Simalungun Chihou No Syakai No Jinsei Tetsugaku = Filosofi Hidup Masyarakat Simalungun

(1)

SIMALUNGUN CHIHOU NO SYAKAI NO JINSEI TETSUGAKU

KERTAS KARYA

Dikerjakan O

L E H

IMELDA MAYESTIKA PURBA NIM: 062203027

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA

PROGRAM PENDIDIKAN NON-GELAR SASTRA BUDAYA DALAM BIDANG STUDI BAHASA JEPANG

MEDAN 2009


(2)

SIMALUNGUN CHIHOU NO SYAKAI NO JINSEI TETSUGAKU

KERTAS KARYA

Dikerjakan O

L E H

IMELDA MAYESTIKA PURBA NIM: 062203027

Pembimbing Pembaca

Eman Kusdiana, Drs,M.Hum Prof.Drs.Hamzon Situmorang,M.S,Ph.D NIP 131763365 NIP 131422712

Kertas Karya ini diajukan kepada Panitia Ujian Program Pendidikan Non-Gelar fakultas sastra USU Medan, Untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Diploma III dalam Bidang Studi Bahasa Jepang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA

PROGRAM PENDIDIKAN NON-GELAR SASTRA BUDAYA DALAM BIDANG STUDI BAHASA JEPANG

MEDAN 2009


(3)

DISETUJUI OLEH

Program Diploma Sastra dan Budaya Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara Medan

Program studi Bahasa Jepang Ketua,

Adriana Hasibuan,S,S,M.Hum. NIP 131662152


(4)

PENGESAHAN

Diterima oleh:

Panitian Ujian Program Pendidikan Non-Gelar Sastra Budaya Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara

Dekan,

Drs.Syaifuddin,M.A,Ph.D NIP 132098531

Panitia

No. Nama Tanda Tangan

1. Adriana Hasibuan,S,S,M.Hum. (...) 2. Drs.Eman Kusniana,M.Hum (...) 3. Prof.Drs.Hamzon Situmorang,M.S,Ph.D (...)


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, sehingga Penulis dapat menyelesaikan kertas karya yang berjudul “ FILOSOFI HIDUP MASYARAKAT SIMALUNGUN”.

Meskipun banyak kesulitan dalam penulisan kertas karya ini karena pengetahuan Penulis yang terbatas, tetapi berkat bimbingan, bantuan dan pengarahan dari berbagai pihak, maka Penulis dapat menyelesaikan kertas karya ini.

Dalam penulisan kertas karya ini, Penulis banyak menerima bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, untuk itu Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu Penulis menyelesaikan kertas karya ini, terutama kepada :

1. Bapak Drs.Syaifuddin, M.A, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Adriana Hasibuan, S.S, M.Hum, selaku ketua Program Studi D3 Bahasa Jepang Fakultaas Sastra Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs. Eman Kusdiana, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing yang dengan iklas Meluangkan waktu untuk memberi bimbingan dan pengarahan kepada Penulis sampai kertas karya ini dapat sdiselesaikan.

4. Dosen pembaca Bapak Prof.Drs.Hamzon Situmorang,M.S.Ph.D 5. Bapak Drs. Eman Kusdiana, M.Hum, selaku Dosen Wali

6. Seluruh Staf pengajar program studi Bahasa Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

7. Ayahanda E.Purba Ibunda S.Saragih dan keluaga Elida, Frans, Surya, Intan dan Erwan, serta seluruh keluarga besar Penulis tersayang


(6)

8. Teman – teman Fakultas Sastra D3 Bahasa JEpang Stambuk ’06 ,teristimewa untuk Entryni, Emaliani, Ester, Donam, Wisda

9. Teman – teman kost dan semua pihak yang telah memberi banyak bantuan dan dukungan.

Tiada lain harapan penulis semoga Tuhan Ynag Maha Esa memberi RahmatNya kepada kepa semua yang diseutkan diatas.

