Perbandingan Sistem Pewarisan Masyarakat Jepang dan masyarakat Minangkabau “Nihon Syakai To Minangkabau Syakai No Isansei Hikaku Surukoto.

(1)

PERBANDINGAN SISTEM PEWARISAN MASYARAKAT

JEPANG DAN MASYARAKAT MINANGKABAU

NIHON SYAKAI TO MINANGKABAU SYAKAI NO ISANSEI

HIKAKU SURUKOTO

040708025

BARTOLOMEUS SILITONGA

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana

Bidang ilmu sastra jepang

Pembimbing I Pembimbing II

Prof.Drs. Hamzon Situmorang, M.S.Ph.D

NIP. 19580704 198412 1 001 NIP 132316223 Zulnaedi. SS.M.Hum

Program Studi Bahasa Jepang ketua program studi

NIP. 19580704 198412 1 001


(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas RahmatNya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi yang berjudul Perbandingan Sistem Pewarisan Masyarakat Jepang dan masyarakat Minangkabau “Nihon Syakai To Minangkabau Syakai No Isansei Hikaku Surukoto” ini diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam mencapai gelar kesarjanaan pada Fakultas Sastra Program Studi Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih, penghargaan, serta penghormatan yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan studi dan skripsi ini, antara lain kepada:

1. Bapak Prof. Drs. Syaifuddin M.A, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Sastra Univeritas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Drs. Hamzon Situmorang M.S, Ph.D, selaku Ketua Program Studi S-1 Sastra Jepang Sumatera Utara sekaligus dosen pembimbing I penulis, yang telah menyediakan waktu disela – sela kesibukannya dan jadwalnya yang padat untuk membimbing dan memberi nasehat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak Zulnaedi.SS.M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II, yang telah menyediakan waktu disela-sela kesibukannya untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Jasa-jasa bapak sungguh tak terbalaskan, dan hanya Tuhan yang dapat membalasnya dengan yang terbaik..


(3)

4. Dosen Penguji Ujian Skripsi, yang telah menyediakan waktu untuk membaca dan menguji skripsi ini. Terima Kasih juga penulis ucapkan kepada semua Dosen Pengajar Program Studi S-1 Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan banyak ilmu kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dengan baik. Terima Kasih juga penulis ucapkan untuk Bang Amran dan Bang Mistam yang juga telah banyak membantu penulis.

5. Terimakasih Kepada Orang Tua saya yang telah banyak sekali membantu dalam mengerjakan perkuliahan saya hingga sampai pada Skripsi ini,kepada Bapak saya Tercinta yang banyak memberikan nasehat - nasehat begitu juga dengan bantuan materi dan terlebihnya doa yang telah diberikan bapak saya, begitu juga Ibunda ku Tersayang yang telah banyak membantu penulis yang dengan setia merawat dan mengajarkan nilai-nilai yang baik kepada penulis, sehingga penulis selalu bersemangat dan percaya diri.

6. Terimakasih banyak juga saya ucapkan kepada saudara-saudara saya, abang adik dan segenap keluarga jauh dimana pun mereka berada,yang selalu meberikan saran-saran sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini

7. Abang daku yang nun jauh diJakarta, Terima kasih atas doanya kepada adiknya ini sehingga dapat menyelesaikan Skripsi ini, Teman-teman penulis sesama mahasiswa Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara Stambuk 2004, yang selalu gokil dan tetap semangat juga menguatkan satu sama lain dalam menyelesaikan studi serta telah membagi begitu


(4)

banyak hal selama menjalani proses belajar di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

8. Kepada Teman-Teman satu organisai Boxing Camp USU yang selalu Membantu Saya dalam segala bidang dan Yang telah banyaknghibur saya.

9. Semua pihak yang telah membantu menyelesaikan Skripsi ini, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa tidak ada yang sempurna dalam hidup ini, termasuk juga dalam penulisan skripsi ini. Namun penulis tetap mencari kesempurnaan tersebut dalam suatu nilai pekerjaan yang dilakukan secara maksimal. Maka dengan berangkat dari prinsip itu jugalah, penulis berusaha merampungkan skripsi penulis tersebut.

Medan, Oktober 2009 Penulis


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……….... i

DAFTAR ISI………... iv

BAB I PENDAHULUAN………... 1

1.1.Latar Belakang Masalah………..….. 1

1.2.Perumusan Masalah………... 6

1.3.Ruang Lingkup Permasalahan………... 8

1.4.Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori………... 8

1.4.1 Tinjauan Pustaka………9

1.4.2 Kerangka teori………... ……...10

1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian……….…… 12

1.5.1 Tujuan………... 12

1.5.2 Manfaat Penelitian……… 12

1.6. Metode Penelitian………. 13

BAB II SISTEM KELUARGA JEPANG DAN SISTEM KELUARGA MINANGKABAU 2.1 Keluarga……….. 14

2.2 Keluarga Jepang... 15

2.2.1 Kazoku………... 15

2.2.2 Ie……….... 15


(6)

2.3.1 Keluarga Biasa Minangkabau………. 20

2.3.2 Keluarga Bundo Kanduang ( Rumah Gadang )………….……… 25

BAB III PERBANDINGAN SISTEM PEWARISAN MASYARAKAT JEPANG DAN MASYARAKAT MINANGKABAU 3.1 Pewarisan Masyarakat Jepang……….. ……. 24

3.1.1 Harta ie………..………. 24

3.1.2 Harta Dapatan……… ………... 25

3.2 Pewarisan Masyarakat Minangkabau………. 26

3.2.1 Harta Rumah Gadang……… 41

3.2.3 Pesamaan dan Perbendaan Sistem Pewarisan……… 42 BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan……… 4.2. saran………. DAFTAR PUSTAKA


(7)

Judul Skripsi

JUDUL SKRIPSI : PERBANDINGAN SISTEM PEWARISAN DALAM MASYARAKAT JEPANG DAN MASYARAKAT MINANGKABAU

Latar Belakang Masalah

Kebudayaan selalu dibedakan dengan budaya seperti yang dibunyikan dalam buku Situmorang, Hamzon ,2006 : 4, Ienaga Saburo (1990 : 1), dimana budaya memilki dua makna yakni luas dan sempit. Jika dipandang dari makna luas adalah mencakup seluruh hal mengenai manusia itu secara alamiah. Dan kalau makna sempit adalah hanya berkaitan pada kepercayaan dan seni.

Jepang merupakan salah satu negara yang memiliki budaya yang menarik dan khas. Dalam jendela mata dunia membuktikan budaya – budaya Jepang bertahan dan menyebar. Sebagai contoh : Ikebena ( merangkai bunga), Origami ( lipat kertas), dll. Tentunya dalam pengembangan budaya tersebut kuat sekali pertumbuhan dari budaya yang melekat pada masyarakat. Ciri–ciri pembentukan kelompok menyatakan bahwa dalam hubungan kelompok Jepang terhadap yang lain sangat penting . Dan (kesetiaan) dianggap satu – satunya nilai yang paling tinggi dan kuat Chie Nakane (1981 : 25 ). Dimana berkembang individu memiliki proses dan tidak mungkin lahir begitu saja tanpa diikuti adat atau proses.

Individu dalam pengertian kamus bahasa Indonesia (1996 : 45 ) adalah “ tunggal, satu orang , atau pribadi”. Manusia secara individu tidak dapat menjalani hidup. Maka karena itu dia perlu ada hubungan dengan satu sama lain menjadi satu kelompok dalam kesatuan masyarakat.


(8)

Jadi dalam masyarakat Jepang tidak ada ikatan kelompok individual satu terhadap yang lain, tetapi juga ikatan yang menghimpun individu – individu satu terhadap yang lain. Kelompok individual merupakan keadaan dimana dalam kepribadian masyarakat Jepang tidak memberikan sifat yang tinggi emosional akan nama pribadi suatu kelompok tertentu. Dalam membinanya adanya ciri ikatan dalam hubungan sosial merupakan dasar dari cita – cita berbagai kelompok yang bermacam

– macam, dalam satu masyarakat keseluruhan. Sebelum menjadi masyarakat yang luas, dimulai dari individu, kemudian

keluarga kecil yang disebut masyarakat kecil. Hingga berketurunan besar menjadi keluarga besar.

Keluarga merupakan masyarakat paling kecil. Menurut Situmorang, Hamzon , 1996 : 22 “ kazoku ( keluarga) adalah hubungan suami istri, hubungan orangtua dan anak, dan diperluas pada hubungan persaudaraan”. Dan menurut Djurip, 2000: 12 , bahwa keluarga adalah hubungan antara ayah, ibu dan anak atau yang disebut nuclear family”.

Ada istilah dalam keluarga Jepang yakni “Ie”. Makna Ie adalah karena apabila orang tua dalam keluarga sudah meninggal, maka dibuatlah kuburan keluarga dan juga di buatlah altar pemujaan di rumah. Dalam kepercayaan tradisional Jepang roh orang tua tersebut harus mendapat pemujaan dan persembahan-persembahan,atau hingga 33 tahun menurut kepercayaan yang dipengaruhi Budha dan 49 tahun menurut kepercayaan Shinto supaya roh tersebut tidak menjadi roh gentayangan (muenbotoke)

Secara garis umum bahwa fungsi Ie adalah untuk melestarikan peralatan atau harta Ie, dan kuburan. Dan juga untuk melangsungkan kewajiban dalam


(9)

melakukan penyembahan leluhur untuk melakukan pemberian sesajen dan doa – doa kepada roh – roh anggota Ie yang sudah meninggal. Dengan demikian Ie akan menjamin kesinambungan penyembahan leluhur, Seperti yang disebutkan dalam buku (Situmorang, Hamzon 2006 : 34), yakni Kaga Noboru( 1992:28

Di Jepang keluarga tradisional disebut dengan Ie, dan keluarga Ie ini berbeda dengan keluarga kazoku.

)

Sebenarnya Ie merupakan konsep keluarga tradisional Jepang. Perbedaan Ie dgn kazoku, dimana Kazoku adalah dapat berakhir dengan kematian dan perceraian, sehingga keberadaan kazoku adalah satu generasi (Situmorang, Hamzon, 2006 :23). Sementara Ie adalah suatu sistem keluarga yang lahir pada zaman feudal. Menurut Ito: Ie adalah sebuah keluarga yang mempunyai sistem tersendiri yang berurat, berakar pada masyarakat Jepang. Oleh karena itu Ie mempunyai hubungan yang dalam dengan sistem nilai dan struktur masyarakat Jepang. Dan juga merupakan suatu sistem masyarakat dalam kesejarahan Jepang tersendiri,(Situmoang, Hamzon 2006:34) dan Ito, (1982:58.)

Dalam garis keturunan yang dianut oleh masyarakat Jepang adalah dari garis keturunan ayah. Sehingga anak laki – laki (pertama ) menjadi penerus dalam sistem pewarisan harta maupun keturunan. Sehingga anak tersebut akan meneruskan marga ayah atau keturunan ayah, atau disebut Patrilineal.

Dalam analisis kali ini bukan hanya materi atau sistem pewarisan Jepang saja yang jadi target materi yang akan dijelaskan. Melainkan dengan salah satu suku di Indonesia yakni suku Minangkabau. Yang terletak di wilayah Sumatera Barat. Masyarakat Minangkabau mengikuti garis keturunan Ibu (Matrilineal) dimana Matrilineal ini menghitung garis keturunan dari pihak ibu sehingga seorang anak


(10)

akan menjadi angota suku ibunya, walaupun dengan prinsip keturunan matrilineal, paman (saudara laki-laki ibu) menjadi tokoh yang sangat penting Dalam keluarga karena paman harus bertanggung jawab penuh terhadap keluarga dan keponakannya ( Anak dari keluarga perempuannya). Paman menjadi tokoh yang sangat penting dalam keluarga yaitu kalau ada permasalahan atau musyawarah dalam keluarga hanya dapat diputuskan oleh paman. Begitu juga kalau orang minangkabau mau menikah yang mengurusnya adalah paman bukan orangtua atau bapaknya.

Dalam pembagian harta atau warisan dalam masyarakat Minangkabau laki– laki dapat harta hanya untuk sementara. Misalnya tanah garapan atau harta dari orangtua disebut harta lajang (harta bawaan dari keluarga perempuannya). Dan harta atau tanah garapan ini hanya berlaku sewaktu lagi hidup , kalau sudah meninggal harta atau tanah garapan harus dikembalikan kepada pihak perempuan, tidak boleh diturunkan kepada anak atau isteri.

