Sriharjo: Penduduk dan Kemiskinan

1. Sriharjo: Penduduk dan Kemiskinan

Karya Masri berikutnya yang sangat penting adalah hasil risetnya dengan David H. Penny di Sriharjo, sebuah desa di sebe- lah selatan Yogyakarta bagian dari kabupaten Bantul. Hasil riset itu diterbitkan tahun 1976, padahal dekade 70-an di Indonesia perbincangan mengenai kemiskinan masih dianggap sebagai isu yang sensitif, di kalangan ilmuwan sosial sekalipun. Politik

19 Ibid.

Pemikiran Masri Singarimbun

pembangunan ingin merangkum semua orang untuk berbaris rapi menatap kemakmuran ekonomi dan menyembunyikan persoalan kemiskinan karena kemiskinan dianggap “mengganggu”

optimisme pembangunan. 20 Kenyataan tentang adanya kemis- kinan mungkin, pada saat itu, dianggap dapat mendelegitimasi program-program pemerintah di mata masyarakat yang mulai yakin dengan pembangunan dan di mata dunia internasional khususnya lembaga-lembaga yang memberikan pinjaman. Watak politik yang demikian itu membuat ilmu sosial tidak dapat bebas menyatakan temuannya secara obyektif tetapi didudukkan sebagai suatu instrumen yang harus mendukung tujuan-tujuan

pembangunan itu sendiri. 21 Akan halnya ilmuwan sosial mereka 20 Pada 1979 Masri melontarkan kritik terhadap pembangunan yang

menurutnya terlalu cenderung bersifat ekonomistik dan hanya melihat di aras permukaanya saja, tidak mencoba melihat lebih jauh ke dalam. Sebagai seorang ilmuwan Masri selalu mengajak orang untuk tidak hanya terjebak pada suatu permukaan tetapi lebih jauh mengarahkan pandangan pada wilayah di balik atau di bawah permukaan itu. Hal ini terlihat dalam jawabannya ketika Kompas menanyakan pendapatnya tentang pembangunan. “Kalau dilihat kasus per kasus, barangkali perlu dipertanyakan kembali pembangunan itu. Misalnya angka perluasan jalan menunjukkan kenaikan. Dari pendekatan pembangunan yang dianut hal itu menunjukkan sukses. Tetapi dengan perluasan jalan ke desa, andong digusur oleh colt (angkutan umum buatan Jepang), pembuat tali dan teklek (sandal dari bahan kayu) kehilangan mata pencaharian, dengan masuknya tali dan sandal-sandal plastik…minuman asing yang masuk desa menggantikan wedang. Begitu juga dengan barang-barang lainya, seperti radio, sepeda mo- tor, dan pakaian-pakaian luar yang mencampakkan sarung”. Tentu bukan karena Masri tidak setuju dengan benda-benda baru olahan industri itu tetapi pembangunan harus melihat efeknya terhadap produksi rakyat kecil. “Apa Pendapat Mereka Mengenai Pembangunan dan Kemiskinan”, Kompas, Selasa,

23 Januari 1979. 21 Kecenderungan yang demikian diungkapkan Kleden, “.. pada

kenyataanya ada hubungan yang erat antara pembentukan rezim Orde Baru

Pemikiran Agraria Bulaksumur butuh keberanian—jika bukan kenekatan—untuk mempub-

likasikan temuan obyektifnya sebagai hasil dari kerja keilmuan kepada khalayak luas khususnya pengambil kebijakan dan peme- gang kekuasaan. Publikasi Masri dan Penny hadir dalam atmosfir politik pembangunan yang demikian itu. Menilai signifikansi buku ini, Mubyarto (1999) mengungkapkan, “mereka berdua telah membuat “revolusi paradigma” pembangunan pedesaan Indo- nesia”. 22

