Aspek Hukum Status Kewarganegaraan Anak Hasil Perkawinan Campuran Yang Lahir Sebelum Dan Sesudah Berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia

(1)

ASPEK HUKUM STATUS KEWARGANEGARAAN ANAK

HASIL PERKAWINAN CAMPURAN YANG LAHIR

SEB ELUM DAN SESUDAH B ERL AK UNYA

UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2006

TENTANG KEWARGANEGARAAN

REPUBLIK INDONESIA

T E S I S

Oleh KUS WINARNO

087005024/HK

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ASPEK HUKUM STATUS KEWARGANEGARAAN ANAK

HASIL PERKAWINAN CAMPURAN YANG LAHIR

SEB ELUM DAN SESUDAH B ERL AK UNYA

UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2006

TENTANG KEWARGANEGARAAN

REPUBLIK INDONESIA

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi

Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh KUS WINARNO

087005024/HK

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Telah diuji pada

Tanggal : 31 Agustus 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH Anggota : 1. Prof. Dr. Suhaidi, SH, M.Hum

2. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum 3. Prof. Dr.Budiman Ginting, SH, MH 4. Dr. Agusmidah, SH, MH


(4)

ASPEK HUKUM STATUS KEWARGANEGARAAN ANAK

HASIL PERKAWINAN CAMPURAN YANG LAHIR

SEB ELUM DAN SESUDAH B ERL AK UNYA

UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2006

TENTANG KEWARGANEGARAAN

REPUBLIK INDONESIA

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Agustus 2010 Penulis


(5)

ABSTRAK

Perkawinan campuran menurut Pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974 merupakan perkawinan yang terjadi antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan. Selama ini pemerintah Indonesia mengatur perkawinan campuran antara WNI dan WNA berdasarkan UU No. 62 Tahun 1958 Tentang Kewarganegaraan RI, namun kemudian sejak tanggal 1Agustus 2006 diperbaharui dengan UU No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan RI. Di dalam UU No. 12 Tahun 2006 dijelaskan bahwa anak hasil kawin campur dapat memiliki kewarganegaraan ganda namun terbatas. Dikatakan terbatas karena status kewarganegaraan ganda terbatas ini hanya diperuntukan bagi anak hasil perkawinan campur saja, dimana setelah mereka dewasa secara hukum Indonesia yaitu usia 18 tahun dan mendapat tenggang waktu 3 tahun sampai dengan usia 21 tahun, diharuskan untuk memilih salah satu kewarganegaraan yang dimilikinya. Maka akan timbul permasalahan dalam bidang keimigrasian yaitu dalam pengaturan dalam hal izin keimigrasian.

Permasalahan ini diteliti dengan menggunakan pendekatan metode yuridis normatif dan deskripsi analitis, yaitu berupa kajian terhadap asas-asas dan norma hukum yang terdapat dalam ketentuan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemberian izin keimigrasian berikut peraturan pelaksanaannya dan Undang-undang Keimigrasian dan menggambarkan permasalahan mengenai pengaturan izin keimigrasian serta selanjutnya menganalisis permasalahan tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Keimigrasian yang berlaku saat ini baik Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Kehakiman maupun Petunjuk Pelaksanaan Direktur Jenderal Imigrasi belum mencantumkan anak eks kewarganegaraan ganda terbatas sebagai subyek pemegang Izin Tinggal Terbatas maupun Izin Tinggal Tetap.

Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa pengaturan Pemberian Izin Keimigrasian bagi Subyek Kewarganegaraan ganda terbatas yang telah dewasa dan memilih WNA dan menetap di Indonesia belum diatur dalam perundang-undangan yang ada saat ini. Untuk itu perlu dibuat suatu perubahan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian, Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1994 Tentang Visa, Izin Masuk dan Izin Keimigrasian, Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.02-IZ.01.10 Tahun 1995 Tentang Visa Singgah, Visa Kunjungan, Visa Tinggal Terbatas, Izin Masuk dan Izin Keimigrasan maupun Petunjuk Pelaksanaan Direktur Jenderal Imigrasi Nomor F-309.IZ.01.10 Tahun 1995 Tentang Tata Cara Pemberian, Perpanjangan, Penolakan, dan Gugurnya Izin Keimigrasian dengan mencantumkan anak-anak eks kewarganegaraan ganda terbatas sebagai salah satu subyek pemegang Izin Tinggal Terbatas dan Izin Tinggal Tetap.

Kata Kunci : Pemberian Izin Keimigrasian bagi Subyek Kewarganegaraan Ganda Terbatas Kewarganegaraan Ganda Terbatas


(6)

ABSTRACT

Mix marriage as regulated in Article 57 Law Number 1 of 1974 concerning marriage that is committed by a couple with different nationality. During the time, Indonesian government regulates mix marriage between Indonesia National and Foreign National pursuant to Law Number 62 of 1958 concerning The Nationality of The Republic of Indonesia. Then, on August, 1st of 2006 it is innovated with Law Number 12 of 2006 concerning The Nationality of the Republic of Indonesia. In Law Number 12 of 2006,is explained that children as the result of mix marriage can have double nationalities but limited. Limited means that the limited double nationalities status is only valid for children of mix marriage, after they are 18 years old and get grace period for 3 years up to 21 years old, they are obliged to chooce one of the owned nationality. But they still want to stay in Indonesia. Problem discussed as the object of research recounts to the regulation on immigration permit.