Berdasarkan

Minangkabau mempunyai banyak arti. Merujuk kepada penelitian kesejarahan, beberapa ilmuan telah mengemukakan pendapatnya tentang asal kata Minangkabau. Purbacaraka (dalam buku Riwayat Indonesia I) Minangkabau berasal dari kata Minanga Kabawa atau Manga Tamwan yang maksudnya adalah daerah-daerah disekitar pertemuan dua sungai; Kampar Kiri dan Kampar Kanan.

Hal ini dikaitkan nya dengan adanya candi Muara Takus yang didirikan abad ke12.

a. Van der Tuuk mengatakan kata Minangkabau berasal dari kata Phinang Khabu yang artinya tanah asal.


(11)

maksudnya muara Batang Kampar.

c. M.Hussein Naimar mengatakan kata Minangkabau berasal dari kata Menon Khabu yang artinya tanah pangkal, tanah yang mulia.

d. Slamet Mulyana mengatakan kata Minangkabau berasal dari kata Minang Kabau. Artinya, daerah-daerah yang berada disekitar pinggiran sungai-sungai yang ditumbuhi batang kabau (jengko l).

- kumpulan pendapat)

Dari berbagai pendapat itu dapat disimpulkan bahwa Minangkabau itu adalah suatu wilayah yang berada di sekitar muara sungai yang didiami oleh orang Minangkabau.

Namun dari Tambo, kata Minangkabau berasal dari kata Manang Kabau. Menang dalam adu kerbau antara kerbau yang dibawa oleh tentara Majapahit dari Jawa dengan kerbau orang Minang.

Dalam masyarakat Minangkabau mereka menganut paham virilokal yakni terdiri dari satu keluarga inti senor dengan keluarga – keluarga inti dari anak laki – laki, semuanya tinggal dalam areal perumahan sebagai wilayah suku. Sedangkan mengenai pusako ( harta warisan ), setiap orang baik laki–laki maupun perempuan akan menerima warisan dari keluarga ibunya. Walau anak laki–laki mendapatkannya namun dia tidak dapat mewariskan kepada anak–anaknya. Dengan demikian kalau dia meninggal, harta itu akan kembali kepada keturunan menurut garis keturunan ibu (A.A. Navis, 1986 : 159)


(12)

Dengan mengikuti prinsip keturunan matrilineal, pola menetap sesudah menikah pada masyarakat Minangkabau bersifat matrilokal artinya suami menetap (menjadi tamu). Kelompok kekerabatan terkecil dalam masyarakat Minangkabau adalah yang samande (seibu), artinya kelompok yang lahir dari ibu yang sama .

Perbedaan sistem diatas bisa kita bedakan dalam konteks yang sangat General. Yakni Jepang mengikuti garis keturunan patrilineal dan Minangkabau adalah garis keturunan Matrilineal. Dan dilihat dari segi keturunan. Kalau keluarga Jepang mengikuti marga ayah. Dan kalau di suku Minangkabau mengikuti keturunan atau marga Ibu. Dengan melihat perbedaan ini maka bisa diketahui bahwa sistem pewarisannya jatuh kepada ; masyarakat Minangkabau pada keturunan ibu, dan masyarakat Jepang jatuh pada keturunan ayah.

Dari kedua perbandingan sistem kekeluargaan masyarakat Minangkabau dan Jepang menimbulkan budaya yang berbeda. Sehingga dari kedua perbedaan budaya ini penulis memilih topik yang berjudul “ Perbandingan Sistem Pewarisan Dalam Masyarakat Jepang Dan Masyarakat Minangkabau”.

C. Perumusan Masalah

Pada perbedaan kedua budaya Jepang dan Minangkabau mengakibatkan sistem keluarga berbeda dalam perbedaan sistem keluarga ini mengakibatkan perbedaan sisitem pewarisan maka dalam skripsi ini penulis membahas perbedaan sistem pewarisan kedua kebuadayaan ini

Makna keluarga merupakan masyarakat paling kecil. Menurut Situmorang, Hamzon,1996 : 22 “ kazoku ( keluarga) adalah hubungan suami istri, hubungan


(13)

orangtua dan anak, dan diperluas pada hubungan persaudaraan”. Dan menurut Djurip, 2000: 12, bahwa keluarga adalah hubungan antara ayah, ibu dan anak atau yang disebuat nuclear family”.

Dalam keluarga Jepang ada yang dikenal dengan keluarga (Ie) dan yang di Minangkabau ada yang dikenal dengan keluarga rumah Gadang atau keluarga buudo kanduang( ninik mamak) kemudian diJepang ada yang dikenal dengan keluarga kazoku dan dibandingkan dengan keluarga biasa diMinangkabau, oleh karena itu dalam skripsi ini penulis membatasi ruang lingkup perbandingan pewarisan pada keluarga Ie dan keluarga Rumah Gadang

Prinsip pewarisan yang dianut oleh masyarakat Minangkabau tidak hanya menentukan garis keturunan (suku) seseorang tetapi juga menentukan dalam hak pewarisan soko (gelar) dan pusako (harta warisan).

Dengan demikian seorang laki-laki akan menerima gelar dari ibunya (dalam kedudukannya sebagai kemenakan). Di dalam sako itu tercantum segala tugas, hak dan kewajiban sebagai laki-laki penerima sako tersebut. Sedangkan mengenai pusako (harta warisan), setiap orang baik laki-laki maupun perempuan akan menerima warisan dari keluarga ibunya. Walaupun anak laki-laki juga mendapat bagian, namun dia tidak dapat mewariskan kepada anaknya. Dengan demikian kalau dia meninggal, harta itu akan kembali kepada keturunan menurut garis ibunya, yakni kemenakannya. Bagaimana dalam hal pusaka ini kemenakan laki-laki mempunyai hak mengusahakan, sedangkan kemenakan perempuan berhak memiliki (A.A Navis, 1986 : 159).


(14)

Berdasarkan hal diatas maka penulis menjadikan hal tersebut dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1.Bagaimana Jenis-jenis harta dalam Keluarga jepang(Ie) dan dalam keluarga Rumah gadang di Minangkabau

2. Bagaimana sistem pewarisan Keluarga Ie Dan bagaimana Pewarisan pada keluarga Rumah gadang.

3. Bagaimana keberadaan perempuan di masyarakat Jepang 4. Bagaimana keberadaan perempuan di masyarakat Minangkabau 5 Bagaimana sistem keturunan dalam keluarga Ie dan keluarga Bundo kanduang(Rumah Gadang) diMinangkabau

D. Ruang Lingkup Permasalahan

Dalam penulisan skripsi ini penulis membatasi ruang lingkup agar tidak terlalu luas yaitu : sistem pewarisan bagi kedua kehidupan Masyarakat Jepang dan Minangkabau. Khususnya difokuskan kepada membandingkan antara sistem Keluarga Ie (Jepang) dan Keluarga Bundo kanduang (Rumah Gadang) di Minangkabau

Selain menerangkan bagaimana perbedaan secara detail, disini juga dijelaskan bagaimana proses pembagian pusaka atau warisan. Di Minangakabau karena wanita yang dominan dalam mewarisi harta pusaka. Peranan wanita disini akan dikaji secara detail.

.

Dalam penulisan skripsi ini penulis membatasi ruang lingkup bahasanya agar tidak terlalu luas yaitu sistem kekeluargaan bagi kedua kehidupan masyarakat Minangkabau dan Jepang. Oleh karena itu untuk mendukung pembahasannya penulis


(15)

juga membahas latar belakang sejarah orang Jepang berdasarkan budayanya.

E. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1. Tinjauan Pustaka

Menurut Hakim Idrus, (1994 : 23) dalam judul “Pokok–Pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau”.Bahwa dalam sistem Matrilineal perempuan diposisikan sebagai pengikat, penyimpan atau dalam bahasa Minangkabaunya amban puruak dan sistem kekerabatan selalu dipertahankan dengan mengikuti sistem Matrilineal, pada pembagian warisan atau pusako dan prinsip keturunan Martilineal tidak hanya menentukan garis keturunan (suku) seseorang tetapi juga menentukan dalam hak pewarisan suku (gelar) dan pusako (harta warisan)”.

Dalam meneliti pembahasan ini penulis menggunakan Metode Kepustakaan, Forum Komunikasai Masyarakat Minangkabau dan website yang sangat ter update adalah : “Kelompok kekerabatan terkecil dalam masyarakat Minangkabau adalah yang samande (seibu), artinya kelompok yang lahir dari ibu yang sama”).

Pada cakupan mengenai kekeluargaan dan pewarisan pada masyarakat Jepang, buku – buku tersebut adalah Ilmu Kejepangan ( Situmorang , 2006 : 54) Dalam kehidupan sehari-hari orang Jepang banyak berhubungan dengan agama. Misalnya dalam perayaan Life Stage (daur hidup).

Disini akan dibahas mengenai struktural kedua proses antara Minangkabau dan Jepang. Dan akan dikaji juga bagaimana perbedaan kedua sistem keturunan tersebut. Dan Untuk lebih memberikan perbedaan yang hakiki, maka akan dikaji juga dalam masyarakat Minangkabau bagaimana patrilineal dan matrilineal dalam


(16)

kedua sistem keturunan tersebut.

2. Kerangka Teori

Bagi masyarakat Jepang prilaku kelahiran tersebut di mana roh manusia mempunyai proses perjalanan yang dimulai pada saat manusia lahir hingga manusia itu menjadi dewasa dan sampai meninggal, kemudian proses tersebut berlanjut pada perjalanan di dunia mati. Perjalanan tersebut digambarkan oleh Tuboi Yobumi sebagai sebuah perjalanan jarum jam terbalik dalam sebuah lingkaran ( Tuboi : 1972 : 20).

Van Gennep dalam bukunya Rites De Passage (1909), mengatakan bahwa: “Dalam hidupnya manusia itu melalui banyak krisis yang menjadi objek perhatiannya dan amat-amat ditakutinya. Dalam menghadapi hal tersebut dari mulai lahir, anak–anak, dewasa sampai meninggal manusia perlu perbuatan-perbuatan dalam bentuk upacara untuk memperteguh imannya.

Dari mulai adanya keluarga kecil atau masyarakat kecil, kemudian berkembang menjadi masyarakat luas. Namun untuk bisa berkembang sampai dengan masyarakat luas, maka adanya sistem yang menjalankan bagaimana keluarga itu berjalan sesuai sistem yang memang telah disetujui.

Dalam Masyarakat Manapun, aabila Orangtua sudah Meningal maka Hak dan Kewajiban dilanjutkan oleh keturunannya demikian juga dalam masyarakat Jepang dimana keturunannya justru Membuat Sesajen Adalah kewajiban keturunannya sehinga perlu dipastikan siapa yang membuat sesajen sehingga warisan nya juga diserahkan kepadanya .


(17)

Sistim kemasyarakatan atau yang dikenal sebagai sistem kelarasan merupakan dua instisusi adat yang dibentuk semenjak zaman kerajaan Minangkabau/Pagaruyung dalam mengatur pemerintahannya. Bahkan ada juga pendapat yang mengatakan, penyusunan itu dilakukan sebelum berdirinya kerajaan Pagaruyung.

Dalam system pewarisan Memakai sistem nan bambusek dari tanah, nan tumbuah dari bawah.

Kaputusan buliah dibandiang. Nan luruih buliah ditenok, nan bungkuak buliah dikadang. Maksudnya; segala keputusan ditentukan oleh sidang rapat para penghulu. Keputusan boleh dibanding, dipertanyakan dan diuji kebenarannya.

Bila persoalan timbul pada suatu kaum, kaum itu membawa persoalan kepada Datuak nan Batigo di Limo Kaum. Karena itu dalam kelarasan ini hirarkinya adalah sebagai berikut; kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka pangulu, pangulu barajo ka mupakaik, nan bana badiri sandirinyo.

