Konsep Integrasi dalam Sejarah Nasional Indonesia

2. Konsep Integrasi dalam Sejarah Nasional Indonesia

Sartono terkenal pula dengan gagasan integrasinya dalam membaca gerak sejarah Indonesia. Ia menyatakan bahwa “dalam rangka penulisan sejarah nasional yang nasiosentris, pada hake- katnya proses integrasi menjadi ‘benang merah’ yang teranyam sebagai jalur utama dalam jaringan komunikasi serta interaksi

seperti yang terselenggara sepanjang sejarah indonesia”. 14 Pada buku jilid I Pengantar Sejarah Indonesia yang mengambil periode 1500-1900, ia mengemukakan bahwa proses integrasi itu ber- kembang ke arah perwujudan geopolitik. Sedangkan dalam perio-

de pergerakan nasional (abad 20), proses integrasi itu terjadi pada dimensi sosial-politik. Nasionalisme periode ini masih bersifat elitis, sebab merekalah yang memegang peranan penting dalam inovator politik dan dunia gerakan.

Ada dua hal yang perlu dikritisi terhadap konsep integrasi itu. Pertama, apakah pendapat di atas tidak bersifat anakronis mengingat nasionalisme merupakan gagasan yang muncul pada awal abad 20? Gerak sejarah yang terentang secara panjang dari mulai abad 16 hingga abad 20 menghadirkan dinamika dan arah yang berbeda-beda dan tidak menuju pada integrasi ke arah satu

14 Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional, dari Kolonialisme sampai Nasionalisme, (Jakarta: Gramedia, 1990), hlm.

xi-xii.

Membaca Ulang Sartono Kartodirdjo

unit tertentu. Dalam episode itu berbagai kekuatan berinteraksi dalam berbagai konteks ekonomi-politik, kedaerahan (satu daerah dengan daerah yang lain, satu kekuatan lokal—kerajaan dengan kekuatan global) yang belum terkerangkai oleh satu ikatan yang disebut negara bangsa. Bangunan negara-bangsa baru samar- samar terwujud pada awal abad 20 tatkala Hindia Belanda menja- di bagian dari Pax Neerlandia. Kerajaan-kerajaan di seluruh nusantara ditundukkan melalui pakta kedudukan dalam bentuk korte verklaring atau lange contract, meski beberapa daerah menda-

pat hak istimewa. 15 Alih-alih arah integrasi menuju hadirnya na- sion state bernama Indonesia, dalam proses seperti itu justru yang tampak adalah arah integrasi yang mendorong (meligitimasi) hadirnya suatu unit koloni bernama Hindia Belanda yang menjadi bagian dari administrasi-pilitik Pax Neerlandia. Gubernur Jen- deral van Heutz berperan penting dalam proses ini.

Kedua, jika yang dimaksud dengan arah integrasi itu adalah menuju hadirnya dunia baru yang diimajinasikan, yakni Indo- nesia, maka pertanyaannya adalah, siapa (saja) yang mengima- jinasikannya itu? Dengan posisi politik sebagai bagian dari kekuasaan pemerintah, disertai peneguhan hak adat, dan privi- lege sosial-ekonominya, elit-elit tradisional dan sebagian besar elite modern di berbagai daerah justru memiliki imajinasi yang mengi- kuti kecenderungan “pola ulum”. Mereka merasa menjadi bagian dari kekuasaan Hindia Belanda. Sedangkan lapisan kecil dari elit terdidik modern baik dari kalangan pribumi, keturunan Tiong- hoa, dan kaum Indisch, serta lapisan massa yang diorganisir, memiliki aspirasi politik ke arah sebaliknya yang menyimpang

15 Lihat, Usep Ranawidjaja, Swapradja, Sekarang dan dihari Kemudian, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1955)

Pemikiran Agraria Bulaksumur dari “pola umum” tersebut. Dilihat dari sini maka pendapat Sarto-

no memerlukan klarifikasi. Dari perspektif yang berbeda, periode pergerakan pada awal abad 20 itu dapat dikatakan sebagai awal dari “Revolusi Indone- sia”. Dengan mendefiniskan revolusi sebagai perombakan struk- tur secara radikal dan menghasilkan sesuatu yang baru sama sekali, maka sebenarnya perombakan itu terjadi pada awal abad

20. Mengubah struktur tanpa menghadirkan sesuatu yang sama sekali baru bukanlah revolusi. Sesuatu yang sama sekali baru hadir di muka bumi (sebab sebelumnya tidak pernah ada) pada awal abad 20 itu adalah, “Indonesia”. Indonesia sebagai masa depan yang baru telah diimajinasikan. Ia menggantikan nation baru, komunitas baru sebagai ruang hidup bersama yang baru pula. Proses revolusi dan merevolusi ini, Indonesia dan meng- Indonesia ini, terjadi pada awal abad 20 hingga tahun 1960 dan mengalami titik balik pasca-1965.

