Konsep Marjin Tataniaga

(Pr-Pf)Qr,f

Gambar 3 Proses Terjadinya Marjin dan Nilai Marjin Tataniaga.

Sumber: Dahl dan Hammond, 1977.

Keterangan:

P f = Harga di tingkat produsen P r = Harga di tingkat konsumen

D f = Kurva permintaan produsen

D r = Kurva permintaan konsumen S f = Kurva penawaran produsen S r = Kurva penawaran konsumen Q r,f = Jumlah keseimbangan di tingkat produsen dan konsumen

(P r -P f ) = Marjin tataniaga (P r -P f )Q r,f

= Nilai marketing marjin yang merupakan hasil kali antara jumlah yang terjual dengan selisih harga di tingkat konsumen dan harga di tingkat produsen.

Selama barang bergerak dari petani sampai ke konsumen terjadi pertambahan nilai pada barang yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga sehingga tingkat kepuasan konsumen dapat ditingkatkan. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh lembaga tataniaga diharapkan balas jasa yang memadai bagi setiap pelakunya dan hal ini akan menambah nilai produk. Perlakuan yang diberikan Selama barang bergerak dari petani sampai ke konsumen terjadi pertambahan nilai pada barang yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga sehingga tingkat kepuasan konsumen dapat ditingkatkan. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh lembaga tataniaga diharapkan balas jasa yang memadai bagi setiap pelakunya dan hal ini akan menambah nilai produk. Perlakuan yang diberikan

3.1.6.2. Konsep Farmer’s Share

Farmer’s share merupakan alat analisis yang dapat digunakan untuk menentukan efisiensi tataniaga yang dilihat dari sisi pendapatan petani. Kohls dan Uhls (2002) mendefinisikan farmer’s share sebagai persentase harga yang diterima oleh petani sebagai imbalan dari kegiatan usahatani yang dilakukannya dalam menghasilkan suatu komoditas.

Menurut Kohls dan Uhls (2002), farmer’s share dapat dipengaruhi oleh tingkat pengolahan, keawetan produk, ukuran produk, jumlah produk, dan biaya transportasi. Nilai farmer’s share ditentukan oleh besarnya rasio harga yang

diterima produsen (P f ) dan harga yang dibayarkan oleh konsumen (P r ) . Secara matematik dapat dirumuskan dengan persamaan sebagai berikut:

x 100 %

Keterangan: F s = Farmer’ share P = Harga di tingkat petani f

P r = Harga di tingkat konsumen Saluran tataniaga yang tidak efisien akan memberikan marjin dan biaya tataniaga yang lebih besar. Biaya tataniaga ini biasanya dibebankan kepada petani P r = Harga di tingkat konsumen Saluran tataniaga yang tidak efisien akan memberikan marjin dan biaya tataniaga yang lebih besar. Biaya tataniaga ini biasanya dibebankan kepada petani

3.1.6.3 Konsep Rasio Keuntungan dan Biaya

Besarnya rasio keuntungan dan biaya digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi tataniaga. Semakin menyebarnya rasio keuntungan dan biaya, maka dari segi operasional sistem tataniaga akan semakin efisien. Secara matematik, rasio keuntungan dan biaya dalam setiap lembaga tataniaga dapat dirumuskan sebagai berikut:

Rasio keuntungan dan biaya

Keterangan: π i

= Keuntungan lembaga tataniaga

C i = Biaya tataniaga

3.1.6.4 Konsep Keterpaduan Pasar

Efisiensi harga menunjukkan pada kemampuan harga dan tanda-tanda harga untuk penjual serta memberikan sinyal kepada konsumen sebagai panduan dari penggunaan sumberdaya produksi dari sisi produksi dan tataniaga (Dahl dan Hammond, 1977). Sedangkan menurut Kohls dan Uhls (2002), efisiensi harga mengukur seberapa kuat harga pasar menggambarkan sistem produksi dan biaya tataniaga. Efisiensi harga sering digunakan untuk menentukan tipe struktur pasar dan menjelaskan seberapa kuat biaya produksi dan biaya tataniaga dapat Efisiensi harga menunjukkan pada kemampuan harga dan tanda-tanda harga untuk penjual serta memberikan sinyal kepada konsumen sebagai panduan dari penggunaan sumberdaya produksi dari sisi produksi dan tataniaga (Dahl dan Hammond, 1977). Sedangkan menurut Kohls dan Uhls (2002), efisiensi harga mengukur seberapa kuat harga pasar menggambarkan sistem produksi dan biaya tataniaga. Efisiensi harga sering digunakan untuk menentukan tipe struktur pasar dan menjelaskan seberapa kuat biaya produksi dan biaya tataniaga dapat

Menurut Azzaino (1982), keterpaduan pasar menekankan pada keterkaitan harga antar berbagai tingkat lembaga tataniaga dalam mengalokasikan komoditas dari produsen ke konsumen yang disebabkan karena adanya perubahan tempat, waktu maupun bentuk komoditas. Efisiensi harga dapat dicerminkan oleh besarnya koefisien korelasi harga. Kunci dari keadaan efisiensi tersebut adalah adanya sebaran dan ketersediaan informasi pasar yang lancar serta akurat. Hubungan harga yang diterima petani produsen dengan harga yang dibayar oleh konsumen akhir dapat didekati dengan pendekatan korelasi harga dan model keterpaduan pasar yang dikembangkan oleh Ravallion (1986) dan dilanjutkan oleh Heytens (1986).

Model keterpaduan pasar dapat digunakan untuk mengukur bagaimana harga di pasar lokal dipengaruhi oleh harga di pasar referensi (acuan) dengan mempertimbangkan harga pada waktu tertentu (t) dan harga pada waktu sebelumnya (t-1). Aktivitas pasar-pasar tersebut dihubungkan oleh adanya arus komoditas, sehingga harga dan jumlah komoditas yang dipasarkan akan berubah apabila terjadi perubahan harga di pasar lain (Ravallion, 1986).

Menurut Heytens (1986), dalam suatu pasar yang terintegrasi secara efisien, akan selalu terdapat korelasi positif diantara harga di lokasi pasar yang berbeda. Dua pasar dikatakan terpadu apabila perubahan harga dari salah satu pasar disalurkan ke pasar lain. Keterpaduan pasar dapat terjadi apabila terdapat informasi pasar yang memadai dan informasi ini disalurkan dengan cepat dari satu Menurut Heytens (1986), dalam suatu pasar yang terintegrasi secara efisien, akan selalu terdapat korelasi positif diantara harga di lokasi pasar yang berbeda. Dua pasar dikatakan terpadu apabila perubahan harga dari salah satu pasar disalurkan ke pasar lain. Keterpaduan pasar dapat terjadi apabila terdapat informasi pasar yang memadai dan informasi ini disalurkan dengan cepat dari satu

Pendekatan korelasi harga dalam melihat integrasi pasar suatu komoditas terkadang kurang memuaskan karena adanya anggapan bahwa perubahan harga di tingkat produsen dan konsumen bergerak bersamaan. Dengan adanya anggapan tersebut, Ravallion (1986) dan dilanjutkan oleh Heytens (1986) mengembangkan suatu model integrasi yang disebut model Autoregressive Distributed Lag. Model autoregresi dapat mengurangi kelemahan model analisis korelasi harga.

Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Index of Market Connection (IMC) untuk mengukur keterpaduan pasar. Model keterpaduan pasar ini dapat digunakan untuk mengukur bagaimana harga di pasar produsen dipengaruhi oleh harga di pasar konsumen dengan mempertimbangkan harga pada waktu sebelumnya dan harga saat ini.

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional

Dasar penelitian ini diawali dengan melihat fakta bahwa seiring dengan berkembangnya industri pangan nasional, cabai merupakan salah satu bahan baku yang dibutuhkan secara berkesinambungan. Cabai merah merupakan bahan pangan yang dikonsumsi setiap saat dan tidak dapat disubstitusi, maka cabai merah akan terus dibutuhkan dengan jumlah yang semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan perekonomian nasional.

- Perbedaan marjin harga yang relatif besar - Hanya terdapat satu pedagang pengumpul

sehingga tidak ada alternatif bagi petani Permintaan cabai merah meningkat - Sistem nota penjualan menyebabkan adanya seiring dengan pertumbuhan jumlah lag waktu antara penjualan dengan pembayaran penduduk dan perekonomian nasional yang diterima petani

Efisiensi dan Keterpaduan Pasar Tataniaga Cabai Merah

Petani Produsen Cabai Merah

Analisis Saluran, Analisis Struktur

Analisis Marjin Tataniaga,

Analisis Harga

Lembaga dan Fungsi dan

Farmer’s Share serta Rasio (Rp/Kg)

Tataniaga Perilaku Pasar

Keuntungan dan Biaya

Cabai Merah

Mengetahui Keterpaduan Pasar

Efisiensi Tataniaga

Alternatif Tataniaga Cabai Merah yang

Paling Efisien dan Pasar yang Terintegrasi Sempurna

Gambar 4 Kerangka Pemikiran Operasional Efisiensi Tataniaga

Cabai Merah.

Salah satu sentra produksi cabai merah adalah Desa Cibeureum, Kecamatan Sukamantri. Dalam proses tataniaga cabai merah di Desa Cibeureum ini, petani tidak mempunyai alternatif saluran tataniaga lain yang dapat memberikan keuntungan lebih besar bagi petani karena hanya ada satu pedagang Salah satu sentra produksi cabai merah adalah Desa Cibeureum, Kecamatan Sukamantri. Dalam proses tataniaga cabai merah di Desa Cibeureum ini, petani tidak mempunyai alternatif saluran tataniaga lain yang dapat memberikan keuntungan lebih besar bagi petani karena hanya ada satu pedagang

Pendekatan yang dilakukan untuk menjawab efisiensi dan keterpaduan pasar tataniaga cabai merah dilakukan melalui analisis deskriptif terhadap analisis saluran, lembaga, dan fungsi tataniaga, analisis struktur dan perilaku pasar. Selain itu, analisis secara kuantitatif juga dilakukan melalui pendekatan marjin tataniaga, farmer’s share , rasio keuntungan dan biaya serta analisis harga untuk mengetahui tingkat keterpaduan pasar. Berdasarkan semua pendekatan tersebut dapat diketahui alternatif tataniaga yang paling efisien sehingga pasar dapat terintegrasi secara sempurna.

IV METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Desa Cibeureum Kecamatan Sukamantri Kabupaten Ciamis. Pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan secara sengaja (purposive) karena Desa Cibeureum, Kecamatan Sukamantri merupakan sentra pertanian khususnya komoditas sayuran (cabai merah) yang berada di Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat. Selain itu, Desa Cibeureum merupakan daerah yang dibidik oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Agro Provinsi Jawa Barat untuk dijadikan kawasan agropolitan serta proyek pembangunan pasar agro. Waktu pengambilan data dilaksanakan pada bulan Maret 2008.

4.2 Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung dan pembagian daftar pertanyaan yang telah disiapkan dengan teknik wawancara langsung kepada petani dan lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat. Data-data ini kemudian diolah untuk kepentingan analisa lebih lanjut.

Data sekunder pendukung data-data primer di atas diperoleh dari instansi- instansi terkait seperti Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Agro Provinsi Jawa Barat, Departemen Pertanian, Pasar Induk Caringin, Pasar Lokal di tingkat petani cabai merah Desa Cibeureum, Monografi Desa Cibeureum dan instansi-instansi terkait lainnya.

Data-data sekunder juga diperoleh melalui beberapa literatur berupa hasil-hasil pertanian yang pernah dilakukan berkaitan dengan penelitian ini.

4.3 Teknik Penentuan Sampel

Penentuan responden dilakukan secara sensus untuk responden petani dan purposive untuk responden pedagang berdasarkan alur distribusi cabai merah yang diperoleh berdasarkan informasi dari lembaga tataniaga sebelumnya. Penelusuran awal dilakukan di petani ditelusuri ke pedagang responden yang telah membeli cabai merah dari petani. Dilanjutkan dengan penelusuran arus distribusi barang dari pedagang pertama yang membeli cabai merah dari petani hingga pedagang yang menyampaikan langsung cabai merah kepada konsumen untuk mengetahui lembaga-lembaga yang terlibat dalam proses pemasaran cabai merah.

Pengambilan petani responden berdasarkan jumlah populasi petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Karang Sari, Desa Cibeureum yang berjumlah

25 orang. Pemilihan Kelompok Tani Karang Sari atas dasar pertimbangan bahwa Kelompok Tani Karang Sari merupakan kelompok tani yang paling produktif diantara delapan kelompok tani lainnya yang berada di Desa Cibeureum. Selain itu, Kelompok Tani Karang Sari memberikan kontribusi paling besar terhadap produksi cabai merah Desa Cibeureum yaitu sekitar 75 persen dan memproduksi cabai merah secara berkesinambungan.

Sementara itu, pemilihan pedagang responden dilakukan berdasarkan informasi sebelumnya yang diperoleh dari petani responden karena tidak diketahui kerangka sampelnya (sampling frame). Pedagang responden terdiri dari satu orang pedagang pengumpul, tiga orang pedagang grosir, dan 18 orang pedagang pengecer.

Pedagang responden pengumpul berada di Desa Cibeureum sedangkan pedagang responden grosir berada di Pasar Induk Caringin Bandung. Dipilih pedagang grosir di Pasar Induk Caringin karena 70 persen pedagang pengumpul memasarkan cabai merah melalui Pasar Induk Caringin. Pedagang pengecer terdiri sari pengecer I dan pengecer II. Pedagang pengecer I berada di Tasikmalaya yaitu Pasar Cikurubuk sedangkan pedagang pengecer II yang berada di Ciamis terdiri dari sembilan orang berada di Pasar Panumbangan, tiga orang di Pasar Banjar, dua orang berada di Pasar Kawali, serta dua orang di Pasar Sadang Serang Bandung.

4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data

Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif dan kuantitatif, kemudian dilakukan langkah pengolahan dan analisis data. Analisis kualitatif bertujuan untuk menganalisis saluran tataniaga, struktur pasar dan perilaku pasar, sedangkan analisis kuantitatif digunakan untuk analisis marjin tataniaga, framer’s share , rasio keuntungan dan biaya, serta keterpaduan pasar.

4.4.1 Analisis Saluran Tataniaga

Saluran tataniaga adalah serangkaian organisasi yang saling tergantung dan terlibat dalam proses menyampaikan produk dari produsen kepada konsumen. Analisis saluran tataniaga cabai merah di Desa Cibeureum ini dapat dilakukan dengan mengamati lembaga-lembaga tataniaga yang membentuk saluran tataniaga tersebut. Pengamatan dan analisis dilakukan mulai dari petani produsen sampai ke pedagang pengecer. Perbedaan saluran tataniaga yang dilalui oleh jenis barang akan berpengaruh pada pembagian pendapatan yang diterima oleh masing-masing lembaga tataniaga yang terlibat di dalamnya. Semakin panjang rantai saluran Saluran tataniaga adalah serangkaian organisasi yang saling tergantung dan terlibat dalam proses menyampaikan produk dari produsen kepada konsumen. Analisis saluran tataniaga cabai merah di Desa Cibeureum ini dapat dilakukan dengan mengamati lembaga-lembaga tataniaga yang membentuk saluran tataniaga tersebut. Pengamatan dan analisis dilakukan mulai dari petani produsen sampai ke pedagang pengecer. Perbedaan saluran tataniaga yang dilalui oleh jenis barang akan berpengaruh pada pembagian pendapatan yang diterima oleh masing-masing lembaga tataniaga yang terlibat di dalamnya. Semakin panjang rantai saluran

4.4.2 Analisis Lembaga dan Fungsi Tataniaga

Analisis ini dilakukan untuk mengetahui lembaga-lembaga tataniaga yang melakukan fungsi-fungsi tataniaga, baik fungsi pertukaran, fungsi fisik maupun fungsi fasilitas. Lembaga-lembaga ini melakukan pengangkutan barang dari tingkat produsen sampai tingkat konsumen, juga berfungsi sebagai sumber informasi pasar. Analisis fungsi-fungsi tataniaga diperlukan antara lain untuk mengetahui fungsi-fungsi atau kegiatan yang dilakukan oleh setiap lembaga tataniaga yang terlibat serta mengetahui kebutuhan biaya dan fasilitas yang dibutuhkan. Lebih lanjut, dari analisis lembaga dan fungsi tataniaga ini akan dapat dihitung besarnya marjin tataniaga.

4.4.3 Analisis Struktur Pasar

Analisis ini diperlukan untuk mengetahui struktur pasar yang cenderung mendekati persaingan sempurna atau persaingan tidak sempurna. Struktur pasar dapat diketahui dengan melihat jumlah pembeli dan penjual, heterogenitas produk yang dipasarkan, kondisi atau keadaan produk, mudah tidaknya keluar masuk pasar serta informasi perubahan harga pasar. Semakin banyak jumlah penjual dan pembeli dan semakin kecilnya jumlah yang diperjualbelikan oleh setiap lembaga tataniaga, maka struktur pasar tersebut semakin mendekati kesempurnaan dalam persaingan. Adanya kesepakatan dalam sesama pelaku tataniaga menunjukkan struktur pasar yang cenderung tidak bersaing sempurna.