Mengenai pusako (harta warisan), setiap orang baik laki-laki maupun perempuan akan menerima warisan dari keluarga ibunya. Walaupun anak laki-laki juga mendapat bagian, namun dia tidak dapat mewariskan kepada anaknya. Dengan demikian kalau dia meninggal, harta itu akan kembali kepada keturunan menurut garis ibunya, yakni kemenakannya. Bagaimana dalam hal pusaka ini kemenakan laki-laki mempunyai hak mengusahakan, sedangkan kemenakan perempuan berhak memiliki (A.A Navis, 1986 : 159)


(18)

F. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan penulis melakukan penelitian ini adalah:

1) Untuk mengetahui sistem pewarisan dalam masyarakat Jepang 2) Untuk mengetahui sistem pewarisan dalam masyarakat Minangkabau 3) Dan mengetahui perbandingan kedua budaya sistem pewarisan Jepang dan Minangkabau

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini antara lain adalah :

1. Agar para pembelajar bahasa Jepang dapat memahami sistem pewarisan dalam masyarakat Jepang.

2. Selain itu, agar para pembelajar dapat mengerti mengenai sistem pewarisan Minangkabau

3. Diharapkan untuk ke depannya skripsi ini bisa menjadi sumber data atas penelitian yang ada kaitannya dengan judul skripsi ini.

G. Metode Penelitian

Dalam memecahkan masalah di bawah ini bersifat deskriptif yakni memberikan gambaran secermat mungkin mengenai suatu individu, keadaan atau gejala, dalam kelompok tertentu. Berdasarkan fakta–fakta yang ada seperti bagaimana dalam masyarakat Jepang (Koentjaraningrat, 1976 :29).

Buku yang berbahasa Asing juga digunakan pada penelitian, jadi menggunakan teknik terjemahan. Dan lagi untuk mendapatkan data–data yang


(19)

berhubungan dengan judul ini, maka penulis melakukan pencarian data (survey book) yakni menghimpun data – data keberbagai perpustakaan.


(20)

BAB II

SISTEM KELUARGA JEPANG DAN SISTEM KELUARGA MINANGKABAU

2.1. Keluarga

Secara umum yang dimaksud dengan keluarga adalah adanya ibu, ayah dan anak. Namun keluarga menurut “Elliot dan Meril : 1961 (Cindy, 2007 : 15) mengatakan : keluarga adalah kelompok yang terdiri dari dua orang atau lebih yang tinggal bersama–bersama dan memiliki ikatan hubungan darah, perkawinan dan adopsi atau kekerabatan.

Sementara Menurut Burgess, dkk (1960), definisi keluarga adalah sbb: 1. Keluarga terdiri dari orang–orang yang disatukan dalam perkawinan.

2. Para anggota hidup bersama–sama dalam satu rumah tangga atau jika mereka hidup secara terpisah, mereka tetap menganggap rumah tangga tersebut sebagai rumah mereka.

3. Anggota keluarga berinteraksi dan berkomunikasi dengan yang lainnya. 4. Keluarga sama–sama menggunakan kultur yang diambil dalam masyarakat.

Hingga pada pemahaman umum kita ambil makna bahwa keluarga itu diawali dengan perkawinan, yang memberikan status kejelasan hubungan. Dan dari situlah mengetahui titik tolak berasal dari mana ikatan itu tersebut. seperti yang kita ketahui bahwa setiap keluarga diikat juga berdasarkan budaya dan norma–norma adat maka disimpulkan pastinya pola hidup yang dijalani berbeda.


(21)

2.2. Keluarga Jepang

Pada Keluarga Jepang Dikenal dua jenis yaitu: 1)Keluarga Kazoku( General Consept)

2)Keluarga Ie (Tradisionnal Jepang)

2.2.1 Kazoku

Kazoku adalah merupakan general konsep tentang keluarga dalam konsep umum, yang dimaksud dengan kazoku adalah hubungan suami istri, hubungan orang tua dan anak, dan diperluas pada hubungan persaudaraan yang didasarkan pada struktur masyarakat tersebut, dan struktur keluarga berbeda pada masing-masing masyarakat budaya.

Jenis-jenis keluarga atau kazoku (Jepang) yakni :

• Keluarga inti (nuclear family).

• Keluarga poligami (polygamous family).

• Keluarga luas (extended family).

Keluarga kazoku dapat berakhir karena kematian suami atau istri atau karena perceraian salah satu pihak, Dalam keluarga kazoku ini belum dikenal penyembahan leluhur, keluarga kazoku ini dibentuk dari perkawinan anak kedua atau anak ketiga dan seterusnya.

2.2.2. Ie

Menurut Ito, Ie adalah sebuah bentuk keluarga yang mempunyai sistem tersendiri yang berurat berakar pada masyarakat Jepang. Oleh karena itu Ie mempunyai hubungan yang dalam dengan sistem nilai dan struktur


(22)

masyarakat Jepang. Dan juga merupakan suatu sistem masyarakat dalam kesejarahan Jepang tersendiri.

(Ito 1982:58).

Ie adalah bentuk keluarga yang luas yang mengikuti garis keturunan ayah. Perbedaan paling utama dengan kazoku dan ie adalah dimana kazoku bisa berakhir dengan kematian sementara ie tidak akan pernah habis. Sehingga sekalipun orangtuanya suda meninggal , maka akan tetap diteruskan pewarisan /keberadaanya ( Situmorang, Hamzon, 2006 : 22- 23)

Terjadinya Keluarga Ie adalah karena apabila orang tua dalam keluarga sudah meninggal, maka dibuatlah kuburan keluarga dan juga dibuatlah altar pemujaan di rumah. Ie adalah keluarga luas, di dalamnya ada satu atau lebih pasangan perkawinan. Sebagai kepala keluarga Ie dilanjutkan dari generasi orang tua kepada generasi anak.

Situmorang, Hamzon, 2006 : 24 , dalam pandangan Ariga kizaemon (1990 : 265), Ie adalah Kelompok kerjasama dalam mengelolah kehidupan.Ariga tidak menyetujui apabila Ie dikatakan merupakan ikatan kelompok sedarah,karena pekerja dalam Ie pun adalah merupakan angota keluarga Ie tetapi belum tentu ada ikatan darah.

Pada waktu melanjutkan Ie, tidak ada pembagian warisan, hal ini berbeda dengan sistem kazoku. Dan yang paling penting, yang harus kita garis bawahi bahwa Sistem Ie (Ie seido) adalah kesinambungan keluarga.

Dan Objek dari kesinambungan tersebut adalah, hubungan darah yaitu (hubungan orang tua dan anak, hubungan abang adik), hubungan tempat tinggal (rumah dan pekarangan), hubungan ekonomi (produksi, konsumsi, usaha dan harta)


(23)

(Ito 1982:61).

2.3. Keluarga Minangkabau

Kata Minangkabau mengandung banyak pengertian. Salah satunya menurut , H. Mas'oed abidin, 2009, adalah, penduduk dan masyrakatnya menganut budaya minangkabau. Selain itu Minangkabau dipahamkan sebagai bahasa, penduduk, wilayah nya yang menggunakan minangakabau sebagai dasar identitas mereka. Membicarakan Minangkabau secara umum mendalami sebuah suku bangsa dengan latar belakang sejarah, adat, budaya, agama, dan segala aspek kehidupan masyarakatnya.

Sama seperti sistem kekerabatan masyarakat di Kabupaten Pasaman juga mengikuti prinsip keturunan matrilineal, artinya menghitung garis keturunan dari pihak ibu sehingga seorang anak akan menjadi anggota suku ibunya. Dengan prinsip keturunan matrilineal ini unsur Paman (saudara laki-laki ibu) menjadi tokoh yang sangat penting. Ia memikul tanggung jawab yang berat karena baik-buruknya keadaan kemenakan (anak saudara perempuannya) berada sepenuhnya ditangan Paman (mamak dalam bahasa minangkabau). Ini disebabkan karena walaupun yang punya anak adalah ibu, namun fungsi ayah dalam keluarga suku bangsa Minangkabau hanyalah sebagai tamu di rumah isterinya (disebut urang sumando). Urang Sumando ini tidak memiliki kekuasaan di rumah isterinya. Karena kekuasaan nya berada dalam lingkungan keluarga ibunya pula.

Kelompok kekerabatan terkecil dalam masyarakat Minangkabau adalah yang samande (seibu), artinya kelompok yang lahir dari ibu yang sama. Gabungan dari beberapa kelompok samande disebut saparuik (satu perut) yang dihitung sampai 5


(24)

keturunan darah tertentu disebut kampuang (kampung), yang dipimpin oleh seorang penghulu, maka timbullah suku. Bentuk-bentuk kelompok kekerabatan yang demikian juga ditemui pada masyarakat Minangkabau di Pasaman.

Seperti pada masyarakat Cubadak, juga dikenal hubungan saparuik(satu perut) yang dalam hal ini disebut saboltok. Saboltok(seinduk) merupakan tingkat sanak unyang(Adik perempuan ibu ego) yang paling jauh, yakni ibu dari nenek. Jadi dalam satu kaum itu bisa saja terdiri dari 3 boltok (3 induk). Beberapa induk ini kemudian membentuk satuan terkecil dalam masyarakat, yang disebut kaum. Satu kaum terdiri dari lima keturunan dari garis ibu (se-nenek). Kaum ini dikepalai oleh mamak. kaum yang disebut mamak tuo. Beberapa kaum kemudian menghimpun dalam satu kepenghuluan.(Hakimy Idrus, 1984 : 45)

Prinsip keturunan martilineal tidak hanya menentukan garis keturunan (suku) seseorang tetapi juga menentukan dalam hak pewarisan soko (gelar) dan pusako (harta warisan).

Pada masyarakat Cubadak prinsip ini dijalankan dengan sangat ketat bahkan boleh dikatakan untuk saat ini (“lebih Minang”dari pada masyarakat Minang itu sendiri”). Sebagai contoh, jika seorang mamak(paman) perempuannya tidak mengizinkan/tidak mau menanda-tangani surat-surat penjualan tanah, maka jual beli tidak dapat terlaksana. Akhir-akhir ini, adalah kedudukan perempuan sebagai pihak yang berhak memiliki pusaka, mulai diabaikan sehingga jika terjadi kasus seperti itu, paman tetap saja bisa menjual harta pusaka tersebut walau tidak ada tanda tangan pihak perempuan.

Mengenai istilah kekerabatan atau panggilan kekerabatan pada masyarakat Pasaman, juga tidak jauh berbeda dengan istilah-istilah kekerabatan dalam


(25)

masyarakat Minangkabau pada umumunya. Hanya pada daerah-daerah yang telah mengalami persentuhan budaya dengan daerah lain, panggilan kekerabatan itu sedikit berbeda. Hal ini terlihat pada masyarakat bagi Cubadak, dimana terdapat sebutan/panggilan-panggilan sebagai berikut :

- Apak : ayah ego - Indek : Ibu ego

- Akang : Kakak Perempuan ego - Kak Uwo : kakak laki-laki ego

- ‘nggik : Adik ego (baik laki-laki maupun perempuan) - ‘ndek tuo : Kakak Perempuan ibu ego

- Unyang : Adik perempuan ibu ego - Mamak : kakak/adik laki-laki ibu ego - Pak tua : kakak laki-laki ayah ego - Pak etek/Uda : Adik laki-laki ayah ego

- Amei : Kakak/adik perempuan ayah ego

Sebagaimana halnya pelapisan sosial pada masyarakat suku bangsa Minangkabau yang tidak begitu kentara, hanya membedakan antara penduduk yang mula-nula membuka daerah dengan penduduk yang datang belakangan, pelapisan sosial pada masyarakat Pasaman juga demikian. Yang membedakan hanyalah antara orang pendatang dengan penduduk asli. Bagi pendatang, mereka bisa mempunyai hak yang sama dengan penduduk asli, dengan catatan mereka harus mengisi adat, menuang limbago (artinya, secara utuh mengaku sebagai kemenakan, bukan menuntut sebagai mamak). Walaupun hak yang diterima sama, namun kepada para pendatang itu tidak bisa diberikan gelar kepangkatan menurut kesukuan (adat).


(26)

Falsafah Minangkabau “kaba baiak baimbawan, kaba buruak baambauan”, mendorong orang untuk melakukan kegiatan tolong menolong. Dalam peristiwa kemalangan seperti musibah, bencana alam atau kematian (kaba buruak), tolong menolong dilakukan seperti upacara perkawinan, sedangkan pada peristiwa kegembiraan seperti upacara perkawinan, kenduri atau selamatan lain (kaba baik), tolong menolong dilakukan dengan dilandasi pamrih. Pamrih yang dimaksudkan disini adalah adanya harapan dalam diri seseorang yang memberikan pertolongan bahwa suatu saat dia akan mendapat pertolongan pula jika mengadakan suatu perhelatan. Adapun gotong royong untuk memenuhi kewajiban sosial dapat dilihat dari pelaksanaan kegiatan membersihkan kampung, membangun sarana-sarana ibadah atau sarana sosial

2.3.1. Keluarga Biasa Minangkabau

Minangkabau secara umum mendalami sebuah suku bangsa dan latar belakang sejarah, adat, budaya, agama. Menelusuri sejarah tentang Minangkabau sebagai satu cabang dari ilmu pengetahuan.