Akhir kata penulis mengucapkan Terimakasih untuk semua bantuan dan dukungan selama ini. Semoga kertas karya ini berguna dan bermanfaat bagi kita semua.

Medan, 2009 Penulis

062203027


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGGANTAR………i

DAFTAR ISI……….…ii

BAB I PENDAHULUAN………1

1.1Alasan Pemilihan Judul……….1

1.2Batasan Masalah………1

1.3Tujuan Pemilihan Judul……….2

1.4Metode Penulisan………...2

BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH SIMALUNGUN.……….3

2.1 Letak Geografis………..3

2.2 Penduduk………3

2.3 Mata Pencaharian………4

2.4 Metode Penulisan...4

BAB I II FILOSOFI HIDUP MASYARAKAT SIMALUNGN...5

3.1 Habonaron Do Bona...5

3.2 Pandangan Reliji Tradisional Simalungun...7

3.3 Bersumpah...11

3.4 Filosopi Dalam Budaya Adat...12

3.5 Filosopi Ayam Dalam Adat...13

BAB IV...15

4.1 Kesimpulan...15

4.2 Saran...15


(8)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Alasan Pemilihan Judul

Masyarakat Simalungun adalah salah satu suku batak yang ada di Sumatera Utara yang memiliki filosopi hidup Habonaron do Bona yang artinya kebenaran adalah dasar dari segala sesuatu. Filosopi ini mengajarkan Masyarakat Simalungun supaya dalam hidup bermasyarakat semuanya didasarkan pada kebenaran.

Akhir – akhir ini para kawula muda kurang menerapkannya pada pada kehidupan sehari – hari karena kurang memahami artinya.

Karena alasan itulah penulis menuliskan kertas karya ini, dimana penulis telah menjelaskannya secara singkat dan jelas agar Masyarakat Simalungun dapat mengerti dan mengetahui makna dari filsafah Habonaron Do Bona.

1.2 Batasan Masalah

Didalam karya tulis ini penulis hanya membatasi masalah hanya pada : 1. Pandangan Religi Tradisional simalungun

2. Habonaron Do Bona 3. Bersumpah

4. Filosofi dalam Budaya Adat 5. Filosofi Ayam dalam Adat


(9)

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan Penulis dalam menyusun kertas karya ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk menambah wawasan pembaca dan penulis mengenai Filosofi Hidup

Masyarakat Simalungun.

2. Untuk mengenal kepribadian masyarakat simalungun.

3. Agar masyarakat simalungun mengetahui makna yang terkandung dalam filosopi habonaron do bona.

4. Salah satu syarat penulisan Tugas Akhir untuk kelulusan D3 Bahasa Jepang.

1.4 Metode Penulisan

Metode yang digunakan dalam penulisan kertas karya ini adalah metode kepustakaan, yaitu suatu metode untuk mengumpulkan data –data dengan cara membaca buku – buku yang berhubungan dengan topic yang akan dibahas serta mengumpulkan data dari media massa, internet dan yang lainnya.


(10)

BAB II

GAMBARAN UMUM WILAYAH SIMALUNGUN 2.1 Lokasi dan Lingkungan Alam

Kabupaten Simalungun terletak antara 02˚36’ – 03˚1’ Lintang Utara dan berbatasan dengan lima kabupaten yaitu : Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Karo, Kabupaten Toba, Kabupaten Samosir dan Kabupaten Asahan. Kabupaten Simalungun mempunyai luas 4.386.6 km2 atau 6,12% dari luas wilayah propinsi Sumatera Utara. Ibukota Kabupaten Simalungun adalah Pematang Siantar. Sekarang kabupaten ini terdiri dari 31 kecamatan.

2.2 Penduduk

Penduduk asli kabupaten Simalungun adalah suku simalungun. Jumlah penduduknya adalah 841.189 jiwa. Meskipun Kabupaten Simalungun adalah tanah leluhur orang Simalungun, namun belakangan ini secara statistic orang Simalungun adalah penduduk peringkat mayoritas ke-tiga di kabupaten Simalungun, setelah orang jawa dan orang yang berasal dari Toba. Orang Simalungun justru diperkirakan lebih banyak tingggal di luar wilayah Simalungun. Sedangkan suku pendatang di simalungun adalah suku jawa dan suku batak toba.

