Pelaksanaan Sistem Outsourcing di Jasa Perbankan

normatif dengan diberlakukannya Putusan MK mengenai pekerja outsourcing adalah bahwa semua perusahaan penyedia jasa harus mempekerjakan pekerja outsourcing sebagai pekerja tetap, sedangkan sifat pekerjaan yang dioutsourcingkan biasanya tergantung tingkat dan jenis kebutuhan.

E. Pelaksanaan Sistem Outsourcing di Jasa Perbankan

Putusan Mahkamah KonstitusiMK nomor 27PUU-IX2011 memberi efek kejut yang lebih dahsyat bila dibandingkan putusan MK lainnya di bidang Ketenagakerjaan.Ada yang mengatakan, dasar hukum outsourcing tidak sah pasca putusan MK. Bahkan, PKWT yang sudah ditandatangani sebelum putusan MK oleh sebagian kalangan dinilai telah bertentangan dengan putusan MK. Untuk menyelaraskan pemahaman tentang eksistensi dan peluang praktik outsourcing dan PKWT, kita perlu menelaah secara cermat amar dan pertimbangan putusan MK dimaksud. Di dalam pertimbangan hukum, MK menawarkan dua model pelaksananaan outsourcing. Model pertama, outsourcing dilakukan dengan menerapkan PKWTT secara tertulis. Model ini bukan hal baru sebab Pasal 65 ayat 7 UU Ketenagakerjaan telah mengaturnya secara operasional. Model kedua, menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerjaburuh Transfer of Undertaking Protection of Employment atau TUPE yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing. Bagian utama dari amar putusan MK menyatakan “frasa perjanjian kerja waktu tertentu dalam pasal 65 ayat 7 dan Pasal 66 ayat 2 huruf b UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak Universitas Sumatera Utara disyaratkan pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerjaburuh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerjaburuh.” Kata sepanjang dan seterusnya dalam amar di atas berlaku sebagai syarat bila pengusaha menggunakan sistem PKWT. 65 Aloysius Uwiyono memandang hubungan kerja dalam konteks hukum Indonesia adalah bahwa hubungan kerja berkaitan dengan hubungan kontraktual yang dibuat antara pekerja dengan pengusaha. 66 Oleh karenanya hubungan kerja didasarkan pada perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama dan peraturan perusahaan. Hubungan hukum yang berdasarkan pada hubungan kontraktual sebenarnya telah dianut di Indonesia sejak berlakunya Burgelijk Wetboek BW atau yang lazim sekarang disebut dengan KUH Perdata. 67 Berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak dalam hukum perdatahukum privat, dinyatakan bahwa siapapun yang memenuhi syarat berhak melakukan perjanjian dengan pihak lain dan perjanjian tersebut berlaku sebagai undang- undang bagi para pihak yang membuatnya. 68 Dalam hukum perburuhan di Indonesia, harus dibedakan antara hubungan kerja dengan hubungan industrial. 69 65 Beberapa negara baik yang termasuk di dalam sistem hukum Kontinental http:yunnerilubis.blogspot.com201304kajianpermennakertrans-nomor-19- tahun.html, diakses tanggal 1 Desember 2013 66 Aloysius Uwiyono, Dinamika Ketentuan Hukum tentang Pesangon, dalam http: www.Hukumonline diakses pada tanggal 9 Oktober 2013. 67 Pasal 1601 a – Pasal 1752 KUH Perdata 68 Sutan Remi Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Jakarta: Institut Bankir, 1993, hlm. 105. 69 UU No. 132003 menyebutkan pada Pasal 50 bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerjaburuh atau dalam Pasal 1 Ayat 15 dikatakan hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerjaburuh berdasarkan perjanjian kerja. Universitas Sumatera Utara Continental Law maupun Common Law membedakan kedua bentuk hubungan ini. Judge Bartolome` Rios Salmeron mengatakan bahwa hubungan kerja labour relationship selalu didasarkan pada adanya perjanjian kerja labour contract. 70 Bruce E.Kaufmann menggaris bawahi bahwa walaupun di Amerika Serikat, industrial relation telah ada sejak akhir tahun 1920an, ada 3 perdebatan yang terjadi dalam masalah perburuhan berkaitan dengan industrial relation, salah satunya adalah ketergantungan dan posisi tawar yang lemah dari pekerja maupun serikat pekerja pada peraturan pemerintah government regulation in the form protective labor legislation. 