Dan dalam kehidupan masyarakat Minangkabau peranan wanita sangat berpengaruh dalam kehidupan masa depan. Sehingga dalam kehidupan masyarkat dapat dilihat keberadaan perempuan Minangkabau dalam pengaruh keluarga.

Keluarga biasa Minangkabau, adalah keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu. Dimana garis keturunan Ibu. Sehingga anak semua akan melekatkan nama dibelakangnya dengan nama ibu, Dengan demikian seorang laki-laki akan menerima gelar dari ibunya (dalam kedudukannya sebagai kemenakan). Di dalam soko(gelar) itu tercantum segala tugas, hak dan kewajiban sebagai laki-laki penerima soko


(27)

tersebut. Sedangkan mengenai pusako (harta warisan), setiap orang baik laki-laki maupun perempuan akan menerima warisan dari keluarga ibunya. Walaupun anak laki-laki juga mendapat bagian, namun dia tidak dapat mewariskan kepada anaknya. Dengan demikian kalau dia meninggal, harta itu akan kembali kepada keturunan menurut garis ibunya, yakni kemenakannya. Bagaimana dalam hal pusako ini kemenakan laki-laki mempunyai hak mengusahakan, sedangkan kemenakan perempuan berhak memiliki (A.A Navis, 1986 : 159).

Sebagai sebuah sistem Matrilineal dijalankan berdasarkan kemampuan dan berbagai penafsiran oleh pelakunya , ninik mamak, kaum perempuan dan kemenakan,sistem kekeluargaan ini tetap dipertahankan masyarakat Minangkabau. Bahkan sampai disempurnakan sejalan dengan usaha menyempurnkan sistim adatnya . Terutama di dalam mekanisme penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.oleh karena itu peranan seorang penghulu atau ninik mamak dalam kaitan bermamak (berpaman) dalam berkemenakan sangatlah penting

2. 3. 2.Keluarga Bundo kanduang (keluarga Rumah Gadang)

Perempuan sering disebut dengan panggilan 'wanita'. Panggilan ini lazim dipakai di negeri kita. Kata-kata "wanita" dalam bahasa Sansekerta, berakar dari kata betina. Sebutan perempuan lebih tepat untuk panggilan bundo kanduang. Di masa jahiliyah berlaku pelecehan gender ketika di lahirkan anak perempuan disambut kematian. Wanita hanya pembawa aib, bayi perempuan itu mesti dibunuh. Setelah Islam, Alquran menyebut perempuan dengan annisa' dan umahat.

Perempuan adalah bundo atau "ibu". Annisa' adalah tiang bagi suatu negeri. Begitu penafsiran Islam tentang perempuan. Sejak dua alaf berlalu, Alquran Karim


(28)

menempatkan perempuan dalam derajat yang sama dengan jenis laki-laki pada posisi azwajan atau pasangan hidup.

Perempuan menyimpan arti pemimpin (raja), orang pilihan, ahli, yang pandai, dengan segala sifat keutamaan yang lain.Mengenal atau menyayangi kampung halaman, pandai menata dan menyajikan kebahagiaan di rumah tangga, pandai menuntun kepada yang baik dan menghimpunkan yang terserak, takut budinya akan terjual, sangat cemas malu pendirian akan tergadai Artinya perempuan di dalam budaya Minangkabau sangat teguh memelihara citra konsisten. Perempuan Minangkabau mengetahui mana yang pantas dan patut dia lakukan. Budaya Minangkabau mengajarkan cara-cara maju kepada perempuan Minangkabau yaitu, pandai meletakkan sesuatu pada tempatnya. Selaku perempuan yang mempunyai budaya tinggi, ia harus tahu mana yang pantas di tempat yang tinggi dan mana pula semestinya di tempat yang rendah. Perempuan Minangkabau pandai berhitung. Mereka hemat dan pandai mengatur diri. Bayang-bayang sepanjang badan. Tidak boros.

Sikap laku dan perangainya dapat ditiru. Amalannya dapat dicontoh. Kasuri tuladan kain artinya seperti patron kain yang akan dipotong dan dijahit. Perempuan Minangkabau selalu bertindak adil konsisten seperti cupak (gantang) dari batuang (buluh), selamanya teguh buatannya dan tindakannya dapat dijadikan ukuran. Demikian satu norma kehidupan (grand norm) perempuan Minangkabau secara ideal.Perempuan Minangkabau adalah seorang yang pemurah dan penyantun. Buatannya dapat dipedomanin. Bermanfaat untuk orang senagari(sedaerah).

Perempuan Minangkabau adalah pribadi yang jimek,( bersih, lemah lembut), tegas tak ada dandanan yang disisakan dan shalihat, yang kameh (kemas),


(29)

berperaturan. Barameh kameh, bapadi manjadi, artinya lengkap, patuh setia (qanitat) dan segeh, (cukup, sigap), tak kurang satu apapun, dibarengi sigap dan tangkas serta sangat pandai menjaga diri (hafizat lil ghaibi). Perempuan Minangkabau rancak lantaran memadukan tiga sikap utama yang menggambarkan sikap jiwa (mental attitude) yang dibentuk oleh budaya bundo(ibu). Berbudi pekerti dan mengutamakan rasa malu.

Begitulah peran perempuan Minangkabau yang disebut bundo kanduang. Luwes dan cekatan. Cantik dan cerdas. Bagaikan dalam kisah Sabai nan Aluih, samuik tapijak indak mati, alu ta taruang patah tigo , Artinya: lemah lembut dan tegas.

Falsafah hidup beradat mendudukkan perempuan Minangkabau pada sebutan bundo kandung dimana pada masyarakat minangkabau ada pantun seruan bagi perempuan minangkabau

limpapeh rumah nan gadang, amban puro pegangan kunci, amban puruak aluang bunian, hiasan di dalam kampuang,


(30)

BAB III

PERBANDINGAN SISTEM PEWARISAN MASYARAKAT JEPANG DAN MASYARAKAT MINANGKABAU

3.1. Pewarisan Masyarakat Jepang

Hubungan dari budaya yang bersifat semiotik /abstrak atau yang bersifat ideologi dengan kebudayaan yang bersifat konkrit adalah berada dalam lapisan struktur. Oleh karena itu apabila 2 buah kebudayaan berinteraksi , maka struktur luar adalah yang paling duluan dapat diterima.

Sebelum kita membahas bagaimana sistem pewarisan dimasyarakat Jepang maka kita lihat dulu sejarah masyarakat Jepang. Kata sejarah adalah menunjukkan perkembangan sesuatu dalam proses waktu, oleh karena itu segala sesuatu yang terjadi disekitar dapat diambil sejarah ( Situmorang, hamzon, 2006:5 ).

Jepang berasal dari dari kata Jepun atau Jipun bacaan dari huruf日本(nihon) dan Nippon adalah sebutan dari orang china.

Dalam menjalani kehidupannya Jepang menganut Ie adalah sebuah konsep keluarga tradisonal. Dalam konsep ini semua keturunan mengikuti garis keturunan ayah. Dan terjadinnya Ie pun apabila orang tua sudah meninggal. Otomatis karena masyarakat Jepang menganut paham patrilineal maka harta warisan akan jatuh kepada anak laki – laki.

3.1.1. Harta Ie

Ie merupakan konsep tradisional. Dan dengan konsep ini sangat banyak scope. Bila dibandingan dengan kazoku , kazoku bisa berakhir dengan perceraiaan atau kematian. Namun hal ini berbeda dengan Ie, tidak putus dengan ikatan kematian


(31)

atau perceraiaan. Dan Ie terjadi jika orangtua sudah tidak ada lagi ( meninggal ) maka dibuatlah kuburan keluarga dan diasebut altar pemujaan dirumah. Setelah kematian orangtua mereka yang selama 33 tahun maka menurut kepercayaan mereka tersebut menjadi dewa atau bukan roh gentayangan(muenbotoke). Dan untuk menggantikan kepala keluarga itu otomatis anak laki–laki yang akan difungsikan. Sehingga otomatis dari sinilah harta ie akan terus diimiliki. Namun hanya kalau wanita saja anaknya, maka pasangan anaknya tersebut yang menjadi kepala / pengurus keturunan tersebut.

Pada waktu pelanjutan Ie, tidak ada pembagian warisan, hal ini berbeda dengan sistem kazoku. Dimana harta itu tidak dijual melainkan dilanjutkan atau dijaga. Kalaupun ada rumah, ladang dan lain- lain, tidak dibagi-bagikan kepada anak-anaknya, melainkan bagaimana untuk melanjutkannya kedepan. Sehingga dengan cara ini hubungan leluhur dan keturunan dapat terjaga dan terus berkesinambungan walaupun diakui akan berbau leluhur. Dan ditekankan sekali bahwa semua harta tidak untuk dijual (Ito, 1982 : 66, Situmorang Hamzon 2006 : 27).

3.1.2. Harta Dapatan

Harta dapatan yang diamaksud disini adalah, seperti yang diketahui kazoku dan konsep Ie berbeda, kalau Ie sudah jelas diberlakukan mulai zaman feodal, dan tidak putus oleh apapun sekalipun kematian. Namun dikazoku itu berlaku. Dan biasanya jika mereka bercerai atau kematian maka harta yang harus memang dibagikan kemana itu tidak dilanjutakan tapi mungkin dimiliki bersama.


(32)

Pada Minangkabau secara umum mendalami sebuah suku bangsa dengan latar belakang, sejarah, adat, budaya, agama, dan segala aspek kehidupan masyarakatnya. Mengingat hal seperti itu, ada dua sumber yang dapat dijadikan rujukan dalam mengkaji Minangkabau, yaitu sumber dari  Sumber sejarah

Sumber dari tambo

Kedua sumber ini sama penting, walaupun di sana sini, pada keduanya ditemui kelebihan dan kekurangan, namun dapat pula saling melengkapi.

Minangkabau pada dahulunya sangat terkenal dengan sifat kekeluargaan, sistem kekerabatan Matrilineal sepertinya goyah oleh faktor ekonomi. Memang segala pekerjan dilakukan secara bersama (konsi), saling membahu, itu dulu dan apakah hal seperti ini bisa diterapkan zaman sekarang, kalaupun kala ini terjadi di daerah pedesaan-pedesaan tradisional dan belum tersentuh oleh arus modernisasi. Kekentalan rasa kekeluargaan, kegotong-royongan dan sikap tanpa pamrih, seakan-akan hilang begitu saja, jika virus ekonomi bertebaran di dalam masyarakat Minangkabau dan akhirnya akan membekas menjadi mitos, legenda, dongeng di dalam sebuah folklore. Kenapa bisa begitu ?,pertanyan seperti ini mungkin tidak asing lagi bagi kita, kita cukup merujuk pada konsep di atas yaitu perekonomian. Seperti yang telah diterangkan di atas, faktor ekonomi sangat berpengaruh dalam suatu perubahan sosial. Kealamiahannya seakan-akan membawa kita hanyut dan terlena, sehingga kita kehilangan keseimbangan dan menganggap budaya tradisi tidak cocok lagi dengan perekembangan zaman. Hal inilah yang sangat berpengaruh dalam perubahan fungsi Ayah yang merangkap menjadi mamak(Paman) di Minangkabau. Pada dasarnya, seorang mamak mengemban tanggung jawab yang


(33)

sangat berat di dalam lingkungan rumah gadang. Masalah sekecil apapun, seorang mamak(paman) tidak akan ketinggalan.

Seperti yang telah diterangkan di atas, faktor ekonomi sangat berpengaruh dalam suatu perubahan sosial. Kealamiahannya seakan-akan membawa kita hanyut dan terlena, sehingga kita kehilangan keseimbangan dan menganggap budaya tradisi tidak cocok lagi dengan perekembangan zaman. Hal inilah yang sangat berpengaruh dalam perubahan fungsi Ayah yang merangkap menjadi mamak(paman) di Minangkabau. Pada dasarnya, seorang paman mengemban tanggung jawab yang sangat berat di dalam lingkungan rumah gadang. Masalah sekecil apapun, seorang paman tidak akan ketinggalan.