2.3 Mata Pencaharian

Sesuai dengan keadaan tanahnya yang subur serta curah hujan yang cukup banyak, maka pada umumnya mata pencaharian pokok penduduk simalungun


(11)

adalah bertani. Masyarakat simalungun bercocok tanam diladang atau disawah. Pada umumya mereka menanam padi. Kemudian mereka merawat dan membersihkan rumputnya dengan cara bergotong royong. Selain itu mereka juga menanam sayur – sayuran dan buah – buahan.

2.4 Kepercayaan

Ada beberapa agama di kabupaten simalungun yakni agama Kristen Protestan, Katholik, dan Islam. Dahulu Sebahagian besar masyarakat simalungun menganut agama islam, tetapi setelah ada putra simalungun yang menjadi pendeta maka berkembanglah agama kristen di simalungun. Dan sekarang sebahagian besar masyarakat simalungun menganut agama kristen dan islam.


(12)

BAB III

FILOSOFI HIDUP MASYARAKAT SIMALUNGUN 3.1 Habonaron Do Bona

Ada suatu pemahaman yang sangat kental pada orang simalungun bahwa Naibata itu Maha kuasa, Maha adil dan Maha benar. Manusia juga dituntut untuk bersikap benar. Segala sesuatu harus didasarkan pada hal yang benar. Inilah prinsip dasar dari Filosofi “Habonaron Do Bona” pada masyarakat simalungun.

Falsafah Habonaron Do Bona merupakan filosofi hidup bagi orang simalungun. Habonaron Do Bona artinya adalah “ kebenaran adalah dasar segala sesuatu”. Artinya masyarakat simalungun menganut aliran pemikiran dan kepercayaan segala sesuatu harus dilandasi oleh kebenaran.

Filosofi Habonaron Do Bona tercatat pertama sekali kurang lebih abad XV dalam pustaka kuno simalungun. “Pustaka Parmungmung Bandar Syah Kuda”. Bahwa suatu waktu , kerajaan Nagur ( simalungun ) mendapat serangan dari kerajaan Samidora ( Samudera Pasai ) Terjadi pertarungan sengit antara Sang MA jadi sebagai putera Mahkota kerajaan Nagur dan putera mahkota kerajaan Samidora yang hendak menguasai kerajaan Nagur. Putera mahkota kerajaan Samidora ingin menguasai kearajaan Nagur.

Karena Sang Ma jadi adalah pihak yang benar ( jujur ) dalam peperangan ini, maka Sang Ma Jadi mendapat pertolongan dari Naibata. Yakni dari langit turun seekor burung Nanggordaha ( Garuda ) melerai pertarungan tersebut. Pada saat burung Nanggordaha melerai mereka terdengar suara seruan sebanyak tiga


(13)

kali yang mengucapkan “ Habonaron Do Bona, Habonaron Do Bona, Habonaron Do Bona “.

Tetapi Putera mahkota Samidora ingin tetap menguasai kerajaan nagur sehingga tidak peduli dengan seruan tersebut. Dia tetap ingin mengalahkan Putera mahkota kerajaan Nagur. Akhirnya Burung Nanggordaha marah dan membunuh Putera kerajaan Samidora. Akhirnya putera kerajaan Nagurlah yang menang, sejak saat itulah Habonaron Do Bona menjadi filosofi hidup bagi masyarakat simalungun.

Para orang tua juga selalu menanamkan prinsip Habonaron Do Bona kepada anak cucunya. Harus bijaksana dalam bergaul ditengah masyarakat. Bagi masyarakat simalungun ada falsafah yang mengatakan “ totik mansiatkon diri, marombow bani simbuei. Artinya cermat ( bijak ) membawakan diri dan mengabdi kepada halayak umum. Sehingga selalu menyenangkan bagi orang lain. Hal inilah yang menjadikan orang simalungun lebih banyak beradaptasi ( menyesuaikan diri ) dengan suku lain. Ini juga yang membuat masyarakat simalungun sering melepaskan identitasnya, hanya untuk menyesuaikan diri dengan orang disekitarnya.