Description of the object of research on this thesis is undertaken by using judicial-normative and analytical-descriptive approach methods, that is in the form of study of principles and law norm which available in the rule of legislation related to regulation on immigration permit, regulation on implementation and Law Number 9 of 1992 concerning immigration. It is also researched by describing the matters concerning regulation on immigration permit then analyzing them based on the valid rule of legislation. This time The valid immigration rule that is law, Governmental Regulation, Decree on The Minister Of Legal Affairs, Guide Execution on Director General of Immigration is not mentioned the children ex- limited double nationalities as the owner subject of Limited Stay Permit and Permanent stay permit.

The result of this research is concluded that up to now there is not the regulation on immigration permit for ex- subject of limited double nationalities who choose to be Foreign National yet. Therefore Republic of Indonesia government requires to make a change of Law Number 9 of 1992 concerning Immigration, Governmental Regulation Law Number 32 of 1994 concerning Visa, Entry Permit and Immigration Permit, Decree on The Minister Of Legal Affairs Law Number M.02-IZ.01.10 of 1995 concerning Transit Visa, Visit Visa, Limited stay Visa, Entry Permit, Immigration Permit and also Guide Execution on Director-General Immigration Law Number F-309.Iz.01.10 of 1995 concerning Procedures, Lengthening of, Deduction, and Lose of Immigration Permit by mentioning children of ex-limited double nationalities as one of the owner subject of Limited Stay and Permanent Stay Permit.

Keywords : Regulation on immigration permit for subject of limited double nationalities Limited double nationalities


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis sampaikan ke hadirat Allah SWT, karena hanya dengan berkat karunia Nyalah, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Penyelesaian penulisan tesis ini berkat dorongan, pengarahan, bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak kepada penulis.

Penulis menyadari masih kurang dari kesempurnaan baik dari isi maupun penyajiannya, hal ini dikarenakan masih terbatasnya kemampuan yang dimiliki .

Pada kesempatan ini, perkenankan penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Sahril Pasaribu, DTH&H,

MSc(CTM), Sp.A(K), yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan di Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

2. Direktur Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Ibu Prof. Dr. Ir.T. Chairun Nisa, B.M.Sc, atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magíster pada pendidikan di Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Bapak Prof. Dr. Runtung, Sitepu SH.MH, atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magister pada pendidikan di Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Ketua Program Studi S2 Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara dan selaku ketua pembimbing, Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH. MH, atas kesempatan dan telah meluangkan waktu untuk membimbing penulisan tesis ini.

5. Tim Pembimbing Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH. MH, dan Ibu Prof. Dr. Sunarmi SH. MH, yang telah meluangkan waktu untuk membimbing pada penulisan tesis ini.


(8)

6. Tim Penguji Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH,. MH dan Dr. Agusmidah, SH,. MH. Yang telah menguji demi kesempurnaan tesis ini.

7. Seluruh Dosen Pascasarjana Program Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang sangat berguna selama menempuh pendidikan.

8. Kepala Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Medan, Drs.Bambang Soepadiyono, SH. MH. yang telah memberikan izin bagi penulis untuk mengikuti pendidikan Pascasarjana di Universitas Sumatera Utara.

9. Kepala Kantor Imigrasi Kelas I Pekanbaru, Bapak Jumanter Lubis, SH. MH, atas dukungan dan izin yang telah diberikan selama penulis menyelesaikan tesis ini. 10.Ayah dan Ibu serta Istriku tercinta Sri Wanty atas semua dukungannya dalam

menyelesaikan tesis ini.

11.Rekan-rekan Angkatan Pascasarjana Program Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah berbagi suka dan duka selama mengikuti pendidikan pascasarjana di Universitas Sumatera Utara.

Harapan penulis semoga tesis ini dapat memberikan manfaat baik kepentingan pengembangan Ilmu Hukum secara umum maupun kepentingan pengembangan Hukum Keimigrasian.