71 Di Jerman, sebagai bagian dari Civil Code, dalam the Protection Against Dismissal Act and the Employment Promotion Act, disebutkan bahwa batasan kontrak merupakan hal yang utama dalam labour relations. 72 Sedangkan dalam konteks hubungan kerja, terdapat hubungan hukum yang jelas yaitu hubungan hukum privat atau hubungan hukum keperdataaan, karena Argumen-argumen di atas jelas menekankan perbedaan hubungan kerja dengan hubungan industrial. Dalam hubungan industrial, tidak terdapat hubungan hukum akan tetapi peran serta negara dalam hal ini Pemerintah diatur di dalamnya. 70 Judge Bartolome` Rios Salmeron, dalam General Report Social Dialogue Eight Meeting of European Labour Court Justice, Jerusalem, September 3, 2000 menyebutkan bahwa,”…it is not usual to find a legal concept of contract of employment, although in some legal systems it can be deducted from the concept of employee, which is legally defined, in spite of the fact that personnel scope of labour acts may vary according to their objects. Mengutip British Statute Law dalam Employment Rights Act ERA Section 230 1dinyatakan”…and a worker, who is working under a contract of employment or a contract for services” Section 230 3. 71 Bruce E. Kaufmann, Government Regulation of the Employment Relationship, New York : Industrial Relations Research Association Series, 1998, 1 st . ed. p.2. 72 Labour Relationship in a Changing Environment, London: Cornell University, 1990, Alan Gladstone mengutip Germany Civil Code, 1990,”……the civil code covers mainly fundamental aspects of employer –employee relationship, contains provisions concerning termination of the labour contract.” Universitas Sumatera Utara hubungan kerja di dasarkan pada kontrak kerja atau perjanjian kerja.Pada dasarnya hubungan kerja, yaitu hubungan antara pekerja dan pengusaha terjadi setelah diadakan perjanjian oleh pekerja dengan pengusaha di mana pekerja menyatakan kesanggupannya untuk menerima upah dan pengusaha menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan pekerja dengan membayar upah. 73 Di dalam Pasal 50 UU Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dengan pekerja. 74 Pengertian perjanjian kerja diatur dalam KUHPerdata, dalam Pasal 1601 a KUH Perdata disebutkan kualifikasi agar suatu perjanjian dapat disebut perjanjian kerja. Kualifikasi yang dimaksud adalah adanya pekerjaan, di bawah perintah, waktu tertentu dan adanya upah. 75 Kualifikasi mengenai adanya pekerjaan dan di bawah perintah orang lain menunjukkan hubungan subordinasi atau juga sering dikatakan sebagai hubungan diperatas dienstverhouding, yaitu pekerjaan yang dilaksanakan pekerja didasarkan pada perintah yang diberikan oleh pengusaha.UU Ketenagakerjaan memberikan definisi tentang perjanjian kerja dalam Pasal 1 ayat 14 yaitu : perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. Di dalam perjanjian kerja ada 4 unsur yang harus dipenuhi yaitu adanya unsur work atau pekerjaan, adanya servis atau pelayanan, adanya unsur time atau waktu tertentu, 73 Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Jakarta: Djambatan, 1999, hlm.88. 74 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 50 75 R. Goenawan Oetomo, Pengantar Hukum Perburuhan dan Hukum Perburuhan di Indonesia Jakarta: Grhadika Binangkit Press, 2004 hlm. 15 Universitas Sumatera Utara suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Sedangkan perjanjian kerja akan menjadi sah jika memenuhi ketentuan yang diatur dalam KUH Perdata yaitu : a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. Arti kata sepakat adalah bahwa kedua subyek hukum yang mengadakan perjanjianharus setuju mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan. Perjanjian tersebut dikehendaki secara timbal balik b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Subyek hukum yang membuat perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada asasnya setiap orang harus sudah dewasa atau akil baliq dan sehat pikirannya disebut cakap menurut hukum. Di dalam Pasal 1330 KUH Perdata dijelaskan orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah orang yang belum dewasa, mereka yang berada di bawah pengampuan, dan orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian tertentu. c. Suatu hal tertentu. Suatu hal tertentu adalah sesuatu yang diperjanjikan. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian, paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Barang tersebut harus sudah ada atau sudah berada atau sudah ada atau berada di tangan si berhutang pada waktu perjanjian dibuat, tidak diharuskan oleh undang-undang. d. Sebab yang halal. Sebab yang dimaksud dari suatu perjanjian adalah isi dari perjanjian itu sendiri. Sebagai bagian dari perjanjian pada umunnya, maka perjanjian kerja harus memenuhi syarat sahnya perjanjian kerja harus Universitas Sumatera Utara memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Ketentuan secara khusus yang mengatur tentang perjanjian kerja adalah dalam Pasal 52 ayat 1 UU Ketenagakerjaaan, yaitu : Kesepakatan kedua belah pihakKesepakatan keduia belah pihak yang lazim disebut kesepakatan bagi yang mengikatkan dirinya maksudnya bahwa pihak-pihak yang mengadakan perjanjian kerja harus setujusepakat, seia sekata megenai hal-hal yang diperjanjikan. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum. Kemampuan dan kecakapan kedua belah pihak yang membuat perjanjian maksudnya adalah pihak pekerja maupun pengusaha cakap membuat perjanjian. Seseorang dipandang cakap membuat perjanjian jika yang bersangkutan telah cukup umur. Ketentuan hukum ketenagakerjaan memberikan batasan umur minimal 18 tahun Pasal 1 ayat 26 UU Ketenagakerjaan. Selain itu seseorang dikatakan cakap membuat perjanjian jika orang tersebut tidak terganggu jiwa dan mentalnyac. Adanya pekerjaan yang diperjanjikanPekerjaan yang diperjanjikan merupakan obyek dari perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha yang akibat hukumnya melahirkan hak dan kewajiban para pihak.Pekerjaan yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Obyek perjanjian harus halal yakni tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. ketertiban umum dan kesusilaan. Jenis pekerjaan yang diperjanjikan merupakan salah satu unsure perjanjian kerja yang harus disebutkan secara jelas.Pembedaan mengenai jenis perjanjian kerja, yaitu berdasarkan Universitas Sumatera Utara perjanjian kerja waktu tertentu dan PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu dan untuk pekerjaan tertentu. 76 Tidak semua jenis pekerjaan dapat dibuat dengan perjanjian kerja waktu tertentu. Pasal 57 Ayat 1 UU 132003 mensyaratkan bentuk PKWT harus tertulis dan mempunyai 2 kualifikasi yang didasarkan pada jangka waktu dan PKWT yang didasarkan pada selesainya suatu pekerjaan tertentu Pasal 56 ayat 2 UU Ketenagakerjaan. Secara limitatif, Pasal 59 menyebutkan bahwa PKWT hanya dapat diterapkan untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis, sifat dan kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya, pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama, paling lama 3 tahun, pekerjaan yang bersifat musiman dan pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajagan. 77 Berbeda dengan PKWTT, yaitu perjanjian kerja antara pekerjaburuh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja tetap. 78 Masa berlakunya PKWTT berakhir sampai pekerja memasuki usia pensiun, pekerja diputus hubungan kerjanya, pekerja meninggal dunia. Bentuk PKWTT adalah fakultatif yaitu diserahkan kepada para pihak untuk merumuskan bentuk perjanjian baik tertulis maupun tidak tertulis. Hanya saja berdasarkan Pasal 63 ayat 1 ditetapkan bahwa apabila PKWTT dibuat secara lisan, ada kewajiban pengusaha untuk membuat surat pengangkatan bagi pekerjaburuh yang 76 F.X. Djulmiaji, Perjanjian Kerja Edisi Revisi, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm 89 77 R. Goenawan Oetomo, Op.Cit., hlm. 18. 