4.4.4 Analisis Perilaku Pasar

Perilaku pasar diasumsikan bagaimana pelaku pasar, yaitu petani, lembaga tataniaga dan konsumen menyesuaikan diri terhadap situasi penjualan dan pembelian yang terjadi. Tingkah laku pasar dapat dianalisis dengan mengamati praktek penjualan dan pembelian yang dilakukan oleh pelaku pasar, sistem penentuan dan pembayaran harga, serta kerjasama diantara lembaga tataniaga.

4.4.5 Analisis Efisiensi Tataniaga

4.4.5.1 Analisis Marjin Tataniaga

Tingkat efisiensi suatu tataniaga dapat dilihat dari penyebaran marjin tataniaga, farmer’s share serta rasio terhadap keuntungan dan biaya. Melalui marjin tataniaga dapat diketahui besarnya biaya dan keuntungan dalam tataniaga tersebut. Bersamaan dengan penelusuran saluran tataniaga diharapkan dapat diperoleh informasi tentang marjin tataniaga pada tiap lembaga tataniaga. Perhitungan marjin tataniaga diperoleh dari selisih harga di satu titik rantai tataniaga dengan harga di titik lainnya. Selain itu, besarnya nilai marjin tataniaga juga dapat diperoleh penjumlahan biaya dan keuntungan pada masing-masing lembaga tataniaga. Menurut Limbong dan Sitorus (1987), secara matematik akan diperoleh perhitungan sebagai berikut:

M i =P i –P i-1 .............................................................. (1) M i =B i + π i ............................................................... (2) Dengan demikian, P i –P i-1 = B i + π i

Maka besarnya marjin tataniaga dengan menggunakan (1) dan (2) adalah sebagai berikut: m i = ∑M i ...................................................................... (3) Dengan demikian keuntungan lembaga tataniaga pada tingkat ke-i adalah:

π i =P i –P i-1 +B i .......................................................... (4) Keterangan:

M i = Marjin pada lembaga tataniaga ke-i P i

= Harga penjualan pada lembaga tataniaga ke-i P i-1

= Harga penjualan pada lembaga tataniaga ke-i atau harga pembelian pada lembaga tataniaga ke-i

B i = Biaya tataniaga pada lembaga tataniaga ke-i π i = Keuntungan yang diperoleh pada lembaga tataniaga ke-i m i = Total marjin tataniaga

Dalam pasar persaingan sempurna, perjalanan suatu produk selalu melibatkan banyak lembaga tataniaga sehingga marjin tataniaga total yang terjadi merupakan penjumlahan marjin tataniaga dari setiap lembaga tataniaga.

4.4.5.2 Analisis Farmer’s Share

Indikator lain untuk menentukan efisiensi tataniaga suatu komoditas adalah melalui perhitungan farmer’s share. Farmer’s share berhubungan negatif dengan marjin tataniaga. Farmer’s share dipengaruhi oleh tingkat pengolahan, keawetan produk, ukuran produk, jumlah produk, dan biaya produksi. Nilai

farmer’s share ditentukan oleh besarnya rasio harga yang diterima produsen (P f ) dan harga yang dibayarkan oleh konsumen (P r ) .

Secara matematik dapat dirumuskan dengan persamaan sebagai berikut:

x 100 %

Keterangan: F s = farmer’ share P f = harga di tingkat petani

P r = harga di tingkat konsumen

4.4.5.3 Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya

Tingkat efisiensi sebuah sistem tataniaga juga dapat dilihat dari rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga. Dengan semakin meratanya rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga, maka secara teknis (operasional) sistem tataniaga tersebut semakin efisien. Untuk mengetahui penyebaran rasio keuntungan dan biaya pada masing-masing lembaga tataniaga dapat dirumuskan sebagai berikut:

Rasio keuntungan dan biaya =

Keterangan: π = Keuntungan lembaga tataniaga i

C i = Biaya tataniaga

4.4.5.4 Analisis Keterpaduan Pasar

Analisis ini dapat diketahui dari analisis struktur dan perilaku pasar, tetapi analisis ini lebih bersifat kuantitaif. Dengan kata lain analisis keterpaduan pasar ini merupakan gamabaran secara kuantitatif dari analisis struktur dan perilaku pasar. Tingkat keterpaduan pasar cabai merah diukur antara pasar lokal di tingkat petani cabai merah Desa Cibeureum dengan pasar acuan yaitu Pasar Induk

Caringin di Bandung. Analisis dilakukan secara statistik dengan menggunakan model Indeks of Market Connection (IMC) melalui pendekatan model Autoregressive Distributed Lag (Ravallion, 1986). Model ekonometrika Autoregressive Distributed Lag diduga dengan Metode Kuadrat Terkecil Biasa (Ordinary Least Square, OLS) sebagai berikut:

P it = b 1 P it + b 2 ( P jt − P jt − 1 ) + b 3 P jt − 1 + e t

Keterangan: P it = Harga cabai merah di pasar lokal pada minggu ke-t (Rp/Kg)

P it − 1 = Lag harga cabai merah di pasar lokal pada minggu ke-t (Rp/Kg) P jt = Harga cabai merah di pasar acuan pada minggu ke-t (Rp/Kg)

P jt − 1 = Lag harga cabai merah di pasar acuan pada minggu ke-t (Rp/Kg)

b i = Parameter estimasi ( b i = 1,2,3,….)

e t = Random error (galat) Koefisien b 2 mengukur sejauh mana perubahan harga di tingkat pasar acuan, yaitu Pasar Induk Caringin Bandung diteruskan terhadap harga di pasar

lokal (harga di tingkat petani). Keterpaduan pasar jangka panjang dicapai apabila koefisien b 2 = 1, artinya perubahan harga yang terjadi adalah netral dan

proporsional jika dihitung dalam persentase. Jika b 2 lebih besar dari 1, maka perubahan harga yang terjadi di pasar acuan (harga di tingkat pasar induk) akan sangat berpengaruh terhadap harga di tingkat pasar lokal. Jika b 2 = 0 yang menunjukkan tidak adanya perubahan harga di tingkat pasar induk setiap

bulannya dan tidak memberikan pengaruh terhadap pasar petani, maka koefisien

b 2 dapat dikeluarkan dari persamaan. Dengan demikian, harga di tingkat b 2 dapat dikeluarkan dari persamaan. Dengan demikian, harga di tingkat

maka dapat diperoleh indeks keterpaduan pasar (IMC) yang secara matematis dapat ditulis sebagai berikut (Heytens, 1986):

b IMC = 1

Nilai IMC menggambarkan sejauh mana keterpaduan pasar jangka pendek antara pasar ke-1 dengan pasar acuan bagi pasar ke-i yang bersangkutan. Sedangkan keterpaduan jangka panjang, yang diwakili oleh nilai b 2 melihat

bagaimana perubahan jangka panjang di pasar ke-i dipengaruhi oleh perubahan jangka pendek yang terjadi diantara pasar ke-i dengan pasar acuan ke-j. Perubahan harga di pasar ke-i juga dipengaruhi oleh perubahan marjin pada waktu sebelumnya (time lag) antara pasar ke-i dengan pasar acuan.

Apabila nilai IMC < I, maka derajat integrasi pasar jangka pendek antara harga di tingkat pasar ke-i dengan harga di tingkat pasar acuan relatif tinggi. Artinya harga yang terjadi di pasar acuan pada waktu sebelumnya (t-1) merupakan faktor utama yang mempengaruhi harga yang terjadi di tingkat pasar ke-i pada waktu t. Hal ini menunjukkan bahwa kedua pasar terhubungkan dengan baik karena informasi permintaan dan penawaran di pasar acuan diteruskan ke pasar

ke-i (pasar lokal) serta mempengaruhi harga yang terjadi di pasar ke-i (Heytens, 1986). Harga di tingkat pasar lokal pada bulan sebelumnya tidak berpengaruh terhadap harga yang diterima di pasar lokal sekarang ditunjukkan

dengan nilai IMC = 0 dan b 1 = 0. Jika nilai IMC > 1 dan nyata, maka dalam jangka pendek antara pasar lokal dan pasar acuan tidak terpadu.

4.4.5.4.1 Pengujian Hipotesis Keterpaduan Pasar Jangka Pendek

Pengujian hipotesis untuk masing-masing koefisien pada analisa keterpaduan pasar jangka pendek dilakukan dengan uji t-student. Adapun hipotesis yang akan diuji adalah:

H 0 : b 1 =0

H 1 : b 1 ≠0 Perhitungan t-hitung diperoleh dari:

b 1 − 0 t-hitung =

S e ( b 1 ) adalah standard error parameter dugaan b 1 .

Apabila nilai t-hitung ≤ t-tabel maka hipotesis nol diterima secara statistik atau dengan kata lain kedua pasar terpadu dalam jangka pendek. Sebaliknya, apabila nilai t-hitung ≥ t-tabel maka hipotesis nol ditolak dan hipotesis alternatif diterima secara statistik. Artinya, kedua pasar tidak terpadu dalam jangka pendek.

4.4.5.4.2 Pengujian Hipotesis Keterpaduan Pasar Jangka Panjang

Hipotesis untuk keterpaduan jangka panjang adalah:

H 0 : b 2 =1

H 1 : b 2 ≠1 Pengujian hipotesis terhadap keterpaduan pasar jangka panjang ini dilakukan

dengan menggunakan rumus t-hitung sebagai berikut:

b − 1 t-hitung = 2

S e ( b 2 ) adalah standard error parameter dugaan b 2 .

Apabila nilai t-hitung < dari t-tabel, maka hipotesis nol diterima secara statistik. Artinya, kedua pasar terpadu dalam jangka panjang. Sebaliknya jika t-hitung > t-tabel, maka hipotesis nol ditolak dan hipotesis alternatif diterima secara statistik. Artinya kedua pasar tidak terpadu dalam jangka panjang.

Pengujian terhadap hipotesis jangka pendek dan jangka panjang dilakukan untuk melihat apakah suatu pengamatan atau penentuan cukup dekat dengan nilai yang dihipotesiskan, sehingga membawa kita untuk menerima yang dinyatakan yaitu dalam hal ini hipotesis nol (Ravallion, 1986).

4.5 Definisi Operasional

1. Harga cabai merah di tingkat petani produsen pada waktu t adalah harga cabai merah yang diterima petani pada saat menjual cabai merah pada periode ke-t. Peubah ini diukur dalam rupiah per kilogram.

2. Harga cabai merah di tingkat pedagang pada waktu t adalah harga cabai merah yang diterima pedagang pada saat menjual cabai merah pada periode ke-t. Peubah ini diukur dalam rupiah per kilogram.

3. Pedagang pengumpul adalah pedagang yang memperoleh cabai merah sebagai barang niaga langsung dari petani produsen dan biasanya bertempat tinggal dekat dengan daerah produksi.

4. Pedagang grosir adalah pedagang yang memperoleh cabai merah dari pedagang pengumpul yang menyalurkannya kepada pedagang pengecer.

5. Pedagang pengecer I adalah pedagang yang melakukan pembelian dari pedagang grosir atau pedagang pengumpul dengan jumlah pembelian lebih dari lima kilogram serta menyalurkannya kepada pedagang pengecer II atau konsumen akhir dan melakukan fungsi sortasi.

6. Pedagang pengecer II adalah pedagang yang melakukan pembelian dari pedagang grosir atau pedagang pengecer I dengan jumlah pembelian tidak lebih dari lima kilogram serta menyalurkannya kepada konsumen akhir tanpa melakukan fungsi sortasi.

7. Marjin tataniaga adalah perbedaan antara harga yang dibayarkan konsumen dengan harga yang diterima petani yang dinyatakan dalam Rp/Kg atau persentase.

8. Biaya tataniaga adalah biaya yang dikeluarkan dalam mendistribusikan produk dari sentra produksi sampai ke konsumen akhir dinyatakan dalam Rp/Kg.

9. Analisis harga keterpaduan pasar adalah harga rata-rata mingguan cabai merah di tingkat petani Desa Cibeureum dan tingkat harga di Pasar Induk Caringin Bandung Januari 2007 hingga minggu pertama Maret 2008.

V GAMBARAN UMUM PENELITIAN

5.1 Keadaan Umum Wilayah Desa Cibeureum

Desa Cibeureum merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Sukamantri, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat. Desa ini terletak di daerah dataran tinggi dengan ketinggian 900 meter di atas permukaan laut dan merupakan daerah sekitar hutan, tepatnya di daerah kaki Gunung Sawal. Desa Cibeureum terletak di sebelah utara Kabupaten Ciamis, tepatnya berada di Kecamatan Sukamantri. Berdasarkan data dari Monografi Desa Cibeuruem tahun 2006, luas

wilayah Desa Cibeureum sekitar 20.281,226 m 2 , yang terdiri dari 70 persen lahan pertanian. Penduduk Desa Cibeureum berjumlah 3.477 jiwa. Sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani dan buruh tani (66 persen). Wilayah Desa Cibeureum mempunyai batas administrasi sebagai berikut:

- sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Majalengka - sebelah timur berbatasan dengan Desa Sindanglaya - sebelah selatan berbatasan dengan Desa Maparah dan Desa Bahara - sebelah barat berbatasan dengan Desa Sukamantri

Keadaan topografi daerah ini adalah daerah berbukit dan lereng gunung. Suhu rata-rata hariannya sekitar 17-26 ºC. Curah hujan rata-rata daerah ini adalah 2.500 mm dengan jumlah bulan hujan rata-rata enam bulan per tahun. Sebagian besar tanah di daerah ini berwarna hitam dengan tekstur pasiran dan berkedalaman sekitar dua meter. Keadaan iklim seperti ini membuat wilayah Desa Cibeureum ini sesuai untuk pengembangan budidaya sayuran, seperti cabai merah.

5.2 Karakteristik Responden Petani

Responden petani dalam penelitian ini adalah petani cabai merah di Desa Cibeureum yang merupakan anggota Kelompok Tani Karang Sari, yaitu sebanyak

25 orang. Kelompok Tani Karang Sari didirikan pada tahun 2002 dengan fokus kegiatan pada masalah budidaya pertanian. Cara bercocok tanam yang digunakan oleh petani responden adalah dengan menggunakan sistem monokultur, yakni hanya menanam cabai merah saja. Petani responden memiliki tingkat pendidikan yang cukup tinggi, karena ada beberapa petani yang sudah menyelesaikan pendidikan hingga ke tingkat perguruan tinggi. Persentase pendidikan petani responden tertinggi adalah tingkat sekolah dasar sebesar 28 persen, sedangkan persentase terendah adalah tingkat perguruan tinggi, yaitu 8 persen (Tabel 3).

Tabel 3 Tingkat Pendidikan Petani Responden

Persentase (%) SD 7 28 SMP 10 40 SMA 6 24 S1 2 8 Jumlah 25 100

Tingkat Pendidikan

Jumlah (orang)

Sebagian besar petani responden merupakan petani kecil dengan pengalaman bertani cabai merah rata-rata selama delapan tahun. Luas lahan rata- rata petani responden adalah sebesar 4.200 m 2 (0,42 hektar) dengan luas lahan terkecil adalah 980 m 2 (0,098 hektar) dan luas terbesar adalah 15.000 m 2 (1,5 hektar). Data luas lahan petani responden untuk lebih rincinya dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Luas Lahan Cabai Merah di Tingkat Petani Responden

Luas Lahan (m 2 ) Jumlah (orang) Persentase (%) ≤ 1.000

Status kepemilikan lahan petani responden sebagian besar (92 persen) merupakan lahan sewa. Hanya sebagian kecil dari luas lahan petani responden yang merupakan milik sendiri. Umumnya petani responden yang mempunyai luas lahan yang cukup besar, sebagian lahannya merupakan lahan milik sendiri dan yang lainnya merupakan lahan sewa.

5.3 Karakteristik Responden Pedagang

Pedagang yang dijadikan responden dalam penelitian ini sebanyak

22 orang yang terlibat dalam saluran tataniaga cabai merah di Desa Cibeureum melalui Pasar Induk Caringin. Pedagang responden terdiri dari satu orang pedagang pengumpul, tiga orang pedagang grosir, dua orang pedagang pengecer I, dan 16 orang pedagang pengecer II.

Pedagang pengumpul ini berada di Desa Cibeureum, sedangkan tiga orang pedagang grosir berada di Pasar Induk Caringin Bandung. Dipilih pedagang grosir di Pasar Induk Caringin, karena 70 persen pedagang pengumpul mendistribusikan cabai merah melalui Pasar Induk Caringin. Sedangkan sisanya, yaitu 20 persen dipasarkan ke Pasar Senen dan 10 persen disalurkan ke Pasar Induk Kramat Jati

Jakarta. Pedagang pengecer I berada di daerah Tasikmalaya yaitu Pasar Cikurubuk sedangkan pedagang pengecer II berada di Kabupaten Ciamis yang terdiri dari sembilan orang pedagang pengecer II berada di Pasar Panumbangan, tiga orang di Pasar Banjar, dua orang pedagang pengecer kecil berada di Pasar Kawali, dan dua orang di Pasar Sadang Serang Bandung.