Dari Filosofi “Habonaron Do Bona”, tercermin prinsip – prinsip hidup masyarakat simalungun. Misalnya kata –kata nasehat dan prinsip hidup dalam bentuk ungkapan, pepatah dan perumpamaan. Habonaron Do Bona menanamkan kehati - hatian, hidup bijaksana, matang dalam berencana sehinggga tidak terjadi penyesalan dikemudian hari.


(14)

Menurut MD. Purba ada delapan nilai kebenaran yang terkandung dalam filosofi Habonaron Do Bona yakni :

1. Berpandangan yang benar 2. berencana ( beniat ) yang benar 3. Berbicara yang benar

4. Bekerja yang benar 5. Berkehidupan yang benar 6. Berusaha (berkarya) yang benar 7. Berprinsip yang benar

8. Berpikiran yang benar. .

3.2 Pandangan Reliji Tradisional Simalungun

Menurut kepercayaan Habonaron Do Bona, Tuhan adalah awal dari segala sesuatu yang ada. Tuhan disebut sebagai Naibata. Tuhan adalah satu . Karena Tuhan adalah awal dari semua yang ada didunia ini, maka dunia beserta seluruh isinya adalah ciptaan Tuhan. Sebagai Pencipta, Tuhan juga menjadi pembimbing, pemelihara dan penyelamat bagi semua makhluk ciptaan-Nya. Karena itulah kekuasaan Tuhan tidak ada batasnya dan Tuhan bisa melimpahkan sebagian kekuasaan-Nya kepada orang-orang suci yang bersih.

Kemudian ajaran Habonaron Do Bona mengatakan bahwa manusia adalah diciptakan oleh Tuhan yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Sejak diciptakan, manusia telah dilengkapi dengan roh. Jika roh meninggalkan manusia


(15)

sementara maka manusia akan sakit, dan jika roh meninggalkan manusia selamanya maka akan meninggal. Roh kemudian hidup kekal di suatu alam kehidupan bersama Tuhan. Roh manusia yang masih hidup disebut sebagai tondi, sedangkan manusia yang sudah mati rohnya disebut sumagot.

Selanjutnya makna filosopi Habonaron Do Bona tentang alam mengatakan bahwa alam adalah ciptaan Tuhan. Alam memiliki kekuatan. Dalam alam ini penuh dengan kekuatan-kekuatan gaib, yaitu kekuatan yang berasal dari Tuhan

maupun dari arwah leluhur. Ada juga Tugas dan Kewajiban Manusia menurut

filosopi Habonaron Do Bona. Manusia adalah ciptaan Tuhan, maka manusia mempunyai kewajiban dalam hidup di dunia ini baik tugas dan kewajiban terhadap Tuhan, sesama maupun terhadap alam.

Menurut filosopi Habonaron Do Bona manusia wajib untuk selalu ingat kepada Tuhan dan setiap hari menyembah Tuhan. Pada bulan besar ( bittang baggal ) wajib melaksanakan penyembahan kepada Tuhan dan kepada leluhur. Di samping itu ajaran Habonaron Do Bona juga mewajibkan untuk menghormati dan menjiarahi makam leluhur. Upacara menyembah kepada Tuhan tidak terpisahkan dengan upacara-upacara ritual adat.

Masyarakat simalungun mengenal bermacam-macam upacara seperti:

1. Upacara daur hidup.


(16)

3. Upacara pesta tuan ( Robu-robu ), yaitu upacara berdoa kepada Tuhan dan kepada leluhur untuk memulai suatu usaha seperti bertani agar memperoleh hasil yang memuaskan.