Di dalam proses itu yang berperanan penting dalam membangun imajinasi adalah “bahasa”, yakni bahasa Melayu. Melalui bahasalah cita-cita, ide, dan bayangan akan hadirnya dunia baru itu dipertukarkan. Bahasa ini mampu menjelaskan seluk beluk impian, masa depan, dan kompleksitas persoalan penduduk. Cita-cita dan imajinasi itu agak bersifat mistik sifatnya, sama seperti yang dilakukan oleh kaum milleniaris pada abad- abad sebelumnya, meski yang baru ini hadir dalam ujar idiom dan kosa kata modern. Muncul pertanyaan, mengapa bahasa Melayu berhasil menjadi bahasa Indonesia? Teks resmi menga- takan 2 hal: ia menjadi lingua franca dan bahasa resmi administrasi. Tapi apakah dalam peran itu ia digunakan oleh banyak orang untuk membicarakan masa depan yang dicita-citakan? Maka jawabannya adalah “tidak”. Bahasa Melayu berhasil menjadi

Membaca Ulang Sartono Kartodirdjo

bahasa Indonesia karena digunakan oleh sastra Tionghoa. Jenis sastra inilah yang dibaca oleh banyak kalangan, bisa menyatukan satu impian orang dengan impian orang lain, misi politik redaksi kepada khalayak pembacanya dan sirkuler dari khalayak kepada

redaksi. 16 Proses produksi dan reproduksi pengetahuan yang tercipta dalam dunia pers dan kesusastraan Melayu-Tionghoa ini- lah yang melahirkan kosa-kata revolusioner bernama Indonesia.

Menarik untuk membandingkan konsep integrasi Sartono dengan gagasan integrasi Soepomo, serta bagaimana dampak gagasan ini turut hadir mempengaruhi pengimajinasian nasion ke-Indonesiaan kita. Gagasan integrasi Soepomo terejawentahkan dalam penyusunan Undang-undang Dasar 1945. Sebagai arsitek dalam penyusunan itu, Soepomo memanfaatkan keahliannya sebagai pakar hukum adat dan ketatanegaraan. Ia adalah murid paling berpengaruh dari dari Van Vollenhoven. Ada perubahan yang menarik dari para ahli hukum adat, termasuk Soepomo, mengenai pandangannya terhadap adat dan bagaimana ia ditem- patkan dalam bingkai negara modern. Sikap Soepomo terhadap hukum adat sangatlah mendua. Ia begitu getol membela hukum adat pada masa sebelum Perang, sebagaimana gurunya menuntut pengakuan dan sistem campuran (adat dan Barat) dalam hukum kolonial yang diterapkan di Hindia Belanda. Akan tetapi seperti halnya mayoritas praktisi hukum Indonesia, sikapnya berubah setelah tahun 1945. 17

16 Catatan atas Ceramah Kebudayaan Max Lane di MRC-USD, Yogyakarta, 9 Juli 2010

17 C. Fasseur, “Dilema Zaman Kolonial: Van Vollenhoven dan Perseteruan antara Hukum Adat dan Hukum Barat di Indonesia, dalam, Jamie S. Davidson,

David Henley, dan Sandra Moniaga, (eds.), Adat dalam Politik Indonesia, (Jakarta: KITLV dan Yayasan Obor Indonesia, 2010), hlm 75

Pemikiran Agraria Bulaksumur

Spirit dalam UUD 1945 adalah ingin mengakhiri dualisme hukum. Adat dan sistem hukumnya yang semula dianggap seba- gai “solusi” di era Hindia Belanda, kemudian berubah menjadi “persoalan” di era kemerdekaan Indonesia. Pengakuan atas “250 Zelfbesturende landschappen dan Volkgemeenschapen” di berbagai daerah yang memiliki susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa (Undang- Undang Dasar 1945, Pasal 18a ayat 1), dapat ditafsirkan sebagai kesementaraan dan “rayuan” agar daerah-daerah terlebih dahulu menerima kehadiran Republik Indonesia. Tafsir ini seperti halnya kesan yang dapat kita tangkap dari bunyi teks Proklamasi Kemer- dekaan yang diucapkan Soekarno. Semangat kemerdekaan dan penyambutan bayi yang baru lahir bernama Indonesia, menda- hului penyelesaian masalah keadilan dan kondisi real sosial eko- nomi, kejelasan hubungan daerah dengan pusat (Jawa), dan sebagainya. Pembacaan ini dinyatakan secara tepat, “bahwa kemerdekaan adalah jembatan emas menuju kehidupan berke- adilan dan sejahtera”.

Yang ingin dikatakan dengan uraian panjang di atas adalah bahwa konsep integrasi Sartono berada dalam konteks tertentu, yakni semangat merumuskan historiografi Indonesia-sentris dan dalam proyek membangun sejarah nasional Indonesia. Ia tidak lagi cocok untuk periode sesudahnya. Bahkan konsep ini bisa berpotensi menyajikan narasi sejarah (lokal) yang memaksakan diri untuk berproses ke arah unit sentralistik (pusat). Dengan demikian, mengkritisi historiografi Indonesiasentris berarti pula mempertanyakan ulang konsep integrasi ini. Dengan mengatakan bahwa pemikiran Indonesiasentris “more successful in conception than in execution” maka demikian pula kehati-hatian kita terhadap konsep integrasi dalam membaca proses sejarah nasional indonesia.

Membaca Ulang Sartono Kartodirdjo

Konsekuensi dari pembacaan ulang ini adalah bagaimana menempatkan berbagai aktor dan kekuatan yang pernah mengambil peran di atas bentang alam bernama nusantara ini sebagai bagian dari kesejarahan Indonesia. Tidak harus meminjam paradigma oksidentalisme untuk melakukannya. Dengan me- nempatkan kesejarahan Indonesia di dalam konteks kesejarahan dunia atau kawasan, atau sebaliknya menempatkan sejarah dunia atau kawasan dalam sejarah Indonesia, maka kita bisa menjawab keterbatasan historiografi Indonesiasentris dan problematika konsep integrasi dalam sejarah nasional. Kita sebut saja jenis pembacaan semacam ini dengan historiografi jaringan.