disiplin  nasional  yang  telah  dicanangkan  oleh  Presiden  Soeharto  pada Peringatan Hari Kebangkitan Nasional Tahun 1995.
5. Characterization  by  a  Value  or  Value  Complex  Karakterisasi  dengan
suatu nilai atau kompleks nilai, yakni keterpaduan semua nilai yang telah dimiliki  seseorang,  yang  memepengaruhi  pola  kepribadian  dan  tingkah
lakunya. Nilai ini telah tertanam secara konsisten pada sistemnya dan telah mempengaruhi    emosinya.  Ini  adalah  merupakan  tingkatan  afektif
tertinggi, karena sikap batin telah benar-benar bijaksana. Ia telah memiliki philosophy  of  life  yang  mapan.  Contoh  hasil  belajar  afektif  pada  jenjang
ini  adalah  siswa  telah  memiliki  kebulatan  sikap  wujud  peserta  didik menjadikan perintah Allah swt yang tertera dalam al-
Qur‟an pada surat al- „Ashr  sebagai  pegangan  hidupnya  dalam  hal  yang  menyangkut
kedisiplinan,  baik  di  sekolah,  di  rumah  maupun  di  tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Setelah proses dari jenjang di atas maka akan mendapati ciri-ciri hasil belajar afektif  yang  dapat  terlihat  pada  tingkah  laku  peserta  didik  seperti,  perhatiannya
terhadap  mata  pelajaran  tertentu,  kedisiplinannya  dalam  mengikuti  pelajaran motivasinya  yang  tinggi  untuk  tahu  lebih  banyak  mengenai  pelajaran  tertentu,
penghargaan atau rasa hormatnya terhadap guru dan lain sebagainya.
63
Inilah  berbagai  gambaran  tentang  kompetensi  yang  harus  dikembangkan melalui  proses  pembelajaran  dalam  kelas,  yang  untuk  aspek  afektif  tersebut  tidak
cukup  hanya  dengan  proses  pembelajaran  yang  lebih  melibatkan  mereka  dalam pembahasannya,  tetapi  juga  contoh-contoh  nyata  sehingga  mereka  dapat
memperlihatkan respon yang terukur.
64
Tingkah  laku  afektif  adalah  tingkah  laku  yang  menyangkut  keanekaragaman perasaan, seperti takut, marah, sedih, gembira, kecewa, senang, benci, dan
63
Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: RajaGrafindo, 2011, cet. 11, hal. 54
64
Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis, Jakarta: Kencana, 2004, Cet. 1, hal.
sebagainya. Tingkah laku seperti ini tidak terlepas dari pengaruh pengalaman belajar. Oleh karenanya, ia juga dapat dianggap sebagai perwujudan perilaku belajar.
Seorang  siswa  misalnya,  dapat  dianggap  sukses  secara  afektif  dalam  belajar agama  apabila  ia  telah  menyenangi  dan  menyadari  dengan  ikhlas  kebenaran  ajaran
agama  yang  ia  pelajari,  lalu  menjadikannya  sebagai  “sistem  nilai  diri”.  Kemudian, pada  gilirannya  ia  menjadikan  sistem  nilai  ini  sebagai  penuntun  hidup,  baik  dikala
suka maupun duka.
65
Seperti yang telah di singgung di atas, pembahasan tentang sikap atau afektif erat  hubungannya  dengan  dengan  nilai  yang  dimiliki  seseorang.  Oleh  karenannya,
pendidikan sikap atau afektif pada dasarnya adalah pendidikan nilai.
C. Pengertian Nilai, Moral dan Sikap
Sudah  diterangkan  dalam  pembahasan  sebelumnya  bahwa  strategi pembelajaran  yang  berfokus  pada  ranah  afektif  siswa  erat  hubungannya  dengan
dengan nilai, emosi dan sikap. Untuk itu agar memudahkan dan dapat dipahami lebih mendalam  apa  yang  ingin  dicapai  oleh  penulis  alangkah  baiknya  penulis
menerangkan tentang pengertian nilai, emosi dan sikap. Nilai  berasal  dari  bahasa  Latin
vale‟re  yang  artinya  berguna,  mampu  akan, berdaya,  berlaku,  sehingga  nilai  diartikan  sebagai  sesuatu  yang  dipandang  baik,
bermanfaat  dan  paling  benar  menurut  kenyakinan  seseorang  atau  sekelompok orang.
66
Nilai  value  adalah  suatu  norma  atau  standar  yang  telah  diyakinni  atau secara psikologis telah menyatu dalam diri individu.