4. Upacara memasuki rumah baru.

5. Upacara menghormati roh leluhur pelindung desa. 6. Upacara menghormati roh suci penjaga desa.

7. Upacara menghormati keramat pelindung.

Manusia juga memiliki tugas dan kewajiban terhadap dirinya sendiri, seperti: jujur terhadap diri sendiri, harus tahu malu dan harus tahu diri.

Tugas dan kewajiban manusia terhadap sesamanya menurut ajaran Habonaron Do Bona ada dalam bentuk perintah-perintah dan larangan-larangan. Apabila perintah dan larangan tersebut dipatuhi dapat menjadikan ketenteraman dalam masyarakat.

Perintah-perintah dan larangan tersebut, adalah sebagai berikut:

1. Menghormati orang tua dan orang lain sesuai dengan tata krama.

2. Menghormati guru.

3. Membantu orang lain.

4. Tidak boleh membunuh sesama manusia, termasuk mengugurkan kandungan.

5. Tidak boleh kawin semarga.

6. Tidak boleh membuat orang lain meneteskan air mata sampai “berwarna


(17)

8. Tidak boleh menyusahkan orang lain. 9. Tidak boleh berbohong.

10.Tidak boleh memaki orang lain.

11.Tidak boleh membungakan uang.

12. Tidak boleh menipu dan mengkhianati orang lain.

Menurut ajaran Habonaron Do Bona tugas manusia terhadap alam adalah manusia tidak boleh membunuh tumbuhan dan hewan liar secara sembarangan karena perbuatan ini dapat merusak alam. Alam harus dijaga kelestariannya karena alam memberikan manfaat yang sangat besar bagi kehidupan manusia.

Rasa syukur dan permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang berhubungan dengan alam, misalnya dalam berbagai upacara yang dilakukan dalam kegiatan pertanian, dimaksudkan agar alam bersahabat dengan manusia dan memberikan hasil yang memuaskan. Upacara-upacara tersebut diantaranya adalah robu buang boro ( mendoakan agar padi jangan diserang hama ), membere eme ( mendoakan saat padi sedang bunting ), memutik ( mendoakan saat padi sudah menguning ), menutup panjang ( mendoakan saat padi sudah terkumpul pada suatu tempat ) dan menutup hobon ( mendoakan rasa syukur karena seluruh hasil panen telah terkumpul ).

3.3 Bersumpah

Untuk membuktikan kejujuran dulu sering dilakukan “bersumpah” dalam bahasa simalungun disebut marbija. Apabila orang lain mencurigai seseorang


(18)

melakukan kejahatan, maka orang tersebut bisa mengangkat sumpah dengan mempertaruhkan sesuatu miliknya yang sangat berharga. Misalnya jiwa anaknya. Jika terbukti melakukan kejahatan tersebut maka anaknya akan menjadi tumbal.

Dalam bersumpah seseorang harus jujur karena jikalau bersumpah palsu maka tumbal sumpahnya menjadi nyata. Orang tidak berani berdusta hanya untuk menutupi kesalahan sesaat. Cara untuk mengangkat sumpah bermacam – macam. Ada yang bersumpah dengan sederhana, yakni hanya menyebut tumbalnya. Tetapi jika tidak ada yang ditumbalkan maka dapat juga bersumpah dengan menumbalkan dirinya sendiri. Disamping bersumpah disimalungun dulu ada suatu cara menguji kejujuran yakni dengan menyerukan sumpah kepada Naibata ( Tuhan ). Artinya biarlah Naibata yang nantinya akan membalas kan kepada pelaku kejahatan tersebut. Dan juga sebaliknya kalau seseorang menerima perlakuan yang kurang pantas orang itu tidak perlu terburu – buru melakukan pembalasan, mereka yakin Naibata yanh maha adil akan tetap membalasnya.

Nilai – nilai falsafah ini sangat positif dalam membentuk keharmonisan hidup dengan sesama. Falsafah ini membimbing manusia untuk hidup dalam kejujuran.