Perubahan diatas seolah-olah seimbang dan tidak ada yang dirugikan, baik mamak(Paman) maupun Ayah. Hanya saja Ayah sebagai paman akan kehilangan kekuasaannya terhadap kemenakan, tetapi kekuasaan tersebut akan ditemukan kembali apabila mereka sudah menjadi seorang Ayah. Persoalan hanya akan timbul, apabila mereka tidak mempunyai keturunan atau mandul. Jika kita perhatikan, kerugian akan sangat terasa apabila ayah menempati posisi mamak(paman) di lingkungan rumah gadang, karena pada awalnya mereka memegang kekuasan yang dominan terhadap kemenakan. Dan persoalan kedua pun muncul kembali, jika kemenakan-kemenakan tidak mempunyai seorang mamak(paman), otomatis kewajiban terhadap anak-anak akan bertumpu kepada Ayah dan sungguh tidak mungkin, jika anak-anak mereka dicarikan seorang Paman pengganti dalam mendidik anak-anak mereka.

Kita beralih kepada harta pusaka, harta pusaka yang berupa tanah ulayat, tanah kaum dan segala perangkat-perangkatnya baik surat menyurat semuanya berada di


(34)

tangan paman. Apapun tindakan terhadap harta pusaka harus melalui paman. Penggadaian, penjualan dan sebagainya paman yang menentukan, perempuan hanya tempat meminta pertimbangan, yang hanya bersifat formalitas belaka. Akan tetapi permasalahannya yang ketiga muncul kembali, jika keluarga rumah gadang tersebut tidak mempunyai harta pusaka, hal ini mungkin tidak menjadi masalah yang serius bagi mereka, kalaupun ada itu hanya sebatas tanah untuk tempat tinggal.

Mulai dari tanggung jawab terhadap kemenakan hingga harta pusaka dan masih banyak lagi fungsi paman yang membutuhkan pembahasan yang lebih khusus tentunya.Peran mamak(paman) tersebut di atas tanpa disadari telah beralih kepada ‘’urang sumando’’ selaku Ayah dari anak-anak mereka. Dalam hal ini, pandangan kita akan tertuju kembali pada faktor ekonomi. Perekonomian yang didominasi oleh seorang Ayah, akan menghilangkan dan menghambat terlaksananya fungsi mamak terhadap kemenakan-kemenakan mereka. Dalam memenuhi kebutuhan keluarga, pendidikan anak yang kian hari semakin meningkat seakan–akan telah menjadi tanggung jawab Ayah sepenuhnya, apa lagi keluarga tersebut sudah jauh dari negeri asal, yang dikenal dengan ‘’marantaau’’. Dalam pola hidup merantau ini, dominasi Ayah akan semakin kuat, apalagi rumah yang mereka tinggali di buat oleh sang Ayah. Jika mamak(paman) datang berkunjung kerumah kemenakan, namun paman tidak berhak apa-apa terhadap kemenakan.paman, di sini hanya sebagai tamu terhormat, karena Paman berkuasa hanya berkuasa di lingkungan rumah gadang belaka, sedangkan rumah ini dibuat oleh Ayah mereka, maka tereliminasilah fungsi mamak(Paman) tersebut terhadap kemenakan. Sejalan dengan itu, Paman dalam keluarga batihnya juga demikian. Mamak(Paman) sebagai seorang Ayah tidak akan melepaskan tanggung jawab terhadap anak-anaknya. Jika paman dari anak-anak


(35)

mereka datang berkunjung, maka posisinya tidak lebih sebagai tamu, yang tidak berhak terhadap keluarga batihnya.

Jika kita memilah-milah dan mencari siapa yang benar dan siapa yang salah, maka pandangan kita mungkin akan tertuju kepada mamak(paman). Kepribadian paman yang sangat rapuh dan tingkah laku paman yang ‘’busuak ariang’’ akan berubah jika berbenturan dengan faktor ekonomi, paman merupakan di sini berfungsi sebagai pelaku aktif terjadinya suatu perubahan. Sifat paman yang kekanak-kanakan, manja dan tebal muka, tanpa merasa bersalah dengan sengaja menggerogoti hak-hak kemenakannya.

Harta pusaka (tanah) misalnya, jangankan harta pusaka keluarga, harta pusaka kaum pun dilibas oleh paman dan hasilnya dipergunakan dalam menunjang perekonomian keluarga batihnya. Paman memperjual-belikan dan menggadaikannya tanpa sepengetahuan dari pihak perempuan, kalaupun mereka diberi tahu, sifatnya hanya sebatas formalitas tanpa mengacuhkan argumen-argumen yang muncul dari mereka. Kita sebagai kemenakan sebenarnya telah diperlakukan sebagai ‘’urang pandia, umbua-umbua di tangah sawah ‘’kata orang Pariaman.

Menurut kepada realitas demikian, Ayah sebagai sumando tidak akan membiarkan kehancuran melanda anak-anak mereka. Berbagai arternatif-arternatif akan muncul untuk memenuhi kebutuhan keluarga batihnya, mungkin dengan menggadai dan menjual harta pusaka kaumnya ataupun meninggalkan negeri asal yang dikenal dengan ‘’marantau’’. Bagaimanapun juga, seorang Ayah tidak akan tega melihat anak-anak dan keluarganya terlantar, untuk mengatasi semua ini Ayah akan berusaha mati-matian untuk memenuhinya, meskipun harus mengadaikan atau menjual harta pusaka kaumnya. Dengan pengorbanan yang cukup besar ini, seorang


(36)

Ayah dipersalahkan, ‘’urang sumando lapiak buruak ‘’ tidak relevan bagi mereka, tetapi sebagai paman di lingkungan rumah gadang, mereka tetap sebagai orang yang sangat bersalah terhadap kemenakan, keluarga maupun hal itu tidak pantas pada sistem kekeluargaan yang seperti suku bangsa yang lain nya

Seperti yang telah dijelaskan di atas, merantau adalah salah satu arternatif yang biasa dipergunakan oleh seorang Ayah dalam mengatasi kesulitan ekonomi keluarganya. Dalam masa perantauan ini, ayah akan berusaha membentuk keluarga yang sakinah ’’gemah ripah loh jenawi’’ kata orang seberang, yang terlepas dari pengawasan dan keterikatan negeri asal. Pola hidup merantau ini tidak bisa disebut suatu penyimpangan, karena dahulunya daerah rantau sudah ada di Minangkabau, namun wilayahnya masih dalam kawasan Minangkabau. Berdasarkan perkembaagan zaman, daerah yang berada di luar Minang sudah dapat dikatakan daerah perantauan orang minang, perbedaannya terletak pada pemberian upeti. Daerah rantau dalam kawasan Minangkabau tetap memberikan upeti terhadap Kerajaan Pagaruyung, tetapi sekarang Kerajaan Pagaruyung tidak adalagi. Lain halnya dengan perantau ke luar daerah Minang, mereka tidak memberikan upeti kepada negeri asal.Seperti yang telah dibahas sebelumnya, faktor ekonomi sangat berpengaruh dalam suatu perubahan. Perekonomian yang tidak seimbang akan menciptakan perubahan-perubahan di segala bidang kehidupan. Ekonomilah yang menjadikan seorang paman radikal dan ekonomilah yang mencipatakan seorang Ayah absolut. Dan ekonomi juga yang menghancurkan tatanan kehidupan masyarakat di Minangkabau.

Perubahan alamiah seperti ini, seakan-akan tidak terbendung, walaupun sifatnya sangat perlahan, loyalitas ‘’kembali kanagari’’ sepertinya tidak akan relevan dengan perekembangan zaman. Sungguhpun perekonomian sangat aktif menjalankan


(37)

perannya, namun proses akulturasi, inovasi, dan sejenisnya juga berperan dalam perubahan ini, tetapi pada dasarnya faktor-faktor tersebut juga dilatarbelakangi oleh faktor ekonomi juga.

Jika berdasarkan sumber sejarah maka menelusuri sejarah tentang Minangkabau, sebagai satu cabang dari ilmu pengetahuan, maka mesti didasarkan bukti-bukti yang jelas dan otentik. Dapat berupa peninggalan-peninggalan masa lalu, prasasti-prasasti, batu tagak (menhir), batu bersurat, naskah-naskah dan catatan tertulis lainnya. Dalam hal ini, ternyata bukti sejarah lokal Minangkabau termasuk sedikit. Banyak catatan dibuat oleh pemerintahan Hindia Belanda (Nederlandsche Indie), tentang Minangkabau atau Sumatera West Kunde, yang amat memerlukan kejelian di dalam meneliti. Hal ini disebabkan, catatan-catatan dimaksud dibuat untuk kepentingan pemerintahan Belanda, atau keperluan dagang oleh Maatschappij Koningkliyke VOC.

Jika berdasarkan sumber dari tambo(sejarah kaum), Tambo atau uraian mengenai asal usul orang Minangkabau dan menerakan hukum-hukum adatnya, termasuk sumber yang mulai langka di wilayah Minangkabau sekarang. Sungguhpun, penelusuran sejarah kaum sulit untuk dicarikan rujukan seperti sejarah, namun apa yang disebut dalam sejarah kaum masih dapat dibuktikan ada dan bertemu di dalam kehidupan masyarakat Minangkabau.

Tambo (sejarah kaum) diyakini oleh orang Minangkabau sebagai peninggalan orang-orang tua. Bagi orang Minangkabau, tambo dianggap sebagai sejarah kaum. Walaupun, di dalam catatan dan penulisan sejarah sangat diperhatikan penanggalan atau tarikh dari sebuah peristiwa, serta di mana kejadian, bagaimana terjadinya, bila masanya, dan siapa pelakunya, menjadikan penulisan sejarah otentik. Sementara


(38)

tambo tidak terlalu mengutamakan penanggalan, akan tetapi menilik kepada peristiwanya. Tambo lebih bersifat sebuah kisah, sesuatu yang pernah terjadi dan berlaku.

Tentu saja, bila kita mempelajari tambo kemudian mencoba mencari rujukannya sebagaimana sejarah, kita akan mengalami kesulitan dan bahkan dapat membingungkan. Sebagai contoh; dalam tambo(sejarah kaum) Minangkabau tidak ditemukan secara jelas nama Adhytiawarman, tetapi dalam sejarah nama itu adalah nama raja Minangkabau yang pertama berdasarkan bukti-bukti prasasti.

Dalam hal ini sebaiknya sikap kita tidak memihak, artinya kita tidak menyalahkan tambo atau sejarah. Sejarah adalah sesuatu yang dipercaya berdasarkan bukti-bukti yang ada, sedangkan tambo adalah sesuatu yang diyakini berdasarkan ajaran-ajaran yang terus diturunkan kepada anak kemenakan.

Banyak ahli telah meneliti dan menulis tentang sejarah Minangkabau, dengan pendapat, analisa dan pandangan yang berbeda. Tetapi pada umumnya mereka membagi beberapa periode kesejarahan; Minangkabau zaman sebelum Masehi, zaman Minangkabau Timur dan zaman kerajaan Pagaruyung. Seperti yang ditulis MD Mansur dkk dalam Sejarah Minangkabau, bahwa zaman sejarah Minangkabau pada zaman sebelum Masehi dan pada zaman Minangkabau Timur hanya dua persen saja yang punya nilai sejarah, selebihnya adalah mitologi, cerita-cerita yang diyakini sebagai tambo.

Sistim kemasyarakatan atau yang dikenal sebagai sistem kelarasan merupakan dua instisusi adat yang dibentuk semenjak zaman kerajaan Minangkabau/Pagaruyung dalam mengatur pemerintahannya. Bahkan ada juga pendapat yang mengatakan, penyusunan itu dilakukan sebelum berdirinya kerajaan


(39)

Pagaruyung.

Kedua institusi tersebut masih tetap dijalankan oleh masyarakat adat Minangkabau sampai sekarang. Keberadaan dan peranannya sudah menjadi bakuan sosial atau semacam tatanan budaya yang diakui dan menjadi rujukan dalam menjalankan dan membicarakan tatanan adat alam Minangkabau. Kedua institusi itu tidak berdiri keduanya begitu saja. Dalam sebuah tatanan pemerintahan, kedua institusi tersebut berjalan searah dengan institusi lainnya atau lembaga-lembaga lainnya. Lembaga-lembaga tersebut terdiri dari: Rajo Tigo Selo; yang terdiri dari Raja Alam, Raja Adat dan Raja Ibadat.