Tabel 5 Pengalaman Berdagang dan Bentuk Usaha dari Masing-Masing Jenis Pedagang yang Terlibat dalam Tataniaga Cabai Merah Desa Cibeureum

Bentuk Usaha Pedagang Pengumpul

Jenis Pedagang

Pengalaman Berdagang (Tahun)

9 Perorangan Pedagang Grosir

12 Perorangan Pedagang Pengecer I

10 Perorangan Pedagang Pengecer II

7 Perorangan

Pengalaman berdagang rata-rata dari pedagang responden berbeda-beda, tetapi bentuk usaha dari masing-masing jenis pedagang adalah sama yaitu perorangan (Tabel 5). Berdasarkan Tabel 5 terlihat bahwa masing-masing jenis pedagang cenderung memiliki pengalaman berdagang yang relatif cukup lama sehingga sudah terbentuk kepercayaan dari masing-masing lembaga atau pihak yang berhubungan langsung dengannya.

5.4 Gambaran Umum Usahatani Cabai Merah di Lokasi Penelitian

Usahatani cabai merah terdiri dari enam kegiatan, mulai dari penyiapan lahan, penyemaian benih dan pembibitan, pemasangan mulsa, penanaman, pemeliharaan termasuk penyemprotan, hingga pemanenan. Faktor-faktor produksi yang digunakan dalam usahatani ini adalah lahan, benih, pupuk kimia, pupuk kandang, obat-obatan dan tenaga kerja. Lahan yang digunakan oleh petani Usahatani cabai merah terdiri dari enam kegiatan, mulai dari penyiapan lahan, penyemaian benih dan pembibitan, pemasangan mulsa, penanaman, pemeliharaan termasuk penyemprotan, hingga pemanenan. Faktor-faktor produksi yang digunakan dalam usahatani ini adalah lahan, benih, pupuk kimia, pupuk kandang, obat-obatan dan tenaga kerja. Lahan yang digunakan oleh petani

5.4.1 Penyiapan Lahan

Kegiatan pengolahan atau penyiapan lahan biasanya dilakukan oleh tenaga kerja pria sebanyak empat orang selama dua bulan sampai lahan siap untuk ditanami. Kegiatan ini bertujuan memperbaiki struktur tanah. Kegiatan pengolahan lahan berupa pencangkulan untuk membuang sisa-sisa tanaman dan gulma serta menggemburkan tanah sehingga terbentuk lahan-lahan yang siap ditanami. Setelah lahan siap untuk ditanami, kemudian dilakukan pemberian pupuk dasar sebelum dilakukan penanaman benih cabai merah.

5.4.2 Penyemaian Benih dan Pembibitan

Kegiatan selanjutnya adalah penyemaian benih dan pembibitan. Benih cabai merah yang telah dipilih dimasukkan ke dalam polybag. Media semai yang digunakan adalah tanah dan pupuk kandang serta serbuk gergaji untuk menutupi benih yang telah dimasukkan ke dalam polybag. Setelah 21 hari benih cabai merah tersebut kemudian dipindahkan ke lapangan.

5.4.3 Pemasangan Mulsa

Sebelum dilakukan penanaman, kegiatan selanjunya adalah pemasangan mulsa plastik. Pemasangan mulsa plastik ini bertujuan untuk mempertahankan Sebelum dilakukan penanaman, kegiatan selanjunya adalah pemasangan mulsa plastik. Pemasangan mulsa plastik ini bertujuan untuk mempertahankan

5.4.4 Penanaman

Penanaman dilakukan setelah pemasangan mulsa selesai dan bibit cabai merah telah berumur 21 hari setelah tanam di persemaian. Sebelum penanaman dilakukan penyemprotan insektisida ke dalam lubang tanam untuk membunuh hama yang ada pada lubang tanam tersebut. Kemudian dilakukan penyemprotan pestisida pada bibit cabai merah pada saat ditanam.

5.4.5 Pemeliharaan

Pemeliharaan dilakukan selama proses produksi cabai merah. Kegiatan pemeliharaan ini merupakan hal yang penting agar cabai merah dapat tumbuh optimal dan menghasilkan buah cabai yang baik. Kegiatan yang dilakukan pada tahap pemeliharaan ini meliputi penyiraman, penyulaman, pemetikan tunas daun yang masih muda, pemasangan ajir, pemupukan, dan pengendalian hama dan penyakit.

Kegiatan pemeliharaan kecuali pemasangan ajir dan penyemprotan umumnya dilakukan oleh tenaga kerja wanita sebanyak 2-3 kali sampai panen tiba. Penyiangan ini dilakukan setelah umur tanaman 2-3 MST (minggu setelah tanam). Upah pemeliharaan diluar pemasangan ajir dan penyemprotan yang dilakukan oleh tenaga kerja luar rata-rata Rp 7.000 per HOK. Biaya pemasangan ajir adalah Rp 9.000 per HOK. Penyemprotan dilakukan seminggu dua kali untuk menghindari munculnya serangan hama. Tenaga kerja yang digunakan adalah tenaga kerja pria sebanyak empat orang dengan upah Rp 12.500 HOK.

5.4.6 Pemanenan

Cabai merah dapat dipanen setiap minggunya setelah berumur 3 bulan dari masa tanam. Panen dapat dilakukan sebanyak 12-16 kali selama masa tanam cabai merah. Produksi cabai merah setiap panen hasilnya tidak selalu sama. Pada awal panen hingga panen ke enam hasilnya belum optimal atau masih sedikit. Hasil yang diperoleh pada panen-panen awal rata-rata hanya mencapai 291,5 kilogram

setiap panennya untuk 1.000 m 2 . Panen maksimum/puncak dapat diperoleh pada panen minggu ke tujuh sampai sembilan yang mencapai 437,2 kilogram setiap

panennya untuk 1.000 m 2 .

Kegiatan panen biasanya dilakukan pada pagi hari untuk menghindari kelayuan pada cabai merah. Menjelang akhir umur produktif dari cabai merah ini, produksi cabai merah setiap panennya mengalami penurunan, yaitu hanya

mencapai 271,3 kilogram setiap panen untuk 1.000 m 2 . Penurunan produksi ini terjadi pada minggu ke 10 sampai habis masa produksinya. Dalam satu kali musim tanam petani cabai merah dapat mengeluarkan biaya produksi rata-rata sebesar Rp 4.592.750 per 1.000 m 2 . Distribusi biaya produksi yang dikeluarkan dapat dilihat pada Tabel 6. Permasalahan yang dihadapi oleh petani cabai merah mengenai tataniaga cabai merah adalah harga jual dari petani yang rendah sedangkan harga beli yang diterima oleh konsumen sangat tinggi. Marjin tataniaga cabai merah sangat tinggi sementara bagian yang diterima oleh petani rendah.

Tabel 6 Biaya Produksi Cabai Merah per 1.000 m 2 (1.000 Kg) Selama Satu

Masa Tanam (MST) di Desa Cibeureum

Harga/Satuan No Jenis Biaya

Jumlah

Biaya (Rp)

(Rp) 1 Lahan Sewa

(Satuan)

1.000 m 2 50 50.000 2 Upah tenaga kerja mencangkul

12.500 725.000 3 Bibit

58 HOK

85.000 127.500 4. Mulsa plastic

1,5 Bungkus

320.000 640.000 5 Pupuk kandang

2 Roll

5.000 600.000 6 Pupuk kimia

125 97.250 9 Pemasangan ajir

778 buah

9.000 18.000 10 Pemeliharaan I

2 HOK

9.000 36.000 11 Pemeliharaan II

4 HOK

9.000 36.000 12 Pemeliharaan III

4 HOK

9.000 36.000 13 Penyemprotan

4 HOK

12.500 525.500 14 Panen

42 HOK

56 HOK

9.000 504.000

Jumlah 4.592.750

VI HASIL DAN PEMBAHASAN

6.1 Saluran dan Lembaga Tataniaga Cabai Merah

Saluran tataniaga menunjukkan banyaknya lembaga tataniaga yang saling tergantung dan terlibat dalam proses untuk menjadikan produk atau jasa siap untuk digunakan atau dikonsumsi oleh konsumen. Saluran tataniaga cabai merah di Desa Cibeureum terkait dengan beberapa lembaga tataniaga, meliputi pedagang pengumpul, pedagang grosir, pedagang pengecer I, dan pedagang pengecer II. Saluran tataniaga cabai merah di Desa Cibeureum ini terdiri atas lima saluran tataniaga yang cenderung bersifat homogen.

Pedagang pengumpul cabai merah di Desa Cibeureum hanya ada satu orang, dan semua petani responden cabai merah menyalurkan hasilnya kepada pedagang pengumpul. Dengan kata lain seratus persen petani memanfaatkan pedagang pengumpul dalam memasarkan hasil panennya. Alasan petani memilih pedagang pengumpul sebagai tujuan pemasarannya dikarenakan adanya akses kemudahan serta menghemat biaya. Dikatakan menghemat biaya, karena semua biaya pengangkutan (transportasi dan tenaga kerja) ditanggung oleh pedagang pengumpul. Selain itu, pertimbangan petani adalah tidak menanggung risiko kerusakan produk di jalan akibat jauhnya tujuan pemasaran dan kurangnya akses petani terhadap pedagang grosir maupun pedagang pengecer. Saluran tataniaga cabai merah di Desa Cibeureum pada waktu panen dan penjualan yang sama dapat dilihat pada Gambar 5.

Petani 3.000 Kg

Pedagang Pengumpul

3.000 Kg

Pedagang Grosir Pedagang Pengecer I

2.850 Kg

2.425 Kg

Pedagang Pengecer II 2.968 Kg

Konsumen 3.000 Kg

Gambar 5 Skema Saluran Tataniaga Cabai Merah dari Produsen Hingga Konsumen Akhir.

Keterangan: : menunjukkan saluran tataniaga I (0,5 persen) : menunjukkan saluran tataniaga II (75,33 persen) : menunjukkan saluran tataniaga III (19,17 persen) : menunjukkan saluran tataniaga IV (4,43 persen) : menunjukkan saluran tataniaga V (0,57 persen)

Saluran tataniaga I terdiri atas pedagang pengumpul, pedagang grosir, dan pedagang pengecer II. Saluran tataniaga II terdiri atas pedagang pengumpul, pedagang gosir, pedagang pengecer I, dan pedagang pengecer II. Saluran tataniaga

III terdiri atas pedagang pengumpul, pedagang grosir, dan pedagang pengecer II.

Sedangkan saluran tataniaga IV terdiri atas pedagang pengumpul, pedagang pengecer I, dan pedagang pengecer II. Saluran V terdiri atas pedagang pengumpul dan pedagang pengecer I.

Berdasarkan kelima saluran tataniaga tersebut, terlihat bahwa 100 persen cabai merah dijual petani kepada pedagang pengumpul. Jumlah cabai merah yang dipasarkan oleh pedagang pengumpul rata-rata setiap harinya melalui pedagang grosir yang terdapat pada saluran I adalah sebanyak 15 kilogram (0,50 persen), saluran II sebanyak 2.260 kilogram (75,33 persen), dan saluran III sebanyak 575 kilogram (19,17 persen). Sedangkan saluran tataniaga melalui pedagang pengecer

I yang terdapat pada saluran IV sebanyak 133 kilogram (4,43 persen) dan saluran

V sebanyak 17 kilogram (0,57 persen). Dari hasil tersebut terlihat bahwa pedagang pengumpul menjual cabai merah sebesar 95 persen kepada pedagang grosir oleh dan 5 persen dijual kepada pedagang pengecer I.

Pedagang grosir yang terlibat dalam tataniaga cabai merah ini yaitu sebanyak tiga orang yang berada di Pasar Induk Caringin di Bandung, satu orang di Pasar Senen Jakarta, dan satu orang di Pasar Induk Kramat Jati di Jakarta. Responden pedagang grosir dalam penelitian ini adalah pedagang grosir di Pasar Induk Caringin di Bandung karena sebanyak 70 persen cabai merah disalurkan pedagang pengumpul di Desa Cibeureum ke pedagang grosir di Pasar Induk Caringin yang dilakukan secara rutin. Selain itu, hanya kepada pedagang grosir di Pasar Induk Caringin pedagang pengumpul menyalurkan cabai merah secara langsung, artinya biaya pengangkutan ditanggung oleh pedagang pengumpul. Sedangkan untuk pedagang grosir di Pasar Senen dan Pasar Induk Kramat Jati di Jakarta, biaya pengangkutannya ditanggung oleh masing-masing pedagang grosir.

Artinya, masing-masing pedagang grosir ini mengambil sendiri cabai merah ke tempat pedagang pengumpul. Transaksi ini tidak rutin dilakukan karena cukup jauhnya jarak tempuh serta volume pembelian dan penjualan relatif sedikit.

Pedagang pengecer I yang menjadi responden dalam penelitian ini berada di daerah Tasikmalaya yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Ciamis. Pedagang pengecer I ini adalah yang melakukan pembelian responden pedagang pengumpul dan pedagang grosir yang terlibat dalam tataniaga cabai merah ini. Selanjutnya, perpanjangan dari rantai tataniaga cabai merah ini adalah adanya pedagang pengecer II yang berinteraksi langsung dengan konsumen. Responden pedagang pengecer II sebanyak 14 orang berada di daerah Pasar Lokal Panumbangan, Pasar Lokal Banjar, dan Pasar Lokal Kawali yang semuanya berada di Kabupaten Ciamis serta dua orang berada di Pasar Sadang Serang Bandung.

Dapat disimpulkan bahwa dalam saluran tataniaga cabai merah di Desa Cibeureum ini, petani berada pada posisi yang lemah karena tidak mempunyai alternatif lain untuk menyalurkan hasil panennya. Banyaknya lembaga tataniaga yang terlibat dalam tataniaga cabai merah akan mempengaruhi panjang pendeknya rantai tataniaga dan besarnya biaya tataniaga. Besarnya biaya tataniaga akan mengarah pada semakin besarnya perbedaan harga antara petani produsen dengan konsumen.

6.2 Fungsi Tataniaga

Dalam menyalurkan hasil panen dari petani ke tangan konsumen akhir, umumnya petani melibatkan lembaga tataniaga. Lembaga tataniaga tersebut Dalam menyalurkan hasil panen dari petani ke tangan konsumen akhir, umumnya petani melibatkan lembaga tataniaga. Lembaga tataniaga tersebut

Tabel 7 Fungsi-Fungsi Tataniaga pada Setiap Saluran Tataniaga Cabai

Merah Di Desa Cibeureum

Fungsi-Fungsi Tataniaga Saluran dan Lembaga

Fasilitas Tataniaga

Pertukaran Fisik

Angkut

Jual Beli Simpan dan

Sortasi Risiko Biaya Informasi

Kemas

Pasar

Saluran I

Petani

- - √ Pedagang pengumpul

√ √ √ Pedagang grosir

√ √ √ Pedagang pengecer I

Saluran II

Petani

- - √ Pedagang pengumpul

√ √ √ Pedagang grosir

√ √ √ Pedagang pengecer I

√ √ √ Pedagang pengecer II

Saluran III

Petani

- - √ Pedagang pengumpul

√ √ √ Pedagang grosir

√ √ √ Pedagang pengecer II

Saluran IV

Petani

- - √ Pedagang pengumpul

√ √ √ Pedagang pengecer I

√ √ √ Pedagang pengecer II

Saluran V

Petani

- - √ Pedagang pengumpul

√ √ √ Pedagang pengecer I

√ √ √ Keterangan:

√ : dijalankan

- : tidak dijalankan

*: sebagian dijalankan

Pada dasarnya fungsi tataniaga dikelompokkan menjadi tiga, yaitu fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas. Umumnya lembaga-lembaga tataniaga di Desa Cibeureum menggunakan fungsi-fungsi tataniaga seperti yang ditunjukkan pada Tabel 7. Pihak-pihak yang terlibat dalam sistem tataniaga cabai merah di Desa Cibeureum, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten Ciamis antara lain Pada dasarnya fungsi tataniaga dikelompokkan menjadi tiga, yaitu fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas. Umumnya lembaga-lembaga tataniaga di Desa Cibeureum menggunakan fungsi-fungsi tataniaga seperti yang ditunjukkan pada Tabel 7. Pihak-pihak yang terlibat dalam sistem tataniaga cabai merah di Desa Cibeureum, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten Ciamis antara lain

6.2.1 Fungsi Tataniaga di Tingkat Petani

Petani melakukan kegiatan yang sama pada semua saluran tataniaga cabai merah, baik saluran tataniaga I, II, III, IV maupun V karena semua petani hanya melakukan transaksi dengan pedagang pengumpul. Petani cabai merah di Desa Cibeureum melakukan fungsi pertukaran yaitu kegiatan penjualan pada semua saluran tataniaga. Petani responden menjual hasil pertaniannya kepada pedagang pengumpul setiap hari. Penjualan yang dilakukan oleh petani kepada pedagang pengumpul menggunakan sistem nota penjualan yakni pembayaran dilakukan pada hari berikutnya, yaitu saat penjualan produk selanjutnya. Pada awal produksi atau masa tanam, petani umumnya meminjam modal awal dari pedagang pengumpul, sehingga pada saat pembayaran dilakukan petani hanya menerima selisih total penjualan dengan besarnya pinjaman petani pada awal musim tanam.

