bisnis dalam pengembangan

EFISIENSI TATANIAGA CABAI MERAH (STUDI KASUS DESA CIBEUREUM, KECAMATAN SUKAMANTRI, KABUPATEN CIAMIS, PROVINSI JAWA BARAT) OLEH : MEDINA RACHMA A14104056 PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Katakanlah, “Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk menulis Kalimat- kalimat Tuhan-ku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) Kalimat- kalimat Tuhan-ku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu” (Q.S. Maryam: 109)

Kupersembahkan karya ini untuk Keluargaku tercinta, Mama, Bapak, Ade-adeQu, Ma Nini, Pak Aki, dan AangQu terimakasih atas segala cinta dan kasih yang telah kalian beri

RINGKASAN

MEDINA RACHMA, Efisiensi

Cabai Merah (Studi Kasus Desa Cibeureum, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat) di bawah bimbingan FEBRIANTINA DEWI.

Tataniaga

Komoditas cabai merah saat ini merupakan salah satu komoditas andalan petani sayuran di Indonesia karena dapat ditanam pada berbagai lahan, tidak mengenal musim tanam, dapat dijual dalam bentuk segar maupun olahan, serta mempunyai nilai sosial ekonomi yang tinggi (Sugiarti, 2003). Seiring dengan berkembangnya industri pangan nasional, cabai merupakan salah satu bahan baku yang dibutuhkan secara berkesinambungan. Cabai merah merupakan bahan pangan yang dikonsumsi setiap saat dan tidak dapat disubstitusi, maka cabai merah akan terus dibutuhkan dengan jumlah yang semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan perekonomian nasional.

Jawa Barat merupakan salah satu provinsi penghasil tanaman hortikultura terbesar di Indonesia, diantaranya cabai merah. Kabupaten Ciamis bagian utara termasuk dalam daerah andalan pertanian hortikultura di Jawa Barat, terutama untuk komoditas cabai merah. Desa Cibeureum, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten Ciamis bagian dari Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi cabai merah di Kabupaten Ciamis. Selain itu, Desa Cibeureum merupakan daerah yang dibidik oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Agro Provinsi Jawa Barat untuk dijadikan kawasan agropolitan serta proyek pembangunan pasar agro.

Selama ini petani cabai merah di Desa Cibeureum menyalurkan hasil panennya kepada pedagang pengumpul dan hanya terdapat satu pedagang pengumpul sehingga petani tidak mempunyai alternatif lain untuk dapat meningkatkan posisi tawarnya. Kondisi seperti ini menyebabkan petani berada pada posisi yang lemah. Lemahnya posisi petani juga ditunjang dengan sistem jual beli kepada pedagang pengumpul menggunakan sistem nota penjualan, sehingga menyebabkan adanya lag waktu antara penjualan dengan pembayarannya. Sistem nota penjualan ini terjadi pula di tingkat pedagang pengumpul dengan pedagang grosir.

Pendekatan yang dilakukan untuk menjawab permasalahan efisiensi tataniaga cabai merah dilakukan melalui analisis deskriptif terhadap analisis saluran, lembaga, dan fungsi tataniaga, analisis struktur dan perilaku pasar. Selain itu, analisis secara kuantitatif juga dilakukan melalui pendekatan marjin tataniaga, farmer’s share , rasio keuntungan dan biaya serta analisis harga untuk mengetahui tingkat keterpaduan pasar. Berdasarkan semua pendekatan tersebut dapat diketahui alternatif tataniaga yang paling efisien sehingga pasar dapat terintegrasi secara sempurna.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat lima jenis saluran tataniaga cabai merah di Desa Cibeureum. Saluran tataniaga I terdiri dari pedagang pengumpul, pedagang grosir, dan pedagang pengecer II. Saluran tataniaga II terdiri dari pedagang pengumpul, pedagang gosir, pedagang pengecer I, dan pedagang pengecer II. Saluran tataniaga III terdiri dari pedagang pengumpul, Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat lima jenis saluran tataniaga cabai merah di Desa Cibeureum. Saluran tataniaga I terdiri dari pedagang pengumpul, pedagang grosir, dan pedagang pengecer II. Saluran tataniaga II terdiri dari pedagang pengumpul, pedagang gosir, pedagang pengecer I, dan pedagang pengecer II. Saluran tataniaga III terdiri dari pedagang pengumpul,

Setiap lembaga tataniaga terlibat memiliki fungsi tataniaga masing- masing. Fungsi tataniaga bertujuan untuk memperlancar penyaluran hasil panen dari petani ke konsumen akhir. Struktur pasar yang terjadi dalam tataniaga cabai merah di Desa Cibeureum adalah monopsoni karena hanya ada satu pedagang pengumpul yang menampung langsung keseluruhan hasil pertanian cabai merah dari petani di Desa Cibeureum dan beberapa penjual di setiap tingkat lembaga tataniaga lainnya. Analisis perilaku pasar menunjukkan bahwa terjadi transaksi dengan nota penjualan antara petani, pedagang pengumpul, dan pedagang grosir. Sedangkan transaksi antara pedagang grosir, pedagang pengecer I, dan pedagang pengecer II adalah secara tunai. Lembaga penentu harga cabai merah adalah pedagang grosir.

Hasil analisis marjin tataniaga menunjukkan marjin terbesar terdapat pada saluran II, III, dan IV, sedangkan marjin terkecil terdapat pada saluran I dan V. Secara operasional dari kelima saluran tataniaga cabai merah yang ada, saluran V merupakan saluran tataniaga yang paling efisien. Hal ini terlihat dari marjin tataniaga yang rendah, farmer’s share serta rasio keuntungan dan biaya yang paling tinggi. Pada intinya analisis efisiensi tataniaga cabai merah ini adalah ingin memberikan alternatif bagi petani dalam memilih saluran tataniaga yang memberikan keuntungan paling besar, sehingga dapat meningkatkan bagian harga yang diterima oleh petani. Tetapi berdasarkan hasil penelitian, saluran tataniaga di tingkat petani cabai merah hanya ada satu yaitu kepada pedagang pengumpul. Karena itu, untuk memberikan alternatif saluran yang memberikan keuntungan bagi petani maka perlu dilakukan skenario saluran tataniaga yang belum dilakukan oleh petani dengan pendekatan marjin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan dan biaya.

Berdasarkan analisis skenario alternatif saluran tataniaga dengan pendekatan marjin tataniaga, saluran tataniaga cabai merah yang paling efisien adalah saluran X dan XI yang memberikan marjin tataniaga paling kecil. Walaupun melayani pedagang pengecer I dan pedagang pengecer II bukan berarti petani tidak menyalurkan kepada pedagang grosir. Hal ini dikarenakan volume pembelian dari kedua jenis pedagang pengecer tersebut relatif lebih sedikit dibandingkan dengan pedagang grosir. Pedagang grosir harus tetap dijadikan tujuan distribusi utama petani karena volume pembelian yang dilakukannya relatif besar sehingga semua hasil panen petani dapat disalurkan.