Mengenai bagaimana melakukan pembagian warisan mereka menggunakan berbagai rangkaian aturan yang telah ditetapkan.

1. Kelarasan Koto Piliang (yang menjalankan pemerintahan) yang dipimpin oleh Datuk bandaro Putih Pamuncak Koto Piliang berkedudukan di Sungai Tarab. Hirarki dalam kelarasan Koto Piliang mempunyai susunan seperti di atas yang disebut; bajanjang naiak batanggo turun, dengan prinsip pengangkatan penghulu-penghulunya; patah tumbuah.Kelarasan Bodi Caniago (yang menjalankan persidangan) yang dipimpin oleh Datuk Badaro Kuniang, Gajah Gadang Patah Gadiang berkedudukan di Limo Kaum.Hirarki dalam kelarasan Bodi Caniago mempunyai susunan yang disebut; duduak samo randah tagak samo tinggi(duduk sama rendah berdiri sama tinggi)


(40)

Kedudukan raja berada di atas dua kelarasan; Koto Piliang dan Bodi Caniago. Bagi kelarasan Koto Piliang, kedudukan raja di atas segalanya. Sedangkan bagi Kelarasan Bodi Caniago kedudukan raja adalah symbolik sebagai pemersatu.

3. Sistem matrilineal adalah suatu sistem yang mengatur kehidupan dan ketertiban suatu masyarakat yang terikat dalam suatu jalinan kekerabatan dalam garis ibu. Seorang anak laki-laki atau perempuan merupakan klen dari perkauman ibu. Ayah tidak dapat memasukkan anaknya ke dalam klen-nya sebagaimana yang berlaku dalam sistem patrilineal. Oleh karena itu, waris dan pusaka diturunkan menurut garis ibu pula.

Menurut Muhammad Radjab (1969) sistem matrilineal mempunyai ciri-cirinya sebagai berikut;

1. Keturunan dihitung menurut garis ibu. 2. Suku terbentuk menurut garis ibu

3. Tiap orang diharuskan kawin dengan orang luar sukunya (exogami) 4. Pembalasan dendam merupakan satu kewajiban bagi seluruh suku

5. Kekuasaan di dalam suku, menurut teori, terletak di tangan “ibu”, tetapi jarang sekali dipergunakan, sedangkan

6. Yang sebenarnya berkuasa adalah saudara laki-lakinya

7. Perkawinan bersifat matrilokal, yaitu suami mengunjungi rumah istrinya 8. Hak-hak dan pusaka diwariskan oleh mamak(Paman) kepada kemenakannya


(41)

Sistem kekerabatan ini tetap dipertahankan masyarakat Minangkabau sampai sekarang. Bahkan selalu disempurnakan sejalan dengan usaha menyempurnakan sistem adatnya. Terutama dalam mekanisme penerapannya di dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu peranan seorang penghulu ataupun ninik mamak dalam kaitan bermamak(berpaman) berkemanakan sangatlah penting.

Bahkan peranan penghulu dan ninik mamak itu boleh dikatakan sebagai faktor penentu dan juga sebagai indikator, apakah mekanisme sistem matrilineal itu berjalan dengan semestinya atau tidak.

Jadi keberadaan sistem ini tidak hanya terletak pada kedudukan dan peranan kaum perempuan saja, tetapi punya kaitan yang sangat kuat dengan institusi ninik mamaknya di dalam sebuah kaum, suku atau klen.

Sebagai sebuah sistem, matrilineal dijalankan berdasarkan kemampuan dan berbagai penafsiran oleh pelakunya; ninik-mamak, kaum perempuan dan anak kemenakan. Akan tetapi sebuah uraian atau perincian yang jelas dari pelaksanaan dari sistem ini, misalnya ketentuan-ketentuan yang pasti dan jelas tentang peranan seorang perempuan dan sanksi hukumnya kalau terjadi pelanggaran, ternyata sampai sekarang belum ada. Artinya tidak dijelaskan secara tegas tentang hukuman jika seorang Minang tidak menjalankan sistem matrilineal tersebut.

Sistem itu hanya diajarkan secara turun temurun kemudian disepakati dan dipatuhi, tidak ada buku rujukan atau kitab undang-undangnya. Namun begitu, sejauh manapun sebuah penafsiran dilakukan atasnya, pada hakekatnya tetap dan tidak beranjak dari fungsi dan peranan perempuan itu sendiri. Hal seperti dapat dianggap sebagai sebuah kekuatan sistem tersebut yang tetap terjaga sampai


(42)

sekarang.

Pada dasarnya sistem matrilineal bukanlah untuk mengangkat atau memperkuat peranan perempuan, tetapi sistem itu dikukuhkan untuk menjaga, melindungi harta pusaka suatu kaum dari kepunahan, baik rumah gadang, tanah pusaka dan sawah ladang.

Bahkan dengan adanya hukum faraidh dalam pembagian harta menurut Islam, harta pusaka kaum tetap dilindungi dengan istilah “pusako tinggi”, sedangkan harta yang boleh dibagi dimasukkan sebagai “pusako randah”.

Dalam sistem matrilineal perempuan diposisikan sebagai pengikat, pemelihara dan penyimpan, sebagaimana diungkapkan pepatah adatnya amban puruak atau tempat penyimpanan. Itulah sebabnya dalam penentuan peraturan dan perundang-undangan adat, perempuan tidak diikut sertakan. Perempuan menerima bersih tentang hak dan kewajiban di dalam adat yang telah diputuskan sebelumnya oleh pihak ninik mamak.

Perempuan menerima hak dan kewajibannya tanpa harus melalui sebuah prosedur apalagi bantahan. Hal ini disebabkan hak dan kewajiban perempuan itu begitu dapat menjamin keselamatan hidup mereka dalam kondisi bagaimanapun juga. Semua harta pusaka menjadi milik perempuan, sedangkan laki-laki diberi hak untuk mengatur dan mempertahankannya.

Perempuan tidak perlu berperan aktif seperti ninik mamak. Perempuan Minangkabau yang memahami konstelasi seperti ini tidak memerlukan lagi atau menuntut lagi suatu prosedur lain atas hak-haknya. Mereka tidak memerlukan emansipasi lagi, mereka tidak perlu dengan perjuangan gender, karena sistem


(43)

matrilineal telah menyediakan apa yang sesungguhnya diperlukan perempuan. Para ninik-mamak telah membuatkan suatu “aturan permainan” antara laki-laki dan perempuan dengan hak dan kewajiban yang berimbang antar sesamanya.

Oleh karena itulah institusi ninik-mamak menjadi penting dan bahkan sakral bagi kemenakan dan sangat penting dalam menjaga hak dan kewajiban perempuan. Keadaan seperti ini sudah berlangsung lama, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dengan segala plus minusnya.

Keunggulan dari sistem ini adalah, dia tetap bertahan walau sistem patrilineal juga diperkenalkan oleh Islam sebagai sebuah sistem kekerabatan yang lain pula. Sistim matrilieal tidak hanya jadi sebuah “aturan” saja, tetapi telah menjadi semakin kuat menjadi suatu budaya, way of live, kecenderungan yang paling dalam diri dari setiap orang Minangkabau.

Sampai sekarang, pada setiap individu laki-laki Minang misalnya, kecenderungan mereka menyerahkan harta pusaka, warisan dari hasil pencahariannya sendiri, yang seharusnya dibagi menurut hukum faraidh kepada anak-anaknya, mereka lebih condong untuk menyerahkannya kepada anak perempuannya.

Anak perempuan itu nanti menyerahkan pula kepada anak perempuannya pula. Begitu seterusnya. Sehingga Tsuyoshi Kato dalam disertasinya menyebutkan bahwa sistem matrilineal akan semakin menguat dalam diri orang-orang Minang walaupun mereka telah menetap di kota-kota di luar Minang sekalipun. Sistem matrilineal tampaknya belum akan meluntur sama sekali, walau kondisi-kondisi sosial lainnya sudah banyak yang berubah.


(44)

menjalankan sistem itu haruslah orang Minangkabau itu sendiri. Untuk dapat menentukan seseorang itu orang Minangkabau atau tidak, ada beberapa ketentuannya, atau syarat-syarat seseorang dapat dikatakan sebagai orang Minangkabau.

Syarat-syarat seseorang dapat dikatakan orang Minangkabau;  Basuku (bamamak bakamanakan)

 Barumah gadang(punya rumah gadang)

 Diberikan dalam tiga tingkatan:Basasok bajarami

 Basawah baladang(punya sawah ladang) Bapandan pakuburan(punya kuburan)

Batapian tampek mandi(punya tempat mandi)

Seseorang yang tidak memenuhi ketentuan tersebut di dalam berkaum bernagari, dianggap “orang kurang” atau tidak sempurna. Bagi seseorang yang ingin menjadi orang Minang juga dibuka pintunya dengan memenuhi berbagai persyaratan pula.

Dalam istilah inggok mancangkam tabang basitumpu. Artinya orang itu harus masuk ke dalam sebuah kaum atau suku, mengikuti seluruh aturan-aturannya.

Ada empat aspek penting yang diatur dalam sistem matrilienal pada saat pembagian harta pusako :

Harta pusaka yang dalam terminologi Minangkabau disebut harato jo pusako. Harato adalah sesuatu milik kaum yang tampak dan wujud secara material seperti sawah, ladang, rumah gadang, ternak dan sebagainya.


(45)

Pusako adalah sesuatu milik kaum yang diwarisi turun temurun baik yang tampak maupun yang tidak tampak. Oleh karena itu di Minangkabau dikenal pula dua kata kembar yang artinya sangat jauh berbeda; sako(gelar) dan pusako(harta warisan).

1. Sako

Sako adalah milik kaum secara turun temurun menurut sistem matrilineal yang tidak berbentuk material, seperti gelar penghulu, kebesaran kaum, tuah dan penghormatan yang diberikan masyarakat kepadanya.

Sako merupakan hak bagi laki-laki di dalam kaumnya. Gelar demikian tidak dapat diberikan kepada perempuan walau dalam keadaan apapun juga. Pengaturan pewarisan gelar itu tertakluk kepada sistem kelarasan yang dianut suku atau kaum itu.

Jika menganut sistim kelarasan Koto Piliang, maka sistem pewarisan sakonya berdasarkan; patah tumbuah. Artinya, gelar berikutnya harus diberikan kepada kemenakan langsung dari si penghulu yang memegang gelar itu. Gelar demikian tidak dapat diwariskan kepada orang lain dengan alasan papun juga.

Jika tidak ada laki-laki yang akan mewarisi, gelar itu digantuang atau dilipek atau disimpan sampai nanti kaum itu mempunyai laki-laki pewaris.

Jika menganut sistem kelarasan Bodi Caniago, maka sistem pewarisan sakonya berdasarkan hilang baganti. Artinya, jika seorang penghulu pemegang gelar kebesaran itu meninggal, dia dapat diwariskan kepada lelaki di dalam kaum berdasarkan kesepakatan bersama anggota kaum itu. Pergantian demikian disebut secara adatnya gadang balega.Di dalam halnya gelar kehormatan atau gelar


(46)

kepenghuluan (datuk) dapat diberikan dalam tiga tingkatan:Basasok bajarami Gelar yang diwariskan dari mamak ke kemenakan. Gelar ini merupakan gelar pusaka kaum sebagaimana yang diterangkan di atas. Gelar ini disebut sebagai gelar yang mengikuti kepada perkauman yang batali darah.

Gelar yang diberikan oleh pihak keluarga ayah (bako) kepada anak pisangnya, karena anak pisang tersebut memerlukan gelar itu untuk menaikkan status sosialnya atau untuk keperluan lainnya. Gelar ini hanya gelar panggilan, tetapi tidak mempengaruhi konstelasi dan mekanisme kepenghuluan yang telah ada di dalam kaum. Gelar ini hanya boleh dipakai untuk dirinya sendiri, seumur hidup dan tidak boleh diwariskan kepada yang lain; anak apalagi kemenakan. Bila si penerima gelar meninggal, gelar itu akan dijemput kembali oleh bako dalam sebuah upacara adat. Gelar ini disebut sebagai gelar yang berdasarkan batali adat.