Medan, Agustus 2010


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Keaslian Penelitian ... 7

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 7

1. Kerangka Teori ... 7

2. Konsepsi ... 8

G. Metode Penelitian ... 9

1. Teknik Pengumpulan Data ... 10

2. Analisis Data ... 11

BAB II IMPLEMENTASI PRINSIP-PRINSIP KEWARGA-NEGARAAN DALAM BIDANG KEIMIGRASIAN DI INDONESIA ... 12

A. Keimigrasian ... 12

1. Definisi Imigrasi ... 12

2. Peraturan Perundang-undangan Keimigrasian Indonesia .... 13

B. Yurisdiksi ... 15

C. Kewarganegaraan ... 17

1. Pengertian Warga Negara dan Kewarganegaraan ... 17

2. Prinsip-Prinsip Penentuan Kewarganegaraan ... 18

3. Apatridie dan Bipatridie ... 18

D. Implikasi Keimigrasian Dalam Pengaturan Kewarganegaraan Ganda Terbatas ... 21

E. Implimentasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 ... 22

BAB III STATUS KEWARGANEGARAAN ANAK HASIL PERKAWINAN CAMPURAN YANG LAHIR SEBELUM DAN SESUDAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGA-NEGARAAN REPUBLIK INDONESIA ... 24

A. Perkawinan Campuran Dalam Hukum Indonesia ... 24 B. Status Kewarganeraaan Anak yang Lahir Sebelum dan Sesudah


(10)

Berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 ... 25

BAB IV KEBIJAKAN YANG DIAMBIL OLEH DIREKTORAT JENDERAL IMIGRASI, KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI DALAM MENANGANI PERBEDAAN PENGATURAN STATUS KEWARGANEGARAAN BAGI ANAK HASIL PERKAWINAN CAMPURAN YANG LAHIR SEBELUM DAN SESUDAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA ... 31

A. Pengaturan Keimigrasian Bagi Subyek Kewarganeraan Ganda Terbatas ... 31

B. Pemberian Izin Keimigrasian Bagi Anak Eks-Kewarganegaraan Ganda Terbatas ... 34

1. Pemberian Izin Tinggal Terbatas (ITAS) ... 36

2. Pemberian Izin Tinggal Tetap (ITAP) ... 36

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 38

A. Kesimpulan ... 38

B. Saran ... 39

DAFTAR PUSTAKA ... 40 LAMPIRAN


(11)

ABSTRAK

Perkawinan campuran menurut Pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974 merupakan perkawinan yang terjadi antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan. Selama ini pemerintah Indonesia mengatur perkawinan campuran antara WNI dan WNA berdasarkan UU No. 62 Tahun 1958 Tentang Kewarganegaraan RI, namun kemudian sejak tanggal 1Agustus 2006 diperbaharui dengan UU No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan RI. Di dalam UU No. 12 Tahun 2006 dijelaskan bahwa anak hasil kawin campur dapat memiliki kewarganegaraan ganda namun terbatas. Dikatakan terbatas karena status kewarganegaraan ganda terbatas ini hanya diperuntukan bagi anak hasil perkawinan campur saja, dimana setelah mereka dewasa secara hukum Indonesia yaitu usia 18 tahun dan mendapat tenggang waktu 3 tahun sampai dengan usia 21 tahun, diharuskan untuk memilih salah satu kewarganegaraan yang dimilikinya. Maka akan timbul permasalahan dalam bidang keimigrasian yaitu dalam pengaturan dalam hal izin keimigrasian.

Permasalahan ini diteliti dengan menggunakan pendekatan metode yuridis normatif dan deskripsi analitis, yaitu berupa kajian terhadap asas-asas dan norma hukum yang terdapat dalam ketentuan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemberian izin keimigrasian berikut peraturan pelaksanaannya dan Undang-undang Keimigrasian dan menggambarkan permasalahan mengenai pengaturan izin keimigrasian serta selanjutnya menganalisis permasalahan tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan Keimigrasian yang berlaku saat ini baik Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Kehakiman maupun Petunjuk Pelaksanaan Direktur Jenderal Imigrasi belum mencantumkan anak eks kewarganegaraan ganda terbatas sebagai subyek pemegang Izin Tinggal Terbatas maupun Izin Tinggal Tetap.

Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa pengaturan Pemberian Izin Keimigrasian bagi Subyek Kewarganegaraan ganda terbatas yang telah dewasa dan memilih WNA dan menetap di Indonesia belum diatur dalam perundang-undangan yang ada saat ini. Untuk itu perlu dibuat suatu perubahan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian, Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1994 Tentang Visa, Izin Masuk dan Izin Keimigrasian, Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.02-IZ.01.10 Tahun 1995 Tentang Visa Singgah, Visa Kunjungan, Visa Tinggal Terbatas, Izin Masuk dan Izin Keimigrasan maupun Petunjuk Pelaksanaan Direktur Jenderal Imigrasi Nomor F-309.IZ.01.10 Tahun 1995 Tentang Tata Cara Pemberian, Perpanjangan, Penolakan, dan Gugurnya Izin Keimigrasian dengan mencantumkan anak-anak eks kewarganegaraan ganda terbatas sebagai salah satu subyek pemegang Izin Tinggal Terbatas dan Izin Tinggal Tetap.