3.4 Filosofi dalam budaya adat

Kepribadian dan karakter masyarakat simalungun juga dapat dilihat dari falsafah adat yang berkembang dalam masyarakat. Secara prinsip dalam adat simalungun suatu tatanan kehidupan yang digambarkan dalam “tolu sahundulan lima saodoran”.


(19)

Tolu sahundulan artinya adalah bahwa dalam masyarakat simalungun, untuk menentukan suatu keputusan ditentukan oleh tiga pihak keluarga. Mereka duduk bersama dan berbiskusi untuk mengambil suatu keputusan. Ketiga pihak tersebut yakni : suhut ( pihak tuan rumah ), tondong ( pihak keluarga istri ), boru ( pihak keluarga suami )

Suhut sebagai tuan rumah dalam menentukan suatu keputusan harus meminta pendapat dari tondong ( saudara laki – laki dari sang istri ). Sementara dari pihak boru ( saudara perempuan sang suami ) harus meminta kesediaan tenaga untuk mengerjakan suatu keputusan yang akan dibuat. Tetapi dalam mengerjakan suatu kerja adat yang besar harus melibatkan dua pihak lagi yakni harus meminta hasehat dari tondong ni tondong dan meminta bantuan dari boru ni boru. Sehingga pada rencana kerja yang besar disebut dengan prinsip “tolu sahundulan lima saodoran”.

Penerapan prinsip adat ini bagi orang simalungun adalah setiap orang memiliki ikatan kekeluargaan yang luas dan kuat.

3.5 Filosofi Ayam Dalam Adat

Suatu hal yang sangat penting dicermati dalam adat simalungun adalah menggunakan ayam sebagai makanan adat. Alasan memilih ayam sebagai makaan adat karena ada beberapa sifat ayam yang pantas untuk ditiru oleh manusia yakni, mengerami telurnya, melindungi anaknya dan disiplin terhadap waktu.


(20)

Untuk mengerami telurnya rela menahan diri. Melindungi anaknya artinya selalu menjaga anaknya didalam sayapnya. Disiplin terhadap waktu artinya setiap subuh pada jam yang sama selalu berkokok tanpa mengenal waktu dan musim. Hal ini akan terbawa kedalam pola hidup pribadi setiap orang simalungun. Segala sesuatu harus dipertimbangkan dan didiskusikan dengan keluarga. Pribadi seseorang bukanlah miliknya sendiri tetapi milik dari keluarganya tanggung jawab juga bukan hanya bertanggung jawab pada dirinya sendiri tetapi ikut bertanggung jawab dalam keluarganya. Secara psikologi orang simalungun dituntut untuk lebih banyak bertanggung jawab. Tetapi disisi lain karena keputusan selalu melalui diskusi sering juga orang simalungun lamban dalam memutuskan sesuatu.

Selain itu alasan pemakaian ayam sebagai makanan adat mencerminkan pola hidup orang simalungun yang disiplin, rela berkorban demi anak dan selalu melindungi anak. Akan tetapi resiko yang terlalu melindungi anak sering menjadikan orang tua kurang mendidik anak dan justru dominan membela anak. Sehingga anak menjadi kurang mandiri dan kurang mampu untuk bersaing disekitarnya.


(21)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN 4.1Kesimpulan

1. Sejak dahulu para orang tua sudah mengajarkan filosofi Habonaron Do Bona pada keturunannya.

2. Filosopi Habonaron Do Bona tidak hanya dijunjung oleh masyarakat tetapi filosopi ini juga dijunjung oleh para pemimpin yang ada disimalungun.

3. Akhir –akhir ini para kawula muda di simalungun kurang memahami makna filosopi Habonaron Do Bona

4. 2 Saran

Bagi masyarakat simalungun supaya tetap menjaga dan melestarikan budaya simalungun. Dan juga supaya tetap mengetahui dan menerapkan filosopi hidup masyarakat simalungun dengan baik pada kehidupan sehari – hari. Sehingga kebudayaan nasional dapat terwujud dengan baik.

Dan kepada orang tua agar selalu mengajarkan Habonaron Do Bona pada anak cucunya sehingga filosopi Habonaron Do Bona tidak punah dari kehidupan masyarakat simalungun.