Publikasi Population and Poverty in Java hasil riset Masri dan Penny di Sriharjo terbit dalam edisi Indonesia Penduduk dan

dengan lembaga ilmu sosial di Indonesia, walaupun pengembangan ilmu sosial sudah sejak zaman kolonial dalam lembaga indologi untuk pegawai kolonial...pengembangan ilmu sosial secara sistematis hanyalah selama periode Orde Baru…bagaimana teori sosial membantu memberi pembenaran atas restrukturisasi dan reorientasi yang berlangsung selama pemerintahan Orde Baru. Ini dapat dilihat dengan menguji alasan-alasan bagi restrukturisasi dan reorientasi, sejauh dikemukakan atau dianjurkan oleh pejabat pemerintah, dan bagaimana secara teoritis alasan itu didukung teori atau konsep ilmu sosial, apapun penjelasan yang diberikan para ilmuwan sosial untuk membenarkan restrukturisasi sosial dan reorientasi budaya, semua itu didasarkan atas suatu strategi yang timbul dari pertemuan antara ilmu sosial dan pembangunan nasional...antara negara dan masyarakat. Dalam hal organisasi profesional, kita lihat bagaimana sangat mudahnya organisasi semacam itu menjadi alat negara untuk mengontrol masyarakat…ilmu sosial yang demikian lebih bersifat in- strumental ketimbang kritis, karena tidak mampu mengkritik dirinya sendiri. Ini berarti ilmu sosial mempunyai kapasitas mengamati dan menganalisis segala sesuatu, kecuali dirinya sendiri.” Selengkapnya baca Ignas Kleden, “Ilmu Sosial di Indonesia, Tindakan dan Refleksi dalam Perspektif Asia Tenggara,” dalam Nico G. Schulte Nordolt & Leontine Visser (ed.), Ilmu Sosial di Asia Tenggara: Dari Partikularisme ke Universalisme (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 1997), hlm. 10-40.

22 Mubyarto, “”Juru Bicara” Mereka yang Miskin dan Tertinggal”,”dalam Robert Parangin-Angin & Irawati Singarimbun (ed.), Op.cit., hlm. 64.

Pemikiran Masri Singarimbun

Kemiskinan: Kasus Desa Sriharjo tahun 1976 oleh penerbit Bhratara Karya Aksara, sebelumnya diterbitkan oleh Universitas Cornell, Ithaca, New York, pada Mei 1973. Lucas (1999) mencatat publikasi itu merupakan penelitian pertama yang menggunakan kata “kemiskinan” pada sampul depan buku yang diterbitkan di zaman Orde Baru. Judul ini merefleksikan hasil temuan Masri bersama seorang ahli ekonomi pertanian dari ANU, David H. Penny, dan menggunakan cara untuk mengukur tingkat kemis- kinan. Ekuivalen beras pertama kali digunakan untuk mengukur tingkat kecukupan sebuah keluarga di desa Jawa (suami, istri, dan tiga orang anak) dari makanan, pakaian, dan rumah; dikata- kan cukup bila pendapatan total sebuah keluarga ekuivalen dengan 240 kg beras. Penelitian ini menemukan sebuah ukuran cukupan yang secara operasional dapat digunakan untuk mengu- kur tingkat kemiskinan. Keluarga yang tergolong cukupan diletak- kan dalam kategori sangat miskin, mereka makan sederhana (hanya nasi dan sayur); mereka berpakaian sederhana (tidak lebih dari dua potong pakaian murah setiap tahun); rumah mereka juga sangat sederhana—lantai kotor atau tanah, dinding bambu, dan atap rumahnya dari rumbia. Mereka tidak mempunyai uang atau hanya punya sedikit uang untuk hiburan, perjalanan, dan biaya pengobatan (Penny 1986:35). Pada saat itu, temuan ini mendapat tempat dalam perbincangan dan perkembangan ilmu sosial di Indonesia dalam konteks pembangunan. Konsep cukupan ini kemudian dikembangkan oleh Sayogjo, seorang ahli sosiologi pedesaan, dalam penelitiannya. 23

23 Anton Lucas, “Mengenang Pribadi dan Profesionalisme Pak Masri,” dalam Robert Parangin-Angin & Irawati Singarimbun (ed.), Op.cit., hlm. 171-

