembangunan. Wilayah yang memiliki tingkat kepadatan penduduk seperti Jawa, bagaimanapun, sulit untuk ditata secara efektif, sebagaimana diungkapkan Sutami di atas. Hal ini sejalan dengan pinilaian-penilaian baru dari kalangan Neo-Malthus yang beranggapan bahwa jalan keluar yang ditawarkan oleh kelompok Malthus-Klasik tidak relevan dengan situasi perkembangan dunia. Malthus-Klasik menganjurkan jalan moral constraint untuk memecahkan persolan jumlah penduduk. Malthus (1872) mengungkapkan bahwa dalam kondisi seperti itu, pengekangan moral dan perilaku sederhana merupakan satu-satunya alternatif yang praktis dan dapat diterima secara moral terhadap

pertumbuhan jumlah penduduk yang sulit dikendalikan. 51 Merevisi pendapat Malthus-Klasik, kalangan Neo-Malthusian mengajukan pendekatan teknologis untuk masalah kependudukan, yaitu penggunaan alat kontrasepsi dan kontrol kelahiran. Rupanya cara ini sangat populer dan digunakan oleh banyak negara di dunia termasuk Indonesia. Ehrlich (1871) seorang Neo-Malthusian meneguhkan asumsi-asumsi dasarnya, dalam bukunya yang terkenal “Population Boomb” kemudian direvisi berjudul “Popula- tion Explotion ” ia menyatakan; manusia sudah terlalu banyak di bumi, keadaan bahan makanan sangat terbatas, lingkungan rusak

sebab populasi manusia meningkat. 52 Persoalan yang dikemukakan

51 Rozy Munir & Budiarto (terj.), Op.cit., hlm. 30. 52 Chabib Musthafa, “Sosiologi Kependudukan” dalam http://

pkn03ui.files.wordpress.com/2008/11/demografi-1.pdf diakses pada hari Senin, 15 Oktober 2009 pukul 14.10 WIB.

Pemikiran Agraria Bulaksumur Ehrlich ini dipecahkan dengan dua pendekatan, yaitu bagaimana

mengontrol jumlah penduduk dan kedua bagaimana meningkatkan produksi pangan agar dapat memenuhi kebutuhan semua penduduk. Yang pertama tercermin dalam program Keluarga Berencana, sedangkan yang kedua diimplementasikan dalam program Revolusi Hijau. Meskipun revolusi hijau banyak

menuai kritik, 53 di Indonesia program ini pernah menjadi program unggulan yang hampir menyamai program keluarga berencana.