Semua hasil panen petani langsung diangkut oleh pedagang pengumpul, sehingga pada semua saluran tataniaga cabai merah, fungsi fisik berupa penyimpanan dan pengangkutan tidak dilakukan oleh petani, tetapi pengemasan dilakukan oleh petani walupun sederhana yaitu memakai karung plastik yang dapat menampung cabai merah sekitar 50 kilogram untuk memudahkan pengangkutan. Fungsi fasilitas yang dilakukan oleh petani adalah penanggungan risiko, dan informasi pasar. Fungsi penanggungan risiko berupa pembayaran yang tertunda dari pedagang pengumpul. Informasi pasar berupa informasi harga dan kualitas cabai merah yang diinginkan konsumen dapat diketahui langsung dari pedagang pengumpul yang berhubungan langsung baik dengan pasar induk

(pedagang grosir) maupun pedagang pengecer I. Tetapi informasi harga sifatnya tidak transparan, terkadang perubahan harga tidak langsung sampai ke tingkat petani. Fungsi fasilitas berupa sortasi tidak dilakukan oleh petani karena semua hasil panennya langsung diserahkan kepada pedagang pengumpul sehingga petani dapat memfokuskan diri pada kegiatan budidayanya.

6.2.2 Fungsi Tataniaga di Tingkat Pedagang Pengumpul

Pedagang pengumpul hampir melakukan kegiatan yang sama dalam setiap saluran tataniaga cabai merah, karena pedagang pengumpul hanya menjual hasil pembeliannya kepada pedagang grosir dan pedagang pengecer I. Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh pedagang pengumpul dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu fungsi tataniaga yang dilakukan kepada pedagang grosir dan fungsi tataniaga yang dilakukan kepada pedagang pengecer I.

Pada saluran tataniaga I, II, dan III fungsi tataniaga yang dilakukan oleh pedagang pengumpul adalah sama, karena pada saluran I, II, dan III pedagang pengumpul berhubungan langsung dengan pedagang grosir. Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh pedagang pengumpul di Desa Cibeureum berupa fungsi pertukaran, fisik, dan fasilitas. Fungsi pertukaran yang dilakukan oleh pedagang pengumpul berupa fungsi pembelian dan penjualan. Fungsi pembelian yang dilakukan dengan mendatangi langsung di lahan petani dan melakukan sistem pembelian dengan menggunakan nota penjualan. Pedagang pengumpul menaggung sendiri biaya pengangkutan atau transportasi serta risiko biaya penyusutan selama perjalanan. Fungsi penjualan dilakukan dengan mengirim sendiri produk yang telah dibeli dari petani kepada pedagang grosir, sedangkan pedagang pengecer I datang sendiri ke tempat pedagang pengumpul. Sistem Pada saluran tataniaga I, II, dan III fungsi tataniaga yang dilakukan oleh pedagang pengumpul adalah sama, karena pada saluran I, II, dan III pedagang pengumpul berhubungan langsung dengan pedagang grosir. Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh pedagang pengumpul di Desa Cibeureum berupa fungsi pertukaran, fisik, dan fasilitas. Fungsi pertukaran yang dilakukan oleh pedagang pengumpul berupa fungsi pembelian dan penjualan. Fungsi pembelian yang dilakukan dengan mendatangi langsung di lahan petani dan melakukan sistem pembelian dengan menggunakan nota penjualan. Pedagang pengumpul menaggung sendiri biaya pengangkutan atau transportasi serta risiko biaya penyusutan selama perjalanan. Fungsi penjualan dilakukan dengan mengirim sendiri produk yang telah dibeli dari petani kepada pedagang grosir, sedangkan pedagang pengecer I datang sendiri ke tempat pedagang pengumpul. Sistem

Fungsi fisik yang dilakukan oleh pedagang pengumpul pada saluran tataniaga I, II dan, III yaitu berupa fungsi pengangkutan hasil panen dari petani untuk disalurkan kepada pedagang grosir, sedangkan pedagang pengecer I mengangkut sendiri dari tempat pedagang pengumpul. Selain itu, fungsi pengemasan juga dilakukan oleh pedagang pengumpul. Fungsi pengemasan dilakukan bertujuan untuk mengurangi kerusakan cabai merah akibat benturan, memudahkan pengangkutan, mempermudah penyusunan selama pengangkutan, mempermudah penghitungan dan penimbangan, serta merapikan penampilan. Pengemasan untuk pengangkutan ke pedagang grosir dengan menggunakan kardus berukuran 35 x 40 x 50 cm yang berkapasitas 40 kilogram per kardus, keenam sisinya berlubang dengan diameter satu cm untuk mengurangi pembusukan. Fungsi penyimpanan tidak dilakukan oleh pedagang pengumpul karena semua hasil pertanian yang diperoleh dari petani langsung disalurkan ke lembaga tataniaga berikutnya.

Pada saluran tataniaga I, II, dan III pedagang pengumpul melakukan fungsi fasilitas berupa fungsi sortasi, biaya, penanggungan risiko, dan fungsi informasi pasar. Sortasi hanya dilakukan untuk memisahkan produk yang mengalami kerusakan akibat pengangkutan atau perjalanan dari tempat petani tanpa disertai dengan grading, yaitu pengelompokkan produk berdasarkan kualitasnya. Fungsi biaya yang ditanggung oleh pedagang pengumpul adalah biaya pengangkutan atau transportasi, sortir, pengemasan, retribusi, bongkar muat, Pada saluran tataniaga I, II, dan III pedagang pengumpul melakukan fungsi fasilitas berupa fungsi sortasi, biaya, penanggungan risiko, dan fungsi informasi pasar. Sortasi hanya dilakukan untuk memisahkan produk yang mengalami kerusakan akibat pengangkutan atau perjalanan dari tempat petani tanpa disertai dengan grading, yaitu pengelompokkan produk berdasarkan kualitasnya. Fungsi biaya yang ditanggung oleh pedagang pengumpul adalah biaya pengangkutan atau transportasi, sortir, pengemasan, retribusi, bongkar muat,

Fungsi penanggungan risiko berupa kerusakan barang selama pengangkutan di perjalanan dan risiko pembayaran yang tertunda dari pedagang grosir. Informasi pasar diperoleh dari tempat penjualan, yaitu Pasar Induk Caringin selaku pasar grosir berupa informasi harga dan kualitas cabai merah yang diinginkan oleh konsumen.

Saluran tataniaga IV dan V merupakan saluran dari pedagang pengumpul terhadap pedagang pengecer I. Pada saluran IV dan V ini, kegiatan atau fungsi tataniaga yang dilakukan oleh pedagang pengumpul adalah sama. Fungsi tataniaga yang dilakukan adalah fungsi pertukaran, fisik, dan fasilitas. Fungsi pertukaran yang dilakukan berupa kegiatan pembelian dari petani dan penjualan kepada pedagang pengecer I.

Fungsi pengangkutan yang merupakan bagian dari fungsi fisik dilakukan pedagang pengumpul ketika membeli hasil panen petani. Sedangkan pengangkutan produk untuk disalurkan kepada pedagang pengecer I tidak dilakukan, karena pedagang pengecer I tersebut yang datang sendiri kepada pedagang pengumpul, sehingga biaya pengangkutan ditanggung oleh pedagang pengecer I. Fungsi fisik lainnya berupa fungsi penyimpanan tidak dilakukan oleh pedagang pengumpul, karena hasil produksi dari petani yang diperoleh hari tersebut langsung disalurkan pada hari itu juga kepada pedagang grosir maupun pedagang pengecer. Hal ini dilakukan oleh pedagang pengumpul dengan mempertimbangkan karakteristik cabai merah yang merupakan jenis hortikultura yaitu mudah rusak atau tidak tahan lama. Selain itu, pedagang pengumpul tidak Fungsi pengangkutan yang merupakan bagian dari fungsi fisik dilakukan pedagang pengumpul ketika membeli hasil panen petani. Sedangkan pengangkutan produk untuk disalurkan kepada pedagang pengecer I tidak dilakukan, karena pedagang pengecer I tersebut yang datang sendiri kepada pedagang pengumpul, sehingga biaya pengangkutan ditanggung oleh pedagang pengecer I. Fungsi fisik lainnya berupa fungsi penyimpanan tidak dilakukan oleh pedagang pengumpul, karena hasil produksi dari petani yang diperoleh hari tersebut langsung disalurkan pada hari itu juga kepada pedagang grosir maupun pedagang pengecer. Hal ini dilakukan oleh pedagang pengumpul dengan mempertimbangkan karakteristik cabai merah yang merupakan jenis hortikultura yaitu mudah rusak atau tidak tahan lama. Selain itu, pedagang pengumpul tidak

Fungsi fasilitas yang dilakukan oleh pedagang pengumpul pada saluran tataniaga IV dan V berupa fungsi sortasi, biaya, penanggungan risiko, dan informasi pasar. Fungsi sortasi, penaggungan risiko, dan informasi pasar sama dengan yang terdapat pada saluran tataniaga I, II, dan III terhadap pedagang grosir. Pembeda antara saluran tataniaga I, II, dan III dengan saluran tataniaga IV dan V adalah dalam fungsi biaya dan pengangkutan. Biaya yang dikeluarkan pedagang pengumpul pada saluran tataniaga IV dan V yaitu hanya berupa biaya pengangkutan barang dari petani, biaya sortasi, biaya tenaga kerja, biaya penyusutan, dan biaya pengemasan sedangkan pada saluran tataniaga I, II, dan III biaya yang dikeluarkan oleh pedagang pengumpul lebih besar yakni selain biaya pengangkutan dari tempat petani, biaya sortasi, biaya tenaga kerja, biaya penyusutan dan biaya pengemasan, pedagang pengumpul juga menanggung biaya pengangkutan kepada pedagang grosir. Pedagang pengumpul tidak membayar secara khusus untuk mengakses informasi pasar karena informasi yang diperoleh sumbernya relatif beragam dan bukan informasi komersial. Informasi harga diperoleh dari pedagang grosir, sedangkan informasi mengenai keinginan konsumen selain diperoleh dari pedagang grosir juga diperoleh dari pedagang pengecer I.

6.2.3 Fungsi Tataniaga di Tingkat Pedagang Grosir

Keterlibatan pedagang grosir dalam saluran tataniaga cabai merah terdapat pada saluran tataniaga I, II, dan III. Pedagang grosir yang terlibat dalam rantai tataniaga ini meliputi pedagang grosir di Pasar Induk Caringin Bandung.

Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh pedagang grosir pada saluran tataniaga I, II, dan III ini meliputi fungsi pertukaran, fisik, dan fasilitas.

Fungsi pertukaran berupa pembelian dari pedagang pengumpul dan penjualan kepada pedagang pengecer I maupun pengecer kecil. Fungsi pembelian ini dilakukan dengan sistem nota penjualan kepada pedagang pengumpul. Pembayaran dilakukan pada keesokan harinya dengan melihat seberapa banyak persediaan cabai merah yang masih ada (belum terjual) untuk penentuan harga kepada pedagang pengumpul. Jadi pada dasarnya harga beli ditentukan oleh pedagang grosir walaupun melalui mekanisme tawar-menawar harga. Harga yang telah ditetapkan pedagang grosir dapat berubah setiap harinya tergantung pada kondisi cabai merah di tingkat pedagang grosir. Harga yang diterima pedagang pengumpul akan berpengaruh terhadap pembentukan harga jual di tingkat petani. Pedagang pengumpul juga akan melakukan penyesuaian pembayaran kepada petani berdasarkan harga yang diperolehnya dari pedagang grosir. Fungsi pertukaran berupa penjualan kepada pedagang pengecer I maupun kecil dilakukan secara tunai pada saat transaksi berlangsung.

Fungsi fisik yang dilakukan oleh pedagang grosir berupa fungsi penyimpanan, dan pengemasan. Fungsi penyimpanan dilakukan ketika produk dari petani tidak langsung terjual semua pada saat itu. Walaupun produk cabai merah masih ada atau belum terjual semua, tetapi pedagang grosir tidak melakukan penyimpanan secara khusus misal penyimpanan di tempat pendingin (cool storage) yang berfungsi menjaga kesegaran cabai merah agar tidak mudah layu. Alasan pedagang grosir ini karena biasanya jumlah cabai merah yang tersisa hanya sedikit (sekitar satu ton) sehingga hanya disimpan di tempat mereka Fungsi fisik yang dilakukan oleh pedagang grosir berupa fungsi penyimpanan, dan pengemasan. Fungsi penyimpanan dilakukan ketika produk dari petani tidak langsung terjual semua pada saat itu. Walaupun produk cabai merah masih ada atau belum terjual semua, tetapi pedagang grosir tidak melakukan penyimpanan secara khusus misal penyimpanan di tempat pendingin (cool storage) yang berfungsi menjaga kesegaran cabai merah agar tidak mudah layu. Alasan pedagang grosir ini karena biasanya jumlah cabai merah yang tersisa hanya sedikit (sekitar satu ton) sehingga hanya disimpan di tempat mereka

Kegiatan sortasi, pembebanan biaya, penanggungan risiko, dan informasi pasar merupakan bagian dari fungsi fasilitas yang dilakukan oleh pedagang grosir. Fungsi sortasi yang dilakukan oleh pedagang grosir berupa pemisahan produk yang layak jual dengan yang tidak layak jual dikarenakan kerusakan selama perjalanan dari pedagang pengumpul. Selain itu, kegiatan sortasi bertujuan untuk memisahkan cabai merah berdasarkan kualitasnya (grading). Pedagang grosir melakukan grading atau pengelompokkan untuk jenis cabai merah yang sama dengan maksud pembedaan dalam penentuan harga cabai merah berdasarkan keseragaman ukuran. Ukuran cabai merah yang paling besar dikenai harga yang paling tinggi.

Fungsi biaya dilakukan untuk memperlancar proses penjualan yang meliputi biaya penyimpanan apabila diperlukan, biaya pengemasan, penyusutan, sewa, retribusi, bongkar muat, sortir dan grading, serta biaya tenaga kerja untuk melayani pembeli. Fungsi penanggungan risiko berupa kelebihan produk dan kekurangan produk sehingga tidak dapat memenuhi permintaan konsumen yang sebenarnya ada. Selain itu, pedagang grosir menanggung risiko ketidaksesuaian kualitas produk seperti yang diinginkan konsumen melalui pedagang pengecer. Fungsi informasi pasar diperoleh berupa perkembangan harga cabai merah yang Fungsi biaya dilakukan untuk memperlancar proses penjualan yang meliputi biaya penyimpanan apabila diperlukan, biaya pengemasan, penyusutan, sewa, retribusi, bongkar muat, sortir dan grading, serta biaya tenaga kerja untuk melayani pembeli. Fungsi penanggungan risiko berupa kelebihan produk dan kekurangan produk sehingga tidak dapat memenuhi permintaan konsumen yang sebenarnya ada. Selain itu, pedagang grosir menanggung risiko ketidaksesuaian kualitas produk seperti yang diinginkan konsumen melalui pedagang pengecer. Fungsi informasi pasar diperoleh berupa perkembangan harga cabai merah yang

6.2.4 Fungsi Tataniaga di Tingkat Pedagang Pengecer I

Pedagang pengecer I adalah pedagang yang membeli dari pedagang pengumpul maupun pedagang grosir dengan jumlah pembelian lebih dari lima kilogram setiap transaksi dan melakukan fungsi sortasi yang langsung berhubungan dengan pedagang pengecer II maupun konsumen yang dapat ditunjukkan oleh saluran tataniaga I, II, IV, dan V. Produk yang dijual oleh pedagang pengecer I diperoleh dari pedagang pengumpul yang ditunjukkan dalam saluran tataniaga IV dan V serta dari pedagang grosir yang terdapat dalam saluran tataniaga I dan II. Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh pedagang pengecer I pada saluran tataniaga I, II, IV, dan V adalah sama. Fungsi tataniaga tersebut meliputi fungsi pertukaran, fisik, dan fasilitas. Fungsi pertukaran meliputi pembelian dari pedagang grosir dan pedagang pengumpul serta penjualan baik kepada pedagang pengecer II maupun konsumen. Sistem pembelian dan penjualan dilakukan secara tunai pada saat transaksi dilakukan.

Fungsi fisik berupa penyimpanan, pengangkutan, dan pengemasan dilakukan oleh pedagang pengecer I. Fungsi penyimpanan kadang-kadang dilakukan, apabila terjadi kelebihan produk atau produk tidak terjual pada hari yang sama ketika membeli. Penyimpanan yang dilakukan tidak diberi perlakuan khusus seperti disimpan di tempat pendingin karena jumlah produknya hanya sedikit. Fungsi pengangkutan dilakukan oleh pedagang pengecer I ketika membeli dari pedagang grosir. Pengemasan dilakukan sesuai dengan volume pembelian, Fungsi fisik berupa penyimpanan, pengangkutan, dan pengemasan dilakukan oleh pedagang pengecer I. Fungsi penyimpanan kadang-kadang dilakukan, apabila terjadi kelebihan produk atau produk tidak terjual pada hari yang sama ketika membeli. Penyimpanan yang dilakukan tidak diberi perlakuan khusus seperti disimpan di tempat pendingin karena jumlah produknya hanya sedikit. Fungsi pengangkutan dilakukan oleh pedagang pengecer I ketika membeli dari pedagang grosir. Pengemasan dilakukan sesuai dengan volume pembelian,

Fungsi fasilitas yang dilakukan oleh pedagang pengecer I meliputi fungsi biaya, penanggungan risiko, dan informasi pasar. Fungsi sortasi tidak dilakukan karena jumlah yang dibeli dari pedagang grosir pun tidak begitu banyak. Fungsi biaya meliputi biaya pengangkutan dari tempat pedagang grosir, biaya sewa, retribusi, bongkar muat, dan biaya penyusutan, sedangkan fungsi penanggungan risiko berupa risiko tidak laku terjual. Fungsi informasi pasar diperoleh dari pedagang grosir berupa informasi harga cabai merah dan karakteristik cabai merah yang diinginkan konsumen.