Analisis keterpaduan pasar menunjukkan nilai IMC > 1, yaitu sebesar 2,205 artinya tidak ada keterpaduan jangka pendek dan nilai koefisien b 2 memiliki nilai < 1, yaitu sebesar 0,275 menunjukkan tidak ada keterpaduan jangka panjang. Hal ini menunjukkan bahwa struktur pasar yang terjadi dalam tataniaga cabai merah ini adalah tidak bersaing sempurna. Persaingan yang tidak sempurna dalam tataniaga cabai merah ini menunjukkan bahwa sistem tataniaga cabai merah di lokasi penelitian belum efisien.

EFISIENSI TATANIAGA CABAI MERAH (STUDI KASUS DESA CIBEUREUM, KECAMATAN SUKAMANTRI, KABUPATEN CIAMIS, PROVINSI JAWA BARAT) OLEH : MEDINA RACHMA

A14104056

SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat Kelulusan Pada Program Sarjana Program Studi Manajemen Agribisnis Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Judul : EFISIENSI TATANIAGA CABAI MERAH (Studi Kasus Desa Cibeureum, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat)

Nama : Medina Rachma NRP : A14104056

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Febriantina Dewi, SE, M.Sc. NIP. 132 149 312

Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr. NIP. 131 124 019

Tanggal Lulus:

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “EFISIENSI TATANIAGA CABAI MERAH (STUDI KASUS DESA CIBEUREUM, KECAMATAN SUKAMANTRI, KABUPATEN CIAMIS, PROVINSI JAWA BARAT)” BENAR-BENAR MERUPAKAN HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA SUATU PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN

BOGOR, MEI 2008 MEDINA RACHMA NRP A14104056

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ciamis pada tanggal 24 Juni 1986. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak Nanang Rohayat dan Ibu Maesaroh. Penulis memulai sekolah tahun 1991 pada tingkat Taman Kanak-Kanak di TK Mawar, Ciamis selesai pada tahun 1992. Penulis melanjutkan pendidikan ke tingkat Sekolah Dasar di SD Negeri 1 Sukakerta, Ciamis pada tahun 1992 dan lulus tahun 1998. Pendidikan Sekolah Menengah Pertama dapat diselesaikan pada tahun 2001 di SMP Negeri I Panumbangan, Ciamis. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan tingkat Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Cihaurbeuti, Ciamis. Tahun 2004 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Cihaurbeuti dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi S1 di Program Studi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif mengikuti beberapa organisasi kemahasiswaan. Penulis menjabat sebagai staf usaha bagian keuangan unit usaha GREENCO periode 2006-2007 di KOPMA IPB dan anggota Biro Pengabdian Masyarakat Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi (MISETA) periode 2007-2008. Penulis merupakan salah satu penerima beasiswa Tanoto Foundation dari semester 5 hingga semester 8. Disamping kegiatan perkuliahan, penulis tergabung sebagai staf pengajar kimia tingkat SMA di Lembaga Pendidikan Sentral Edukatif, Bogor mulai Desember 2006 hingga Februari 2008. Prsetasi yang pernah dimiliki oleh penulis, yaitu Finalis Lomba Karya Tulis Ilmiah Bidang Seni Tingkat Nasional dengan judul ” Strategi Melestarikan Seni Karawitan Sunda pada Pelajar SMA di Kota Bogor” dan Finalis Kompetisi

Pemikiran Kritis Mahasiswa Tingkat Nasional dengan judul ” Analisis Permasalahan Banjir Dengan Konsep Megapolitan Sebagai Alternatif Solusi (Studi Kasus Kota Bogor)”.

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan judul “Efisiensi Tataniaga Cabai Merah (Studi Kasus Desa Cibeureum, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat)”.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efisiensi tataniaga dan memberikan alternatif skenario saluran tataniaga yang memberikan keuntungan paling besar bagi petani yang dilihat dari nilai marjin tataniaga, farmer’s share, rasio keuntungan dan biaya, serta tingkat keterpaduan pasar dalam tataniaga cabai merah di Desa Cibeureum, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten Ciamis dan seluruh pihak yang berkepentingan. Penulis berharap penelitian yang dilakukan dapat diterima dan bermanfaat bagi dunia ilmu pengetahuan dan pihak lain yang berkepentingan.

Bogor, Mei 2008

Penulis

UCAPAN TERIMA KASIH

Dalam penulisan skripsi ini, penulis telah mendapatkan sumbangan pikiran, bimbingan, dukungan serta dorongan dari berbagai pihak. Karena itu, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada:

1. Febriantina Dewi, SE, M.Sc. selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, menuntun, mengarahkan, dan membimbing penulis dengan sabar sejak awal hingga selesainya penulisan skripsi ini.

2. Dr. Ir. Rita Nurmalina, M.S. selaku dosen penguji utama yang telah memberikan masukan koreksi dan saran bagi penulis.

3. Etriya, SP, M.M. selaku dosen penguji dari komisi pendidikan atas masukan dan kesediaan waktunya untuk berdiskusi dengan penulis.

4. Ibu Maesaroh dan Bapak Nanang Rohayat selaku orang tua tercinta yang senantiasa memberikan kasih sayang, doa dan dukungannya serta adik- adiku tersayang Aliefiya dan Raihan yang telah memberikan semangat selama ini.

5. Dede Iim Setiawan, S.T. sebagai sumber inspirasi yang telah berbagi kesabaran, kesetiaan, motivasi serta memberikan curahan kasih sayangnya.

6. Bapak Pipin selaku ketua Kelompok Tani Karang Sari atas kerjasamanya.

7. Bapak Iya Sugiya selaku Kabid Perdagangan Dalam Negeri Dinas Perindustrian dan Perdagangan Agro Jawa Barat yang telah berbaik hati untuk menjadi mitra diskusi.

8. Bapak Yasin selaku Kabid Hortikultura Dinas Pertanian Tanaman Pangan atas informasi serta kesediaannya untuk berdiskusi.

9. Mba Dewi dan Mba Dian yang telah memberikan kemudahan dalam administrasi.

10. Sahabat-sahabatku R.Irsan, Sri Maryati, Sri W.L, Melly, Nia, Kak Feryanto, Taufik, Doni yang telah berbagi keceriaan, kebersamaan, dukungan, dan masukannya kepada penulis.

11. Teman-teman Harmony I Widya, Mita, Brigtha, Pungki, Nisa, Niken, Prima, Roisah, Alda, Resti, Endah, Ninon, Zissalwa, Enti, Vera atas kebersamaannya.

12. Dinna Sabriani yang telah bersedia menjadi pembahas dalam seminar saya.

13. Teman-teman seperjuangan, Wahid, Dini, Biblio yang telah berbagi semangat, suka, dan duka serta atas kebersamaannya selama penyusunan karya tulis.

14. Teman-teman seperjuangan KKP Jalancagak, Subang (Yuddy, Imadh, Yuli, Risa, Sita, Agus) atas kekompakan serta pengertiannya.