Gelar yang diberikan oleh raja Pagaruyung kepada seseorang yang dianggap telah berjasa menurut ukuran-ukuran tertentu. Gelar ini bukan gelar untuk mengfungsinya sebagai penghulu di dalam kaumnya sendiri, karena gelar penghulu sudah dipakai oleh penghulu kaum itu, tetapi gelaran itu adalah merupakan balasan terhadap jasa-jasanya. Gelaran ini disebut secara adat disebabkan karena batali suto. Gelar ini hanya boleh dipakai seumur hidupnya dan tidak boleh diwariskan. Bila terjadi sesuatu yang luar biasa, yang dapat merusakkan nama raja, kaum, dan nagari, maka gelaran itu dapat dicabut kembali.

3.2. Harta Rumah Gadang

Pusako adalah milik kaum secara turun temurun menurut sistem matrilineal yang berbentuk material, seperti sawah, ladang, rumah gadang dan lainnya.


(47)

Pusako dimanfaatkan oleh perempuan di dalam kaumnya.

Hasil sawah, ladang menjadi bekal hidup perempuan dengan anak-anaknya. Rumah gadang menjadi tempat tinggalnya.

Laki-laki berhak mengatur tetapi tidak berhak untuk memiliki.

Karena itu di Minangkabau kata hak milik bukanlah merupakan kata kembar, tetapi dua kata yang satu sama lain artinya tetapi berada dalam konteks yang sama, Hak dan milik.

Laki-laki punya hak terhadap pusako kaum, tetapi dia bukan pemilik pusako kaumnya.

Dalam pengaturan pewarisan pusako, semua harta yang akan diwariskan harus ditentukan dulu kedudukannya.

Kedudukan harta pusaka itu terbagi dalam; a. Pusako tinggi.

Harta pusaka kaum yang diwariskan secara turun temurun berdasarkan garis ibu. Pusaka tinggi hanya boleh digadaikan bila keadaan sangat mendesak sekali hanya untuk tiga hal saja; pertama, gadih gadang indak balaki, kedua, maik tabujua tangah rumah, ketiga, rumah gadang katirisan. Selain dari ketiga hal di atas harta pusaka tidak boleh digadaikan apalagi dijual.

b. Pusako Rendah

Pusako rendah adalah pusako yang bisa dibagi – bagi artinya pusako yang tidak dipertahankan dalam masyarakat Minangkabau. Harta pusaka yang didapat selama perkawinan antara suami dan istri. Pusaka ini disebut juga harta bawaan,


(48)

artinya modal dasarnya berasal dari masing-masing kaum. Pusako randah diwariskan kepada anak, istri dan saudara laki-laki berdasarkan hukum faraidh, atau hukum Islam.

Namun dalam berbagai kasus di Minangkabau, umumnya, pusako randah ini juga diserahkan oleh laki-laki pewaris kepada adik perempuannya. Tidak dibaginya menurut hukum faraidh tersebut. Inilah mungkin yang dimaksudkan Tsuyoshi Kato bahwa sistem matrilineal akan menguat dengan adanya keluarga batih. Karena setiap laki-laki pewaris pusako randah akan selalu menyerahkan harta itu kepada saudara perempuannya. Selanjutanya saudara perempuan itu mewariskan pula kepada anak perempuannya. Begitu seterusnya. Akibatnya, pusako randah pada mulanya, dalam dua atau tiga generasi berikutnya menjadi pusako tinggi pula.

3.3 Persamaan dan Perbedaan Sistem Pewarisan (dalam perbandingan

Dalam masyarakat Minangkabau dan Jepang bila kita lihat dari sistem pewarisannya, maka Jepang yang menganut sistem Ie sebagai paham Tradisional, bahwa keluarga tidak akan pernah berakhir dan warisan yang ditinggalkan bukan untuk dihabiskan atau dibagi–bagikan dan harus dipertahankna meski kepala keluarganya telah tiada dan disini anak laki–laki sangat berfungsi dan berperan kuat, jika pun anak laki–lakinya tidak ada, bisa juga diambil menantu dari suami anak perempuannya. Sehingga berlangsung terus dan orang yang meninggal bagi mereka akan dianggap menjadi dewa jika masa kematiannya sudah lama, seperti yang sudah ditentukan pada masyarakat Jepang pada mulanya.


(49)

Dan dalam masyarakat Minangkabau yang menganut sistem mengikuti keturunan Ibu(Matrilineal), dimana semua anak akan mengikuti garis keturunan Ibu, sementara laki–laki ada dalam kehidupan masyarakat ini sebagai tamu. Jika pun kedua orangtuanya sudah Meninggal maka harta dibagi–bagikan termasuk kepada anak laki–lakinya namun kalau sudah meninggal maka harta itu kembali kesemula kepada orangtuannya tidak bisa diturunkan/wariskan kepada anaknya.

Setelah dilakukan analisa diperhatikan bahwa ada persamaan dan ada perbedaan. Yak ni :

Perbedaannya :

Masyarakat Jepang tidak mengharuskan menganut paham, aliran, agama.

Sementara masyarakat Minangkabau harus menganut agama islam yang menjadikan sebagai identifikasi.

Masyarakat Jepang mengikuti sistem patrilineal ( Ayah) Masyarakat Minangkabau sistem matrilineal ( Ibu) Wanita di masyarakat Jepang posisi rendah

Sedangkan di Minangkabau sebagai kaum dominan.

Dalam masyarakat Jepang menganut paham Ie, Dimana pada paham sistem kekeluargaan Ie setiap keluarga tidak harus yang sedarah bisa saja pekerja dalam keluarga tersebut sudah dianggap sebagai keluarga Minangkabau menganut paham bundo kanduang(Rumah Gadang)

dimana keluarga pada umumnya haruslah sedarah didalam keluarga ini.


(50)

Dalam masyarakat Minangkabau untuk memiliki identitas harus memiliki persyaratan seperti yang disebut diatas.

Dalam masyarakat Jepang hal seperti itu tidak ada Persamaannya

Sangat menghargai leluhur

Dan harta pusaka tidak bisa dijual, diteruskan. Dimana hanya garis keturunan ibu itu saja yang dapat harta,dan begitu juga dari bangsawan Jepang hanya garis keturunan ayah saja, namun ketetapan harta tersebut tidak boleh dijual.

Dalam masyarakat Jepang dan minagkabau adalah masyarakat yang mengikuti sistem keturunan yang benar–benar mengikuti adat.

K edua masyarakat masih memiliki kpercayaan leluhur yang kuat. Memiliki ciri –ciri menjadi suatu masyarakat .

Pada kesimpulanya dalam masyarakat Minangkabau sekalipun wanita sangat berperan kuat namun harta warisan dapat dimilki oleh wanita maupun laki– laki, tetapi laki – laki tersebut tidak bisa membagikan kepada keturunanya.

Nilai kekerabatan dalam budaya-adat Minangkabau dapat dan akan tumbuh menjadi budaya (adat) Minangkabau yang kuat, karena adanya rasa malu dan kebersamaan yang dituntun dengan ajaran Islam dan ditanamkan sejak dini oleh orang tua di lingkungan si anak bertumbuh. Sehingga seseorang akan merasa dirinya ada karena diperlukan dan sebagai bagian dari serta yang dapat dibanggakan oleh kerabatnya.

Dalam masyarakat Jepang adat menjadi sistem yang diterapkan dalam hidup sampai pada akhir kematian. Dalam masyarakat Jepang sifat kekelompokkan yang tergambar


(51)

menjadi dasar kesatuan dan sistem Ie yang digunakan menjadi media tidak pernah putusnya oleh kematian. Dan tetap mempertahankan secara turun menurun.


(52)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan

Dalam kehidupan masyarakat budaya yang berbeda memiliki ciri khas tersendiri. Maka dari itu, ada banyak hal yang cukup menjadi bagian perbedaan. Dalam masyarakat Minangkabau menganut sistem keturunan matrilineal yakni garis keturunan ibu. Sementara masyarakat Jepang menganut paham patrilineal. Dan agama yang dianut juga bebeda yang menjadi bahagian dalam menjalani kehidupan yang bersifat upacara adapt kelahiran, pernikahan sampai pada kematian..

Hori Ichiro (1968) mengatakan agama-agama rakyat Jepang sebagai Folk Belief adalah kepercayaan yang sudah ada sebelum agama-agama melembaga masuk ke Jepang. Agama-agama rakyat yang belum melembaga yang ada di Jepang primitive tersebut adalah agama Proto Shinto. Kemudian berdasarkan agama rakyat tersebut agama-agama yang melembaga yang datang ke Jepang diserap.Dikatakan bahwa inilah kekhususan dalam sistem kepercayaan rakyat Jepang. Yaitu kemampuan menyerap agama-agama luar ke dalam agama-agama rakyat. Agama-agama yang melembaga tersebut adalah Budha, Konfusionis, Kristen, dan sebagainya.

Dan Jepang menganut sistem patrilineal dengan pegangan sistem Ie. Dan dalam sistem ini bisa dilihat bahwa sesunggu hnya wanita / istri memiliki posisi yang sangat rendah, akan tetapi tidak bisa diabaikan.

Dalam pembagian harta anak lelaki yang sangat berkuasa dan dominan mengurus dan melanjutkan keturunan dari keluarga leluhur. Dan mengikut garis nama ayah, dan pola agama yang tidak menjadi keharusan.


(53)

Semenetara sistem Matrilineal adalah suatu sistem yang mengatur kehidupan dan ketertiban suatu masyarakat yang terikat dalam suatu jalinan kekerabatan dalam garis ibu. Seorang anak laki-laki atau perempuan merupakan klen dari perkauman ibu. Ayah tidak dapat memasukkan anaknya ke dalam klen-nya sebagaimana yang berlaku dalam sistem Matrilineal. Oleh karena itu, warisan dan pusaka diturunkan menurut garis ibu pula.

Dalam hal ini wanita sangat kuat berperan andil, dimana wanita dalam masyarakat ini memberikan power dan melanjutkan keluarga leluhur. Hingga anak lelaki dalam kalangan mereka dianggap sebagia Tamu. Maka otomatis keturunannya mengikuti garis keturunan ibu. Dan kaidah budaya diikat kuat dengan agama islam, mayoritas penganut agama tersebut.

4.2. Saran

Setelah kita melihat bagaimana perbedaan dari kedua kultur bangsa ini yang bisa kita tekankan bahwa, apapun sistem yang dianut atau agama apapun yang dianut, yang penting bagaimana meneruskan leluhur dan tetap menjaga, memberi keselarasan menjalani kehidupan bermasyarakat. Kiranya karya ini bisa menambah dan berfungsi bagi kaum pembaca yang ingin mengetahui bagaimana pola kehidupan buadaya Jepang dan Minangkabau.

DAFTAR PUSTAKA

Danandjaja, James. 1977. Foklor Jepang. Jakarta: PT. Pustaka Grafika Utama. Forum Masyrakat Jepang.


(54)

Fukutake, Tadashi. 1988. Masyarakat Jepang Dewasa ini. Jakarta : PT. Gramedia H.Idrus Hakimy.1991.pokok-pokok pengetahuan adat alam minangkabau

Depdikbud : (Naskah) Ibrahim,Anwar.1983.Ungkapan Tradisional Sebagai Sumber Informasi

Kebudayaan Daerah Sumatera Barat .Jakarta : Depdikbud Ienaga, Saburo. 1990. Nihon Bunkaishi. Tokyo : Shinsho.

Jamashii, Guppu. 1998. Nihongo Bunkei Jiten. Tokyo: Kuroshiopublisher.

Penghulu Rajo DT, 1978. Penghulu Bundo Kanduang.Bandung: Remaja Deskarya Samin,Yahya.1991/1992.Upacara Turun Mandi Anak Secara Tradisional

Minangkabau didaerah Sumatera Barat . Dedikbud Situmorang, Hamzon. 1995. Ilmu Kejepangan. Medan : USU

Soerjono, Soekanto.1968. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: UI Press Tashiro, Saburo. 1970. Kokosei.Tokyo: Iwanami

Van Gennep, Arnold. 1960. The Rites Of Passage. Chicago : Chicago University.

Yoshimoto, Inobu. 1965. Forthy Year of Naikan. Tokyo : Shunjuusha

ABSTRAK

PERBANDINGAN SISTEM PEWARISAN DALAM MASYARAKAT JEPANG DAN MASYARAKAT MINANGKABAU


(55)

Kebudayaan yang terkandung dalam masyarakat Minangkabau dan Jepang masing – masing memiliki budaya yang khusus.

Baik dalam tarian, budaya, bahasa, dan sampai mengenai tatanan sistem pewarisan Jika kita menganalisa kepada sistem pewarisan, maka disini disinggung mengenai orang – orangnya dalam sistem yang digunakan dalam masyarakat dan keluarga.