6.2.5 Fungsi Tataniaga di Tingkat Pedagang Pengecer II

Pedagang pengecer II merupakan perpanjangan saluran tataniaga cabai merah dari pedagang grosir maupun pedagang pengecer I. Dikatakan pedagang pengecer II karena kuantitas produk yang dibelinya pun sedikit, yaitu tidak lebih dari lima kilogram setiap transaksi dan tidak melakukan fungsi sortasi. Pedagang pengecer II dapat memperoleh produk baik dari pedagang grosir seperti yang terdapat dalam saluran tataniaga III maupun dari pedagang pengecer I yang terdapat dalam saluran tataniaga II dan IV. Harga yang diperoleh pedagang pengecer II dari kedua pedagang tersebut tentunya berbeda. Harga di tingkat pedagang pengecer I lebih mahal daripada harga yang diterimanya dari pedagang grosir. Namun, perbedaan harga tersebut sebanding dengan biaya untuk memperolehnya. Jauhnya jarak menuju pasar grosir menjadi pertimbangan pedagang pengecer II untuk lebih memilih pedagang pengecer I sebagai sumber pembeliannya.

Fungsi tataniaga yang melibatkan pedagang pengecer II, baik dalam saluran tataniaga II, III, maupun IV adalah sama. Fungsi tataniaga tersebut meliputi fungsi pertukaran, fisik, dan fasilitas. Fungsi pertukaran berupa pembelian dan penjualan langsung kepada konsumen. Kegiatan pembelian dan penjualan dilakukan secara tunai saat transaksi dilakukan.

Fungsi fisik berupa fungsi penyimpanan, pengangkutan, dan pengemasan dilakukan oleh pedagang pengecer II. Fungsi penyimpanan kadang-kadang dilakukan, apabila produk tidak laku terjual. Penyimpanan yang dilakukan oleh pedagang ini biasa saja tanpa ada perlakuan khusus seperti menyimpan di tempat pendingin, karena jumlah cabai merahnya pun sedikit. Fungsi pengangkutan dilakukan ketika membeli barang baik dari pedagang grosir maupun pedagang pengecer I. Pengemasan dilakukan dengan menggunakan kantong plastik untuk memudahkan pembeli dalam membawanya.

Fungsi fasilitas yang dilakukan adalah fungsi biaya, penanggungan risiko, dan fungsi informasi pasar. Biaya yang dikeluarkan berupa biaya pengangkutan ketika melakukan pembelian baik dari pedagang pengecer I maupun pedagang grosir, biaya penyusutan, biaya retribusi, dan biaya sewa. Pedagang pengecer II menanggung risiko tidak laku terjual, serta memperoleh informasi pasar dari pedagang grosir maupun pedagang pengecer I berupa informasi harga cabai merah dan karakteristik cabai merah yang diinginkan konsumen.

6.3 Struktur Pasar

Struktur pasar adalah suatu dimensi yang menjelaskan pengambilan keputusan oleh perusahaan maupun industri, jumlah perusahaan dalam suatu pasar, jenis-jenis dan diferensiasi produk serta syarat-syarat masuk pasar. Struktur

pasar akan direfleksikan oleh kondisi dan perilaku pasar yang dihadapi oleh petani. Perilaku pasar pada tingkat yang paling bawah ini pada hakekatnya merupakan turunan secara akumulatif dari sistem perilaku pelaku tataniaga di atasnya. Pemahaman kondisi pasar di tingkat petani yang mencakup proses pembentukan harga, bagian harga yang diterima petani, dan marjin tataniaga serta faktor-faktor yang mempengaruhinya merupakan informasi penting dalam rangka peningkatkan efisiensi dan kompetisi pasar yang lebih baik. Secara umum struktur pasar yang terjadi dalam tataniaga cabai merah di Desa Cibeureum adalah persaingan tidak sempurna karena hanya ada satu pedagang pengumpul yang menampung langsung keseluruhan hasil pertanian cabai merah dari petani di Desa Cibeureum dan sedikit penjual di setiap tingkat lembaga tataniaga lainnya.

6.3.1 Struktur Pasar di Tingkat Petani

Struktur pasar yang dihadapi oleh petani cabai merah di Desa Cibeureum cenderung mendekati pasar persaingan tidak sempurna, yaitu pasar monopsoni karena hanya terdapat satu pembeli yaitu satu pedagang pengumpul dan beberapa penjual yaitu para petani. Walaupun produknya bersifat homogen antar petani, yakni para petani tidak memberikan sentuhan yang berbeda terhadap hasil poduksinya, tetapi karena pembeli yang dituju oleh semua petani adalah sama yaitu pedagang pengumpul yang hanya terdiri atas satu orang pedagang pengumpul, maka struktur pasar di tingkat petani cenderung bersifat monopsoni.

Hambatan keluar masuk pasar apabila dilihat dari sisi petani adalah rendah. Tetapi, apabila dilihat dari sisi pedagang pengumpul, hambatan keluar masuk pasar cukup tinggi. Hal ini dikarenakan para petani sudah mempercayai kepada pedagang pengumpul yang ada di Desa Cibeureum tersebut. Selain itu, Hambatan keluar masuk pasar apabila dilihat dari sisi petani adalah rendah. Tetapi, apabila dilihat dari sisi pedagang pengumpul, hambatan keluar masuk pasar cukup tinggi. Hal ini dikarenakan para petani sudah mempercayai kepada pedagang pengumpul yang ada di Desa Cibeureum tersebut. Selain itu,

6.3.2 Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Pengumpul

Struktur pasar di tingkat pedagang pengumpul cenderung bersifat pasar persaingan tidak sempurna. Apabila dikaitkan dengan petani, yakni pedagang pengumpul berlaku sebagai pembeli tunggal, maka struktur pasar yang terjadi cenderung bersifat monopsoni. Hal ini dapat disimpulkan karena jumlah petani selaku penjual cukup banyak, sedangkan jumlah pedagang pengumpul sebagai orang yang membeli hasil panen para petani hanya satu. Kondisi seperti ini, ditunjang pula oleh sulitnya hambatan untuk keluar masuk pasar bagi pedagang pengumpul, karena para petani sudah mempercayai pedagang pengumpul sebagai tujuan tataniaga hasil pertaniannya.

Sedangkan apabila dilihat dari hubungannya terhadap pedagang grosir maupun pedagang pengecer I dalam saluran tataniaga cabai merah, maka struktur pasar yang terjadi di tingkat pedagang pengumpul adalah cenderung bersifat oligopoli murni. Hal ini ditunjukkan dengan keberadaan jumlah penjual lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah pembeli. Produk yang diperdagangkan oleh pedagang pengumpul ini cenderung homogen dengan teknik pengemasan yang masih sangat sederhana, yaitu hanya diberi kardus atau karung biasa yang berfungsi untuk memudahkan pengangkutan ke pedagang grosir.

6.3.3 Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Grosir

Pedagang grosir menghadapi struktur pasar yang cenderung oligopoli murni ketika berhadapan dengan pedagang pengumpul (selaku pembeli) dan oligopoli murni ketika berhadapan dengan pedagang pengecer I dan pedagang pengecer II (selaku penjual). Hal ini ditunjukkan dengan jumlah pembeli yang lebih banyak dibandingkan dengan jumlah penjual. Hambatan masuk bagi pedagang grosir cukup tinggi, karena cukup sulitnya memperoleh ijin dari pengelola pasar grosir untuk berjualan disana. Disamping itu, sulitnya mendapatkan kios kosong yang dapat digunakan untuk berjualan. Namun demikian, pendatang baru masih mungkin untuk masuk ke pasar grosir, terutama apabila mempunyai modal yang cukup dan kemampuan mengakses pasar. Pedagang grosir ini tidak hanya menjual cabai merah saja, tetapi juga menjual cabai hijau. Namun proporsinya lebih besar menjual cabai merah. Jadi pedagang grosir dalam tataniaga cabai merah ini dapat dikatakan sebagai pedagang grosir cabai.

6.3.4 Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Pengecer I dan Pedagang Pengecer II

Struktur pasar yang dihadapi oleh pedagang pengecer I dan II adalah sama. Apabila dilihat dari sisi pembeli adalah oligopsoni murni sedangkan dilihat dari sisi penjual adalah oligopoli murni karena tidak adanya diferensiasi produk yang diperdagangkan. Hambatan keluar masuk pasar cenderung rendah karena tidak adanya peraturan atau ikatan khusus.

6.4 Perilaku Pasar

Perilaku pasar adalah suatu pola atau tingkah laku dari lembaga tataniaga yang menyesuaikan dengan struktur pasar tempat lembaga tataniaga melakukan kegiatan pembelian dan penjualan, sistem penentuan harga dan pembayaran serta kerjasama diantara berbagai lembaga tataniaga.

6.4.1 Praktek Pembelian dan Penjualan

6.4.1.1 Praktek Penjualan di Tingkat Petani

Petani cabai merah di Desa Cibeureum yang menjadi responden dalam penelitian ini menjual seluruh hasil panennya kepada pedagang pengumpul. Panen cabai merah dapat dilakukan setiap minggu setelah 3 bulan MST (Masa Setelah Tanam). Produksi rata-rata cabai merah petani sebanyak 59,52 kilogram per

1.000 m 2 setiap kali panen. Dengan adanya perbedaan masa tanam cabai merah setiap petani, cabai merah dapat dihasilkan setiap hari . Berdasarkan data yang

diperoleh dari pedagang pengumpul, petani cabai merah di Desa Cibeureum mampu menghasilkan cabai merah sebanyak 3.000 kilogram per hari.

Sistem penjualan yang dilakukan oleh petani tersebut adalah dengan menggunakan nota penjualan. Pedagang pengumpul mengambil sendiri hasil panen petani di lahan petani sehingga petani hanya menanggung biaya panen, sedangkan biaya pengangkutan ditanggung oleh pedagang pengumpul. Petani hanya menyalurkan hasil panennya kepada pedagang pengumpul, karena petani merasa risiko yang ditanggungnya lebih rendah, seperti risiko tidak laku terjual dan risiko pembebanan biaya pengangkutan menjadi tidak ada.

6.4.1.2 Praktek Pembelian dan Penjualan di Tingkat Pedagang Pengumpul

Sistem pembelian yang dilakukan oleh pedagang pengumpul sama dengan sistem penjualan yang dilakukan oleh petani. Pedagang pengumpul mendatangi lahan petani untuk mengambil hasil panen yang telah dilakukan oleh petani. Selain dari petani cabai merah yang ada di Desa Cibeureum, pedagang pengumpul juga melakukan pembelian dengan pedagang pengumpul lainnya yang membawa cabai merah dari luar Desa Cibeureum. Proporsi pembelian yang dilakukan oleh pedagang pengumpul dari petani lebih banyak dibandingkan dengan pedagang pengumpul lainnya. Sumber pembelian dari petani rata-rata sebanyak 3.000 kilogram per hari (85,71 persen), sedangkan sumber pembelian dari pedagang pengumpul lainnya hanya sebanyak 500 kilogram per hari (14,29 persen). Dalam analisis tataniaga cabai merah ini yag dilihat adalah sumber pembelian dari petani karena proporsinya relatif lebih besar dan dilakukan secara berkesinambungan.

Sebagian besar penjualan langsung dilakukan kepada pedagang grosir, yaitu Pasar Induk Caringin Bandung (70 persen), Pasar Senen (20 persen), dan Pasar Induk Kramat Jati Jakarta (10 persen). Pedagang pengumpul mengirim cabai merah ke Pasar Induk Caringin, sehingga biaya pengangkutan ditanggung oleh pedagang pengumpul. Sebaliknya, Pasar Senen dan Pasar Induk Kramat Jati mengambil sendiri cabai merah ke tempat pedagang pengumpul, sehingga biaya angkutan ditanggung oleh pedagang grosir. Hal ini dilakukan pedagang pengumpul dengan pertimbangan cabai merah yang diperdagangkan ke pasar grosir di Jakarta hanya sedikit, berbeda dengan pasar grosir di Bandung. Selain itu, jauhnya jarak tempuh ke Jakarta bila dibandingkan dengan Bandung menjadi pertimbangan pedagang pengumpul dalam mengambil pilihan ini. Dalam Sebagian besar penjualan langsung dilakukan kepada pedagang grosir, yaitu Pasar Induk Caringin Bandung (70 persen), Pasar Senen (20 persen), dan Pasar Induk Kramat Jati Jakarta (10 persen). Pedagang pengumpul mengirim cabai merah ke Pasar Induk Caringin, sehingga biaya pengangkutan ditanggung oleh pedagang pengumpul. Sebaliknya, Pasar Senen dan Pasar Induk Kramat Jati mengambil sendiri cabai merah ke tempat pedagang pengumpul, sehingga biaya angkutan ditanggung oleh pedagang grosir. Hal ini dilakukan pedagang pengumpul dengan pertimbangan cabai merah yang diperdagangkan ke pasar grosir di Jakarta hanya sedikit, berbeda dengan pasar grosir di Bandung. Selain itu, jauhnya jarak tempuh ke Jakarta bila dibandingkan dengan Bandung menjadi pertimbangan pedagang pengumpul dalam mengambil pilihan ini. Dalam

Selain pedagang grosir, pedagang pengumpul juga melakukan penjualan kepada pedagang pengecer I, yaitu sebanyak 150 kilogram (5 persen) dengan cara pedagang pengecer I datang sendiri ke tempat pedagang pengumpul. Hal ini tidak menjadi prioritas utama pedagang pengumpul, karena jumlah yang dibeli pedagang pengecer I sedikit.

6.4.1.3 Praktek Pembelian dan Penjualan di Tingkat Pedagang Grosir

Pedagang grosir (responden) melakukan pembelian cabai merah dari pedagang pengumpul Desa Cibeureum dengan transaksi setiap hari rata-rata mencapai 2.850 kilogram (95 persen). Sistem pembelian dari pedagang pengumpul tidak dilakukan secara tunai, tetapi dengan menggunakan nota penjualan. Pembayaran dengan nota penjualan yakni pembayaran dilakukan tidak langsung saat transaksi, tetapi saat transaksi berikutnya. Sistem pembayaran dilakukan seperti ini karena harga cabai merah belum terbentuk. Pedagang grosir merupakan penentu harga cabai merah. Penentuan harga cabai merah berdasarkan kondisi terhadap permintaan cabai merah di pasar induk, sehingga harga cabai merah dapat berfluktuasi setiap hari. Harga yang diterima pedagang pengumpul berimplikasi pada harga yang akan diterima oleh petani, karena pembelian di tingkat pedagang pengumpul terhadap petani juga menggunakan sistem nota penjualan.

Kegiatan penjualan yang dilakukan kepada pedagang pengecer I sebanyak 2.275 kilogram (79,82 persen) dan pedagang pengecer II sebanyak 575 kilogram (20,18 persen). Sistem penjualan yang dilakukan bagi kedua jenis pedagang pengecer ini adalah dengan sistem tunai, yaitu penjualan dilakukan saat transaksi jual beli dilaksanakan.

6.4.1.4 Praktek Pembelian dan Penjualan di Tingkat Pedagang Pengecer I dan Pedagang Pengecer II

Sumber pembelian pedagang pengecer I adalah pedagang gosir dan pedagang pengumpul. Pedagang pengecer I di daerah Tasikmalaya umumnya melakukan pembelian dari kedua sumber tersebut. Responden pedagang pengecer

I dalam penelitian ini adalah pedagang pengecer I yang berada di daerah Tasikmalaya (Pasar Cikurubuk). Alasan pemilihan responden ini karena pedagang pengecer I di daerah Tasikmalaya dapat mengakses cabai merah secara dari pedagang pengumpul di sentra produksi dan pedagang grosir.

Pembelian yang dilakukan pedagang pengecer I Pasar Cikurubuk adalah secara tunai baik kepada pedagang grosir maupun pedagang pengumpul, yakni dengan mendatangi sendiri sumber pembelian. Cabai merah yang dibeli oleh pedagang pengecer I dari pedagang grosir rata-rata sebanyak 2.275 kilogram (93,81 persen), sedangkan pembelian dari pedagang pengumpul rata-rata sebanyak 150 kilogram (6,19 persen) setiap transaksi.

Kegiatan penjualan dilakukan ke pedagang pengecer II dan langsung ke konsumen. Penjualan ke pedagang pengecer II rata-rata sebanyak 2.393 kilogram (98,68 persen), sedangkan penjualan yang langsung ke konsumen rata-rata sebanyak 32 kilogram (1,32 persen) setiap kali transaksi. Pedagang pengecer II merupakan perpanjangan saluran tataniaga cabai merah untuk disalurkan langsung Kegiatan penjualan dilakukan ke pedagang pengecer II dan langsung ke konsumen. Penjualan ke pedagang pengecer II rata-rata sebanyak 2.393 kilogram (98,68 persen), sedangkan penjualan yang langsung ke konsumen rata-rata sebanyak 32 kilogram (1,32 persen) setiap kali transaksi. Pedagang pengecer II merupakan perpanjangan saluran tataniaga cabai merah untuk disalurkan langsung

6.4.2 Sistem Penentuan Harga

Terbentuknya harga akibat adanya pertemuan antara penawaran dan permintaan. Umumnya harga terbentuk melalui proses tawar-menawar antara penjual dan pembeli. Harga suatu komoditi pertanian daerah tertentu akan berbeda dengan daerah lainnya. Produsen harus melindungi harga agar menguntungkan, sebaliknya konsumen harus melindungi harga agar tidak dirugikan. Apabila telah terjadi kesesuaian harga antara yang ditawarkan penjual dengan yang diterima pembeli, maka pada saat itulah terbentuk harga pasar dan transaksi baru dilakukan.