Pemikiran Agraria Bulaksumur

Sebagai seorang antropolog, kerja sama penelitian dengan ahli ekonomi merupakan paduan yang sangat tepat. Dua hal dapat dicapai sekaligus, seorang antropolog biasanya cenderung melihat kehidupan sosial ekonomi manusia dari sisi kualitatifnya, sedang- kan seorang ekonom yang terbiasa dengan pengukuran angka- angka cenderung melihatnya dari sisi kuantitaif. Dengan minat, kepedulian, dan disiplin keilmuanya, Masri lebih cenderung meli- hat persoalan dari kasus-kasus nyata, sedangkan ekonom lebih condong melihatnya dari perspektif sistem sosial ekonomi yang lebih luas. Tradisi penelitian yang dikembangkan Masri memang khas seorang antropolog sosial, dia lebih banyak melakukan studi- studi pada ruang lingkup mikro yang cermat dan mendetail di pedesaan, sehingga orang tidak terjebak pada data-data makro atau gambaran besar yang bisa jadi tidak mencerminkan kondisi masyarakat bawah yang sesungguhnya. Studi mikro menjadi sangat penting sebagai koreksi terhadap perspektif makro yang kadang mengabaikan detailnya. Di situlah studi kemiskinan Sriharjo mendapatkan momen yang tepat. Temuan Masri dan Penny mengabarkan tentang anomali rencana makro yang berjalan di bawah developmentalisme. Sulit dibayangkan seorang ilmuan dapat mengungkap kondisi obyektif yang berlawanan dengan keyakinan pendapat pemegang kekuasaan tanpa didasari oleh dua hal, yaitu keberpihakan ilmiah dan kejujuran ilmiah. 24 Empati Masri yang sangat tinggi membuatnya tidak dapat diam

24 Masri Singarimbun dan D.H. Penny, Penduduk dan Kemiskinan: Kasus Sriharjo di Pedesaan Jawa (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1976). Chris Man-

ning, “Seorang Pemimpin, Rekan dan Aktivis Sosial di Lingkungan Perguruan Tinggi,” dalam Robert Parangin-Angin & Irawati Singarimbun (ed.), Op.cit., hlm. 184.

Pemikiran Masri Singarimbun

melihat nasib orang-orang kecil yang tergilas pusaran roda pembangunan. 25

Dapat dikatakan studi kasus Sriharjo itu merupakan tilikkan awal tentang kemiskinan di pedesaan. Temuan itu menyangkal pernyataan-pernyataan sloganistik yang mencitrakan Indonesia sebagai negeri kaya yang tak memiliki persoalan penduduk dan penghidupannya. Tilikkan utama penelitian itu adalah hubungan antara jumlah tanah yang tersedia dengan kelebihan penduduk. Kelebihan penduduk dimanapun akan berarti tidak cukup bagi sebagian besar orang untuk dapat hidup secara layak. Di daerah pertanian “tidak cukup” akan berarti tidak cukup tanah, tidak cukup pekerjaan, tidak cukup pembayaran bagi pekerjaan yang dikerjakan, dan tidak cukup pelayanan pendidikan dan kesehatan. Sedangkan pemahaman arti cukupan bagi mereka sangat sederhana, yaitu jika seseorang dapat mengolah 0,7 ha sawah tadah hujan dan sebidang tanah darat, misalnya 0,3 ha, dimana ia dapat menanam kelapa, buah-buahan dan pohon- pohanan lainnya, dan sayuran sekadarnya, rempah-rempah dan keperluan rumah tangga lainya. Dalam jangka waktu 70 tahun penduduk telah meningkat hampir tiga kali lipat; di Sriharjo luas tanah rata-rata per keluarga telah menyempit menjadi kurang

25 Keberpihakan ini jelas terlihat dalam suatu pernyataan Masri tentang pembangunan saat itu. “Celakanya, melejitnya pola konsumsi ini tidak didukung

kemajuan pola produksi. Akhirnya kemiskinan semakin membengkak. Swasembada menjadi ilusi. Dengan sederet kalimat—yang dibawa usaha pembangunan—iklan telah menjungkirbalikkan tatanan yang selama ini dipertahankan. Semua ini terjadi karena perencana pembangunan atau pembuat keputusan tidak pernah menghayati kehidupan penduduk miskin”. “Apa Pendapat Mereka Mengenai Pembangunan dan Kemiskinan di Pedesan”, Kompas, Selasa, 23 Januari 1979.