15. Dita, Dhania dan Klory atas kepedulian dan kebersamaannya.

16. Dian Kristiyani atas masukan dan motivasinya.

17. AGEBER’S 41 atas kebersamaannya selama ini dan memberikan banyak kenagan yang tak kan terlupakan.

6.5.3. Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya............................................ 83

6.5.4. Skenario Saluran Tataniaga, Marjin Tataniaga, Farmer’s Share serta Rasio Keuntungan dan Biaya .................................................. 84

6.5.4.1. Analisis Skenario Alternatif Marjin Tataniaga Saluran VI.... 88

6.5.4.2. Analisis Skenario Alternatif Marjin Tataniaga Saluran VII .. 89

6.5.4.3. Analisis Skenario Alternatif Marjin Tataniaga Saluran VIII . 89

6.5.4.4. Analisis Skenario Alternatif Marjin Tataniaga Saluran IX.... 90

6.5.4.5. Analisis Skenario Alternatif Marjin Tataniaga Saluran X ..... 90

6.5.4.6. Analisis Skenario Alternatif Marjin Tataniaga Saluran XI.... 90

6.5.5. Keterpaduan Pasar........................................................................... 95

VII KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. Kesimpulan ......................................................................................... 100

7.2. Saran.................................................................................................... 101 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 102

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1 Produksi Nasional Komoditas Cabai Merah Besar (Ton).......................... 2

2 Karakteristik Struktur Pasar ....................................................................... 20

3 Tingkat Pendidikan Petani Responden....................................................... 43

5 Pengalaman Berdagang dan Bentuk Usaha dari Masing-Masing Jenis Pedagang yang Terlibat dalam Tataniaga Cabai Merah Desa Cibeureum .................................................. 45

Luas Lahan Cabai Merah di Tingkat Petani Responden............................ 44

6 2 Biaya Produksi Cabai Merah per 1.000 m (1.000 Kg) Selama Satu Masa Tanam (MST) di Desa Cibeureum .......................................... 49

7 Fungsi-Fungsi Tataniaga pada Setiap Saluran tataniaga Cabai Merah di Desa Cibeureum.................................................................................... 54

8 Analisis Marjin Tataniaga Cabai Merah di Desa Cibeureum ................... 75

9 Persentase Biaya Tataniaga, Keuntungan, Marjin Tataniaga, Rasio Keuntungan terhadap Biaya Tataniaga ( π/c) Cabai Merah di Desa Cibeureum pada Bulan Maret 2008 .......................................................... 83

10 Skenario Marjin Tataniaga Cabai Merah pada Setiap Alternatif Saluran Tataniaga Bagi Petani .................................................................. 87

11 Skenario Persentase Biaya Tataniaga, Keuntungan, Marjin Tataniaga, Rasio Keuntungan terhadap Biaya Tataniaga ( π/c) Cabai Merah di Desa Cibeureum pada Bulan Maret 2008 ................................................. 93

12 Koefisien Regresi Integrasi Pasar antara Pasar di Tingkat Petani dengan Pasar Induk Caringin di Bandung untuk Komoditi Cabai Merah ............. 96

13 Hasil Analisis Keterpaduan Pasar antara Petani Cabai Merah Desa Cibeureum dengan Pasar Induk Caringin Bandung pada Maret 2008...... 99

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1 Produksi Cabai Merah Provinsi Jawa Barat Periode 2003-2006 ............... 3

2 Contoh Saluran Tataniaga dengan Beberapa Tingkat................................ 15

3 Proses Terjadinya Marjin dan Nilai Marjin Tataniaga............................... 23

4 Kerangka Pemikiran Operasional Efisiensi dan Keterpaduan Pasar Tataniaga Cabai Merah .............................................................................. 28

5 Skema Saluran Tataniaga Cabai Merah dari Produsen Hingga Konsumen Akhir ........................................................... 51

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1 Peta Lokasi Penelitian ............................................................................. 104

2 Biaya Rata-Rata Tataniaga Cabai Merah di Desa Cibeureum pada Setiap Lembaga Tataniaga yang Terlibat................................................ 105

3 Skenario Biaya Rata-Rata Tataniaga Cabai Merah di Desa Cibeureum pada Setiap Lembaga Tataniaga yang Terlibat ....................................... 110

4 Harga Rata-rata Mingguan Cabai Merah di Pasar Lokal (Tingkat Petani)

dan Pasar Acuan (Tingkat Pedagang Grosir) .......................................... 116

5 Persamaan Regresi Keterpaduan Pasar Tingkat Petani Cabai Merah di Desa Cibeureum dengan Pasar Induk Caringin di Bandung............... 117

6 Pengujian Keterpaduan Pasar Jangka Pendek dan Jangka Panjang antara Tingkat Petani di Desa Cibeureum dengan Pasar Induk Caringin di Bandung ........................................................... 118

7 Kuisioner Penelitian untuk Responden Petani ........................................ 119

8 Kuisioner Penelitian untuk Responden Pedagang .................................. 121

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tanaman hortikultura merupakan salah satu tanaman yang menunjang pemenuhan gizi mayarakat sebagai sumber vitamin, mineral, protein, dan karbohidrat (Sugiarti, 2003). Produksi hortikultura yaitu sayuran dan buah-buahan menyumbang pertumbuhan sektor pertanian nasional masing-masing sebanyak 3,1 juta ton dan 2,6 juta ton (Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat, 2006). Hortikultura merupakan komoditas pertanian khas tropis yang potensial untuk dikembangkan di Indonesia dan memiliki prospek yang cerah di masa mendatang sekaligus sebagai sumber perolehan devisa bagi Indonesia. Nilai ekspor hortikultura pada bulan Februari 2007 mengalami peningkatan sebesar 34,46 persen dari bulan Januari 2007 (Departemen Pertanian, 2007). Hal ini didukung oleh pendapat Rachman, Supriyati, dan Saptana (2001) bahwa permintaan pasar domestik maupun pasar internasional terhadap komoditas hortikultura di masa mendatang diperkirakan akan meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan tingkat pendapatan.

Jawa Barat merupakan salah satu provinsi penghasil tanaman hortikultura terbesar di Indonesia, diantaranya cabai merah. Berdasarkan data dari Departemen Pertanian Tahun 2007, produksi cabai merah Provinsi Jawa Barat dari tahun 2003 hingga 2006 memberikan kontribusi yang paling besar terhadap produksi cabai merah nasional (Tabel 1). Produksinya mampu memenuhi kebutuhan masyarakat

Jawa Barat, selebihnya luar Jawa Barat, terutama DKI Jakarta (Dinas Perindustrian dan Perdagangan Agro Provinsi Jawa Barat, 2006).

