Sejarah Multidimentional Approach sebagai Politik Pengetahuan

3. Sejarah Multidimentional Approach sebagai Politik Pengetahuan

Kecenderungan pendekatan unidimensional yang terjadi dalam berbagai disiplin ilmu sosial di Indonesia utamanya kajian sejarah, mendapat kritik Sartono Kartodirdjo. Pendekatan sema- cam ini tidak mampu membaca suatu realitas secara menyeluruh. Sebagai misal, pendekatan sosiologis hanya akan menyoroti suatu gejala dari aspek sosial seperti hubungan sosial, interaksi, jaringan hubungan sosial, dan sebagainya. Pendekatan politikologi hanya mengungkap aspek politik seperti kekuasaan, kepemimpinan, otoritas, dan lain-lain. Multidimesionalitas gejala sejarah perlu ditunjukkan agar diperoleh gambaran secara bulat dan menye-

luruh. 18 Tidak ada kunci mendasar atau single explanation dalam sejarah, sehingga sejarah harus dilihat dari multi-perspektif dan multi-sebab.

18 Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 87

Pemikiran Agraria Bulaksumur

Agar dapat demikian, seorang sejarawan pertama-tama dituntut menguasai alat analisis pada masing-masing disiplin ilmu, agar tidak menggunakannya sambil lalu dan serampangan apalagi hiasan belaka. Tugas seorang sejarawan yang semula hanya menjadi juru kisah dengan menarasikan runtutan peristiwa, dituntut lebih jauh agar dapat menganalisa peristiwa itu, menun- jukkan multi(f)aktor, sebab akibat, dan berbagai dampaknya. Mengapa pilihan ini dilakukan? Umumnya penjelasannya adalah karena adanya perkembangan sejarah dan ilmu sosial secara glo- bal yang turut memengaruhi pijakan metodologi Sartono.

Kala itu aliran annales dari Perancis yang dimotori oleh Marc Bloch dan Lucien Febvre menulis sejarah sosial tentang masyara- kat feudal. Mereka menjelaskannya secara menyeluruh sehingga disebut juga dengan “sejarah total”. Pada gilirannya, pijakan metodologi itu diperkuat oleh Fernand Braudel. Tidak hanya sebab-sebab yang terjadi dalam interaksi manusia dengan manusia, Braudel melalui karyanya, Laut Tengah dan Dunia Sekitarnya pada Zaman Phillpis II , menjelaskan pula hasil interaksi manusia dengan alam. Sebagai gambaran, berikut suatu bagan yang menjelaskan bagaimana aspek geografis menjelaskan proses sejarah ala Mazhab Annales. 19

Tempo Perubahan

Aspek

Fokus yang disoroti

Structure Jangka menengah

Jangka panjang

Geografi

Conjuncture Jangka pendek

Ekonomi

Politik

Event

19 F.R. Ankersmit, Refleksi tentang Sejarah, Pendapat-pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah, (Jakarta: Gramedia, 1987), hlm. 281-282

Membaca Ulang Sartono Kartodirdjo

Sartono sangat terpengaruh Mazhab Annales itu. Salah satu penerus mazhab tersebut yang mengkaji Indonesia adalah Denys Lombard. Sartono dianggap orang yang memahami pendekatan- nya sehingga sangat tepat untuk memberi kata pengantar terbitan bukunya. Denys Lombard membaca keberadaan Jawa sebagai produk persimpangan berbagai lapis (nebula) peradaban yang melintasi sejarah Jawa; India, Islam, dan Barat. Dalam perjumpaan ini, Jawa dipengaruhi dan turut memengaruhi ketiga peradaban besar tersebut. 20

Saya akan mengajukan pendapat lain bahwa pendekatan multidimensional melalui ilmu-ilmu sosial di dalam studi sejarah itu adalah strategi, tepatnya “politik pengetahuan”, dan tidak semata-mata pencapaian akademis (academic enterprise) ilmu sejarah pada wilayah eksplanasinya. Mulanya memang demikian. Lebih jauh, ia seakan menjadi blessing in disguise bagi pendirian Sartono yang bersikukuh menjaga jarak dengan kekuasaan. Ke- suksesan pendekatan ini yang bisa kita lihat dan teladani dari Sartono, adalah terletak pada kekuatan politik pengetahuannya yang barangkali melebihi tindakan/pilihan ilmiahnya. Pende- katan ini merupakan strategi ampuh guna menghindarkan diri dari hegemoni kekuasaan yang demikian gencar mengideologi- sasi narasi sejarah Indonesia. Inilah satu pencapaian yang pernah ada dalam historiografi Indonesia.