“Sistem Kemasyarakatan”, dalam masyarakat Indonesia ada struktur kemasyarakatan :

Berdasarkan Matrilinial, yaitu melalui garis keturunan Ibu, seperti di Minangkabau Berdasarkan Patrilinial, yaitu melalui garis keturunan Ayah, seperti di Tapanuli,

Sumatera Utara

Berdasarkan Parental, yaitu melalui garis keturunan IBU dan AYAH (kedua-duanya), seperti Jawa

Dan keturunan berdasarkan matrilinial adalah keturunan yang mengikuti garis keturunan ibu. Disini sangat dominan wanita.Dan tentunya sampai pada pengaturan sistem wanita berperan besar.Sebagai contoh dalam masyarakat Minangkabau.Dan begitu juga dalam masyarakat yang mengikuti garis keturunan dari bapak. Si anak akan mengikuti marga / nama yang dijunjung dari ayah.

Dan disini anak laki – laki sangat berperan dan bertangung jawab atas kelangsungan keluarga. Sementara parental lebih banyak kita jumpai di masyarakat Jawa. Otomatis pembagian harta warisan / kekuasaan merata.

Jika berbicara sebagai kelompok masyarakat adalah golongan yang luas besar. Dan sebelum menjadi masyarakat dimulai dengan namanya”keluarga”.

kazoku ( keluarga) adalah hubungan suami istri, hubungan orangtua dan anak, dan diperluas pada hubungan persaudaraan”.

Dikarenakan jenis penulisan skripsi ini adalah berfokus kepada masyarakat Minangkabau dan masyarakat Jepang. Sebagai perbedaan yang paling kental adalah berbicara sistem pewarisan. Karena pada dua sisi budaya masyarakat ini dijembatani dengan dominan wanita dan lelaki. Sebelum kita berbicara lebar kita mulai lihat bagaimana kondisi keluarga dalam masyarakat ini.

Keluarga itu diawali dengan perkawinan, yang memberikan status kejelasan hubungan. Dan dari situlah mengetahui titik tolak berasal dari mana ikatan itu


(1)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan

Dalam kehidupan masyarakat budaya yang berbeda memiliki ciri khas

tersendiri. Maka dari itu, ada banyak hal yang cukup menjadi bagian perbedaan.

Dalam masyarakat Minangkabau menganut sistem keturunan matrilineal yakni garis

keturunan ibu. Sementara masyarakat Jepang menganut paham patrilineal. Dan

agama yang dianut juga bebeda yang menjadi bahagian dalam menjalani kehidupan

yang bersifat upacara adapt kelahiran, pernikahan sampai pada kematian..

Hori Ichiro (1968) mengatakan agama-agama rakyat Jepang sebagai Folk

Belief adalah kepercayaan yang sudah ada sebelum agama-agama melembaga masuk

ke Jepang. Agama-agama rakyat yang belum melembaga yang ada di Jepang

primitive tersebut adalah agama Proto Shinto. Kemudian berdasarkan agama rakyat

tersebut agama-agama yang melembaga yang datang ke Jepang diserap.Dikatakan

bahwa inilah kekhususan dalam sistem kepercayaan rakyat Jepang. Yaitu

kemampuan menyerap agama-agama luar ke dalam agama-agama rakyat.

Agama-agama yang melembaga tersebut adalah Budha, Konfusionis, Kristen, dan

sebagainya.

Dan Jepang menganut sistem patrilineal dengan pegangan sistem Ie. Dan

dalam sistem ini bisa dilihat bahwa sesunggu hnya wanita / istri memiliki posisi yang

sangat rendah, akan tetapi tidak bisa diabaikan.

Dalam pembagian harta anak lelaki yang sangat berkuasa dan dominan

mengurus dan melanjutkan keturunan dari keluarga leluhur. Dan mengikut garis


(2)

Semenetara sistem Matrilineal adalah suatu sistem yang mengatur kehidupan

dan ketertiban suatu masyarakat yang terikat dalam suatu jalinan kekerabatan dalam

garis ibu. Seorang anak laki-laki atau perempuan merupakan klen dari perkauman

ibu. Ayah tidak dapat memasukkan anaknya ke dalam klen-nya sebagaimana yang

berlaku dalam sistem Matrilineal. Oleh karena itu, warisan dan pusaka diturunkan

menurut garis ibu pula.

Dalam hal ini wanita sangat kuat berperan andil, dimana wanita dalam

masyarakat ini memberikan power dan melanjutkan keluarga leluhur. Hingga anak

lelaki dalam kalangan mereka dianggap sebagia Tamu. Maka otomatis keturunannya

mengikuti garis keturunan ibu. Dan kaidah budaya diikat kuat dengan agama islam,

mayoritas penganut agama tersebut.

4.2. Saran

Setelah kita melihat bagaimana perbedaan dari kedua kultur bangsa ini yang

bisa kita tekankan bahwa, apapun sistem yang dianut atau agama apapun yang

dianut, yang penting bagaimana meneruskan leluhur dan tetap menjaga, memberi

keselarasan menjalani kehidupan bermasyarakat. Kiranya karya ini bisa menambah

dan berfungsi bagi kaum pembaca yang ingin mengetahui bagaimana pola kehidupan

buadaya Jepang dan Minangkabau.

DAFTAR PUSTAKA

Danandjaja, James. 1977. Foklor Jepang. Jakarta: PT. Pustaka Grafika Utama.


(3)

Fukutake, Tadashi. 1988. Masyarakat Jepang Dewasa ini. Jakarta : PT. Gramedia

H.Idrus Hakimy.1991.pokok-pokok pengetahuan adat alam minangkabau

Depdikbud : (Naskah)

Ibrahim,Anwar.1983.Ungkapan Tradisional Sebagai Sumber Informasi

Kebudayaan Daerah Sumatera Barat .Jakarta : Depdikbud

Ienaga, Saburo. 1990. Nihon Bunkaishi. Tokyo : Shinsho.

Jamashii, Guppu. 1998. Nihongo Bunkei Jiten. Tokyo: Kuroshiopublisher.

Penghulu Rajo DT, 1978. Penghulu Bundo Kanduang.Bandung: Remaja Deskarya

Samin,Yahya.1991/1992.Upacara Turun Mandi Anak Secara Tradisional

Minangkabau didaerah Sumatera Barat . Dedikbud

Situmorang, Hamzon. 1995. Ilmu Kejepangan. Medan : USU

Soerjono, Soekanto.1968. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: UI Press

Tashiro, Saburo. 1970. Kokosei.Tokyo: Iwanami

Van Gennep, Arnold. 1960. The Rites Of Passage. Chicago : Chicago University.

Yoshimoto, Inobu. 1965. Forthy Year of Naikan. Tokyo : Shunjuusha

ABSTRAK

PERBANDINGAN SISTEM PEWARISAN DALAM MASYARAKAT JEPANG DAN MASYARAKAT MINANGKABAU


(4)

Kebudayaan yang terkandung dalam masyarakat Minangkabau dan Jepang masing – masing memiliki budaya yang khusus.

Baik dalam tarian, budaya, bahasa, dan sampai mengenai tatanan sistem pewarisan Jika kita menganalisa kepada sistem pewarisan, maka disini disinggung mengenai orang – orangnya dalam sistem yang digunakan dalam masyarakat dan keluarga.

“Sistem Kemasyarakatan”, dalam masyarakat Indonesia ada struktur kemasyarakatan :

Berdasarkan Matrilinial, yaitu melalui garis keturunan Ibu, seperti di Minangkabau

Berdasarkan Patrilinial, yaitu melalui garis keturunan Ayah, seperti di Tapanuli, Sumatera Utara

Berdasarkan Parental, yaitu melalui garis keturunan IBU dan AYAH (kedua-duanya), seperti Jawa

Dan keturunan berdasarkan matrilinial adalah keturunan yang mengikuti garis keturunan ibu. Disini sangat dominan wanita.Dan tentunya sampai pada pengaturan sistem wanita berperan besar.Sebagai contoh dalam masyarakat Minangkabau.Dan begitu juga dalam masyarakat yang mengikuti garis keturunan dari bapak. Si anak akan mengikuti marga / nama yang dijunjung dari ayah.

Dan disini anak laki – laki sangat berperan dan bertangung jawab atas kelangsungan keluarga. Sementara parental lebih banyak kita jumpai di masyarakat Jawa. Otomatis pembagian harta warisan / kekuasaan merata.

Jika berbicara sebagai kelompok masyarakat adalah golongan yang luas besar. Dan sebelum menjadi masyarakat dimulai dengan namanya”keluarga”.

kazoku ( keluarga) adalah hubungan suami istri, hubungan orangtua dan anak, dan diperluas pada hubungan persaudaraan”.

Dikarenakan jenis penulisan skripsi ini adalah berfokus kepada masyarakat Minangkabau dan masyarakat Jepang. Sebagai perbedaan yang paling kental adalah berbicara sistem pewarisan. Karena pada dua sisi budaya masyarakat ini dijembatani dengan dominan wanita dan lelaki. Sebelum kita berbicara lebar kita mulai lihat bagaimana kondisi keluarga dalam masyarakat ini.

Keluarga itu diawali dengan perkawinan, yang memberikan status kejelasan hubungan. Dan dari situlah mengetahui titik tolak berasal dari mana ikatan itu


(5)

tersebut. Dan seperti yang kita ketahui bahwa setiap keluarga diikat juga berdasarkan budaya dan norma adat maka disimpulkan pastinya pola hidup yang dijalani pasti berbeda.

Jenis-jenis keluarga atau kazoku (Jepang):

Keluarga inti (nuclear family),Keluarga luas (extended family), Keluarga poligami (polygamous family)

Bicara tentang bagaimana sistem pewarisan di Jepang adalah bisa kita lihat acuan kepada “IE” yang menjadi konsep keluarga tradisonal Jepang. Ie adalah mengikuti garis keturunan ayah. Dan sistem ini tidak akan berakhir walau dengan kematian maupun perceraian. Pada waktu pelanjutan IE, tidak ada pembagian warisan, hal ini berbeda dengan sistem kazoku. Adalah harta itu tidak dijual melainkan dilanjutkan atau dijaga. Kalaupun ada rumah, ladang dan lain- lain, tidak dibagi- bagikan kepada anak- anaknya, melainkan bagaimana untuk melanjutkannya kedepan.

Sehingga dengan cara ini hubungan leluhur dan keturunan dapat terjaga dan terus berkesinambungan walaupun diakui akan berbau leluhur. Dan ditekankan sekali bahwa semua harta tidak untuk dijual.

Sementara dalam masyarakat Minangkabau menganut garis keturunan ibu. Dimana untuk menjadi bagian dari sistem matrilineal memiliki ciri – ciri.

1. Keturunan dihitung menurut garis ibu , 2. Suku terbentuk menurut garis ibu ,

3. Tiap orang diharuskan kawin dengan orang luar sukunya (exogami) , 4. Pembalasan dendam merupakan satu kewajiban bagi seluruh suku ,

5. Kekuasaan di dalam suku, menurut teori terletak di tangan “ibu”, tetapi jarang sekali dipergunakan, Yang sebenarnya berkuasa adalah saudara laki-lakinya.

Syarat-syarat seseorang dapat dikatakan orang Minangkabau;

Basuku (bamamak bakamanakan), Barumah gadang,

Diberikan dalam tiga tingkatan:Basasok bajarami , .Basawah baladang ,


(6)

Sedangkan mengenai harta warisan setiap orang baik laki – laki maupun perempuan akan menerima warisan dari keluarga ibunya

Walau anak. laki – laki mendapatkannya namun dia tidak dapat mewariskan kepada anak – anaknya.

Dengan demikian kalau dia meninggal, harta itu akan kembali kepada keturunan menurut garis keturunan ibu.

Melihat penjelasan diatas memberikan suatu perbedaan yang signifikan. Maka ini lah yang menjadi dasar untuk mencari tahu perbedaan yang lain yg ingin dituangkan dalam skripsi penulis.

Pada dasarnya jika bisa pusako, maka prnsip Jepang itu tidak dipisahkan melainkan diteruskan oleh anak paling tua, yang menerus keluarga.

Sementara dalam masyarakat minangkabau sekalipun wanita sangat berperan kuat namun harta warisan dapat dimilki oleh wanita maupun laki – laki, tetapi laki – laki tersebut tidak bisa membagikan kepada keturunanya.