(22)

DAFTAR PUSTAKA

Dr.Sortaman Saragih, SH, MARS.Orang simalungun, Citama Vigora, Depok 2008 Tani Guchi Goro, 1999, Kamus Standar Bahasa Indonesia – Jepang. Jakarta: Dian Rakyat Nelson Andrew, 2005, Kamus kanji Modern,Jakartakensaint Blanc Indah Corp. www.simalungun.net


(1)

8. Tidak boleh menyusahkan orang lain. 9. Tidak boleh berbohong.

10.Tidak boleh memaki orang lain. 11.Tidak boleh membungakan uang.

12. Tidak boleh menipu dan mengkhianati orang lain.

Menurut ajaran Habonaron Do Bona tugas manusia terhadap alam adalah manusia tidak boleh membunuh tumbuhan dan hewan liar secara sembarangan karena perbuatan ini dapat merusak alam. Alam harus dijaga kelestariannya karena alam memberikan manfaat yang sangat besar bagi kehidupan manusia.

Rasa syukur dan permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang berhubungan dengan alam, misalnya dalam berbagai upacara yang dilakukan dalam kegiatan pertanian, dimaksudkan agar alam bersahabat dengan manusia dan memberikan hasil yang memuaskan. Upacara-upacara tersebut diantaranya adalah robu buang boro ( mendoakan agar padi jangan diserang hama ), membere eme ( mendoakan saat padi sedang bunting ), memutik ( mendoakan saat padi sudah menguning ), menutup panjang ( mendoakan saat padi sudah terkumpul pada suatu tempat ) dan menutup hobon ( mendoakan rasa syukur karena seluruh hasil panen telah terkumpul ).

3.3 Bersumpah

Untuk membuktikan kejujuran dulu sering dilakukan “bersumpah” dalam bahasa simalungun disebut marbija. Apabila orang lain mencurigai seseorang


(2)

melakukan kejahatan, maka orang tersebut bisa mengangkat sumpah dengan mempertaruhkan sesuatu miliknya yang sangat berharga. Misalnya jiwa anaknya. Jika terbukti melakukan kejahatan tersebut maka anaknya akan menjadi tumbal.

Dalam bersumpah seseorang harus jujur karena jikalau bersumpah palsu maka tumbal sumpahnya menjadi nyata. Orang tidak berani berdusta hanya untuk menutupi kesalahan sesaat. Cara untuk mengangkat sumpah bermacam – macam. Ada yang bersumpah dengan sederhana, yakni hanya menyebut tumbalnya. Tetapi jika tidak ada yang ditumbalkan maka dapat juga bersumpah dengan menumbalkan dirinya sendiri. Disamping bersumpah disimalungun dulu ada suatu cara menguji kejujuran yakni dengan menyerukan sumpah kepada Naibata ( Tuhan ). Artinya biarlah Naibata yang nantinya akan membalas kan kepada pelaku kejahatan tersebut. Dan juga sebaliknya kalau seseorang menerima perlakuan yang kurang pantas orang itu tidak perlu terburu – buru melakukan pembalasan, mereka yakin Naibata yanh maha adil akan tetap membalasnya.

Nilai – nilai falsafah ini sangat positif dalam membentuk keharmonisan hidup dengan sesama. Falsafah ini membimbing manusia untuk hidup dalam kejujuran.

3.4 Filosofi dalam budaya adat

Kepribadian dan karakter masyarakat simalungun juga dapat dilihat dari falsafah adat yang berkembang dalam masyarakat. Secara prinsip dalam adat simalungun suatu tatanan kehidupan yang digambarkan dalam “tolu sahundulan lima saodoran”.