Tabel 1 Produksi Nasional Komoditas Cabai Merah Besar

Produksi (Ton) Lokasi

Nanggroe Aceh Darussalam

31.791 43.978 Sumatera Utara

30.913

30.389

93.003 107.673 Sumatera Barat

18.526 17.838 Sumatera Selatan

12.545 15.724 Bangka Belitung

8.123

11.020

893 1.501 Riau Kepulauan

513

1.728

0 0 0 563 Daerah Khusus Ibukota Jakarta

Jawa Barat

98.930 124.438 Daerah Istimewa Yogyakarta

Jawa Tengah

97.243

111.623

18.081 12.298 Jawa Timur

7.680 8.965 Nusa Tenggara Barat

16.289

9.048

1.867 2.697 Nusa Tenggara Timur

2.179

3.904

1.067 1.665 Kalimantan Barat

738

1.530

3.452 2.999 Kalimantan Tengah

1.707

2.517

1.090 1.153 Kalimantan Selatan

749

1.196

3.563 3.504 Kalimantan Timur

3.626

2.056

4.356 5.365 Sulawesi Utara

2.235

6.900

2.547 2.189 Sulawesi Tengah

2.201

4.736

1.243 2.086 Sulawesi Selatan

1.360

1.844

30.168 28.262 Sulawesi Tenggara

Sumber: Departemen Pertanian, 2007.

Produksi cabai merah Jawa Barat tahun 2003 menyumbang 25,64 persen terhadap produksi cabai merah nasional. Tahun 2004 produksi cabai merah Provinsi Jawa Barat menurun hingga 18,91 persen dibandingkan tahun 2003 sehingga hanya menyumbang sebesar 22,35 persen terhadap produksi cabai merah nasional. Tetapi pada tahun 2005 produksinya naik sekitar 24,49 persen dibandingkan tahun 2004 dan menyumbang sebesar 30,07 persen terhadap produksi cabai merah nasional. Penurunan produksi cabai merah Provinsi Jawa Barat terjadi kembali pada tahun 2006, yaitu sebesar 8,56 persen dibandingkan tahun 2005 dan menyumbang terhadap produksi nasional sebesar 24,81 persen. Walaupun mengalami penurunan, tetapi Provinsi Jawa Barat tetap memberikan kontribusi yang paling besar terhadap produksi cabai merah nasional. Naik turunnya produksi cabai merah Provinsi Jawa Barat ditunjukkan oleh Gambar 1.

Produksi Cabai Merah di Provinsi Jawa Barat

Tahun 2003 - 2006

Gambar 1 Produksi Cabai Merah Provinsi Jawa Barat Periode 2003-2006.

Komoditas cabai merah saat ini merupakan salah satu komoditas andalan petani sayuran di Indonesia karena dapat ditanam pada berbagai lahan, tidak mengenal musim tanam, dapat dijual dalam bentuk segar maupun olahan, serta mempunyai nilai sosial ekonomi yang tinggi (Sugiarti, 2003). Sebagian besar hasil Komoditas cabai merah saat ini merupakan salah satu komoditas andalan petani sayuran di Indonesia karena dapat ditanam pada berbagai lahan, tidak mengenal musim tanam, dapat dijual dalam bentuk segar maupun olahan, serta mempunyai nilai sosial ekonomi yang tinggi (Sugiarti, 2003). Sebagian besar hasil

perekonomian nasional 1 .

Menurut catatan dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Agro Provinsi Jawa Barat Tahun 2006, permintaan kebutuhan cabai merah dari konsumen rumah tangga di Jawa Barat mencapai 2.502,24 ton (97,76 persen) dengan nilai sebesar Rp 30.596.230.000, sedangkan permintaan dari industri besar dan sedang mencapai 28,61 ton (2,24 persen) dengan nilai sebesar Rp 349.050.000. Ditinjau dari segi pengembangan produk, cabai merah dapat dikonsumsi dalam bentuk segar maupun olahan seperti tepung cabai, pasta acar, atau sambal. Dengan demikian pengusahaan komoditi cabai merah ini memiliki peluang pasar yang cukup luas, yaitu untuk memenuhi permintaan konsumen rumah tangga dan industri pengolahan.

Kabupaten Ciamis bagian utara termasuk dalam daerah andalan pertanian hortikultura di Jawa Barat, terutama untuk komoditas cabai merah. Desa Cibeureum, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten Ciamis bagian dari Provinsi Jawa Barat merupakan salah sentra produksi cabai merah di Kabupaten Ciamis dan merupakan daerah yang dibidik oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Agro

1 Pemda Tasikmalaya. 2007. Cabai Merah. www.Tasikmalaya.Go.Id/Potensidaerah/Agribisnis/Cabaimerah , diakses tanggal 19 Februari

Provinsi Jawa Barat untuk dijadikan kawasan agropolitan serta proyek pembangunan pasar agro.

Semakin besar potensi cabai merah yang dihasilkan dari Desa Cibeureum, semakin besar pula tantangan yang dihadapi. Tantangan tersebut diantaranya adalah bagaimana mempertahankan dan mengembangkan pangsa pasar dengan lebih meningkatkan kinerja petani cabai merah, peranan organisasi tataniaga, dan meningkatkan kualitas cabai merah, sehingga dapat berkontribusi secara lebih signifikan bagi peningkatan kesejahteraan petani cabai merah. Salah satu cara untuk menjawab tantangan tersebut adalah dengan meningkatkan kinerja para petani cabai merah, yaitu melalui pemberian insentif dan penghargaan yang lebih tinggi kepada petani cabai merah. Hal ini dapat diwujudkan dengan meningkatkan bagian yang diperoleh petani (farmer’s share), menurunkan marjin tataniaga serta memfasilitasi petani dalam memperoleh informasi pasar.

1.2 Perumusan Masalah

Desa Cibeureum sebagai salah satu sentra produksi di Jawa Barat dengan rata-rata nilai produksi mencapai 900 ton per tahun 2 . Selama ini petani cabai merah di Desa Cibeureum menyalurkan hasil panennya kepada pedagang pengumpul dan hanya terdapat satu pedagang pengumpul sehingga petani tidak mempunyai alternatif lain untuk dapat meningkatkan posisi tawarnya. Kondisi seperti ini menyebabkan petani berada pada posisi yang lemah. Hal tersebut mengakibatkan sistem tataniaga cabai merah di Desa Cibeureum memiliki kesenjangan harga dan marjin tataniaga yang cukup besar. Lemahnya posisi petani juga ditunjang dengan sistem jual beli kepada pedagang pengumpul menggunakan

2 Monografi Desa Cibeureum, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat, Tahun 2006 (diolah).

sistem nota penjualan, sehingga menyebabkan adanya lag waktu antara penjualan dengan pembayarannya. Sistem nota penjualan ini terjadi pula di tingkat pedagang pengumpul dengan pedagang grosir.