Sistem penentuan harga cabai merah di Desa cibeureum dilakukan dengan tawar-menawar. Namun demikian, keputusan terakhir ditentukan oleh lembaga tataniaga yang lebih tinggi. Pada petani harga lebih ditentukan oleh pedagang pengumpul. Hal ini terjadi karena pedagang pengumpul lebih menguasai informasi harga dari pedagang grosir. Begitu pula pada pedagang pengecer I dan pedagang pengecer II yang melakukan pembelian dari pedagang grosir, harga lebih ditentukan oleh pedagang grosir. Namun bagi pedagang pengecer I yang Sistem penentuan harga cabai merah di Desa cibeureum dilakukan dengan tawar-menawar. Namun demikian, keputusan terakhir ditentukan oleh lembaga tataniaga yang lebih tinggi. Pada petani harga lebih ditentukan oleh pedagang pengumpul. Hal ini terjadi karena pedagang pengumpul lebih menguasai informasi harga dari pedagang grosir. Begitu pula pada pedagang pengecer I dan pedagang pengecer II yang melakukan pembelian dari pedagang grosir, harga lebih ditentukan oleh pedagang grosir. Namun bagi pedagang pengecer I yang

Pada umumnya, petani cabai merah di Desa Cibeureum tidak mampu mempengaruhi penetapan harga, karena struktur pasar cenderung bersifat tidak bersaing sempurna, yaitu monopsoni. Penetapan harga di tingkat petani disesuaikan dengan harga pasar yang sedang berlaku, dan biasanya berdasarkan nota penjualan dari pedagang pengumpul. Petani akan tetap melakukan penanaman walaupun harga di pasar rendah.

6.4.3 Kerjasama antar Lembaga Tataniaga

Pentingnya kerjasama antara lembaga tataniaga adalah untuk memperlancar proses tataniaga. Kerjasama yang dilakukan antara petani cabai merah dan pedagang pengumpul cabai merah sudah terjalin cukup lama dan atas dasar saling percaya. Dalam tataniaga cabai merah di Desa Cibeureum, pedagang pengumpul bebas memilih untuk bekerja sama dengan para petani, karena jumlah pedagang pengumpul di desa ini hanya satu orang sedangkan jumlah petani banyak. Kerjasama yang biasa dilakukan hanya dalam masalah jual beli. Dalam hal permodalan, kerjasama tidak selalu dilakukan. Kadang-kadang pedagang pengumpul memberi bantuan untuk pembelian bibit apabila diminta oleh petani.

Kerjasama juga terjalin antara pedagang pengumpul dengan pedagang grosir dan pedagang pengecer I dalam hal jual beli cabai merah. Umumnya pedagang grosir dan pedagang pengecer I akan membeli cabai merah dari para pedagang pengumpul yang sudah dikenalnya. Kerjasama ini bertujuan agar Kerjasama juga terjalin antara pedagang pengumpul dengan pedagang grosir dan pedagang pengecer I dalam hal jual beli cabai merah. Umumnya pedagang grosir dan pedagang pengecer I akan membeli cabai merah dari para pedagang pengumpul yang sudah dikenalnya. Kerjasama ini bertujuan agar

6.5 Efisiensi Tataniaga

6.5.1 Analisis Marjin Tataniaga

Marjin tataniaga merupakan perbedaan antara harga yang diterima petani dengan harga yang dibayarkan konsumen. Marjin tataniaga juga diartikan sebagai perbedaan antara harga beli dan harga jual pada setiap lembaga tataniaga. Marjin tataniaga meliputi seluruh biaya tataniaga yang dikeluarkan dan keuntungan yang diambil oleh lembaga tataniaga selama proses penyaluran komoditas dari satu lembaga tataniaga ke lembaga tataniaga lainnya. Analisis marjin tataniaga cabai merah di Desa Cibeureum digunakan untuk melihat tingkat efisiensi operasionalnya. Dalam tataniaga cabai merah ini, marjin tataniaga dihitung berdasarkan kelima pola tataniaga. Perhitungan marjin meliputi biaya tataniaga dan keuntungan lembaga tataniaga yang terlibat. Besarnya marjin pada setiap saluran dapat dilihat pada hasil analisis marjin tataniaga cabai merah di Desa Cibeureum (Tabel 8).

Berdasarkan pada Tabel 8 dapat dilihat komponen dari tataniaga yaitu biaya tataniaga dan keuntungan tataniaga. Biaya tataniaga merupakan segala biaya yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga dalam memasarkan cabai merah dari tingkat desa sampai konsumen akhir. Rincian biaya dalam setiap lembaga tataniaga cabai merah di Desa Cibeureum dapat dilihat dalam Lampiran 2.

Tabel 8 Analisis Marjin Tataniaga Cabai Merah di Desa Cibeureum

Saluran IV Saluran V Uraian

Saluran I

Saluran II

Saluran III

Harga (Rp)

Harga (Rp)

Harga (Rp) Harga (Rp) Harga (Rp)

Petani

Biaya Produksi

Harga jual

7.000 7.000 7.000 7.000 Pedagang Pengumpul

Harga beli

7.000 7.000 Biaya Tataniaga

300 300 Keuntungan Tataniaga

2.200 2.200 Marjin tataniaga

2.500 2.500 Harga jual

Pedagang grosir

Harga beli

- Marjin tataniaga

Harga jual 11.000 11.000 14.000 - -

Pedagang pengecer I

Harga beli

4.800 6.800 Marjin tataniaga

6.500 8.500 Harga jual

Pedagang pengecer II

Harga beli

16.000 14.000 16.000 - Biaya

500 - Keuntungan

2.500 - Marjin tataniaga

3.000 Harga jual

Total Biaya

Total Keuntungan

Marjin Tataniaga 11.000 12.000 12.000 12.000 11.000

Biaya yang dikeluarkan dalam setiap lembaga tataniaga cabai merah di Desa Cibeureum berbeda. Biaya tataniaga di tingkat petani tidak ada, yang ada adalah biaya produksi (termasuk biaya panen) karena petani sendiri yang melaksanakannya. Tidak adanya biaya tataniaga di tingkat petani karena tidak ada biaya yang dikeluarkan petani ketika proses penyaluran barang ke tingkat lembaga tataniaga selanjutnya. Pedagang pengumpul selaku lembaga tataniaga yang berhubungan langsung dengan petani mengambil sendiri cabai merah yang sudah di panen ke tempat petani. Sedangkan biaya di tingkat pedagang pengumpul Biaya yang dikeluarkan dalam setiap lembaga tataniaga cabai merah di Desa Cibeureum berbeda. Biaya tataniaga di tingkat petani tidak ada, yang ada adalah biaya produksi (termasuk biaya panen) karena petani sendiri yang melaksanakannya. Tidak adanya biaya tataniaga di tingkat petani karena tidak ada biaya yang dikeluarkan petani ketika proses penyaluran barang ke tingkat lembaga tataniaga selanjutnya. Pedagang pengumpul selaku lembaga tataniaga yang berhubungan langsung dengan petani mengambil sendiri cabai merah yang sudah di panen ke tempat petani. Sedangkan biaya di tingkat pedagang pengumpul

6.5.1.1 Analisis Marjin Tataniaga Saluran I

Marjin tataniaga pada saluran I merupakan salah satu marjin tataniaga terkecil dari kelima pola saluran tataniaga cabai merah, yaitu sebesar Rp 11.000 per kilogram cabai merah. Hal ini terjadi karena konsumen memperoleh cabai merah langsung dari pedagang pengecer I. Tujuan tataniaga saluran I adalah daerah Tasikmalaya dan Ciamis.

Marjin tataniaga terbesar diambil oleh lembaga tataniaga di tingkat pedagang pengecer I. Hal ini terjadi karena biaya yang dikeluarkan pedagang pengecer I dalam saluran I ini adalah yang paling besar sehingga pedagang pengecer I mengambil keuntungan yang relatif besar untuk menutupi biaya tersebut dibandingkan dengan tingkat lembaga tataniaga lainnya. Biaya dan keuntungan yang diambil cukup besar ini menimbulkan marjin tataniaga yang besar pula. Besarnya marjin pada saluran I ini terjadi akibat jauhnya jarak tempuh yang harus dilalui oleh pedagang pengecer I untuk memperoleh cabai merah dari pedagang grosir yaitu Tasikmalaya-Bandung, sedangkan volume pembelian yang dilakukan oleh konsumen akhir adalah relatif sedikit yakni rata-rata kurang dari satu kilogram setiap transaksinya sehingga marjin yang diambil untuk setiap satu kilogram cabai merah cukup besar.

Marjin tataniaga terkecil diambil oleh lembaga tataniaga di tingkat pedagang pengumpul karena volume pembelian dan penjualan relatif banyak, yakni rata-rata mencapai 3.000 kilogram sehingga biaya yang dibebankan untuk setiap satu kilogram cabai merah relatif sedikit. Selain sedikitnya biaya yang dibebankan untuk setiap satu kilogram cabai merah, keuntungan yang diambil per kilogram cabai merah juga relatif sedikit karena diimbangi dengan besarnya volume transaksi jual beli.

6.5.1.2 Analisis Marjin Tataniaga Saluran II

Saluran II merupakan saluran terpanjang dalam tataniaga cabai merah di Desa Cibeureum. Panjangnya saluran tataniaga menyebabkan marjin total tataniaga relatif besar. Marjin tataniaga pada saluran II merupakan salah satu marjin tataniaga terbesar dari kelima pola saluran tataniaga cabai merah, yaitu sebesar Rp 12.000 per kilogram cabai merah. Hal ini terjadi karena semakin banyaknya lembaga tataniaga yang terlibat dalam upaya mendistribusikan cabai merah ke konsumen sehingga semakin banyak biaya yang harus dikeluarkan serta keuntungan yang diambil untuk mengimbangi biaya pada setiap lembaga tataniaga yang terlibat.

Marjin tataniaga terbesar diambil oleh lembaga tataniaga di tingkat pedagang pengecer I. Hal ini terjadi karena biaya yang dikeluarkan pedagang pengecer I dalam saluran II ini adalah yang paling besar sehingga pedagang pengecer I mengambil keuntungan yang relatif besar untuk menutupi biaya tersebut. Biaya dan keuntungan yang diambil cukup besar ini menimbulkan marjin tataniaga yang besar pula. Besarnya marjin pada saluran II ini terjadi akibat Marjin tataniaga terbesar diambil oleh lembaga tataniaga di tingkat pedagang pengecer I. Hal ini terjadi karena biaya yang dikeluarkan pedagang pengecer I dalam saluran II ini adalah yang paling besar sehingga pedagang pengecer I mengambil keuntungan yang relatif besar untuk menutupi biaya tersebut. Biaya dan keuntungan yang diambil cukup besar ini menimbulkan marjin tataniaga yang besar pula. Besarnya marjin pada saluran II ini terjadi akibat

Marjin tataniaga terkecil diambil oleh lembaga tataniaga di tingkat pedagang pengumpul karena volume pembelian dan penjualan relatif banyak sehingga biaya yang dibebankan untuk setiap satu kilogram cabai merah relatif sedikit. Selain sedikitnya biaya yang dibebankan untuk setiap satu kilogram cabai merah, keuntungan yang diambil per kilogram cabai merah juga relatif sedikit karena diimbangi dengan besarnya volume transaksi jual beli. Tujuan distribusi akhir pada saluran II ini adalah daerah Ciamis.

6.5.1.3 Analisis Marjin Tataniaga Saluran III

Saluran III merupakan salah satu saluran tataniaga cabai merah yang memberikan marjin tataniaga terbesar dari kelima pola saluran tataniaga terbesar, yaitu Rp 12.000 per kilogram cabai merah. Marjin tataniaga terbesar untuk setiap tingkat lembaga tataniaga diambil oleh pedagang grosir. Pengambilan marjin yang cukup besar oleh pedagang grosir didasarkan pada pertimbangan bahwa pembelian yang dilakukan oleh pedagang pengecer II relatif sedikit dibandingkan pedagang pengecer I yakni rata-rata kurang dari lima kilogram setiap transaksi sehingga pengambilan keuntungan untuk setiap satu kilogram cabai merah relatif besar. Sedangkan marjin tataniaga terkecil diambil oleh pedagang pengumpul. Tujuan tataniaga saluran III ini adalah daerah Bandung.

6.5.1.4 Analisis Marjin Tataniaga Saluran IV

Saluran IV merupakan salah satu saluran tataniaga yang memberikan marjin tataniaga paling besar, yaitu Rp 12.000 per kilogram cabai merah. Marjin terkecil diambil oleh pedagang pengumpul, sedangkan marjin terbesar berada Saluran IV merupakan salah satu saluran tataniaga yang memberikan marjin tataniaga paling besar, yaitu Rp 12.000 per kilogram cabai merah. Marjin terkecil diambil oleh pedagang pengumpul, sedangkan marjin terbesar berada

Pengambilan keuntungan yang relatif besar atas pertimbangan besarnya biaya yang dikeluarkan. Biaya yang relatif besar yang harus ditanggung oleh pedagang pengecer I terjadi karena pedagang pengecer I hanya membeli cabai merah dari pedagang pengumpul walaupun jarak yang ditempuh relatif lebih dekat daripada ke pedagang grosir. Sedangkan apabila membeli dari pedagang grosir tidak hanya melakukan pembelian cabai merah saja tetapi bahan makanan lainnya, seperti sayuran dan buah-buahan. Pembelian yang relatif beragam dari pedagang grosir menyebabkan biaya untuk masing-masing jenis setiap satu kilogramnya relatif rendah apabila dibandingkan dengan jauhnya jarak tempuh. Tujuan tataniaga saluran I adalah daerah Tasikmalaya dan Ciamis.

6.5.1.5. Analisis Marjin Tataniaga Saluran V

Saluran V merupakan saluran tataniaga terpendek dengan jumlah lembaga tataniaga yang terlibat relatif sedikit. Sedikitnya jumlah lembaga tataniaga yang terlibat, yakni pedagang pengumpul dan pedagang pengecer I menyebabkan marjin yang terjadi relatif kecil, yaitu sebesar Rp 11.000 per kilogram cabai Saluran V merupakan saluran tataniaga terpendek dengan jumlah lembaga tataniaga yang terlibat relatif sedikit. Sedikitnya jumlah lembaga tataniaga yang terlibat, yakni pedagang pengumpul dan pedagang pengecer I menyebabkan marjin yang terjadi relatif kecil, yaitu sebesar Rp 11.000 per kilogram cabai

Lembaga tataniaga yang mengambil marjin terbesar adalah pedagang pengecer I. Hal ini terjadi karena pada saluran V pedagang pengecer I langsung melayani konsumen sehingga mengambil keuntungan yang relatif besar karena jumlah pembelian yang dilakukan oleh konsumen akhir relatif sedikit. Keuntungan yang diambil oleh pedagang pengecer I semakin bertambah besar karena pembelian cabai merah langsung dari pedagang pengumpul. Sedangkan marjin tataniaga terkecil diambil oleh pedagang pengumpul. Saluran ini bertujuan untuk memenuhi konsumen daerah Tasikmalaya dan Ciamis.

Dari kelima saluran tataniaga cabai merah yang ada di Desa Cibeureum, masing-masing saluran memiliki kelebihan dan kelemahan. Saluran I memiliki marjin paling kecil dibandingkan saluran lainnya dan biaya yang relatif kecil dibandingkan saluran II dan IV, yaitu sebesar Rp 2.400, tetapi total keuntungannya juga paling kecil, yaitu sebesar Rp 11.007,25. Saluran II cenderung menunjukkan kelemahannya, yaitu memiliki total marjin yang paling besar dan biaya tataniaga yang dikeluarkan juga paling besar, yaitu Rp 2.900 dibandingkan saluran lainnya, tetapi total keuntungan yang diperoleh relatif sedikit dibandingkan saluran III dan IV, yaitu Rp 11.507,25.

Saluran III memiliki marjin paling besar (sama dengan saluran II dan IV), tetapi total keuntungan yang diperoleh juga relatif paling besar dibandingkan keempat saluran tataniaga lainnya, yaitu sebesar Rp 12.007,25 dengan biaya yang relatif sedikit dibandingkan saluran II dan IV, yaitu sebesar Rp 2.400. Marjin tataniaga pada saluran IV sama dengan saluran II dan III yang memiliki marjin Saluran III memiliki marjin paling besar (sama dengan saluran II dan IV), tetapi total keuntungan yang diperoleh juga relatif paling besar dibandingkan keempat saluran tataniaga lainnya, yaitu sebesar Rp 12.007,25 dengan biaya yang relatif sedikit dibandingkan saluran II dan IV, yaitu sebesar Rp 2.400. Marjin tataniaga pada saluran IV sama dengan saluran II dan III yang memiliki marjin

Biaya tataniaga terbesar ditanggung oleh saluran tataniaga II. Hal ini terjadi karena lembaga tataniaga yang terlibat dalam menyalurkan cabai merah ini lebih banyak dibandingkan saluran tataniaga lainnya, yaitu pedagang pengumpul, pedagang grosir, pedagang pengecer I, dan pedagang pengecer II. Banyaknya lembaga tataniaga yang terlibat menyebabkan biaya tataniaga akan semakin besar, karena dalam setiap lembaga tataniaga mengeluarkan biaya untuk melaksanakan kegiatannya. Selain itu, jarak distribusi regional yang ditempuh oleh pedagang pengecer antara Tasikmalaya-Bandung (sumber pembelian pedagang grosir) cukup jauh apabila dibandingkan dengan distribusi lokal yaitu antar daerah di Ciamis (sumber pembelian pedagang pengumpul). Sedangkan biaya tataniaga terkecil terdapat pada saluran tataniaga V, karena saluran tataniaga V merupakan salah satu saluran tataniaga terpendek. Selain itu, jarak distribusi relatif dekat sehingga biaya pengangkutan dapat diminimalkan.