(3)

Tolu sahundulan artinya adalah bahwa dalam masyarakat simalungun, untuk menentukan suatu keputusan ditentukan oleh tiga pihak keluarga. Mereka duduk bersama dan berbiskusi untuk mengambil suatu keputusan. Ketiga pihak tersebut yakni : suhut ( pihak tuan rumah ), tondong ( pihak keluarga istri ), boru ( pihak keluarga suami )

Suhut sebagai tuan rumah dalam menentukan suatu keputusan harus meminta pendapat dari tondong ( saudara laki – laki dari sang istri ). Sementara dari pihak boru ( saudara perempuan sang suami ) harus meminta kesediaan tenaga untuk mengerjakan suatu keputusan yang akan dibuat. Tetapi dalam mengerjakan suatu kerja adat yang besar harus melibatkan dua pihak lagi yakni harus meminta hasehat dari tondong ni tondong dan meminta bantuan dari boru ni boru. Sehingga pada rencana kerja yang besar disebut dengan prinsip “tolu sahundulan lima saodoran”.

Penerapan prinsip adat ini bagi orang simalungun adalah setiap orang memiliki ikatan kekeluargaan yang luas dan kuat.

3.5 Filosofi Ayam Dalam Adat

Suatu hal yang sangat penting dicermati dalam adat simalungun adalah menggunakan ayam sebagai makanan adat. Alasan memilih ayam sebagai makaan adat karena ada beberapa sifat ayam yang pantas untuk ditiru oleh manusia yakni, mengerami telurnya, melindungi anaknya dan disiplin terhadap waktu.


(4)

Untuk mengerami telurnya rela menahan diri. Melindungi anaknya artinya selalu menjaga anaknya didalam sayapnya. Disiplin terhadap waktu artinya setiap subuh pada jam yang sama selalu berkokok tanpa mengenal waktu dan musim. Hal ini akan terbawa kedalam pola hidup pribadi setiap orang simalungun. Segala sesuatu harus dipertimbangkan dan didiskusikan dengan keluarga. Pribadi seseorang bukanlah miliknya sendiri tetapi milik dari keluarganya tanggung jawab juga bukan hanya bertanggung jawab pada dirinya sendiri tetapi ikut bertanggung jawab dalam keluarganya. Secara psikologi orang simalungun dituntut untuk lebih banyak bertanggung jawab. Tetapi disisi lain karena keputusan selalu melalui diskusi sering juga orang simalungun lamban dalam memutuskan sesuatu.

Selain itu alasan pemakaian ayam sebagai makanan adat mencerminkan pola hidup orang simalungun yang disiplin, rela berkorban demi anak dan selalu melindungi anak. Akan tetapi resiko yang terlalu melindungi anak sering menjadikan orang tua kurang mendidik anak dan justru dominan membela anak. Sehingga anak menjadi kurang mandiri dan kurang mampu untuk bersaing disekitarnya.


(5)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN 4.1Kesimpulan

1. Sejak dahulu para orang tua sudah mengajarkan filosofi Habonaron Do Bona pada keturunannya.

2. Filosopi Habonaron Do Bona tidak hanya dijunjung oleh masyarakat tetapi filosopi ini juga dijunjung oleh para pemimpin yang ada disimalungun.

3. Akhir –akhir ini para kawula muda di simalungun kurang memahami makna filosopi Habonaron Do Bona

4. 2 Saran

Bagi masyarakat simalungun supaya tetap menjaga dan melestarikan budaya simalungun. Dan juga supaya tetap mengetahui dan menerapkan filosopi hidup masyarakat simalungun dengan baik pada kehidupan sehari – hari. Sehingga kebudayaan nasional dapat terwujud dengan baik.

Dan kepada orang tua agar selalu mengajarkan Habonaron Do Bona pada anak cucunya sehingga filosopi Habonaron Do Bona tidak punah dari kehidupan masyarakat simalungun.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Dr.Sortaman Saragih, SH, MARS.Orang simalungun, Citama Vigora, Depok 2008 Tani Guchi Goro, 1999, Kamus Standar Bahasa Indonesia – Jepang. Jakarta: Dian Rakyat Nelson Andrew, 2005, Kamus kanji Modern,Jakartakensaint Blanc Indah Corp. www.simalungun.net