Keberhasilannya tidak (hanya) terletak pada digunakannya bermacam perangkat ilmu sosial dalam menjelaskan keragaman aspek sejarah. Sartono Kartodirdjo sendiri tidak hendak

20 Sartono Kartodirdjo, “Pengantar” dalam Nusa Jawa, Silang Budaya, Batas-batas Pembaratan, (Jakarta: Gramedia, 1998)

Pemikiran Agraria Bulaksumur mengungkap berbagai (semua) aspek dan dimensi tentang

pemberontakan, misalnya. Perangkat ilmu sosial yang dominan di dalam disertasinya adalah ilmu politik, antropologi, dan sosio- logi, dan bukan semua bidang ilmu sosial. Dilihat dari sini, maka klaim multidimensional approach sejatinya tidak benar-benar menu- lis semua-mua aspek dan seluruh perangkat ilmu sosial, sebab hal demikian bukanlah cara kerja ilmu yang terkendalai oleh “konvensi disiplin”.

Pendekatan multidimensional (pada gilirannya) bisa ditaf- sirkan sebagai “pretext” bagi Sartono Kartodirdjo untuk keluar dari jerat militerisasi dan politisasi sejarah Indonesia. Dalih ini menantang mainstream dan “historiografi resmi” saat itu. Pengalaman ia memimpin penulisan buku Sejarah Nasional In- donesia 6 jilid telah membuktikan. Dalih itu cukup ampuh, aman, elegan, dan yang jelas: bercita-rasa “akademis”. Inilah mengapa ia digandrungi dan banyak diikuti, sehingga konon melahirkan suatu “mazhab”. Mengenai hal ini, Sartono sendiri pernah menunjukkan sikap tatkala ia diminta mengoreksi buku putih yang datang dari sekretaris negara dan hanya diberi waktu 3 hari. Sartono memberi koreksi dan komentar yang sifatnya metodo- logis. Ketika hasil koreksi diminta kembali dan dianggap tidak memenuhi selera pemesan, Sartono mengatakan bahwa tugas sejarawan bukan memberi pembenaran buku putih.

Dari sini bisa dilihat pula bahwa Sartono Kartodirdjo meng- gunakan dalih “pendekatan ilmu-ilmu sosial” dalam metodolo- ginya guna meleluasakan geraknya di tengah-tengah pendisip- linan rezim kekuasaan yang demikian menggila. Keleluasaan gerak itu sangat diperlukan dalam proses pemantapan bangunan pengetahuan (state of the art) ilmu sejarah. Pendekatan ini merupakan “fase kedua” di dalam perkembangan historiografi

Membaca Ulang Sartono Kartodirdjo

Indonesia (tahun 1970-an, setelah Seminar Sejarah II). Pada fase ini “siasat politik-pengetahuannya” diarahkan pada kekuatan internal (rezim Orde Baru), sedangkan fase sebelumnya dengan gagasan “integrasi” dan “Indonesiasentris” (Seminar Sejarah I, 1957) siasatnya diarahkan pada kekuatan luar (Kolonial), sebagai upaya dekolonisasi pengetahuan sejarah.

Dekolonisasi pengetahuan

Sejarah sebagai kritik sosial sejarah

Social scientific approach

Neerlando-centris menuju

Kritis dalam prosedur ilmiah, Indonesia-sentris

Problem oriented

sekaligus relevan secara sosial (Seminar Sejarah Naional I,

(Seminar Sejarah Nasional II,

(sejarah sebagai kritik sosial) Yogyakarta, 1957)

Yogyakarta, 1970)

Periodisasi dalam bagan di atas tidak bisa dibaca secara terpotong-potong, artinya satu periode meninggalkan periode yang lain. Penulisan sejarah untuk tujuan kritik sosial bisa saja ditulis dengan pendekatan ilmu sosial dan bercita-rasa Indone- siasentris.