Pada kelima saluran tataniaga cabai merah di Desa Cibeureum, keuntungan tataniaga terbesar terdapat pada saluran tataniaga III. Hal ini terjadi karena pedagang grosir dan pedagang pengecer II mengambil keuntungan yang Pada kelima saluran tataniaga cabai merah di Desa Cibeureum, keuntungan tataniaga terbesar terdapat pada saluran tataniaga III. Hal ini terjadi karena pedagang grosir dan pedagang pengecer II mengambil keuntungan yang

6.5.2 Analisis Farmer’s Share

Analisis farmer’s share merupakan salah satu indikator untuk menentukan efesiensi operasional tataniaga suatu komoditas. Farmer’s share merupakan bagian harga yang diterima petani terhadap harga yang dibayarkan konsumen. Farmer’s share ini berbanding terbalik dengan nilai marjin tataniaganya. Hasil analisis farmer’s share menunjukkan bahwa bagian terbesar yang diterima petani cabai merah di Desa Cibeureum adalah saluran tataniaga I dan V, yaitu sebesar 38,89 persen. Hal ini terjadi karena saluran tataniaga I dan II memiliki marjin tataniaga terkecil. Sedangkan farmer’s share terendah sebesar 36,84 terdapat pada saluran tataniaga II, III, dan IV karena marjin tataniaga pada saluran tataniaga II,

III, dan IV merupakan marjin terbesar. Gambaran yang lebih jelas disajikan dalam persentase biaya tataniaga, keuntungan, marjin tataniaga dan rasio keuntungan dan biaya pada masing-masing saluran tataniaga (Tabel 9).

Tabel 9 Persentase Biaya Tataniaga, Keuntungan, Marjin Tataniaga, Rasio Keuntungan terhadap Biaya Tataniaga ( π/c) Cabai Merah di Desa Cibeureum pada Bulan Maret 2008

Uraian Saluran I

Saluran II

Saluran III

Saluran IV Saluran V

Biaya (c)

11.007,25 11.507,25 12.007,25 11.907,25 11.407,25 Marjin Tataniaga 11.000 12.000 12.000 12.000 11.000 Rasio π/c

4,80 5,70 Farmer’s share

Berdasarkan Tabel 9 dapat disimpulkan bahwa berdasarkan kelima saluran tataniaga cabai merah, maka secara operasional saluran tataniaga I dan V adalah saluran yang paling efisien. Pada kedua saluran tataniaga ini memberikan nilai marjin tataniaga terendah yaitu sebesar Rp 11.000 dan farmer’s share tertinggi, yaitu sebesar 38,89 persen. Hal ini terjadi karena komoditas yang diperjualbelikan tidak mengalami perubahan bentuk maupun rasa. Nilai marjin tataniaga ini berarti selisih harga yang diterima petani dengan yang dibayar oleh konsumen setiap kilogram cabai merah adalah Rp 11.000. Sedangkan farmer’s share 38,89 persen berarti setiap Rp 100 yang dibayar oleh konsumen akan didistribusikan ke petani sebesar Rp 38,89.

6.5.3 Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya

Indikator lain untuk menentukan efisiensi operasional tataniaga suatu komoditas adalah dengan menghitung rasio keuntungan dan biaya. Rasio keuntungan dan biaya komoditi cabai merah di Desa Cibeureum dapat dilihat pada Tabel 9. Berdasarkan perhitungan pada Tabel 9, maka saluran tataniaga V memberikan keuntungan terbesar yaitu sebesar 5,70 artinya satu rupiah yang dikeluarkan untuk biaya tataniaga cabai merah akan diperoleh hasil sebesar Rp 5,70. Kemudian dilanjutkan oleh saluran tataniaga III, IV, I, dan II. Artinya Indikator lain untuk menentukan efisiensi operasional tataniaga suatu komoditas adalah dengan menghitung rasio keuntungan dan biaya. Rasio keuntungan dan biaya komoditi cabai merah di Desa Cibeureum dapat dilihat pada Tabel 9. Berdasarkan perhitungan pada Tabel 9, maka saluran tataniaga V memberikan keuntungan terbesar yaitu sebesar 5,70 artinya satu rupiah yang dikeluarkan untuk biaya tataniaga cabai merah akan diperoleh hasil sebesar Rp 5,70. Kemudian dilanjutkan oleh saluran tataniaga III, IV, I, dan II. Artinya

Pada intinya analisis efisiensi tataniaga cabai merah ini adalah ingin memberikan alternatif bagi petani dalam memilih saluran tataniaga yang memberikan keuntungan paling besar, sehingga dapat meningkatkan bagian harga yang diterima oleh petani. Tetapi berdasarkan hasil penelitian, saluran tataniaga di tingkat petani cabai merah hanya ada satu yaitu kepada pedagang pengumpul. Karena itu, untuk memberikan alternatif saluran yang memberikan keuntungan bagi petani maka perlu dilakukan skenario saluran tataniaga yang belum dilakukan oleh petani dengan pendekatan marjin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan dan biaya. Skenario ini dibedakan kedalam tiga jenis lembaga tataniaga yang menjadi tujuan penjualan petani, yaitu pedagang grosir, pedagang pengecer I, dan pedagang pengecer II.

6.5.4. Skenario Saluran Tataniaga, Marjin Tataniaga, Farmer’s Share serta Rasio Keuntungan dan Biaya bagi Petani

Petani cabai merah yang tergabung dalam Kelompok Tani Karang Sari di Desa Cibeureum memasarkan semua hasil panennya kepada pedagang pengumpul. Walaupun petani ini sudah tergabung dalam suatu kelompok tani, tetapi peran kelompok tani kurang terlihat dalam masalah pemasaran hasil pertanian. Kemudahan, tidak adanya risiko biaya pengangkutan, dan unsur kepercayaan menjadi alasan bagi pengelola kelompok tani untuk menyalurkan kepada pedagang pengumpul. Seharusnya semua petani yang tergabung dalam Petani cabai merah yang tergabung dalam Kelompok Tani Karang Sari di Desa Cibeureum memasarkan semua hasil panennya kepada pedagang pengumpul. Walaupun petani ini sudah tergabung dalam suatu kelompok tani, tetapi peran kelompok tani kurang terlihat dalam masalah pemasaran hasil pertanian. Kemudahan, tidak adanya risiko biaya pengangkutan, dan unsur kepercayaan menjadi alasan bagi pengelola kelompok tani untuk menyalurkan kepada pedagang pengumpul. Seharusnya semua petani yang tergabung dalam

Alternatif pembentukan koperasi ini berdasarkan teori Nasution (1999) yang menyatakan bahwa kemampuan usaha kecil dapat diberdayakan melalui kegiatan lembaga koperasi. Sesuai dengan azasnya yaitu kebersamaan, mereka secara bersama-sama dapat menjual produk-produk yang dihasilkan, disamping membeli faktor input produksi secara bersama-sama pula. Dalam kebersamaan ini dapat terjadi penguatan kemampuan bersaing, baik dalam hal penawaran maupun permintaan. Dengan kebersamaan seperti itu akan dapat diwujudkan ”economic of scale ” serta ”economic of scope” yang menekan besarnya komponen biaya: biaya transpor, handling fee, atau biaya-biaya lainnya, sehingga dapat dicapai efisiensi teknis dan ekonomis dalam kegiatan usaha anggota.

Skenario saluran tataniaga dan marjin tataniaga ini dilakukan terhadap lembaga tataniaga yang belum pernah dijadikan sasaran penyaluran cabai merah oleh petani, yaitu pedagang grosir, pedagang pengecer I, dan pedagang pengecer

II (Tabel 10). Dengan kata lain, skenario saluran tataniaga ini memberikan alternatif kepada petani untuk menyalurkan selain kepada pedagang pengumpul dengan mengadopsi fungsi dan keberadaan pedagang pengumpul. Skenario alternatif saluran tataniaga ini dapat diupayakan dengan mengoptimalkan peran anggota kelompok tani melalui pembentukan koperasi yang dikelola oleh anggota II (Tabel 10). Dengan kata lain, skenario saluran tataniaga ini memberikan alternatif kepada petani untuk menyalurkan selain kepada pedagang pengumpul dengan mengadopsi fungsi dan keberadaan pedagang pengumpul. Skenario alternatif saluran tataniaga ini dapat diupayakan dengan mengoptimalkan peran anggota kelompok tani melalui pembentukan koperasi yang dikelola oleh anggota

Biaya setiap lembaga tataniaga yang terlibat dalam skenario alternatif saluran tataniaga cabai merah ini diasumsikan berdasarkan biaya yang sama ketika lembaga tataniaga tersebut melakukan transaksi yang sebenarnya. Perbedaan biaya hanya terjadi pada petani. Dalam hal ini biaya tataniaga pada individu petani sama dengan biaya koperasi petani karena koperasi juga dikelola dan dimanfaatkan untuk kepentingan petani sendiri. Pada skenario alternatif saluran tataniaga ini, petani (koperasi petani) menanggung biaya yang biasanya dikeluarkan oleh pedagang pengumpul. Namun, biaya yang dikeluarkan oleh petani ini akan diimbangi dengan harga yang diterima petani lebih tinggi, yaitu sama dengan harga yang diterima pedagang pengumpul dari pedagang grosir.

Penentuan harga juga diasumsikan sama dengan harga yang berlaku dari hasil penelitian serta wawancara dengan petani. Perbedaan harga terjadi pada level petani yaitu berupa harga jual sehingga mempengaruhi harga beli pada setiap lembaga tataniaga yang berhubungan langsung dengan petani. Perbedaan juga akan terlihat dari keuntungan yang diambil oleh setiap lembaga tataniaga.

Berdasarkan Tabel 10, skenario alternatif saluran tataniaga dari petani kepada pedagang grosir dan marjin yang diberikannya ditunjukkan oleh alternatif Berdasarkan Tabel 10, skenario alternatif saluran tataniaga dari petani kepada pedagang grosir dan marjin yang diberikannya ditunjukkan oleh alternatif

IX dan X, serta saluran tataniaga dari petani kepada pedagang pengecer II ditunjukkan oleh saluran tataniaga XI. Pada tingkat petani tidak ada marjin tataniaga karena petani hanya melakukan kegiatan penjualan cabai merah tanpa melakukan pembelian cabai merah yang sudah dapat dikonsumsi baik secara segar maupun olahan.

Tabel 10 Skenario Marjin Tataniaga Cabai Merah pada Setiap Alternatif Saluran Tataniaga Bagi Petani

Saluran VI

VII

VIII

Saluran IX

Saluran X

Saluran XI

Harga (Rp)

Harga (Rp)

Harga (Rp)

Harga (Rp)

Harga (Rp)

Harga (Rp)

Petani

Biaya produksi

4.592,75 4.592,75 4.592,75 4.592,75 Biaya tataniaga

4.592,75

4.592,75

500 500 500 300 300 300 Keuntungan 3.407,25 3.407,25 3.407,25 4.107,25 4.107,25 6.107,25 Harga jual

8.500 8.500 8.500 9.000 9.000 11.000

Pedagang grosir

Harga beli

700 700 700 - - - Keuntungan

- Marjin tataniaga

- - Harga jual

2.500 2.500 5.500

11.000 11.000 14.000

Pedagang pengecer I

- Biaya

Harga beli

1.200 1.200 - 1.700 1.700 - Keuntungan

5.300 7.300 - Marjin tataniaga

5.800 3.800 -

7.000 9.000 Harga jual

Pedagang pengecer II

Harga beli

- 6.500 Marjin tataniaga

- 2.500 3.800 2.500

- 8.000 Harga jual

- 3.000 5.000 3.000

- 19.000 Total Biaya

19.000 19.000 19.000

2.400 2.900 2.400 2.500 2.000 1.800

Total Keuntungan

11.007,25 11.507,25 12.007,25 11.907,25 11.407,25 12.607,25

Total Marjin Tataniaga 9.500 10.500 10.500 10.000 9.000 8.000

Marjin tataniaga terkecil ditunjukkan oleh saluran tataniaga XI, karena merupakan rantai tataniaga terpendek dan pedagang pengecer II langsung

membeli dari petani sehingga mendapatkan harga yang lebih murah, tetapi harga jual yang ditetapkan pedagang pengecer II tetap mengikuti harga pasar. Sedangkan saluran tataniaga yang memberikan marjin tataniaga terbesar terdapat pada saluran tataniaga VII dan VIII. Saluran tataniaga VII merupakan rantai tataniaga terpanjang dan pada setiap lembaga tataniaga yang terlibat mengambil marjin masing-masing. Pada saluran tataniaga VIII, pedagang pengecer II membeli langsung dari pedagang grosir dan mengeluarkan biaya lebih banyak karena jarak yang ditempuh cukup jauh, tetapi memperoleh harga beli yang lebih murah dibandingkan membeli dari pedagang pengecer I sehingga pedagang pengecer II dapat mengambil keuntungan yang lebih besar, karena biaya yang dikeluarkan bisa diimbangi dengan harga jual yang berlaku di pasar.

6.5.4.1 Analisis Skenario Alternatif Marjin Tataniaga Saluran VI

Skenario alternatif marjin tataniaga saluran VI merupakan salah satu alternatif distribusi cabai merah dari petani kepada pedagang grosir. Dalam hal ini petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Karang Sari mengadopsi fungsi pedagang pengumpul sehingga petani mengeluarkan biaya tataniaga. Fungsi petani bertambah dengan adanya proses pengangkutan baik dari tempat panen maupun pengangkutan ke tempat pedagang grosir dan sortasi yang biasanya dilakukan oleh pedagang pengumpul. Marjin tataniaga pada skenario alternatif saluran VI lebih kecil 15,79 persen dari kondisi sebenarnya pada saluran tataniaga

I atau turun sebesar Rp 1.500 per kilogram cabai merah. Sedangkan untuk besarnya biaya tataniaga yang dikeluarkan serta keuntungan yang diambil oleh setiap lembaga tataniaga yang terlibat selain petani adalah sama dengan kondisi yang sebenarnya.

6.5.4.2 Analisis Skenario Alternatif Marjin Tataniaga Saluran VII

Skenario alternatif saluran VII merupakan saluran terpanjang dalam tataniaga skenario saluran cabai merah di Desa Cibeureum. Panjangnya saluran tataniaga menyebabkan marjin total tataniaga relatif besar dibandingkan dengan kelima skenario lainnya. Namun besarnya marjin pada skenario alternatif saluran tataniaga cabai merah ini tidak sebesar pada kondisi sebenarnya. Marjin tataniaga pada skenario saluran VII lebih kecil 14,29 persen dari marjin tataniaga saluran II pada kondisi sebenarnya dengan biaya tataniaga yang dikeluarkan dan keuntungan yang diperoleh sama. Apabila dibandingkan dengan kelima skenario alternatif lainnya, skenario alternatif saluran VII merupakan salah satu saluran yang memberikan marjin tataniaga terbesar. Hal ini terjadi karena banyaknya lembaga tataniaga yang terlibat dan pada setiap lembaga tataniaga mengeluarkan biaya dan mengambil keuntungan masing-masing.

6.5.4.3 Analisis Skenario Alternatif Marjin Tataniaga Saluran VIII

Marjin tataniaga pada skenario saluran VIII lebih kecil 14,29 persen dari marjin tataniaga saluran III pada kondisi sebenarnya dengan biaya tataniaga yang dikeluarkan dan keuntungan yang diperoleh sama. Apabila dibandingkan dengan kelima skenario alternatif lainnya, skenario alternatif saluran VIII merupakan salah satu saluran yang memberikan marjin tataniaga terbesar. Hal ini terjadi karena banyaknya lembaga tataniaga yang terlibat dan pada setiap lembaga tataniaga mengeluarkan biaya dan mengambil keuntungan masing-masing dan pedagang grosir cenderung mengambil keuntungan yang relatif besar untuk setiap kilogram cabai merah karena volume pembelian yang dilakukan oleh pedagang pengecer II relatif sedikit.

6.5.4.4 Analisis Skenario Alternatif Marjin Tataniaga Saluran IX

Pada skenario alternatif saluran tataniaga IX, distribusi cabai merah dari tingkat petani adalah ke tingkat pedagang pengecer I. Petani mengadopsi fungsi pedagang pengumpul berupa pengangkutan dari tempat panen dan sortasi, sedangkan pengangkutan kepada pedagang pengecer I tidak dilakukan karena pedagang pengecer I yang biasanya datang sendiri ke sentra produksi seperti yang terjadi pada kondisi sebenarnya. Marjin tataniaga pada skenario saluran IX lebih kecil 20 persen dari marjin tataniaga saluran IV pada kondisi sebenarnya dengan biaya tataniaga yang dikeluarkan dan keuntungan yang diperoleh sama.