78 F.X. Djulmiaji, Op.Cit. Universitas Sumatera Utara bersangkutan. PKWTT dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 tiga bulan dan dalam hal demikia, pengusaha dilarang untuk membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 60 ayat 1 dan 2 UU Ketenagakerjaan. Pada PKWT, permasalahan timbul dimana pada saat pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerjanya, tidak sesuai dengan apa yang tercantum di dalam Pasal 59 ayat 1 UU Ketenagakerjaan. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu: Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 tiga tahun; Pekerjaan yang bersifat musiman; Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.Sedangkan untuk masa sekarang ini hampir semua jenis pekerjaan dapat ‘dipkwtkan’ atau diikat dengan perjanjian kontrak maupun juga dengan cara outsourcing, suatu hal yang sebenarnya melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan. Hubungan kerja yang terjadi antara buruh dengan pengusaha yang timbul karena adanya suatu perjanjian kerja sebenarnya secara teoritis merupakan hak pengusaha dan hak pekerja untuk memulai maupun mengakhirinya. Akan tetapi bagi pekerja, hubungan hukum yang terjadi dengan pengusaha selalu berada dalam hubungan subordinatif atau hubungan di mana kedudukan pekerja lebih rendah dari pengusaha atau majikan. Universitas Sumatera Utara Bagi pekerja outsourcing hal tersebut menjadi semakin parah karena pekerja tidak mempunyai hubungan kerja dengan perusahaan pemberi kerja. 79 Pengertian atau definisi outsourcing dalam hubungan kerja tidak ditemukan dalam UU Ketenagakerjaan, akan tetapi di dalam Pasal 64 undang-undang tersebut dinyatakan bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaaan jasa pekerjaburuh yang dibuat secara tertulis. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa sistem outsourcing adalah hubungan kerja fleksibel yang berdasarkan pengiriman atau peminjaman pekerja uitzenverhouding. 80 Model kontrak outsourcing berpeluang memunculkan sengketa perburuhan, hal ini terjadi karena Indonesia belum memiliki perangkat hukum Meskipun pekerja tidak mempunyai hubungan kerja dengan perusahaan pengguna, akan tetapi undang-undang sebenarnya mengatur perlindungan dan syarat-syarat kerja bagi pekerja dari perusahaan penyedia jasa sekurang- kurangnya sama dengan pekerja yang berstatus pekerja di perusahaan pengguna. Pasal 65 ayat 4 UU Ketenagakerjaan Tidak adanya jaminan kepastian seseorang dapat bekerja secara terus menerus dalam hubungan kerja yang dilakukan secara outsourcing timbul karena hubungan kerja menyangkut tiga pihak yaitu perusahaan pengguna, perusahaan penyedia jasa dan pekerja. Dalam memberikan suatu pekerjaan bagi pekerja, perusahaan penyedia jasa sangat tergantung kepada kebutuhan perusahaan pengguna. 79 PHK dan Perlindungan Negara Atas Hak Pekerja, diakses dari http:www.pemantauperadilan.com pada 9 Oktober 2013. 80 RR Ani Wijayati, Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain Outsourcing dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003, dalam Bunga Rampai Masalah- masalah Hukum Masa Kini, Jakarta: UKI Press, 2004, hlm 66. Universitas Sumatera Utara yang khusus mengatur mengenai status pekerja dari perusahaan penyedia jasa. Konfllik hubungan kerja ini bahkan terus berlanjut hingga terjadi perselisihan hubungan industrial yang dibawa hingga tingkat kasasi. Pada umumnya dalam beberapa kasus, 81 Pro kontra pekerja outsourcing ini sampai sekarang menjadi dilematis karena di satu sisi secara efisiensi, pekerja outsourcing dipandang pengusaha sebagai salah satu jalan ke luar dalam mencari tenaga kerja yang aman dan di sisi lain kedudukan bagi pekerja dengan bekerja secara outsourcing tidak menentu terutama oleh karena hampir secara keseluruhan, pekerja outsourcing bekerja dengan dasar PKWT. Hampir di semua lini pekerjaan dapat dimasuki oleh pekerja outsourcing dewasa ini termasuk pekerjaan pokok, yang sebenarnya dilarang oleh UU Ketenagakerjaan. Oleh karena terikat PKWT, maka sudah menjadi rahasia umum jika