Daya tawar petani yang lemah menyebabkan bagian yang diterima petani (farmer’s share) sedikit sedangkan marjin tataniaga semakin besar. Hal ini menunjukkan belum tercapainya efisiensi dalam tataniaga cabai merah. Keberadaan pedagang pengumpul yang hanya ada satu orang membuat petani tidak mempunyai alternatif lain untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar. Penciptaan skenario alternatif tataniaga cabai merah perlu dibuat untuk memberikan alternatif yang paling baik bagi petani cabai merah dalam menyalurkan hasil panennya sehingga dapat meningkatkan bagian harga yang diterima petani dan memperkecil marjin tataniaga. Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana saluran, lembaga, fungsi, serta struktur dan perilaku pasar tataniaga cabai merah di Desa Cibeureum, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten Ciamis?

2. Bagaimana efisiensi tataniaga cabai merah pada setiap saluran tataniaga di Desa Cibeureum, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten Ciamis dengan pendekatan marjin tataniaga, farmer’s share, rasio keuntungan dan biaya serta tingkat keterpaduan pasar antara pasar lokal (di tingkat petani) dengan pasar acuan (Pasar Induk Caringin di Bandung)?

3. Bagaimana alternatif saluran tataniaga cabai merah yang dapat memberikan keuntungan yang paling besar bagi petani?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Mengidentifikasi saluran, lembaga, fungsi, serta menganalisis struktur dan perilaku pasar tataniaga cabai merah di Desa Cibeureum, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten Ciamis.

2. Menganalisis efisiensi tataniaga cabai merah pada setiap saluran tataniaga di Desa Cibeureum, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten Ciamis dengan pendekatan marjin tataniaga, farmer’s share, rasio keuntungan dan biaya serta tingkat keterpaduan pasar antara pasar lokal (di tingkat petani) dengan pasar acuan (Pasar Induk Caringin di Bandung).

3. Menganalisis alternatif saluran tataniaga cabai merah yang dapat memberikan keuntungan yang paling besar bagi petani

1.4. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran dan bahan pertimbangan bagi para pengambil kebijakan (decision maker) dalam menentukan kebijakan tataniaga cabai merah sehingga tidak merugikan petani karena harganya yang rendah. Selain itu, diharapkan dapat memotivasi petani untuk terus menanam dan meningkatkan produktivitas cabai merah. Penelitian ini diharapkan pula dapat menjadi tambahan untuk penelitian selanjutnya.

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karakteristik Cabai Merah

Cabai merah (Capsicum annuum L) merupakan salah satu jenis cabai yang mempunyai daya adaptasi tinggi. Tanaman ini dapat tumbuh dan berkembang baik di dataran rendah maupun dataran tinggi, di lahan sawah maupun lahan tegalan. Sifat inilah yang menyebabkan tanaman cabai dapat dijumpai hampir di semua daerah. Cabai merah berasal dari Mexico, sebelum abad ke-15 spesies ini lebih banyak dikenal di Amerika Tengah dan Selatan. Sekitar tahun 1513 Columbus membawa dan menyebarkan cabai merah dan diperkirakan masuk ke Indonesia melalui pedagang dari Persia ketika singgah di Aceh (Kusandriani, 1996).

Cabai merah merupakan salah satu komoditas sayuran (hortikultura) yang banyak digemari masyarakat Indonesia dan mempunyai nilai ekonomi tinggi. Sesuai dengan namanya, cabai merah memiliki warna kulit buah yang merah sewaktu buah sudah tua dan masak. Bentuk buahnya silindris dan mengecil ke arah ujung buah. Ciri dari jenis sayuran ini rasanya pedas dan aromanya khas dimasak atau dikonsumsi mentah, sehingga sayuran bagi orang-orang tertentu dapat membangkitkan selera makan. Selain itu, cabai merah mengandung vitamin, khususnya vitamin C (Santika, 2001).

Cabai merah dapat digunakan sebagai bumbu masakan baik dalam bentuk segar maupun sudah dikeringkan atau diolah. Produk olahan cabai merah dapat berupa saus, pasta cabai (cabai segar giling), dan cabai kering yang biasanya digunakan sebagai bumbu pelengkap mie instan. Produk olahan cabai merah Cabai merah dapat digunakan sebagai bumbu masakan baik dalam bentuk segar maupun sudah dikeringkan atau diolah. Produk olahan cabai merah dapat berupa saus, pasta cabai (cabai segar giling), dan cabai kering yang biasanya digunakan sebagai bumbu pelengkap mie instan. Produk olahan cabai merah

Cabai merah yang diusahakan petani di Desa Cibeureum adalah cabai merah jenis TW. Karakteristik cabai merah ini adalah memiliki warna merah mengkilat, bentuknya panjang dan memiliki ukuran yang relatif besar. Cabai merah ini terlihat lebih segar dibandingkan cabai merah jenis lainnya. Sebagian besar petani di desa ini bercocok tanam cabai merah di daerah lereng gunung dengan jenis lahan tegalan. Petani dan pedagang pengumpul yang ada di Desa Cibeureum hanya melakukan penjualan cabai merah dalam bentuk segar tanpa diberi perlakuan pasca panen.

2.2 Hasil Penelitian Terdahulu

Penelitian Efisiensi Tataniaga Cabai Merah ini merujuk pada beberapa hasil penelitian terdahulu mengenai tataniaga pertanian. Menurut penelitian Gonarsyah (1992) mengenai Peranan Pasar Induk Kramat Jati sebagai Barometer Harga Sayur Mayur di Wilayah DKI Jakarta bahwa yang menerima marjin keuntungan terbesar dalam tataniaga hortikultura dari pusat produksi ke pusat konsumsi DKI Jakarta adalah pedagang grosir. Hasil penelitian ini juga menunjukkan marjin keuntungan pemasaran yang diterima pedagang yang memasarkan sayurannya ke Pasar Induk Kramat Jati (PIKJ) lebih rendah dari pedagang yang memasarkan langsung sayurannya ke pasar-pasar eceran. Hasil analisis keterpaduan pasar menunjukkan bahwa dengan mengggunakan data harga siang, PIKJ relatif masih berperan dalam pembentukan harga sayur-mayur di pasar-pasar eceran di wilayah DKI Jakarta. Besar kecilnya peran ini tergantung Penelitian Efisiensi Tataniaga Cabai Merah ini merujuk pada beberapa hasil penelitian terdahulu mengenai tataniaga pertanian. Menurut penelitian Gonarsyah (1992) mengenai Peranan Pasar Induk Kramat Jati sebagai Barometer Harga Sayur Mayur di Wilayah DKI Jakarta bahwa yang menerima marjin keuntungan terbesar dalam tataniaga hortikultura dari pusat produksi ke pusat konsumsi DKI Jakarta adalah pedagang grosir. Hasil penelitian ini juga menunjukkan marjin keuntungan pemasaran yang diterima pedagang yang memasarkan sayurannya ke Pasar Induk Kramat Jati (PIKJ) lebih rendah dari pedagang yang memasarkan langsung sayurannya ke pasar-pasar eceran. Hasil analisis keterpaduan pasar menunjukkan bahwa dengan mengggunakan data harga siang, PIKJ relatif masih berperan dalam pembentukan harga sayur-mayur di pasar-pasar eceran di wilayah DKI Jakarta. Besar kecilnya peran ini tergantung