Kata Kunci : Pemberian Izin Keimigrasian bagi Subyek Kewarganegaraan Ganda Terbatas Kewarganegaraan Ganda Terbatas


(12)

ABSTRACT

Mix marriage as regulated in Article 57 Law Number 1 of 1974 concerning marriage that is committed by a couple with different nationality. During the time, Indonesian government regulates mix marriage between Indonesia National and Foreign National pursuant to Law Number 62 of 1958 concerning The Nationality of The Republic of Indonesia. Then, on August, 1st of 2006 it is innovated with Law Number 12 of 2006 concerning The Nationality of the Republic of Indonesia. In Law Number 12 of 2006,is explained that children as the result of mix marriage can have double nationalities but limited. Limited means that the limited double nationalities status is only valid for children of mix marriage, after they are 18 years old and get grace period for 3 years up to 21 years old, they are obliged to chooce one of the owned nationality. But they still want to stay in Indonesia. Problem discussed as the object of research recounts to the regulation on immigration permit.

Description of the object of research on this thesis is undertaken by using judicial-normative and analytical-descriptive approach methods, that is in the form of study of principles and law norm which available in the rule of legislation related to regulation on immigration permit, regulation on implementation and Law Number 9 of 1992 concerning immigration. It is also researched by describing the matters concerning regulation on immigration permit then analyzing them based on the valid rule of legislation. This time The valid immigration rule that is law, Governmental Regulation, Decree on The Minister Of Legal Affairs, Guide Execution on Director General of Immigration is not mentioned the children ex- limited double nationalities as the owner subject of Limited Stay Permit and Permanent stay permit.

The result of this research is concluded that up to now there is not the regulation on immigration permit for ex- subject of limited double nationalities who choose to be Foreign National yet. Therefore Republic of Indonesia government requires to make a change of Law Number 9 of 1992 concerning Immigration, Governmental Regulation Law Number 32 of 1994 concerning Visa, Entry Permit and Immigration Permit, Decree on The Minister Of Legal Affairs Law Number M.02-IZ.01.10 of 1995 concerning Transit Visa, Visit Visa, Limited stay Visa, Entry Permit, Immigration Permit and also Guide Execution on Director-General Immigration Law Number F-309.Iz.01.10 of 1995 concerning Procedures, Lengthening of, Deduction, and Lose of Immigration Permit by mentioning children of ex-limited double nationalities as one of the owner subject of Limited Stay and Permanent Stay Permit.

Keywords : Regulation on immigration permit for subject of limited double nationalities Limited double nationalities


(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 secara substansi jauh lebih maju dan demokratis dari pada Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958, karena dalam pembentukan Undang-Undang tersebut telah mengakomodasi berbagai pemikiran yang mengarah pada pemberian perlindungan warganegaranya dengan memperhatikan kesetaraan gender, tapi yang tidak kalah penting adalah pemberian perlindungan terhadap anak-anak hasil perkawinan campuran antara warga negara Indonesia dengan warga negara asing.1 Contoh perlindungan terhadap anak oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 adalah pemberian status kewarganegaraan ganda terbatas kepada anak hasil perkawinan campuran sampai dengan batas usia 18 tahun dan setelah sampai batas usia tersebut, ia diwajibkan memilih salah satu kewarganegaraannya, apakah tetap mempertahankan kewarganegaraan Indonesianya ataukah memilih kewarganegaraan asingnya2 Dalam peraturan perundang-undangan sebelumnya (Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958), ketentuan semacam itu tidak diatur, karena status anak hasil perkawinan campuran ditentukan oleh garis keturunan ayahnya. Hal ini sesuai dengan asas yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958, yaitu asas ius sanguinis sebagai asas utama. Ketika seorang anak hasil dari perkawinan campuran

1 Wicipto Setiadi, Pembaharuan Undang-undang Kewarganegaraan RI,

www.legalitas.orgdiakses tanggal 7 Juni 2010.


(14)

itu menghendaki kewarganegaraan Indonesia, dilakukan melalui proses naturalisasi setelah anak tersebut mencapai batas usia dewasa (21 tahun).

Selama ini pemerintah Indonesia mengatur perkawinan campuran antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing (selanjutnya disebut WNA) berdasarkan UU No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang kemudian sejak tanggal 1 Agustus 2006 diperbaharui dengan UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Sedangkan mengenai perkawinan antara Warga Negara Indonesia diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. UU ini memang cukup efektif dalam hal menangani permasalahan perkawinan antara Warga Negara Indonesia (selanjutnya disebut WNI). Perbedaan yang mendasar antara UU No. 12 Tahun 2006 dengan UU No. 62 Tahun 1958 yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam tesis ini adalah mengenai status kewarganegaraan ganda terbatas yang didapat oleh anak hasil kawin campur antara WNI dengan WNA. Pada UU No. 12 Tahun 2006 dijelaskan bahwa anak hasil kawin campur dapat memiliki kewarganegaraan ganda namun terbatas sedangkan pada UU No. 62 Tahun 1958 dijelaskan bahwa Indonesia tidak mengakui adanya azas kewarganegaraan ganda (bipatriat). Dikatakan terbatas karena status kewarganegaraan ganda ini hanya diperuntukan bagi anak-anak subjek kewarganegaraan ganda terbatas saja, tidak berlaku bagi seluruh WNI. Selain itu menurut UU No. 12 Tahun 2006 ini, setelah anak hasil kawin campur tersebut dewasa secara hukum Indonesia (berusia 18 tahun dan mendapat tenggang waktu 3 tahun sampai dengan usia 21 tahun) mereka diharuskan untuk memilih salah satu kewarganegaraan yang dimilikinya.