67
Nilai  adalah  suatu  konsep  yang  berada  dalam  pikiran  manusia  yang  sifatnya tersembunyi,  tidak  berada  didalam  dunia  yang  empiris,  nilai  tersebut  berhubungan
langsung  dengan  pandangan  seseorang  yang  tidak  bisa  dilihat,  diraba  tapi  bisa dirasakan langsung oleh orang yang bersangkutan.
68
65
Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, Jakarta: Rajawali Pers, 2009, hal. 125
66
Sutarjo Adisusilo, Pembelajaran Nilai – Karakter, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012,
cet. 1, hal. 56
67
Abdul Majid, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006, cet.  3, hal. 51.
Nilai  adalah  ukuran  baik-buruk,  benar-salah,  boleh-tidak  boleh,  indah-tidak indah,  suatu  perilaku  atau  pernyataan  yang  berlaku  dalam  kehidupan  suatu
masyarakat.  Oleh  karena  itu,  nilai  mendasari  sikap  dan  perilaku  seseorang  dalam kehidupannya di masyarakat.
69
Moral  adalah  ajaran  tentang  baik  buruk  perbuatan  dan  kelakuan,  akhlak, kewajiban,  dan  sebagainya.  Dalam  moral  diatur  segala  perbuatan  yang  dinilai  tidak
baik  dan  perlu  dihindari.  Moral  berkaitan  dengan  kemampuan  untuk  membedakan antara  perbuatan  yang  benar  dan  yang  salah.  Dengan  demikian,  moral  merupakan
kendali dalam bertingkah laku. Sedangkan  sikap  secara  umum  diartikan sebagai  kesediaan  bereaksi  individu
terhadap  sesuatu  hal.  Sikap  belum  merupakan  suatu  tindakan  atau  aktivitas,  akan tetapi  berupa  kecenderungan  predisposisi  tingkah  laku.  Jadi  sikap  merupakan
kesiapan  untuk  bereaksi  terhadap  objek  di  lingkungan  tertentu  sebagai  suatu penghayatan terhadap objek tersebut.
70
Menurut  Muhubbin  Syah  dalam  bukunya  Psikologi  Belajar,  menjelaskan sikap  adalah  gejala  internal  yang  berdimensi  afektif  berupa  kecenderungan  untuk
mereaksi atau merespons response tendency dengan cara yang relatif tetap terhadap objek orang, barang, dan sebagainya, baik secara positif maupun negatif.
71
Sama  halnya  seperti  yang  diungkapkan  W.S.  Winkel  dalam  bukunya Psikologi  Pengajaran  mengenai  sikap,  orang  yang  bersikap  tertentu  cenderung
menerima  atau  menolak  suatu  obyek  berdasarkan  penilain  terhadap  obyek  itu, bergunaberharga baginya atau tidak.
72
Dalam  sikap  dapat  dibedakan  tiga  aspek,  yaitu  aspek  kognitif,  aspek  afektif dan aspek konatif. Misalnya, seorang mengetahui bahwa mobil yang berukuran besar
membutuhkan  bahan  bakar  banyak  dan,  karena  itu,  biaya  operasi  menjadi  tinggi aspek  kognitif.  Dia  tidak  suka  mengeluarkan  uang  banyak  untuk  mengoperasikan
mobil besar, hanya demi menjaga gengsi aspek afektif. Maka, dia tidak hendak
69
Enung Fatimah, Psikologi Perkembangan Perkembangan Peserta Didik, Bandung: Pustaka Setia, 2006, hal. 120.
70
Enung Fatimah, Psikologi Perkembangan Perkembangan Peserta Didik, Bandung: Pustaka Setia, 2006, hal. 121.
membeli  mobil  besar  dan  hasrat  membeli  mobil  yang  lebih  kecil  aspek  konatif. Aspek  terakhir  inilah  yang  paling  berperan  dalam  mengambil  tindakan  atau
menentukan pilihan berdasarkan sikap tertentu.
73
Sikap dan nilai Value kerap disamakan meskipun ada ahli yang memandang nilai  sebagai  sikap  sosial,  yaitu  sikap  masyarakat  luas  terhadap  sesuatu,  orang-
perorangan dapat mengambil oper sikap sosial itu dan menjadikannya sikap pribadi, atau menolaknya dan memutuskan sikap sendiri.