Mukhlis (2000) melakukan penelitian tentang Sistem Tataniaga Cabai Rawit Merah (Capsicum fruiescens) di DKI Jakarta dengan studi kasus di Pasar Induk Kramat Jati, Jatinegara dan Tanah Abang. Analisis deskriptif yang dilakukan menggunakan sistem tabulasi data. Alat analisis kuantitatif program komputer Minitab 13 for Windows serta program komputer The SAS System for Windows v612. Hasil penelitiannya menunjukkan struktur pasar cabai rawit merah di Pasar Induk Kramat Jati cenderung berbentuk tidak bersaing sempurna (oligopoli). Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya jumlah penjual, kemudahan memasuki pasar dan tidak adanya pembedaan harga cabai rawit merah. Berdasarkan analisis struktur, perilaku, dan keragaan pasar cabai rawit merah, maka disimpulkan bahwa sistem tataniaga cabai rawit merah di daerah konsumen DKI Jakarta belum efisien. Selain itu, hasil analisis marjin tataniaga dapat diketahui bahwa sebaran marjin kurang merata. Hal ini menunjukkan tataniaga cabai rawit merah belum efisien. Tataniaga cabai rawit merah dari daerah sentra produksi Pare, Kediri ke Pasar Jatinegara lebih efisien daripada ke Pasar Tanah Abang. Hal ini ditunjukkan dengan nilai farmer’s share di Pasar Jatinegara (21,15 persen) lebih besar dibandingkan nilai farmer’s share Pasar Tanah Abang (20,68 persen).

Hasil keterpaduan pasar diperoleh dari nilai b 2 sebesar 0,453 dan 0,522 yang menunjukkan bahwa perubahan harga di PIKJ tidak diteruskan secara penuh

ke kedua pasar pengecer. Keadaan ini menunjukkan integrasi pasar jangka panjang pada tingkat pedagang pengecer di PIKJ belum sempurna atau terjadi ke kedua pasar pengecer. Keadaan ini menunjukkan integrasi pasar jangka panjang pada tingkat pedagang pengecer di PIKJ belum sempurna atau terjadi

Analisis Efisiensi Pemasaran Komoditas Alpukat di Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat dilakukan oleh Parwitasari (2004). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat tiga saluran pemasaran alpukat. Saluran pemasaran satu terdiri dari petani-pedagang pengumpul- pedagang grosir-pedagang eceran-konsumen. Saluran pemasaran dua terdiri dari petani-pedagang pengumpul-pedagang eceran-konsumen. Saluran pemasaran tiga terdiri dari petani-pedagang eceran-konsumen. Struktur pasar yang dihadapi oleh petani mengarah pada pasar oligopsoni. Keadaan ini terjadi karena jumlah penjual yang lebih banyak daripada jumlah pembeli. Sifat produk yang homogen semakin memperkuat struktur pasar oligopsoni pada sistem pemasaran alpukat. Berdasarkan hasil analisis perilaku pasar diketahui bahwa penentuan harga dilakukan oleh pihak pedagang sedangkan petani alpukat sebagai penerima harga.

Perhitungan marjin pemasaran komoditas alpukat menunjukkan bahwa saluran pemasaran dua adalah paling efisien. Keadaan ini ditunjukkan melalui rendahnya marjin pemasaran yang dihasilkan yaitu sebesar Rp 72,50 per kilogram. Disamping itu, rasio keuntungan dan biaya pemasaran alpukat tertinggi terdapat pada saluran pemasaran tiga yaitu sebesar 5,22. Sedangkan bagian terbesar yang diterima petani alpukat juga berada pada saluran tiga yaitu sebesar 42,86 persen. Secara umum saluran pemasaran tiga merupakan pemasaran yang paling menguntungkan petani.

Tataniaga Bengkuang (Pchyrrhizus erosus) dengan mengambil studi kasus di Kecamatan Prembun, Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Kecamatan Prembun terdapat enam jalur pemasaran bengkuang. Marjin pemasaran terbesar dan nilai farmer’s share terkecil terdapat pada jalur VI karena mempunyai konsumen yang sedang bepergian dan bukan penduduk lokal sehingga pedagang menjual komoditasnya dengan harga yang tinggi. Pada jalur pemasaran II, terdapat marjin pemasaran terkecil, tetapi nilai farmer’s share terbesar. Hal ini disebabkan daerah pemasarannya yaitu Yogyakarta dianggap cukup dekat dengan Kecamatan Prembun.

Struktur pasar yang terjadi adalah tidak bersaing sempurna. Lembaga yang terlibat dalam saluran pemasaran tidak terlalu banyak. Hal ini terjadi karena dibutuhkannya pengalaman, relasi pemasaran dan biaya. Selain itu, izin berjualan cukup sulit diperoleh pedagang grosir. Penjual dan pembeli tidak mudah keluar masuk pasar, sedangkan informasi pasar cukup sulit didapat karena lebih disukai oleh pedagang antar kota (PAK).

Hasil analisis keterpaduan pasar menunjukkan bahwa pasar di tingkat petani dengan pasar acuan tidak terpadu baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Tidak terpadunya pasar dalam jangka pendek ditunjukkan oleh Index of Market Connection (IMC) > 1, sedangkan dalam jangka panjang

ditunjukkan oleh koefisien b 2 < 1. Hal ini menunjukkan sistem tataniaga bengkuang di Kecamatan Prembun belum efisien.

Pembeda penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah penelitian ini berusaha mengkaji efisiensi melalui pendekatan marjin tataniaga, farmer share Pembeda penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah penelitian ini berusaha mengkaji efisiensi melalui pendekatan marjin tataniaga, farmer share

Analisis yang dilakukan selanjutnya yaitu analisis harga untuk melihat tingkat keterpaduan pasar tataniaga yang bertujuan untuk melihat perubahan harga cabai merah di tingkat pasar acuan (Pasar Induk Caringin di Bandung) sampai ke pasar lokal di tingkat petani. Analisis keterpaduan pasar ini diolah menggunakan software Minitab 14 sehingga diperoleh besarnya koefisien dari masing-masing variabel dependen dan independennya serta nilai t-hitung dan F-hitung.

Pada akhirnya dari kedua analisis ini dapat diambil alternatif tataniaga cabai merah di Desa Cibeureum, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat yang paling efisien dan menguntungkan bagi semua lembaga tataniaga yang terlibat. Selain itu, diharapkan dapat meningkatkan bagian yang diterima petani (farmer’s share), sehingga petani cabai merah akan lebih termotivasi untuk meningkatkan produktivitasnya.

III KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis

3.1.1 Teori Tataniaga

Tataniaga merupakan rangkaian tahapan fungsi yang dibutuhkan untuk mengubah atau membentuk input atau produk mulai dari titik produsen sampai konsumen akhir (Dahl dan Hammond, 1977). Sedangkan menurut Kohls dan Uhls (2002), tataniaga merupakan suatu peragaan dari semua aktivitas bisnis dalam aliran barang dan jasa mulai dari titik produksi sampai ke konsumen akhir. Ada dua kelompok yang berbeda kepentingan dalam memandang tataniaga. Konsumen ingin mendapatkan harga yang rendah dan produsen ingin memperoleh penerimaan yang besar atas penjualan produk.