pekerja outsourcing masuk, ke luar dan kembali lagi bekerja di Pengadilan tidak dapat memenangkan pekerja outsourcing yang meminta dipekerjakan kembali di perusahaan pengguna maupun apabila diputus hubungan kerjanya dilakukan prosedur PHK seperti yang diatur dalam undang-undang, karena pada dasarnya secara hukum hubungan kerja yang terjadi adalah antara perusahaan penyedia jasa dengan pekerja, bukan dengan perusahaan pengguna. Kalaupun di dalam ketentuan undang-undang diatur bahwa apabila ternyata pekerja outsourcing tidak dijamin hak-haknya oleh perusahaan penyedia jasa, kedudukannya beralih menjadi pekerja di perusahaan pengguna jasa, hal ini tidak serta merta menyebabkan kedudukan mereka secara yuridis dapat berubah. 81 RR Ani Wijayati, Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain Outourcing Dalam UU No. 132003”, dalam Bunga Rampai Masalah-masalah Hukum Masa Kini, Jakarta: UKI Press, 2004, hlm.65. Universitas Sumatera Utara perusahaan pengguna yang sama bertahun-tahun dengan sistem outsourcing. Permasalahan lain dalam hubungan hukum berupa hubungan kerja adalah mengenai sanksi. UU Ketenagakerjaan tidak memuat mengenai sanksi terhadap pelanggaran ketentuan pasal-pasal yang mengatur mengenai perjanjian kerja. Hal ini secara yuridis disadari amat rawan bagi pekerja untuk menuntut hak-haknya secara hukum, apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan perjanjian kerja dalam undang-undang tersebut. Oleh karenanya wajar apabila terjadi pekerja yang bekerja terus menerus dengan sistem kontrak yang diperbaharui, atau bahkan kemudian dialihkan menjadi pekerja outsourcing yang konsekuensi sanksi hukumnya lebih mudah dihindari oleh perusahaan pengguna. Bergantungnya perjanjian kerja bagi pekerja outsourcing dengan perjanjian kerjasama antara perusahaan pengguna dengan perusahaan penyedia jasa outsourcing, seperti dapat ditarik analogi berdasarkan hubungan accessoir dalam kedua perjanjian tersebut. Artinya perjanjian kerja outsourcing sangat bergantung pada perjanjian kerjasama perusahaan pengguna dan penyedia jasa. Apabila perjanjian kerjasamanya berakhir sebelum waktu yang diperjanjikan, maka perjanjian kerja outsourcing juga dengan demikian menjadi berakhir bersamaan dengan berakhirnya perjanjian pokoknya yaitu perjanjian kerjasama antara perusahaan pengguna dan perusahaan penyedia jasa. Putusan MK No. 27PUU-IX2011, menyatakan bahwa ada model yang harus dipenuhi dalam perjanjian kerja outsourcing yaitu Pertama, dengan mensyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja dan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing tidak berbentuk perjanjian kerja waktu Universitas Sumatera Utara tertentu “PKWT”, tetapi berbentuk perjanjian kerja waktu tidak tertentu “PKWTT”. Kedua, menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing. Putusan MK ini menyiratkan bahwa setiap pekerja outsourcing terjamin kedudukannya dalam perusahaan pengguna karena perjanjian kerjanya bersifat PKWTT atau tetap. Akan tetapi masalah kemudian timbul secara yuridis, yaitu siapakah sebenarnya para pihak yang mengadakan perjanjian kerja, sebab seperti dikemukakan sebelumnya, perjanjian kerja outsourcing dilakukan antara perusahaan penyedia jasa dengan pekerja outsourcing, di samping sifat dan jenis pekerjaan outsourcing pada dasarnya bukan untuk pekerjaan pokok dan oleh karenanya disubkontrakkan. Tidak adanya jaminan kepastian pekerja outsourcing bekerja terus menerus juga oleh karena sifat pekerjaannya dilakukan berdasarkan kebutuhan perusahaan pengguna, walaupun tidak dapat dipungkiri ada beberapa penyimpangan dalam hal ini. Bagi perjanjian kerja yang sudah diberikan kepada pekerja outsourcing sebelum diberlakukannya Putusan MK tersebut, tentu tidak masalah; oleh karena Putusan MK tidak berlaku surut berdasarkan Surat Edaran Menteri No. B.31PHI.JSK2012. Akan tetapi permasalahan akan timbul setelah diberlakukannya Putusan Mahkamah Konstitusi ini yang telah ditindaklanjuti dengan Surat Edaran Menteri No B.31PHI.JSKI2012 