8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Pustaka
Alih fungsi atau konversi lahan secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya.
Alih fungsi lahan umumnya terjadi di wilayah sekitar perkotaan dan dimaksudkan untuk mendukung perkembangan sektor industri dan jasa
Kustiawan 1997 dalam Puspasari 2012.
Konversi lahan atau alih fungsi lahan yang terjadi mengubah status kepemilikan lahan dan penguasaan lahan. Perubahan dalam penguasaan lahan di pedesaan
membawa implikasi bagi perubahan pendapatan dan kesempatan kerja masyarakat yang menjadi indikator kesejahteraan masyarakat desa. Terbatasnya akses untuk
menguasai lahan menyebabkan terbatas pula akses masyarakat atas manfaat lahan yang menjadi modal utama mata pencaharian sehingga terjadi pergeseran
kesempatan kerja ke sektor non pertanian Furi, 2007.
Menurut Barlowe 1978, faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran lahan adalah karakteristik fisik alamiah, faktor ekonomi, faktor teknologi dan faktor
kelembagaan. Selain itu, faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan lahan adalah populasi penduduk, perkembangan teknologi, kebiasaan dan tradisi,
pendidikan dan kebudayaan, pendapatan dan pengeluaran, selera dan tujuan, serta perubahan sikap dan nilai-nilai yang disebabkan oleh perkembangan usia.
Universitas Sumatera Utara
Winoto 2005 mengungkapkan bahwa lahan pertanian yang paling rentan terhadap alih fungsi adalah sawah. Hal tersebut disebabkan oleh:
1. Kepadatan penduduk di pedesaan yang mempunyai agroekosistem dominan
sawah pada umumnya jauh lebih tinggi dibandingkan agroekosistem lahan kering, sehingga tekanan penduduk atas lahan juga lebih tinggi,
2. Daerah persawahan banyak yang lokasinya berdekatan dengan daerah
perkotaan, 3.
Akibat pola pembangunan di masa sebelumnya, infrastruktur wilayah persawahan pada umumnya lebih baik dari pada wilayah lahan kering,
4. Pembangunan sarana dan prasarana pemukiman, kawasan industri, dan
sebagainya cenderung berlangsung cepat di wilayah bertopografi datar.
Konversi lahan sawah adalah suatu proses yang disengaja oleh manusia, bukan suatu proses alami. Kita ketahui bahwa percetakan sawah dilakukan dengan biaya
tinggi, namun ironisnya konversi lahan tersebut sulit dihindari dan terjadi setelah sistem produksi pada lahan sawah tersebut berjalan dengan baik. Konversi lahan
merupakan konsekuensi logis dari peningkatan aktivitas dan jumlah penduduk serta proses pembangunan lainnya. Konversi lahan pada dasarnya merupakan hal
yang wajar terjadi, namun pada kenyataannya konversi lahan menjadi masalah karena terjadi di atas lahan pertanian yang masih produktif Anwar, 1993.
Menurut Yanis 2014, pada umumnya laju konversi lahan sawah yang tertinggi terjadi pada hamparan sawah di sekitar perkotaan. Oleh karena berbagai aturan
dan perundang-undangan yang ditujukan untuk mengendalikan konversi lahan sawah tidak efektif, maka konversi lahan sawah terkesan tidak pandang bulu;
Universitas Sumatera Utara
menimpa lahan-lahan sawah produktif dengan fasilitas irigasi yang baik. Mengingat bahwa dimasa mendatang peluang untuk memperluas areal panen
semakin terbatas, maka konversi lahan sawah untuk jangka panjang sangat berpotensi mengancam ketahanan pangan nasional baik secara langsung maupun
tidak langsung. Secara langsung hal itu bersumber dari degradasi luas panen, secara tidak langsung disebabkan menurunnya produktivitas hamparan lahan
sawah disekitarnya.
Ditinjau menurut prosesnya, konversi lahan sawah dapat pula terjadi: 1 secara gradual; 2 seketika instan. Alih fungsi secara gradual lazimnya disebabkan
fungsi sawah tidak optimal. Umumnya hal seperti ini terjadi akibat degradasi mutu irigasi atau usaha tani padi di lokasi tersebut tidak dapat berkembang karena
kurang menguntungkan. Alih fungsi secara instan pada umumnya berlangsung di wilayah sekitar urban, yakni berubah menjadi lokasi pemukiman atau kawasan
industri Sumaryanto dkk, 1995.
Pola konversi lahan sawah dapat dipilah menjadi dua, yaitu sistematis dan sporadis. Konversi lahan sawah untuk pembangunan kawasan industri, perkotaan,
kawasan pemukiman real estate, jalan raya, kompleks perkantoran, dan sebagainya mengakibatkan terbentuknya pola konversi yang sistematis. Lahan
sawah yang dikonversi pada umumnya mencakup suatu hamparan yang cukup luas dan terkonsolidasi. Konversi lahan sawah yang dilakukan sendiri oleh
pemilik lahan sawah umumnya bersifat sporadis, luas lahan sawah yang terkonversi kecil-kecil dan terpencar. Proses konversi lahan sawah bersifat
progresif, artinya, lahan sawah di sekitar lokasi yang telah terkonversi, dalam
Universitas Sumatera Utara
waktu yang relatif pendek cenderung berkonversi pula dengan luas yang cenderung meningkat. Secara empiris progresifitas konversi lahan dengan pola
sistematis cenderung lebih tinggi daripada pola yang sporadis Direktorat Pangan dan Pertanian, 2006.
Sumaryanto dan Tahlim 2005 dalam Puspasari 2012 mengungkapkan bahwa dampak negatif dari konversi lahan sawah adalah degradasi daya dukung
ketahanan pangan nasional, pendapatan pertanian menurun, dan meningkatnya kemiskinan masyarakat lokal. Selain itu dampak lainnya adalah rusaknya
ekosistem sawah, serta adanya perubahan budaya dari agraris ke budaya urban sehingga menyebabkan terjadinya kriminalitas.
Kini ancaman penurunan produksi padi di Indonesia semakin serius karena petani mulai meninggalkan tanaman kebutuhan pokok itu. Mereka beralih ke tanaman
perkebunan, kelapa, dan kelapa sawit. Keinginan petani mengkonversi lahannya dari sawah menjadi lahan perkebunan, khususnya kelapa dan kelapa sawit, sulit
dibendung karena lebih menjanjikan pendapatan yang lebih tinggi Hadi, 2004.
2.2 Landasan Teori Alih Fungsi Lahan