Menurut Limbong dan Sitorus (1987) tataniaga adalah serangkaian proses kegiatan atau aktivitas yang berhubungan dengan perpindahan hak milik dan fisik dari barang-barang hasil pertanian dan kebutuhan usaha pertanian dari tangan produsen ke konsumen. Dalam proses distribusi dapat terjadi kegiatan-kegiatan tertentu yang menghasilkan perubahan bentuk dari produk untuk tujuan-tujuan tertentu, misalnya untuk mempermudah penyalurannya, meningkatkan nilai dan meningkatkan kepuasan konsumen.

3.1.2 Konsep Saluran Tataniaga

Saluran tataniaga dapat didefinisikan sebagai himpunan perusahaan dan perorangan yang mengambil alih hak, atau membantu dalam pengalihan hak atas barang atau jasa tertentu selama barang atau jasa tersebut berpindah dari produsen

ke konsumen. Saluran pemasaran merupakan rangkaian lembaga-lembaga niaga yang dilalui barang dalam penyalurannya dari produsen ke konsumen (Limbong dan Sitorus, 1987). Limbong dan Sitorus (1987) berpendapat bahwa saluran pemasaran dapat dicirikan dengan memperhatikan banyaknya tingkat saluran. Panjangnya saluran tataniaga akan ditentukan oleh banyaknya tingkat perantara yang dilalui oleh suatu barang dan jasa. Pada Gambar 2 ditunjukkan beberapa saluran tataniaga yang panjangnya berbeda-beda. Saluran nol tingkat (zero level channel) atau dinamakan juga sebagai saluran tataniaga langsung, adalah saluran yang memperlihatkan produsen atau pabrikan secara langsung menjual produknya kepada konsumen.

Saluran

Produsen Konsumen

Tingkat Nol

Saluran Tingkat

Tingkat Dua

Tingkat Tiga

Gambar 2 Contoh Saluran Tataniaga dengan Beberapa Tingkat.

Saluran satu tingkat (one level channel), adalah saluran yang menggunakan perantara. Dalam pasar konsumsi, perantara ini adalah pengecer sedangkan dalam pasar industrial perantara tersebut adalah agen penjualan atau pialang. Pada saluran dua tingkat (two level channel) mencakup dua perantara.

Dalam pasar konsumsi mereka ini adalah grosir dan pengecer, sedangkan dalam pasar industrial perantara tersebut adalah distributor dan dealer industrial.

Pada saluran tiga tingkat (three level channel) didapati tiga perantara. Dalam hal ini, selain grosir dan pengecer ditemui pedagang pemborong atau jobber . Pemborong tersebut membeli barang dari pedagang grosir dan menjualnya ke pedagang pengecer, yang pada umumnya tidak dapat dilayani oleh pedagang grosir.

3.1.3 Konsep Lembaga dan Fungsi Tataniaga

Limbong dan Sitorus (1987) menyatakan bahwa proses penyampaian barang dari produsen ke konsumen memerlukan berbagai tindakan atau kegiatan. Kegiatan tersebut dinamakan sebagai fungsi-fungsi tataniaga. Pendekatan fungsi tataniaga yang sering dilakukan oleh pelaku tataniaga mencakup:

• Fungsi pertukaran, merupakan kegiatan yang berhubungan dengan perpindahan hak milik dari barang atau jasa yang dipasarkan. Fungsi pertukaran ini terdiri atas fungsi pembelian dan fungsi penjualan.

• Fungsi fisik, adalah semua tindakan yang berhubungan langsung dengan

barang atau jasa sehingga menimbulkan kegunaan tempat, waktu dan bentuk. Fungsi ini dibagi menjadi fungsi penyimpanan, fungsi pengangkutan dan fungsi pengolahan.

• Fungsi fasilitas, merupakan semua tindakan yang berhubungan dengan tindakan yang terjadi antara produsen dan konsumen. Fungsi fasilitas terdiri atas fungsi pembiayaan, fungsi penanggungan risiko, fungsi standarisasi dan grading serta fungsi informasi pasar.

Dalam menyampaikan suatu barang atau jasa terlibat beberapa badan mulai dari produsen, lembaga-lembaga perantara dan konsumen. Karena jarak antara produsen yang menghasilkan barang atau jasa sering berjauhan dengan konsumen, maka fungsi badan perantara sangat diharapkan kehadirannya untuk menggerakan barang-barang dan jasa-jasa tersebut dari titik produsen ke titik konsumsi. Lembaga-lembaga ini bisa dalam bentuk perseorangan, perserikatan maupun perseroan yang akan melakukan fungsi-fungsi tataniaga, baik fungsi pertukaran, fungsi fisik maupun fungsi fasilitas. Penggolongan lembaga tataniaga menurut Limbong dan Sitorus (1987), didasarkan pada fungsi, penguasaan terhadap suatu barang, kedudukan dalam suatu pasar serta berdasarkan bentuk usahanya, yaitu:

1. Penggolongan lembaga tataniaga berdasarkan fungsi yang dilakukan, yaitu: • Lembaga tataniaga yang melakukan kegiatan pertukaran, seperti pengecer,

grosir, dan lembaga perantara lainnya. • Lembaga tataniaga yang melakukan kegiatan fisik, seperti badan pengangkutan/transportasi, pengolahan, dan penyimpanan. • Lembaga tataniaga yang menyediakan fasilitas-fasilitas tataniaga, seperti

informasi pasar dan kredit desa. Lembaga ini dapat berupa KUD (Kantor Unit Desa), Bank Unit Desa, dan yang lainnya.

2. Penggolongan lembaga tataniaga berdasarkan penguasaan terhadap suatu barang, yaitu:

• Lembaga tataniaga yang menguasai dan memiliki barang yang dipasarkan, seperti pedagang pengecer, grosir, pedagang pengumpul, dan tengkulak.

• Lembaga tataniaga yang menguasai tetapi tidak memiliki barang yang

dipasarkan, seperti agen, makelar atau broker, dan lembaga pelelangan. • Lembaga tataniaga yang tidak menguasai dan tidak memiliki barang yang

dipasarkan, seperti lembaga pengangkutan, pengolahan, dan perkreditan.

3. Penggolongan tataniaga berdasarkan kedudukannya dalam suatu pasar, yaitu: • Lembaga tataniaga bersaing sempurna, seperti pengecer beras dan

pengecer rokok. • Lembaga tataniaga monopolistis, seperti pedagang bibit dan pedagang benih. • Lembaga tataniaga oligopolis, seperti importir cengkeh dan perusahaan

semen. • Lembaga tataniaga monopolis, seperti perusahaan kereta api serta perusahaan pos dan giro.