6.5.4.5 Analisis Skenario Alternatif Marjin Tataniaga Saluran X

Skenario alternatif saluran tataniaga X sama dengan skenario saluran IX, yakni penyaluran cabai merah tujuan distribusi petani adalah pedagang pengecer I. Pembeda saluran IX dan X adalah penyaluran dari tingkat pedagang pengecer I ke lembaga selanjutnya. Pada saluran IX, pedagang pengecer I melayani pembelian dari pedagang pengumpul, sedangkan pada saluran X melayani pembelian dari konsumen akhir sehingga keuntungan yang diambil pedagang pengecer I pada kedua saluran berberda. Walaupun demikian, keuntungan total pada kedua saluran tetap sama. Marjin tataniaga pada skenario saluran X lebih kecil 22,22 persen dari marjin tataniaga saluran V pada kondisi sebenarnya dengan biaya tataniaga yang dikeluarkan dan keuntungan yang diperoleh sama.

6.5.4.6 Analisis Skenario Alternatif Marjin Tataniaga Saluran XI

Skenario alternatif saluran ini merupakan saluran baru yang direkomendasikan yaitu penyaluran barang kepada pedagang pengecer II. Hal ini dikatakan baru karena pada kondisi sebenarnya, pedagang pengumpul tidak Skenario alternatif saluran ini merupakan saluran baru yang direkomendasikan yaitu penyaluran barang kepada pedagang pengecer II. Hal ini dikatakan baru karena pada kondisi sebenarnya, pedagang pengumpul tidak

Marjin tataniaga yang diberikan pada skenario saluran XI ini merupakan marjin tataniaga terkecil apabila dibandingkan dengan kelima skenario alternatif saluran tataniaga yang direkomendasikan sebelumnya. Marjin tataniaga yang ada pada saluran ini lebih kecil 12,5 persen dari skenario alternatif saluran X yang memberikan marjin tataniaga yang relatif kecil juga. Nilai marjin yang relatif kecil lembaga tataniaga yang terlibat relatif sedikit.

Skenario alternatif saluran tataniaga cabai merah di Desa Cibeureum, memiliki kelebihan dan kelemahan pada masing-masing saluran tataniaga. Skenario saluran VI memiliki marjin lebih kecil dibandingkan skenario saluran

VII, VIII, dan IX, yaitu sebesar Rp 9.500 serta biaya yang relatif kecil dibandingkan saluran VII dan IX, yaitu sebesar Rp 2.400, tetapi total keuntungannya juga paling kecil, yaitu sebesar Rp 11.007,25. Saluran VII cenderung menunjukkan kelemahannya, yaitu memiliki total marjin yang paling besar, yaitu sebesar Rp 10.500 dan biaya tataniaga yang dikeluarkan juga paling besar, yaitu Rp 2.900 dibandingkan saluran lainnya, tetapi total keuntungan yang diperoleh relatif sedikit dibandingkan saluran VIII, IX, dan XI yaitu Rp 11.507,25.

Skenario saluran VIII memiliki marjin paling besar yaitu sama dengan skenario saluran VII sebesar Rp 10.500, tetapi total keuntungan yang diperoleh Skenario saluran VIII memiliki marjin paling besar yaitu sama dengan skenario saluran VII sebesar Rp 10.500, tetapi total keuntungan yang diperoleh

Skenario saluran X menunjukkan marjin tataniaga paling kecil dibandingkan skenario saluran VI, VII, VIII, dan IX, yaitu sebesar Rp 9.000. Kecilnya marjin juga diimbangi dengan sedikitnya biaya tataniaga yang dikeluarkan, yaitu sebesar Rp 2.000. Tetapi keuntungan yang diperoleh relatif kecil bila dibandingkan dengan saluran VII, VIII, IX, dan XI yaitu sebesar Rp 11.407,25. Marjin terkecil dari keenam skenario saluran tataniaga cabai merah berada pada skenario saluran XI, yaitu sebesar Rp 8.000 dan memiliki keuntungan terbesar yaitu sebesar Rp 12.607,25. Kelemahan dari skenario saluran XI ini adalah permintaan konsumen atau masyarakat lokal relatif sedikit karena hanya digunakan untuk keperluan konsumsi sehari-hari tanpa adanya pengolahan yang dapat meningkatkan nilai tambah sehingga hasil panen petani tidak dapat didistribusikan semuanya. Oleh sebab itu, petani harus mempertimbangkan saluran lainnya yang memberikan keuntungan yang paling besar sehigga hasil panen petani dapat didistribusikan semuanya.

Berdasarkan analisis skenario alternatif saluran tataniaga dengan pendekatan marjin tataniaga, saluran tataniaga cabai merah yang paling efisien adalah saluran X dan XI yang memberikan marjin tataniaga paling kecil.

Walaupun melayani pedagang pengecer I dan pedagang pengecer II bukan berarti petani tidak menyalurkan kepada pedagang grosir. Hal ini dikarenakan volume pembelian dari kedua jenis pedagang pengecer tersebut relatif lebih sedikit dibandingkan dengan pedagang grosir. Pedagang grosir harus tetap dijadikan tujuan distribusi utama petani karena volume pembelian yang dilakukannya relatif besar sehingga semua hasil panen petani dapat disalurkan.

Skenario alternatif saluran tataniaga cabai merah bagi petani di Desa Cibeureum tidak hanya memberikan perubahan terhadap besarnya marjin tataniaga, tetapi juga terhadap bagian harga yang diterima oleh petani (farmer’s share ), dan rasio keuntungan dan biaya (Tabel 11).

Tabel 11 Skenario Persentase Biaya Tataniaga, Keuntungan, Marjin

Tataniaga, Rasio Keuntungan terhadap Biaya Tataniaga ( π/c)

Cabai Merah di Desa Cibeureum pada Bulan Maret 2008

Uraian Saluran VI

Saluran VII Saluran VIII

Saluran IX

Saluran X Saluran XI

Biaya (c) 2.400

Rasio π/c 4,59

5,70 7,00 Farmer’s

Bagian harga terkecil yang diterima oleh petani terdapat pada skenario alternatif tataniaga VII dan VIII. Sedangkan bagian harga terbesar yang diterima oleh petani terdapat pada skenario alternatif tataniaga XI.. Sedangkan rasio keuntungan dan biaya pada skenario alternatif saluran tataniaga ini memberikan nilai yang sama dengan rasio keuntungan dan biaya pada perhitungan pertama, kecuali pada saluran tataniaga XI yang merupakan saluran tataniaga baru memberikan rasio keuntungan dan biaya yang paling besar.

Berdasarkan skenario alternatif saluran tataniaga cabai merah di Desa Cibeureum, sebaiknya Kelompok Tani Karang Sari melalui koperasi petani mencoba memasarkan hasil pertaniannya tidak hanya kepada pedagang pengumpul, tetapi kepada pedagang grosir dan pedagang pengecer I dan kecil. Koperasi petani sebaiknya melayani pembelian dari pedagang pengecer II, walaupun jumlahnya relatif sedikit, disertai dengan penyaluran kepada pedagang pengecer I.

Alternatif lain adalah penyaluran kepada pedagang grosir untuk jumlah yang relatif banyak. Koperasi petani atas dukungan pemerintah diharapkan dapat menjalin kerjasama dengan pedagang grosir karena biasanya kerjasama yang terjalin berupa sistem kontrak. Dukungan pemerintah diperlukan agar pedagang grosir mau bekerjasama dengan koperasi petani ini. Petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Karang Sari ini sebaiknya mencoba untuk berani mengambil risiko berupa risiko biaya pengangkutan yang biasa diambil alih oleh pedagang pengumpul. Kelompok Tani Karang Sari harus lebih memfokuskan pada penanganan pasca panen, yaitu berupa sortasi dan grading serta proses pendistribusian barang hingga sampai ke konsumen akhir. Selain itu, untuk mengatasi masalah biaya tataniaga, kelompok tani ini dapat mengadaptasi peran koperasi. Kelompok tani tidak hanya fokus pada masalah budidaya tetapi juga dalam pembiayaan pertanian serta penanganan pasca panen untuk meningkatkan nilai tambah. Latar belakang pendidikan petani yang relatif cukup tinggi dan ada sebagian petani yang memiliki pekerjaan lain di luar bertani merupakan salah satu modal untuk meningkatkan fungsi dari Kelompok Tani Karang Sari ini.

6.5.5 Keterpaduan Pasar

Indikator untuk mengetahui tingkat efsiensi harga dalam suatu tataniaga dapat diukur dengan analisis keterpaduan pasar. Keterpaduan pasar dapat melihat pengaruh pembentukan harga pada suatu pasar dengan pasar lainnya dapat diketahui melalui analisis keterpaduan pasar. Selain itu, melalui analisis ini dapat diketahui apakah suatu sistem pasar telah bekerja secara efisien atau pasar yang telah terintegrasi secara sempurna. Pada penelitian ini akan dibahas keterpaduan pasar antara tingkat petani di Desa Cibeureum dengan Pasar Induk Caringin di Bandung. Pemilihan Pasar Induk Caringin sebagai pasar acuan didasarkan pada pertimbangan bahwa sebagian besar tataniaga cabai merah disalurkan melalui Pasar Induk Caringin Bandung oleh pedagang pengumpul yang langsung memperoleh cabai merah dari petani, yaitu sebesar 70 persen. Pasar Induk Caringin merupakan penentu harga cabai merah dalam tataniaga cabai merah ini. Harga yang diperoleh pedagang pengumpul dari pedagang grosir akan dilanjutkan ke tingkat petani setelah disesuaikan dengan marjin yang diambil oleh pedagang pengumpul.

Data yang digunakan adalah data harga rata-rata mingguan cabai merah di tingkat petani Desa Cibeureum dan tingkat harga di Pasar Induk Caringin Bandung Januari 2007 hingga minggu pertama Maret 2008. Harga rata-rata mingguan cabai merah dari kedua pasar tersebut dapat dilihat dalam Lampiran 4. Pengolahan data dianalisis dengan menggunakan model Indeks of Market Connection (IMC) melalui pendekatan model Autoregressive Distributed Lag yang diduga dengan Metode Kuadrat Terkecil Biasa (Ordinary Least Square, OLS). Hasil estimasi persamaan regresi keterpaduan pasar pada tingkat petani di

Desa Cibeureum dengan Pasar Induk Caringin Bandung dapat dilihat pada Lampiran 5, sedangkan hasil analisis regresi integrasi pasar dapat dilihat pada tabel koefisien regresi integrasi pasar antara pasar di tingkat petani dengan Pasar Induk Caringin di Bandung untuk komoditi cabai merah (Tabel 12).

Tabel 12 Koefisien Regresi Integrasi Pasar antara Pasar di Tingkat Petani dengan Pasar Induk Caringin di Bandung untuk Komoditi Cabai Merah

Pasar Pasar

Variabel Bebas

R 2 Lokal

Pjt - 1 Pasar Induk

Pjt - Pjt-1

Keterangan: b 1 = Pt – 1

b 2 = Pjt – Pjt-1

b 3 = Pjt-1 ( ) = t-hitung

Hasil estimasi parameter koefisien b 1 adalah sebesar 0,527, artinya peningkatan harga di tingkat petani pada minggu sebelumnya sebesar Rp 100 per

kilogram, ceteris paribus, akan meningkatkan harga di tingkat petani pada bulan tertentu sebesar Rp 52,7 per kilogram. Nilai tersebut menunjukkan bahwa harga pada minggu lalu di pasar lokal berpengaruh terhadap penentuan harga pada minggu ini di pasar lokal sebesar 52,7 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pedagang juga melakukan perkiraan terhadap harga yang akan terjadi selanjutnya dengan melihat harga pada minggu lalu.

Nilai koefisien b 2 sebesar 0,275 yang menunjukkan bahwa peningkatan perubahan harga di pasar acuan, Pasar Caringin di Bandung sebesar 100 persen, Nilai koefisien b 2 sebesar 0,275 yang menunjukkan bahwa peningkatan perubahan harga di pasar acuan, Pasar Caringin di Bandung sebesar 100 persen,

Nilai b 2 yang relatif kecil menunjukkan bahwa perubahan harga yang ditransmisikan pada harga di pasar lokal juga relatif kecil, sedangkan keseimbangan jangka panjang sempurna ditunjukkan oleh nilai b 2 = 1. Semakin dekat nilai parameter dugaan b 2 dengan satu, maka keterpaduan jangka panjang akan semakin baik. Nilai b 2 = 1 juga dapat diartikan bahwa pasar berada dalam kondisi persaingan sempurna, sedangkan apabila nilai b 2 kurang dari satu menunjukkan pasar dalam kondisi tidak bersaing sempurna. Namun, apabila nilai

b 2 lebih besar dari satu maka perubahan harga pada pasar acuan akan sangat berpengaruh terhadap pembentukan harga di pasar lokal. Dengan kata lain, akan

terjadi keterpaduan jangka panjang antara harga di pasar acuan dengan harga di pasar lokal. Pasar cabai merah di Desa Cibeureum berada pada kondisi tidak

bersaing sempurna karena memiliki nilai b 2 yang relatif kecil. Parameter dugaan untuk nilai koefisien b 3 sebesar 0,239 lebih kecil dibandingkan dengan nilai b 1 . Nilai koefisien b 3 tersebut menunjukkan bahwa setiap perubahan harga minggu lalu di tingkat konsumen sebesar Rp 100, hanya

akan diteruskan ke petani sebesar Rp 23,9. Dengan kata lain, harga minggu lalu di pasar acuan (Pasar Induk Caringin di Bandung) akan berpengaruh sebesar 23,9 persen terhadap pasar lokal (pasar di tingkat petani cabai merah Desa Cibeureum). Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan jarak pasar acuan dengan pasar lokal memberikan pengaruh terhadap besar kecilnya perubahan harga minggu lalu di akan diteruskan ke petani sebesar Rp 23,9. Dengan kata lain, harga minggu lalu di pasar acuan (Pasar Induk Caringin di Bandung) akan berpengaruh sebesar 23,9 persen terhadap pasar lokal (pasar di tingkat petani cabai merah Desa Cibeureum). Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan jarak pasar acuan dengan pasar lokal memberikan pengaruh terhadap besar kecilnya perubahan harga minggu lalu di

Berdasarkan hipotesis uji-t, maka dapat diukur tingkat keterpaduan jangka pendek dan jangka panjang. Hipotesis uji-t untuk koefisien b 1 memiliki t-hitung

lebih besar dari t-tabel, sehingga hipotesis nol ditolak pada taraf lima persen. Artinya tidak terdapat keterpaduan jangka pendek antar perubahan harga di pasar acuan, yaitu Pasar Induk Caringin Bandung dengan perubahan harga di pasar lokal, yaitu di tingkat petani cabai merah Desa Cibeureum. Indikator keterpaduan jangka pendek dapat dilihat dari nilai IMC. Berdasarkan hasil analisis keterpaduan pasar dalam Tabel 13 menunjukkan bahwa nilai IMC sebesar 2,205, artinya bahwa tidak terjadinya keterpaduan pasar karena nilai IMC lebih besar dari satu. Keterpaduan jangka pendek akan terjadi apabila memiliki nilai IMC lebih kecil dari satu.

Berdasarkan uji-t untuk melihat keterpaduan jangka panjang dengan melihat indikator dari variabel bebas b 2 menunjukkan bahwa hipotesis nol ditolak karena nilai |t|-hitung lebih besar dari |t|-tabel pada taraf lima persen. Hal ini menunjukkan bahwa harga di pasar lokal tidak terpadu dengan harga di pasar acuan dalam jangka panjang. Selain itu, indikator tidak adanya keterpaduan

jangka panjang dapat dilihat dari nilai koefisien b 2 yang lebih kecil dari satu, yaitu sebesar 0,275. Keterpaduan jangka panjang akan terjadi apabila nilai koefisien b 2 lebih besar dari satu. Uji F-hitung digunakan untuk uji hipotesis secara bersama-sama yang

menunjukkan bahwa sekurang-kurangnya ada satu dari peubah bebas pada menunjukkan bahwa sekurang-kurangnya ada satu dari peubah bebas pada

Tabel 13 Hasil Analisis Keterpaduan Pasar antara Petani Cabai Merah Desa Cibeureum dengan Pasar Induk Caringin Bandung pada Maret 2008

t-hitung Pasar

(jangka t-tabel VIF Lokal

pendek) panjang) Pasar Induk

Petani 2,205 87,26 1,83043 6,80* 17,48* 1,645 < 10 Caringin

Bandung Keterangan: * signifikan pada taraf lima persen.

Berdasarkan hasil analisis keterpaduan pasar melalui pendekatan analisis harga di tingkat petani yang berperan sebagai pasar lokal selaku pengikut harga dan tingkat pedagang grosir yang berperan sebagai pasar acuan selaku penentu harga, dapat diketahui bahwa pasar di tingkat petani cabai merah Desa Cibeureum dengan Pasar Induk Caringin di Bandung tidak terpadu baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Artinya perubahan harga di Pasar Induk Caringin sebagai pasar acuan tidak sampai kepada pasar di tingkat petani. Hal ini menunjukkan sistem tataniaga cabai merah di lokasi penelitian belum efisien.