Lazimnya orang menyebut ciri “mazhab” ala Sartono Karto- dirdjo itu terletak pada kemampuannya merekonstruksi realitas kelompok marjinal (masyarakat tani-pedesaan) dalam sejarah Indonesia, “ruralisasi sejarah”, dan sejarah sosialnya. Saya cenderung melihat pencirian itu pada kesadaran politik (politik pengetahuan) yang dimainkan oleh Sartono Kartodirdjo. Kesa- daran politik pengetahuan ini penting, sebab jika tidak, ilmu pengetahuan hanya tersisa menjadi “kerajinan tangan” belaka. Ia rentan terinstrumentasi oleh kekuatan di luarnya. Kesadaran politik inilah juga yang menurut saya mampu menyelamatkan nasib disiplin ilmu sejarah di Indonesia saat itu. Dengan pilihan ini Sartono Kartodirdjo sebenarnya sedang berpolitik, bukan politik dalam pengertian teknik untuk memperoleh kekuasaan dengan cara-cara yang “rasional”, namun politik sebagai terjemahan atau turunan atas “etika”. Menghadirkan dunia etika

Pemikiran Agraria Bulaksumur ke dalam kerja kesarjanaan yang dikemas dalam strategi ilmiah

ini merupakan sesuatu yang luar biasa dari Sartono Kartodirdjo. Hal ini sangat sulit dan jarang dilakukan. Etika yang berakar dari ruang batin seringkali ditempatkan di luar kerangka ilmiah yang konon bersumber dari akal fikiran.

Dengan demikian, pendekatan multidimensional tidak semata-mata respon (mengekor) atas kecenderungan global di dalam ilmu pengetahuan sosial dan humaniora saat itu, dimana saling meminjam perangkat ilmu pengetahuan adalah strategi untuk mendobrak rezim “disiplin” keilmuan. Strategi ini, di dalam pengalaman Indonesia yang dapat kita baca melalui Sarto- no Kartodirdjo, sekaligus adalah upaya membentengi diri dari hegemoni kekuasaan. Pada titik inilah maka ditemukan kesesuai- annya dengan karakter atau prinsip mesubudi (asketisme) Sartono yang senantiasa ia tekankan berulang-ulang sebagai prinsip dalam menjalani dunia soliter ilmu pengetahuan.

Sejarah multidimensional aprroach sangat potensial menjadi sejarah kritis, asal tidak mengalami involusi tatkala dipahami sebagai instrumental (perangkat) belaka. Spirit politik pengeta- huan itulah yang semestinya terus dihidupi dan dibaca ulang.

Kesan kedua yang bisa kita tangkap dari pendekatan ilmu- ilmu sosial dalam sejarah ala Sartono adalah, pendekatan itu digunakan terbatas pada wilayah eksplanasi sejarah yang bersifat kausatif. Di dalam disertasi kesan demikian cukup kuat. Ilmu politik, antropologi, dan sosiologi, digunakan untuk membaca sebab-sebab pemberontakan, seperti kebangunan agama, kere- sahan sosial produk dari tekanan struktur dan sistem sosial yang ada, dan konfigurasi kekuatan (elit) politik. Demikian pula dalam buku Protest Movement in Rural Java. Padahal dalam metodologi sejarah, penjelasan sejarah (historical explanation) tidak hanya

Membaca Ulang Sartono Kartodirdjo

berupa penjelasan sebab-akibat (kausalitas), namun ada banyak penjelasan. Penjelasan sejarah adalah usaha membuat unit sejarah intelligible (bisa dipahami secara nalar). Jenisnya selain kausalitas adalah periodisasi, analisis struktural, paralelisme, generalisasi, rapprochement (antara sejarah dan teori sosial), kuantifikasi dan

narasi. 21 Karena terlalu kuat penjelasan kausalitas dan analisa strukturalnya, tulisan-tulisan Sartono Kartodirdjo terutama pasca disertasi kurang menonjol narasi historis yang bersifat deskriptif.