yang menyebutkan bahwa harus ada proses Transfer Of Undertaking Protection Of Employment atau TUPE, yang dipersyaratkan dalam Perjanjian Kerja Outsourcing apabila sifatnya berupa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Bagi sebagian besar kalangan perusahaan Universitas Sumatera Utara pengguna, hal ini tentu memberatkan; karena alasan semula mempekerjakan pekerja outsourcing adalah berdasarkan kebutuhan dan sifat tentatif dari pekerjaan yang diperjanjikan. Bagi kalangan perusahaan pengguna, sebenarnya hal tersebut membebaskannya dari kewajiban mempekerjakan pekerja outsourcing yang masa kerjanya habis sebelum masa kontraknya habis. Pada lain sisi, bagi pekerja outsourcing, sebenarnya Putusan MK ini dianggap makin melegalkan outsourcing di Indonesia, dan terutama tidak disebutkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi maupun Surat Edaran Menteri mengenai pekerjaan apa saja yang dapat dioutsourcingkan. Konsekuensi yuridis normatif dengan diberlakukannya Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pekerja outsourcing adalah bahwa semua perusahaan penyedia jasa harus mempekerjakan pekerja outsourcing sebagai pekerja tetap, sedangkan sifat pekerjaan yang dioutsourcingkan biasanya tergantung tingkat dan jenis kebutuhan. Dalam memberikan suatu pekerjaan bagi pekerja, perusahaan penyedia jasa sangat tergantung kepada kebutuhan perusahaan pengguna. Model kontrak outsourcing berpeluang memunculkan sengketa perburuhan, hal ini terjadi karena Indonesia belum memiliki perangkat hukum yang khusus mengatur mengenai status pekerja dari perusahaan penyedia jasa. Konfllik hubungan kerja ini bahkan terus berlanjut hingga terjadi perselisihan hubungan industrial yang dibawa hingga tingkat kasasi. Universitas Sumatera Utara Pada umumnya dalam beberapa kasus, 82 Pro kontra pekerja outsourcing ini sampai sekarang menjadi dilematis karena di satu sisi secara efisiensi, pekerja outsourcing dipandang pengusaha sebagai salah satu jalan ke luar dalam mencari tenaga kerja yang aman dan di sisi lain kedudukan bagi pekerja dengan bekerja secara outsourcing tidak menentu terutama oleh karena hampir secara keseluruhan, pekerja outsourcing bekerja dengan dasar PKWT. Hampir di semua lini pekerjaan dapat dimasuki oleh pekerja outsourcing dewasa ini termasuk pekerjaan pokok, yang sebenarnya dilarang oleh UU Ketenagakerjaan. Oleh karena terikat PKWT, maka sudah menjadi rahasia umum jika pekerja outsourcing masuk, ke luar dan kembali lagi bekerja di perusahaan pengguna yang sama bertahun-tahun dengan sistem outsourcing. Pengadilan tidak dapat memenangkan pekerja outsourcing yang meminta dipekerjakan kembali di perusahaan pengguna maupun apabila diputus hubungan kerjanya dilakukan prosedur PHK seperti yang diatur dalam undang-undang, karena pada dasarnya secara hukum hubungan kerja yang terjadi adalah antara perusahaan penyedia jasa dengan pekerja, bukan dengan perusahaan pengguna. Kalaupun di dalam ketentuan undang-undang diatur bahwa apabila ternyata pekerja outsourcing tidak dijamin hak-haknya oleh perusahaan penyedia jasa, kedudukannya beralih menjadi pekerja di perusahaan pengguna jasa, hal ini tidak serta merta menyebabkan kedudukan mereka secara yuridis dapat berubah. 82 Beberapa kasus, a.l. adalah tahun 2002 pekerja di PT Tri Patra Engineer and Contractor menolak PHK yang dilakukan terhadap mereka dan minta dipekerjakan kembali di PT Caltex Pacific Indonesia, karena menganggap PT TPEC bukan majikan mereka sebagai perusahaan penyedia jasa, juga kasus PHK karyawan outsourcing PT Bakrie Tosan Jaya berdasarkan Putusan Kasasi MA No 192 KPHI2007 yang memenangkan termohon kasasi PT Bakrie Tosan Jaya sebagai perusahaan pengguna yang menolak memberikan kompensasi PHK kepada karyawan outsourcingnya. Universitas Sumatera Utara Adanya Putusan MK yang mewajibkan PKWT bagi Perjanjian Kerja Outsourcing harus memuat klausula atau prasyarat yang menyebabkan pekerja outsourcing di perusahaan pengguna dapat beralih menjadi pekerja