Pemikiran Agraria Bulaksumur dari ¼ ha dan sekitar 2/3 penduduk tidak memperoleh penda-

patan yang memungkinkan mereka makan nasi, sepanjang tahun. Mereka tahu bahwa mereka dapat hidup dengan layak, menurut ukuran mereka, jika mereka mempunyai cukup tanah yang bisa digarap, dan mereka meyadari bahwa kesempatan mereka untuk memperbaiki ekonomi telah menipis dengan meningkatnya jum- lah penduduk. 26

Buku itu lebih banyak menggunakan data yang dikumpul- kan Masri dan Irawati dibantu 7 asisten lapangan yang dilatih untuk itu. Untuk riset ini Masri membawa serta anak dan istrinya (Irawati) tinggal selama satu tahun (12 bulan) di desa itu sejak 1969 sampai 1970. Lebih dari angka-angka, Masri mencatat, dari penelitianya, bahwa ada tiga cara pokok untuk mengetahui apa- kah di suatu daerah ada masalah kependudukan atau tidak, dan kalau ada sejauh mana mendalam dan seriusnya masalah itu. Orang dapat melihat, mendengar, atau bicara dengan penduduk setempat, membaca hasil laporan penelitian, atau dari data statis- tik yang akurat dan lengkap. Meskipun demikian, sebenarnya hanya dengan melihat situasi di suatu daerah tertentu orang sudah bisa meraba adanya persoalan kependudukan di dalamnya. Apa- kah bukit-bukit gundul? jika benar hampir pasti di situ ada masalah kependudukan. Sama juga jika lereng dan bukit sudah ditanami dengan tanaman berumur pendek. Daerah yang berpen- duduk padat jarang dapat ditemui rumput yang panjang-panjang, mungkin disebabkan kurangnya sumber makanan untuk ternak yang dipelihara oleh penduduk setempat. Apakah rumah-rumah kokoh dan kuat, dan apakah lantainya dari kayu atau semen? Apakah kelapa ditanam untuk diambil buahnya atau disadap

26 Masri Singarimbun dan D.H. Penny, Op.cit., hlm. 25.

Pemikiran Masri Singarimbun

untuk dijadikan gula? Sudah berapa lama gula kelapa menjadi sumber penghidupan yang penting di desa? Tanda lainnya yang menunjukkan adanya persoalan kependudukan adalah apakah singkong atau gaplek dijual secara umum di pasar makanan setempat? 27

Selain mengungkap data berupa angka-angka statistik untuk menunjukkan adanya masalah tanah yang menyempit dan jumlah penduduk yang membengkak, pada lampiran 4 buku itu kedua peneliti meyakini bahwa penelitian ekonomi Indonesia yang mengabaikan faktor-faktor kebudayaan yang khas dan mendasar (lokal) kurang menghasilkan temuan yang berharga bahkan dapat menyimpulkan hasil yang keliru. Kasus Sriharjo menunjukkan rasionalitas ekonomi murni yang semata-mata mengejar keun- tungan bukan menjadi alasan tindakan ekonomi penduduk setem- pat. Tetapi bukan berarti mereka tidak membuat pertimbangan- pertimbangan ekonomistik dalam kaitannya dengan pengelolaan sumber daya-sumber daya yang terbatas untuk mencukupi kebu- tuhan dasarnya. Satu contoh yang dikemukakan misalnya, seseo- rang yang memiliki modal tidak jadi membuat mesin penggi- lingan padi yang memungkinkan dia memperoleh keuntungan dari jasa penggilingan itu. Pertimbanganya adalah agar tidak mengurangi atau menghilangkan pekerjaan para penumbuk padi yang ada di tengah sulitnya memperoleh pekerjaan pada waktu itu. 28

Lima tahun kemudian yaitu pada tahun 1975 Masri kembali mengunjungi desa itu. Perubahan-perubahan fisik mulai terlihat yang baginya menunjukkan adanya hasil intervensi program

27 Ibid., hlm. 143-145. 28 Masri Singarimbun dan D.H. Penny, Op.cit., hlm. 166-170.

Pemikiran Agraria Bulaksumur pemerintah seperti Bimas, pembangunan infrastruktur seperti

jalan dan jembatan yang memungkinkan masyarakat menjangkau daerah-daerah lain, mobilitas yang semakin meluas memungkin- kan penduduk mencari kesempatan-kesempatan baru di daerah lain. Tetapi kondisi perubahan itu hanya dapat dirasakan oleh mereka, terutama yang memiliki modal cukup, sedangkan bagi buruh tani kondisinya tidak begitu banyak berubah bahkan ham- pir tidak mengalami perubahan yang cukup signifikan. Seorang guru sekolah yang sempat ditemuinya menuturkan “keadaan mereka sama saja, bekerja satu pecat (1/2 hari) mendapat ½ kg beras, dahulu begitu sekarang juga begitu. Upah naik tetapi harga- harga juga naik. Kesempatan kerja tidak bertambah”. 29