74
D. Nabi Musa dan Nabi Khidir
1. Nabi Musa AS
Nabi  Musa  as  adalah  nabi  yang  diutus  di  daerah  Mesir  para  ahli  sejarah menyebutkan  bahwa  Musa  as  dilahirkan  sekitar  tahun  1285  SM  atau  bertepatan
dengan tahun ke-7 pemerintahan Ramses II. Peristiwa kelahiran Musa as terjadi saat kekalahan  pertempuran  yang  diderita  Fir‟aun  dan  bala  tentara  Mesir  di  Kadesh
Barnea  melawan  bala  tentara  Kerajaan  Het  yang  berakibat  pada  penderitaan  dan penindasan orang-orang  Israel di Mesir semakin besar. Di tengah penindasan inilah,
istri Imran atau Amram, anak Yafet putra Lewi, melahirkan seorang bayi laki-laki. Taurat  menyebut  bahwa  Amram,  ayah  Musa  as,  menikah  dengan  bibinya,  konon
bernama Yokhebed, saudara ayahnya, dan melahirkan Harun dan Musa.
75
Adapun geneologi dari Nabi Musa adalah Musa bin Imran bin Fahis bin „Azir
bin Lawi bin Ya‟qub bin Ishaq bin Ibrahim bin Azara bin Nahur bin Suruj bin Ra‟u bin Falij bin „Abir bin Syalih bin Arfahsad bin Syam bin Nuh.
76
Menurut ahli nujum kerajaan Fir‟aun, memberitahu bahwa ada seorang bayi laki-laki  dari  kalangan  Bani  Israil  yang  akan  menjadi  musuh  dan  bahkan
membinasakan Fir‟aun. Serentak raja Fir‟aun mengeluarkan perintah agar membunuh semua bayi laki-
laki yang lahir di lingkungan kerajaannya, tanpa terkecuali. Yokhebed, ibu yang saat itu melahirkan Nabi Musa juga tak luput dari rasa cemas dan takut akan keselamatan
73
W.S. Winkel, Psikologi PengajaranI, Jakarta: Grasindo, 1996, Cet. 4, hal . 105
74
W.S. Winkel, Psikologi PengajaranI, Jakarta: Grasindo, 1996, Cet. 4, hal . 104
75
Amanullah Halim, Musa Versus Fir‟aun, Jakarta: Lentera Hati, 2011, cet. 1, hal. 39.
bayi laki-lakinya. Atas petunjuk dari Allah, bayi laki-laki tersebut Musa dimasukan kedalam  peti  dan  dilepaskan  ke  sungai  Nil.  Dan  atas  kehendak  Allah,  bayi  tersebut
mengalir  menuju  arah  istana,  yang  kemudian  ditemukan  dan  diambil  oleh  istri Fir‟aun.  Demikianlah,  akhirnya  Nabi  Musa  as  diasuh  dan  di  besarkan  di  keluarga
kerajaan Fir‟aun.
Hingga  ketika  Musa  telah  mencapai  usia  dewasa,  Allah  mengaruniakannya hikmah  dan  pengetahuan  sebagai  persiapan  tugas  kenabian  dan  risalah  yang
diwahyukan kepadanya. Ketika itu Musa mengetahui dan sadar bahwa sebenarnya ia hanyalah anak pungut di istana dan tidak se
titik darah Fir‟aun pun mengalir di dalam tubuhnya.
Dalam salah satu kisahnya, musa pernah membunuh salah satu kaum Fir‟aun yang bernama Fatun. Karena tindakannya tersebut, pihak kerajaan memutuskan untuk
menangkap  Musa.  Namun  Musa  dapat  lolos  dan  ia  meninggalkan  Mesir  menuju Madyan.  Disana  ia  bertemu  Shafura  puteri  Nabi  Syu‟aib  dan  akhirnya  menikah
dengannya. Sepuluh tahun lebih ia pergi meninggalkan Mesir tanah kelahirannya, sebelum
ia  memutuskan  kembali  pulang  ke  Mesir.  Di  tengah  perjalannya,  tepatnya  di  Thur Sina,  ia  tersesat  dan  kehilangan  arah.  Dalam  keadaan  demikian,  terlihatlah  olehnya
sinar api yang menyala di atas lereng sebuah bukit. Di sinilah Nabi Musa mendapat wahyu  yang  pertama  yang  diterimanya  langsung  dari  Allah  swt,  sebagai  tanda
kenabian. Apabila  kita  membaca  dan  menyimak  kisah  sejarah  Nabi  Musa,  niscaya  kita
akan  mendapati  beliau  adalah  seorang  nabi  yang  memiliki  keistimewaan, diantaranya:
77
1. Nabi Musa di beri mukjizat oleh Allah berupa tongkat yang bisa berubah
menjadi  ular  besar,  bisa  membelah  lautan,  bisa  memancarkan  air,  dan sebagainya.  Selain itu,  beliau terkenal  sebagai  nabi  yang  punya  kekuatan
fisik  yang  tangguh,  sehingga  apabila  memukul  seorang  dengan  satu  kali pukulan saja niscaya orang tersebut mati.