Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva

2. Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva

Pemohon pada pokoknya memohon, bahwa batal demi hukumnya suatu putusan pengadilan dalam perkara pidana yang tidak mencantumkan perintah agar terdakwa ditahan, atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan berdasarkan ketentuan Pasal 197 ayat (2) UU 8/1981, adalah imperative atau mandatory, yang tidak dapat ditafsirkan lain. Putusan demikian tidak memiliki kekuatan hukum berlaku. Menurut Pemohon Pasal 197 ayat (2) huruf k, mengandung ketidakpastian hukum, karena tidak pasti apakah Pasal 197 ayat (2) huruf k, bersifat imperative atau mandatory ataukah tidak imperative. Dalam praktiknya ketentuan tersebut dimaknai tidak imperative, sehingga putusan yang tidak

mencantumkan perintah terdakwa ditahan, atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan, tidak menjadi batal demi hukum bahkan tetap dieksekusi.

Berdasarkan permohonan tersebut, seharusnya persoalan pokok yang harus dijawab oleh Mahkamah adalah apakah Pasal 197 ayat (2) huruf k tersebut berlaku imperative atau mandatory ataukah tidak. Saya berpendapat bahwa istilah

“batal demi hukum” sebagaimana banyak sekali ditemukan dalam UU 8/1981, misalnya dalam Pasal 76 ayat (2), Pasal 143 ayat (3), Pasal 153 ayat (4) UU 8/1981, adalah bersifat imperative atau mandatory. Hal itu dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum sehingga memberikan jaminan dan perlindungan atas hak-hak terdakwa dalam perkara pidana. UU 8/1981 adalah hukum prosedur yang mengutamakan kepastian hukum dan prinsip due process of law. Berbeda dengan hukum pidana materiil yang mementingkan keadilan substantif. Jadi, batal demi hukum tidak bisa dimaknai lain kecuali imperative dan mandatory.

Persoalannya, apakah oleh karena suatu putusan pengadilan yang hanya karena tidak mencatumkan perintah terdakwa ditahan, atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan, sedangkan perbuatan materiilnya sudah terbukti dan dijatuhi pidana maka putusan tersebut batal, sehingga terdakwa yang secara materiil sudah terbukti melakukan tindak pidana dan dijatuhi pidana kemudian menjadi bebas. Saya sependapat bahwa hal itu, tentu tidak memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat, sepanjang putusan pidana tersebut adalah putusan kasasi atau putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Bagaimana mungkin seorang yang secara materiil terbukti melakukan tindak pidana, dan dijatuhi pidana kemudian menjadi bebas, karena formalitas putusan yang tidak mencantumkan terdakwa ditahan, atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan? Tentu hal itu sangatlah tidak adil. Oleh karena itu, menurut saya Pasal 197 ayat (2) huruf k tidak bersifat imperative, khususnya terhadap putusan pada tingkat kasasi atau

terhadap putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Hal demikian tidak berlaku untuk putusan pada tingkat Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, karena pada tingkat Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, terdakwa atau jaksa masih dapat mengajukan upaya hukum untuk mengoreksi putusan demikian. Dengan demikian menurut saya putusan pidana pada tingkat Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi harus mencantumkan perintah terdakwa ditahan, atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan dengan ancaman batal demi hukum. Hal itu, untuk menghindari keteledoran atau kesewenang-wenangan pengadilan atau jaksa untuk menahan, atau tetap menahan atau membebaskan terdakwa yang belum mendapatkan putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap, sehingga tidak ada jaminan kepastian hukum atas hak-hak terdakwa. Jika tidak ada kewajiban imperative yang demikian, akan berpotensi mengakibatkan terjadinya pelanggaran atas hak-hak terdakwa karena tidak ada kepastian, apakah terdakwa terhadap putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Hal demikian tidak berlaku untuk putusan pada tingkat Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, karena pada tingkat Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, terdakwa atau jaksa masih dapat mengajukan upaya hukum untuk mengoreksi putusan demikian. Dengan demikian menurut saya putusan pidana pada tingkat Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi harus mencantumkan perintah terdakwa ditahan, atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan dengan ancaman batal demi hukum. Hal itu, untuk menghindari keteledoran atau kesewenang-wenangan pengadilan atau jaksa untuk menahan, atau tetap menahan atau membebaskan terdakwa yang belum mendapatkan putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap, sehingga tidak ada jaminan kepastian hukum atas hak-hak terdakwa. Jika tidak ada kewajiban imperative yang demikian, akan berpotensi mengakibatkan terjadinya pelanggaran atas hak-hak terdakwa karena tidak ada kepastian, apakah terdakwa

Mahkamah tidak perlu menambahkan atau memaknai lagi Pasal 197 ayat (2) huruf k UU 8/1981 karena jelas dalam uraian pertimbangan Mahkamah bahwa Pasal 197 ayat (2) huruf k adalah tidak bersifat imperative sehingga permohonan Pemohon ditolak. Jika Mahkamah memberi makna lain dari Pasal 197 ayat (2) huruf k UU 8/1981, maka hal itu, melampaui kewenangan Mahkamah untuk memutuskan sesuatu yang di luar bahkan sama sekali bertentangan dengan permohonan Pemohon.