(15)

Masyarakat Internasional mengakui bahwa setiap negara mempunyai hak eksklusif karena adanya prinsip kedaulatan negara dalam batas wilayah negara yang bersangkutan tanpa adanya keterikatan atau pembatasan dari hukum internasional. Batas-batas wilayah negara merupakan salah satu manifestasi terpenting kedaulatan teritorial suatu negara. Sejauh batas-batas ini diakui secara eksplisit oleh perjanjian atau diakui secara umum, maka batas-batas tersebut merupakan bagian hak suatu negara terhadap wilayah tersebut.3

Gejala yang ditimbulkan ini akan berlanjut pada pasangan perkawinan campur ini memperoleh keturunan (anak). Karena anak-anak yang dihasilkan dari perkawinan campur ini memiliki orang tua yang masing-masing dinaungi oleh peraturan hukum yang berbeda sesuai dengan kewarganegarannya.

Undang-Undang Nomor 62 tahun 1958 secara filosofi, yuridis dan sosiologis sudah tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat dan ketatanegaraan Republik Indonesia.

Secara Yuridis, landasan konstitusional pembentukan undang-undang tersebut adalah Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 yang sudah tidak berlaku, sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden pada tanggal 05 Juli 1959 yang menyatakan ”kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945”. Dalam perkembangannya, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 telah mengalami perubahan yang lebih menjamin perlindungan terhadap hak asasi dan hak warganegara.

3J.G.Starke, An Introduction to International law, (London, Tenth Edition:Butterworth & Co.


(16)

Menurut Pasal 1 Konvensi Montevideo Tahun 1933 tentang Hak dan Kewajiban Negara menyebutkan 4 (empat) kualifikasi negara, yaitu:

1. Penduduk yang tetap ( a permanent population); 2. Wilayah tertentu ( a defined);

3. Pemerintahan (a government);

4. Kemampuan hubungan dengan negara lain ( a capacity to enter into relations with orther States);

Hak dasar suatu negara menurut Starke adalah:4

1. Kedaulatan dan persamaan negara (independence and equality of states); 2. Yurisdiksi teritorial (territorial yurisdiction);

3. Mempertahankan diri (self-defence) atau mengembangkan diri (self-preservation); Kewajiban dasar (basic duties) suatu negara adalah:

1. Tidak menyatakan perang;

2. Tidak menyulut kerusuhan sipil di suatu negara; 3. Menaati hak asasi orang;

4. Melaksanakan sengketa secara damai; 5. Melaksanakan kewajiban dengan itikad baik; 6. Non-intervensi dalam persoalan dalam negeri lain.

Negara yang berdaulat memiliki hak dan kewajiban seperti yang dikemukakan di atas, juga memiliki beberapa hak lain berupa kekuasaan, yaitu:

1. Kekuasaan eksklusif untuk mengendalikan persoalan domestik;

4J.G.Starke., Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kesepuluh, (Jakarta:Sinar Grafika,


(17)

2. Kekuasaan untuk menerima dan mengusir orang asing; 3. Hak-hak istimewa perwakilan diplomatiknya di negara lain;

4. Yurisdiksi penuh atas kejahatan yang dilakukan di dalam wilayahnya. 5

Bila dikaitkan dengan urusan pengaturan warga negaranya, maka kedaulatan negara sebagaimana dikemukakan di atas merupakan pijakan utama untuk mengatur dan mengurus berbagai hal yang berhubungan dengan hak dan kewajiban negara, termasuk di dalamnya kekuasaan untuk mengatur orang asing.

Secara sosiologis, undang-undang tersebut sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat Indonesia sebagai bagian dari masyarakat Internasional dalam lingkup global, yang menghendaki adanya persamaan perlakuan dan kedudukan warganegara dihadapan hukum serta adanya kesetaraan dan keadilan gender.

Perkawinan campuran yang terjadi membawa masalah terhadap status kewarganegaraan seseorang baik sebagai seorang suami, istri, maupun anak dari hasil perkawinan tersebut. Setiap negara mempunyai asas yang berbeda–beda tentang penentuan status kewarganegaraan seseorang yang mana status kewarganegaran seseorang tersebut akan menentukan hak dan kewajiban seseorang sebagai warga negara suatu negara. 6

Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Yang pada dasarnya memiliki

5Ibid, hlm. 201-241.