tetap. Beberapa kasus mengenai hal ini telah sampai menjadi perselisihan hubungan industrial sampai tingkat Pengadilan Negeri di bidang Pengadilan Hubungan Industrial. Permasalahan lain dalam hubungan hukum berupa hubungan kerja adalah mengenai sanksi. UU Ketenagakerjaan tidak memuat mengenai sanksi terhadap pelanggaran ketentuan pasal-pasal yang mengatur mengenai perjanjian kerja. Hal ini secara yuridis disadari amat rawan bagi pekerja untuk menuntut hak-haknya secara hukum, apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan perjanjian kerja dalam undang-undang tersebut. Oleh karenanya wajar apabila terjadi pekerja yang bekerja terus menerus dengan sistem kontrak yang diperbaharui, atau bahkan kemudian dialihkan menjadi pekerja outsourcing yang konsekuensi sanksi hukumnya lebih mudah dihindari oleh perusahaan pengguna.Bergantungnya perjanjian kerja bagi pekerja outsourcing dengan perjanjian kerjasama antara perusahaan pengguna dengan perusahaan penyedia jasa outsourcing, seperti dapat ditarik analogi berdasarkan hubungan accessoir dalam kedua perjanjian tersebut. Artinya perjanjian kerja outsourcing sangat bergantung pada perjanjian kerjasama perusahaan pengguna dan penyedia jasa. Apabila perjanjian kerjasamanya berakhir sebelum waktu yang diperjanjikan, maka perjanjian kerja outsourcing juga dengan demikian menjadi berakhir bersamaan dengan berakhirnya perjanjian pokoknya yaitu perjanjian kerjasama antara perusahaan pengguna dan perusahaan penyedia jasa.Sebenarnya Universitas Sumatera Utara konsekuensi apabila tidak sesuai dengan syarat-syarat perjanjian kerja berdasarkan Pasal 62 UU Ketenagakerjaan, maka perjanjian kerja waktu tertentu berubah menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu dan dengan demikian para pekerjanya bukan lagi menjadi pekerja kontrak tetapi di angkat menjadi pekerja tetap. Masa kerja pekerja tersebut pun dimulai sejak pertama kali pekerja tersebut diterima bekerja. Akan tetapi ketentuan UU Ketenagakerjaan yang membatasi pekerja yang bekerja dengan dasar perjanjian kerja waktu tertentu secara terus menerus dan demi hukum akan berubah status menjadi pekerja tetap yang diikat dengan perjanjian kerja waktu tertentu serta ketentuan mengenai pekerja outsourcing yang kedudukannya dapat beralih menjadi pekerja di perusahaan pengguna apabila terjadi pelanggaran ketentuan pasal dalam undang-undang ketenagakerjaan tersebut mengenai outsourcing, mengakibatkan akal-akalan yang terjadi selama ini adalah mempekerjakan mereka kembali dengan status pekerja baru dengan memberikan masa jeda selama beberapa bulan sebelum pekerja tersebut dipekerjakan kembali. Hal tersebut tentu sangat merugikan pekerja, sebab status dan kedudukan pekerja menjadi tidak jelas serta tidak ada kepastian hukum bagi pihak pekerja itu sendiri.Sebenarnya keluhan lain datang dari pihak perusahaan penyedia jasa pekerja outsourcing. Berdasarkan pengamatan dan penelitian penulis, hampir semua perusahaan penyedia jasa pekerja outsourcing mengeluhkan beberapa kemampuan dan kompetensi pekerja outsourcing yang rendah di samping apabila pekerja outsourcing dari perusahaannya melakukan tindakan pidana dalam perusahaan atau pelanggaran lain yang merugikan perusahaan pengguna, maka Universitas Sumatera Utara perusahaan outsourcing yang menanggungnya. Hal tersebut menjadi berat, oleh karena tindakan pelanggaran yang dilakukan pekerja outsourcing tidak sebanding dengan pemasukan yang diterima perusahaan jasa outsourcing. Sulitnya memperoleh pekerja yang berkualitas baik secara akademis, teknis dan mental kepribadian juga masih menjadi masalah bagi pekerja outsourcing. Keluhan terakhir akhirnya tetap datang dari pekerja outsourcing yang semula berstatus sebagai pekerja kontrak bertahun-tahun dengan pembaharuan kemudian beralih menjadi pekerja outsourcing yang dalam kontraknya harus menawarkan jasa dan terikat dengan ketentuan-ketentuan yang memberatkan. 83

F. Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Outsourcing Pasaca-Putusan