Ajaran Kepemimpinan
F. Ajaran Kepemimpinan
Kepemimpinan berasal dari kata pimpin yang memuat dua hal pokok yaitu: pemimpin sebagai subjek dan yang dipimpin sebagai objek. Kata „pimpin‟ mengandung pengertian mengarahkan, membina atau mengatur, menuntun juga
commit to user
Kepemimpinan). Kepemimpinan adalah hubungan mempengaruhi (dari pemimpin) dan hubungan kepatuhan-kepatuhan para pengikut atau bawahan, karena dipengaruhi oleh kewibawaan pemimpin (Kartini Kartono, 2005: 2). Seorang pemimpin harus memiliki kualitas-kualitas unggul dan sifat-sifat yang utama, misalkan saja adil, jujur, bijaksana, penuh kasih sayang, memiliki intelegensi tinggi dan seterusnya. Pardi Suratno (2006: 2) juga mepaparkan, bahwa pemimpin, dalam hal ini seorang Raja juga harus memiliki rasa asih terhadap musuh yang sudah menyerah.
Dalam janturan pewayangan, pemimpin atau Raja wajib memiliki watak sarahita, samahita, danahita dan darmahita. Sarahita adalah raja harus selalu meningkatkan kemampuannya sendiri dan rakyatnya. Samahita adalah selalu berlaku adil kepada rakyat. Danahita adalah bersedia melayani, mensejahterakan rakyat. Darmahita adalah selalu menegakkan hukum dengan seadil-adilnya. Selain itu, pemimpin juga harus memiliki watak berbudi bawaleksana. Berbudi artinya selalu memberi tanda jasa atau penghormatan kepada orang-orang yang berjasa terhadap bangsa dan negara. Bawaleksana artinya seorang pemimpin harus menetapi janji dalam usaha menyejahterakan masyarakat (dalam Imam Sutarjo, 2006: 118-119).
Kepemimpinan dalam hal keprajuritan tertuang dalam Sêrat Tripama karya KGPAA Mangkunegara IV (1809-1881). Dalam Sêrat Tripama terdapat tiga tokoh teladan bagi para prajurit yaitu Patih Suwanda, Kumbakarna dan Adipati Karna. Ketiganya memiliki sifat-sifat teladan seorang prajurit, antara lain
commit to user
mengatur strategi perang, memiliki tekat dan keteguhan hati. Pada bait pertama dan kedua Sêrat Tripama tertulis tentang Patih Suwanda seorang prajurit yang utama, kutipannya yaitu:
“yogyanira kang para prajurit/ lamun bisa samya anulada/ kadya nguni caritane/ andêlira sang Prabu/ Sasrabahu ing Maèspati/ aran Patih Suwanda/ lêlabuhanipun/ kang ginêlung tri prakara/ guna kaya purun ingkang dèn antêpi/ nuhoni trah utama// lire lêlabuhan tri prakawis/ guna bisa saniskarèng karya/, binudi dadi unggule/ kaya sayêktinipun/ duk bantu prang Manggada nagri/ amboyong putri dhomas/ katur ratunipun/ purune sampun têtela/ aprang tandhing lan ditya Ngalengka aji/ Suwanda mati ngrana// ” (Sêrat Tripama, têmbang Dhandhanggula, pada 1 & 2)
Terjemahan: Seyogianya para prajurit, bila dapat semuanya meniru, seperti masa dahulu, (tentang) andalan sang Prabu, Sasrabahu di Maespati, bernama Patih Suwanda, jasa-jasanya, yang dipadukan dalam tiga hal, (yakni) pandai mampu dan berani (itulah) yang ditekuninya, menepati sifat keturunan (orang) utama. Arti jasa bakti yang tiga macam itu, pandai mampu di dalam segala pekerjaan, diusahakan memenangkannya, seperti kenyataannya, waktu membantu perang negeri Manggada, memboyong delapan ratus orang puteri, dipersembahkan kepada rajanya, (tentang) keberaniannya sudahlah jelas, perang tanding melawan raja raksasa Ngalengka, (Patih) Suwanda dalam perang.
Patih Suwanda merupakan salah satu tokoh teladan bagi para prajurit karena pengabdiannya yang luar biasa terhadap Raja dan negaranya. Ia merupakan prajurit yang pandai, berani, tekun, pantang menyerah dan rela mengorbankan nyawanya dalam peperangan. Tokoh lain yang tertulis dalam Sêrat Tripama yaitu Kumbakarna dan Adipati Karna juga merupakan teladan bagi para prajurit karena sifat-sifatnya yang luhur. Kumbakarna seorang prajurit yang membela tanah airnya bukan semata-mata karena membantu kakaknya Rahwana yang angkara murka. Adipati Karna dengan seluruh kesetiaan dan komitmennya “Setya
commit to user
loyalitas dan komitmennya terhadap negara. Kepemimpinan dalam bidang hukum identik dengan profesi hakim dan jaksa. Hakim adalah orang yang mengadili sebuah perkara. Kedudukan hakim adalah sebagai pemberi keadilan. Keadilan itu sangat mulia, sebab dapat dikatakan bahwa kedudukan itu hanyalah setingkat di bawah Tuhan Yang Maha Esa Maha. Sehingga dapat pula dikatakan bahwa hakim itu bertanggung jawab langsung kepada-Nya. Disamping itu hakim juga mempunyai tanggung jawab sosial kepada masyarakat. Namun walaupun begitu hakim tetap manusia biasa yang bisa salah, keliru, dan khilaf (http://priceles.wordpress.com/tag/fungsi-dan- tugas-hakim).
Menjadi seorang hakim bukanlah hal yang mudah, diperlukan kejujuran dan keadilan dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Selain itu, seorang hakim juga harus memiliki sikap yang tegas dalam mengambil keputusan. Ajaran kepemimpinan yang selanjutnya adalah ajaran kepemimpinan untuk seorang jaksa. Profesi hakim dan jaksa tidak jauh berbeda, dibutuhkan intelegensi yang tinggi serta sifat-sifat kepemimpinan.
Jaksa adalah pejabat fungsional dari lembaga pemerintahan, berbeda dengan hakim, pengangkatan dan pemberhentian jaksa tidak dilakukan oleh kepala negara, tetapi oleh jaksa agung (http://www.artikata.com/arti-331301- jaksa.html). Profesi jaksa sudah ada dan dikenal sejak lama sebelum Indonesia merdeka, bahkan sebelum ada negara Indonesia. Pada masa Kerajaan Majapahit, jaksa dikenal dengan ilstilah dhyaksa, adhyaksa, dan dharmadhyaksa. Dhyaksa
commit to user
masalah peradilan di bawah pengawasan Majapahit. Gajah Mada selaku pejabat adhyaksa , sedangkan dharmadhyaksa berperan sebagai pengawas tertinggi dari kekayaan suci dalam urusan kepercayaan, dan menjabat sebagai ketua pengadilan. Kata dhyaksa ini kemudian menjadi jaksa. Seorang jaksa juga harus memiliki sifat-sifat dalam Tri Krama Adhyaksa yakni sikap mental yang baik dan terpuji yang harus dimiliki oleh jajaran kejaksaan, yang meliputi sifat satya, adi, dan wicaksana (http://situscoplug.blogspot.com/2011/12/makalah-etika-profesi-jaksa.html).
commit to user