6Junita Sitorus, “Perkawinan Campuran Dalam Hukum di Indonesia”, (Jakarta:Pintu


(18)

denominator yang sama, yaitu kesepakatan untuk hidup bersama yang sah diantara seorang pria dan wanita, ternyata dapat memiliki ciri-ciri atau aspek-aspek yang berbeda-beda menurut sistem hukum terhadap mana perkawinan itu ditundukkan, maka setiap sistem hukum harus menetapkan apakah persyaratan yang harus dipenuhi untuk membentuk hukum suami isteri itu.7

Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang menyatakan kembali kepada UUD 1945, sementara saat ini UUD 1945 telah mengalami perubahan yang lebih menjamin terhadap hak-hak asasi manusia dan hak-hak warga Negara. Sehingga UU No. 12 Tahun 2006 lebih cenderung menjadikan UUD 1945 sebagai landasan konstitusionalnya. Secara sosiologis, UU No. 62 Tahun 1958 dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional dalam pergaulan global yang menghendaki adanya persamaan perlakuan dan kedudukan warga negara di mata hukum serta adanya kesetaraan dan keadilan gender8.

Perbedaan yang mendasar antara UU No. 12 Tahun 2006 dengan UU No. 62 Tahun 1958 yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam tesis ini adalah mengenai status kewarganegaraan ganda terbatas yang didapat oleh anak hasil kawin campur antara WNI dengan WNA. Pada UU No. 12 Tahun 2006 dijelaskan bahwa anak hasil kawin campur dapat memiliki kewarganegaraan ganda namun terbatas sedangkan pada UU No. 62 Tahun 1958 dijelaskan bahwa Indonesia tidak mengakui adanya azas kewarganegaraan ganda (bipatriat). Ganda terbatas karena status

7Abdikoro, Perkawinan Campur Internasional Sebagai Masalah Hukum Perdata

Internasional. 2005


(19)

kewarganegaraan ganda ini hanya diperuntukan bagi anak-anak subjek kewarganegaraan ganda terbatas saja. Selain itu menurut UU No. 12 Tahun 2006 ini, setelah anak hasil kawin campur tersebut dewasa secara hukum Indonesia (berusia 18 tahun dan mendapat tenggang waktu 3 tahun sampai dengan usia 21 tahun) mereka diharuskan untuk memilih salah satu kewarganegaraan yang dimilikinya.

Penjelasannya UU No. 12 Tahun 2006 ini menganut beberapa asas khusus, yaitu:

Asas kepentingan nasional, yang menentukan bahwa peraturan kewarganegaraan mengutamakan kepentingan nasional Indonesia, yang bertekad mempertahankan kedaulatannya sebagai negara kesatuan yang memiliki tujuan dan cita-citanya sendiri;

Asas perlindungan maksimum, yang menentukan bahwa pemerintah wajib memberikan perlindungan penuh kepada setiap WNI dalam keadaan apapun baik berada di dalam maupun di luar negeri;

Asas persamaan di dalam hukum dan pemerintahan, yang menentukan bahwa setiap WNI mendapat perlakuan yang sama di dalam hukum pemerintahan;

Asas kebenaran substantif, dimana prosedur kewarganegaraan seseorang tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga disertai substansi dan persyaratan permohonan yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya;

Asas non diskriminatif, yang tidak membedakan perlakuan terhadap warga negara atas dasar suku, ras, agama, golongan, jenis kelamin dan gender;

Asas pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, dimana masing-masing warga negara wajib menjamin, melindungi dan memuliakan hak asasi


(20)

manusia pada umumnya dan hak warga negara pada khususnya;

Asas keterbukaan, yang menentukan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan warga negara harus dilakukan secara terbuka;

Asas publisitas, yang menentukan bahwa dalam hal seseorang mendapatkan atau kehilangan kewarganegaraan RI harus diumumkan dalam Berita Negara RI agar masyarakat mengetahuinya.9

Proses pembangunan membawa konsekuensi terjadinya proses perubahan dan pembaharuan seluruh pranata sosial yang ada, termasuk peranata hukum.10

Pokok materi yang termuat dan diatur dalam UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI ini meliputi:

a) Siapa yang menjadi Warga Negara Indonesia;

b) Syarat dan tata cara memperoleh Kewarganegaraan RI; c) Kehilangan Kewarganegaraan RI;

d) Syarat dan tata cara memperoleh kembali Kewarganegaraan RI; e) Ketentuan pidana.

Selanjutnya mengenai tata cara memperoleh, kehilangan, pembatalan, dan memperoleh kembali kewarganegaraan Republik Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 2 Tahun 2007. Sedangkan khusus bagi anak subjek kewarganegaraan ganda terbatas dalam hal pemberian fasilitas keimigrasian diatur dalam Surat Edaran Menteri Hukum dan HAM RI No. M.09-IZ.03.10 Tahun

9 Undang-Undang No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI, Bahan Sosialisasi UU

No.12 Tahun 2006.

10 Bambang Sugono. Hukum dan Kebijaksanaan Publik, (Jakarta:Sinar Grafika, 1994),


(21)

2006 yang kemudian diperkuat dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.80-HL.04.01 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pencatatan, dan Pemberian Fasilitas Keimigrasian sebagai WNI yang berkewarganegaraan ganda pada tanggal 13 Februari 2007.

Sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Kewarganegaraan, Kementerian Hukum dan HAM RI telah mengeluarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.01-HL.03.01 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pendaftaran Untuk Memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia Berdasarkan Pasal 41 dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia Berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia.11 Dengan diberlakukannya peraturan tersebut, maka diperlukan ketentuan yang berkaitan dengan keimigrasian bagi anak subyek kewarganegaraan ganda terbatas yang dapat dikategorikan sebagai berikut :

1. Subyek Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf l dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang lahir sebelum Undang-Undang / sebelum 01 Agustus 2006 (diatur dalam Surat Edaran Menteri Hukum dan HAM RI No. M.09-IZ.03.10 Tahun 2006 tentang Fasilitas Keimigrasian Bagi Anak Subyek Kewarganegaraan Ganda Terbatas yang lahir sebelum Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia).

2. Subyek Pasal 4 c, huruf d, huruf h, huruf l dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12

11 Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No.M.01-HL.03.01 Tahun 2006, tentang Tata


(22)

Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang lahir setelah Undang-Undang / setelah 01 Agustus 2006 (diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM R.I No. M. 80-HL.04.01 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pencatatan, dan Pemberian Fasilitas Keimigrasian sebagai Warga Negara Indonesia yang Berkewarganegaraan Ganda).12

Add 1. Subyek Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf l dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Kewarganegaraan Republik Indonesia. Pada dasarnya anak yang lahir sebelum Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 (sebelum 01 Agustus 2006) tidak secara otomatis mendapatkan Kewarganegaraan RI tetapi dengan cara didaftarkan oleh orangtua / walinya kepada Menteri Hukum dan HAM RI melalui Pejabat (Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM RI) sesuai Pasal 41 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 junto Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.01-HL.03.01 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pendaftaran Untuk Memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia dan diberi waktu paling lama 4 (empat) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan, dengan perkataan lain bahwa pada tanggal 01 Agustus 2010 mereka tidak dapat lagi menggunakan haknya untuk mendapatkan Kewarganegaraan Republik Indonesia.13 Karena sifatnya sementara atau pada hukum waktu tertentu akan tidak berlaku lagi, maka ketentuan ini diatur di dalam Surat Edaran Menteri Hukum dan HAM RI No. M.09-IZ.03.10 Tahun

12 Peraturan Menteri Hukum dan HAM R.I No. M. 80-HL.04.01 Tahun 2007 tentang Tata

Cara Pendaftaran, Pencatatan, dan Pemberian Fasilitas Keimigrasian sebagai Warga Negara Indonesia yang Berkewarganegaraan Ganda.

13 Surat Edaran Menteri Hukum dan HAM RI No. M.09-IZ.03.10 Tahun 2006 tentang

Fasilitas Keimigrsian Bagi Anak Subyek Kewarganegaran Ganda Terbatas Yang Lahir Sebelum UU No.12/2006 Tentang Kewarganegaraan RI.


(23)

2006 tentang Fasilitas Keimigrasian Bagi Anak Subyek Kewarganegaraan Ganda Terbatas yang lahir sebelum Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

Berdasarkan pada paparan di atas, maka timbul suatu permasalahan dibidang keimigrasian, yaitu ketika anak-anak tersebut diharuskan untuk memilih salah satu kewarganegaraan yang dimilikinya, kemudian memilih sebagai Warga Negara Asing, namun masih ingin tetap tinggal dan menetap di Indonesia, maka diperlukan suatu pengaturan mengenai izin keimigrasian bagi mereka untuk tinggal di Indonesia. Berdasarkan atas hal tersebut, maka dalam usulan penelitian ini penulis mengambil judul “Aspek Hukum Status Kewarganegaraan Anak Hasil Perkawinan Campuran Yang Lahir Sebelum Dan Sesudah Berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaran Republik Indonesia”.

B. Perumusan Masalah

Dalam penulisan perumusan penelitian mengenai anak hasil perkawinan campuran yang lahir sebelum dan sesudah berlakunya Undang-Undang No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana implementasi prinsip-prinsip kewarganegaraan dalam bidang keimigrasian di Indonesia?

2. Bagaimana status kewarganegaraan anak hasil perkawinan campuran yang lahir sebelum dan sesudah berlakunya Undang Undang nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia?


(24)

3. Kebijakan apakah yang harus diambil oleh Direktorat Jenderal Imigrasi, Kementerian Hukum dan HAM RI dalam menangani perbedaan pengaturan status kewarganegaraan bagi anak hasil perkawinan campuran yang lahir sebelum dan sesudah berlakunya Undang-Undang No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia dalam hal pengaturan izin keimigrasian ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk dapat menerapkan dan mengetahui Implementasi prinsip-prinsip kewarganegaraan dalam bidang keimigrasian di Indonesia

2. Untuk dapat menyelesaikan status kewarganegaraan anak hasil perkawinan campuran yang lahir sebelum dan sesudah berlakunya Undang Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

3. Untuk dapat menerapkan kebijakan yang perlu diambil oleh Direktorat Jenderal Imigrasi yang berada di bawah Kementerian Hukum dan HAM RI di bidang keimigrasian dalam hal pengaturan izin keimigrasian bagi subyek kewarganegaraan ganda terbatas.

