Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar

1. Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar

Hukum pidana memiliki karakteristik dasar yang menuntut adanya prinsip kejelasan (lex certa). Hal ini disebabkan penegakan hukum pidana memiliki batas yang tipis dengan pengekangan terhadap kemerdekaan individual. Bila penegakan hukum pidana dilakukan secara sewenang-wenang maka yang terjadi adalah pelanggaran hak asasi manusia. Bahkan dalam upaya penegakan hukum pidana yang diatur dalam hukum formil (hukum acara) pidana pun, prinsip kejelasan harus selalu dijunjung. Misalnya, dalam hal penahanan, setiap upaya penahanan harus dilakukan sesuai aturan dan prosedur. Bilamana upaya penahanan tidak dilakukan sesuai prosedur maka yang terjadi adalah pengekangan kemerdekaan seseorang secara semena-mena. Yang berarti, negara telah melakukan pelanggaran hak asasi terhadap warga negaranya.

Kejelasan aturan dalam hukum pidana materiil maupun formil dapat menimbulkan rigiditas (kekakuan) terhadap upaya penegakan hukum itu sendiri. Hal ini merupakan kewajaran mengingat bahwa hukum pidana merupakan ultimum remedium. Salah satu model penerapan aturan yang kaku adalah dalam hal pemuatan persyaratan isi surat putusan pemidanaan yang diatur dalam Pasal 197 UU 8/1981. Pada Pasal 197 ayat (1) UU 8/1981 disebutkan secara rinci hal-hal yang harus termuat dalam surat putusan. Kemudian, sebagai konsekuensinya bila beberapa persyaratan dalam Pasal 197 ayat (1) tidak dimuat maka dapat menyebabkan putusan menjadi batal demi hukum [vide Pasal 197 ayat (2) UU 8/1981].

Ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k UU 8/1981 secara sistematis berkaitan dengan Bab V Bagian Kedua UU 8/1981 mengenai Penahanan. Pada bagian tersebut diatur bahwa kewenangan melakukan penahanan dimiliki oleh (i) Penyidik Ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k UU 8/1981 secara sistematis berkaitan dengan Bab V Bagian Kedua UU 8/1981 mengenai Penahanan. Pada bagian tersebut diatur bahwa kewenangan melakukan penahanan dimiliki oleh (i) Penyidik

dalam hal ini adalah hakim pada tingkat pertama (Hakim atau Majelis Hakim Pengadilan Negeri), pada tingkat banding (Hakim atau Majelis Hakim Pengadilan Tinggi) atau pada tingkat Kasasi (Hakim atau Majelis Hakim Mahkamah Agung) yang memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana tersebut. KUHAP juga telah mengatur dengan jelas jangka waktu penahanan serta proses perpanjangan atau penangguhan penahanan pada masing-masing tingkat pemeriksaan peradilan.

Persyaratan surat putusan pemidanaan yang memuat perintah penahanan atau pembebasan sebagaimana diatur pada Pasal 197 ayat (1) huruf k UU 8/1981 adalah terkait dengan kewenangan hakim untuk melakukan penahanan demi kepentingan pemeriksaan pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (3) UU 8/1981. Perintah penahanan atau pembebasan yang dipersyaratkan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k UU 8/1981 sangat penting untuk dimuat bila dalam pemeriksaan di sidang pengadilan Hakim atau Majelis Hakim memerintahkan untuk melakukan penahanan kepada terdakwa. Hal ini berkaitan dengan adanya kepastian hukum terhadap status penahanan dari terdakwa. Bila Hakim atau Majelis Hakim tidak memuatnya dalam surat putusan maka status penahanan terdakwa menjadi tidak jelas. Hal demikian mencederai rasa keadilan dan kepastian hukum bagi warga negara yang sedang ditahan. Terlebih lagi, penahanan merupakan bentuk perampasan kemerdekaan seseorang. Bila hakim atau majelis hakim tidak segera memutuskan status penahanan terdakwa dalam surat putusan maka terjadi keadilan yang tertunda. Rasa keadilan yang ditunda adalah sama halnya dengan menciptakan ketidakadilan (justice delayed, justice denied).

Efektifitas peradilan pidana bergantung pada tiga faktor yang saling berkaitan yaitu 1) adanya undang-undang yang baik; 2) pelaksanaan yang cepat dan pasti; 3) pemidanaan yang layak dan seragam.

Dengan demikian, adalah wajar bilamana konsekuensi hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 197 ayat (2) UU 8/1981 menegaskan bahwa tidak dicantumkannya ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k UU 8/1981 dapat mengakibatkan putusan menjadi batal demi hukum. Konsekuensi ini adalah demi mencegah terjadinya kesewenang-wenangan bagi terdakwa/terpidana yang Dengan demikian, adalah wajar bilamana konsekuensi hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 197 ayat (2) UU 8/1981 menegaskan bahwa tidak dicantumkannya ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k UU 8/1981 dapat mengakibatkan putusan menjadi batal demi hukum. Konsekuensi ini adalah demi mencegah terjadinya kesewenang-wenangan bagi terdakwa/terpidana yang

Putusan pengadilan merupakan mahkota yang menunjukkan citra dan wibawa sebuah peradilan. Oleh karena itu, keteledoran atau ketidakcermatan dari Hakim atau Majelis Hakim harus diminimalisir dengan tidak diberikan ruang toleransi yang besar meskipun dengan alasan sifat manusia yang penuh khilaf dan tidak luput dari kesalahan. Bila memberikan ruang toleransi yang besar atas ketidakcermatan terhadap kesalahan dalam putusan pengadilan maka membuka kemungkinan besar atas terjadinya kesewenang-wenangan dan penyimpangan oleh hakim pengadilan. Penerapan sistem pengawasan dan mekanisme kontrol yang ketat atas penulisan dan pemuatan putusan peradilan sangat dibutuhkan demi menciptakan peradilan yang terpercaya dan berwibawa.

Oleh karena itu demi mencegah adanya ketidakadilan, terutama terhadap status hukum pencari keadilan, Mahkamah seharusnya mengabulkan permohonan pemohon dengan menyatakan bahwa Pasal 197 ayat (1) huruf k UU 8/1981 merupakan persyaratan mutlak yang harus ada dalam isi surat putusan pemidanaan dan tidak dicantumkannya persyaratan tersebut dalam surat putusan mengakibatkan putusan menjadi batal demi hukum.