4. Penggolongan lembaga tataniaga juga dilakukan berdasarkan bentuk usahanya, yaitu: • Berbadan hukum, seperti perseroan terbatas, firma, dan koperasi. • Tidak berbadan hukum, seperti perusahaan perseorangan, pedagang

pengecer, dan tengkulak.

Selain melakukan pengangkutan barang dari produsen dan dibawa ke konsumen, lembaga perantara juga berfungsi sebagai penghubung informasi mengenai suatu barang dan jasa. Lembaga perantara berusaha meningkatkan nilai guna dari suatu barang atau jasa baik nilai guna bentuk, tempat, waktu, maupun kepemilikan melalui pengolahan hasil-hasil pertanian.

3.1.4 Konsep Struktur Pasar

Struktur pasar adalah dimensi yang menjelaskan sistem pengambilan keputusan oleh perusahaan maupun industri, jumlah perusahaan dalam suatu pasar, konsentrasi perusahaan, jenis-jenis dan diferensiasi produk serta syarat- syarat masuk pasar. Struktur pasar harus dapat diketahui oleh produsen dan konsumen. Ada tiga hal yang perlu diketahui agar produsen dan konsumen dapat melakukan sistem tataniaga yang efisien, yaitu: (1) konsentrasi pasar dan jumlah produsen, (2) sistem keluar masuk barang yang terjadi di pasar, dan diferensiasi produk (Limbong dan Sitorus, 1987).

Menurut Dahl dan Hammond (1977), struktur pasar menggambarkan fisik dari industri atau pasar. Terdapat empat faktor penentu dari karakteristik struktur pasar, yaitu (1) jumlah atau ukuran perusahaan atau usahatani di dalam pasar, (2) kondisi atau keadaan produk yang diperjualbelikan, (3) pengetahuan informasi pasar, dan (4) hambatan keluar masuk pasar bagi pelaku tataniaga, misalnya biaya, harga, dan kondisi pasar antara partisipan.

Pasar tidak bersaing sempurna dapat dilihat dari dua sisi yaitu produsen dan konsumen. Dilihat dari sisi produsen terdiri atas pasar persaingan monopolistik, monopoli, duopoli, dan oligopoli, sedangkan dari sisi pembeli (konsumen) terdiri atas pasar persaingan monopolistik, monopsoni, dan oligopsoni (Dahl dan Hammond, 1977). Karakteristik masing-masing struktur pasar dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Karakteristik Struktur Pasar

Karakteristik Struktur Pasar

Hambatan

No Jumlah Jumlah

Pembeli Penjual

Sisi Pembeli

Sisi Penjual

1 Banyak Banyak Homogen Sedikit

Rendah murni

2 Banyak Banyak Diferensiasi Sedikit

Tinggi

monopolistik monopolistik Oligopsoni

Oligopoli

3 Sedikit Sedikit Homogen Banyak

4 Sedikit Sedikit Diferensiasi Banyak

5 Satu Satu

Sumber: Dahl dan Hammond, 1977. Berdasarkan struktur pasarnya, pasar dapat digolongkan menjadi dua, yaitu pasar bersaing sempurna dan pasar tidak bersaing sempurna (Kotler, 2002). Ciri-ciri pasar yang harus dipenuhi agar dapat digolongkan kedalam struktur pasar bersaing sempurna, yaitu:

• Terdapat banyak penjual dan pembeli • Harga ditentukan melalui mekanisme pasar • Penjual dan pembeli bertindak sebagai price taker • Produk homogen • Penjual dan pembeli bebas keluar masuk pasar

Struktur pasar sangat diperlukan dalam analisis sistem tataniaga karena melalui analisis struktur pasar, secara otomatis akan dapat dijelaskan bagaimana perilaku partisipan yang terlibat (market conduct) dan akan menunjukkan keragaan yang terjadi akibat dari struktur dan perilaku pasar yang ada dalam sistem tataniaga tersebut (market performance).

3.1.5 Konsep Perilaku Pasar

Dahl dan Hammond (1997) menyatakan bahwa perilaku pasar sebagai suatu pola atau tingkah laku dari lembaga-lembaga tataniaga yang menyesuaikan dengan struktur pasar, lembaga-lembaga tersebut melakukan kegiatan penjualan dan pembelian serta menentukan bentuk-bentuk keputusan yang harus diambil dalam menghadapi struktur pasar tersebut. Perilaku pasar adalah strategi produksi dan konsumsi dari lembaga tataniaga dalam struktur pasar tertentu yang meliputi kegiatan pembelian, penjualan, penentuan harga serta kerjasama antar lembaga tataniaga. Para pelaku tataniaga perlu mengetahui perilaku pasar sehingga mampu merencanakan kegiatan tataniaga secara efisien dan terkoordinasi. Selanjutnya akan tercipta kinerja keuangan yang memadai di sektor pertanian dan berbagai sektor komersial lainnya.

3.1.6 Konsep Efisiensi Tataniaga

Efisiensi tataniaga dapat diukur melalui dua cara, yaitu efisiensi harga dan efisiensi operasional. Menurut Dahl dan Hammond (1977), efisiensi operasional menunjukkan biaya minimum yang dapat dicapai dalam pelaksanaan fungsi dasar tataniaga, yaitu pengumpulan, transportasi, penyimpanan dan pengolahan, distribusi dan aktivitas fisik, serta fasilitas. Menurut Kohls dan Uhls (2002), salah satu cara meningkatkan efisiensi operasional adalah dengan penerapan teknologi baru termasuk subtitusi modal kerja. Pendekatan efisiensi harga adalah melalui analisis tingkat keterpaduan pasar, sedangkan pendekatan efisiensi operasional melalui marjin tataniaga, farmer’s share dan biaya tataniaga.

3.1.6.1 Konsep Marjin Tataniaga

Insentif ekonomi merupakan salah satu faktor yang mampu memotivasi petani dalam melakukan kegiatan produksi. Insentif ekonomi tersebut dapat diketahui melalui besarnya keragaan dan perkembangan marjin tataniaga. Kohls dan Uhls (2002) mendefinisikan marjin tataniaga sebagai perbedaan harga yang dibayar oleh konsumen dengan harga yang diterima oleh petani. Marjin tataniaga ini terdiri dari dua komponen yaitu besarnya biaya pemasaran (marketing cost) dan keuntungan pemasaran (marketing profit). Sedangkan Limbong dan Sitorus (1987) menambahkan definisi marjin tataniaga sebagai nilai dari jasa-jasa pelaksanaan kegiatan tataniaga mulai dari tingkat produsen hingga tingkat konsumen akhir.

Setiap lembaga tataniaga yang terlibat dalam sistem tataniaga memiliki tujuan untuk memperoleh keuntungan atau imbalan dari pengorbanan yang diberikan. Artinya, dengan pengorbanan tertentu yang disumbangkan, akan diusahakan untuk mendapatkan manfaat dan keuntungan maksimal atau dengan keuntungan tertentu akan diusahakan meminimumkan pengorbanannya.