D. Manfaat Penelitian

Adapun hasil penelitian ini sangat diharapkan dapat memeberikan manfaat teoritis dan praktis:


(25)

1. Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan penelitian untuk pengembangan studi ilmu hukum di bidang keimigrasian khususnya dalam status kewarganegaraan anak hasil perkawinan campuran menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006.

2. Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai bahan masukan bagi kalangan akademis, praktisi yang berhubungan dengan status kewarganegaraan ganda terbatas.

E. Keaslian Penulisan

Penelitian yang dilakukan penulis bukanlah sebuah penelitian yang bersifat baru. Dari berbagai penelitian yang terdahulu kususnya yang mengenai Undang Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia belum disesuaikan peraturan perundang undangan secara lebih kuusus. Hal ini dikarenakan hukum itu bersifat statis karena selalu mengalami perubahan.

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka teori

Telah kita ketahui bahwa Indonesia memiliki letak geografis yang sangat strategis, terletak di persilangan dunia. Maka dengan meningkatnya arus lalu lintas internasional, Indonesia pun menjadi salah satu negara yang dijadikan perlintasan arus lalu lintas dunia. Hal ini membawa berbagai dampak bagi Indonesia, baik


(26)

dampak positif, seperti kemungkinan maju dengan pesatnya perekonomian Indonesia maupun dampak negatif, seperti munculnya Transnational Organized Crime (TOC) yang meliputi perdagangan perempuan dan anak, money laundry, perdagangan narkotika dan obat-obatan terlarang internasional, arus imigran gelap, sampai dengan tindakan terorisme internasional14.

Jajaran Imigrasi Indonesia dituntut agar dapat bekerja lebih keras guna menanggulang i dampak yang akan muncul dari globalisasi internasional yang

saat ini sedang berlangsung. Imigrasi harus lebih memperhatikan selective policy

dimana hanya orang-orang yang bermanfaat bagi kepentingan negara dan masyarakat Indonesialah yang dapat diizinkan untuk memasuki wilayah kesatuan Republik Indonesia, seperti para investor asing, serta pihak-pihak lain yang dapat membawa dampak positif bagi Indonesia.

Perkawinan campuran yang merupakan salah satu dampak dari era globalisasi sebagai akibat dari maraknya arus migrasi internasional mempunyai potensi permasalahan yang sangat besar karena masing-masing dari pelaku perkawinan campuran ini memiliki status kewarganegaraan yang berbeda yang juga dinaungi oleh peraturan hukum dari negara yang berbeda, demikian juga bagi kewarganegaraan anak-anak yang dihasilkan dari perkawinan campuran tersebut.

Adapun asas-asas yang dianut dalam undang-undang ini sebagai berikut : 1. Asas Ius Sanguinis ( Law of the Blood ) adalah asas yang menentukan

kewarganegaaran seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara

14 M. Iman Santoso, Perspektif Imigrasi: Dalam United Nation Convention Againts


(27)

tempat kelahiran.

2. Asas Ius Soli ( Law of the soil ) secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.

3. Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang.

4. Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini. 15.

Perbedaan mendasar antara Undang-Undang No. 12 tahun 2006 bila dibandingkan dengan Undang-Undang No. 62 tahun 1958 adalah mengenai status kewarganegaraan anak hasil kawin campur antara WNI dengan WNA, dijelaskan pada Undang-Undang No. 12 tahun 2006 bahwa anak hasil kawin campur dapat memiliki kewarganegaraan ganda namun terbatas sedangkan pada Undang-Undang No. 62 tahun 1958 dijelaskan bahwa Indonesia tidak mengakui adanya azas kewarganegaraan ganda (bipatriat). Dikatakan terbatas karena status kewarganegaraan ganda ini hanya diperuntukan bagi anak-anak hasil perkawinan campur saja, tidak berlaku bagi seluruh WNI. Selain itu menurut Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 ini, setelah anak hasil kawin campur tersebut dewasa secara hukum Indonesia (berusia 18 tahun dan mendapat tenggang


(28)

waktu 3 tahun sampai dengan usia 21 tahun) mereka diharuskan untuk memilih salah satu kewarganegaraan yang dimilikinya. Dalam hal anak yang lahir sebelum Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 (sebelum 01 Agustus 2006) tidak secara otomatis mendapatkan Kewarganegaraan RI tetapi dengan cara didaftarkan oleh orangtua / walinya kepada Menteri Hukum dan HAM RI melalui Pejabat (Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM RI) sesuai Pasal 41 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 junto Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.01-HL.03.01 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pendaftaran Untuk Memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia dan diberi waktu paling lama 4 (empat) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan, dengan perkataan lain bahwa pada tanggal 01 Agustus 2010 mereka tidak dapat lagi menggunakan haknya untuk mendapatkan Kewarganegaraan Republik Indonesia. 16

Selanjutnya akan dipaparkan beberapa teori yang mendukung dalam pembahasan permasalahan usulan penelitian ini yaitu teori yurisdiksi, teori keadilan, hukum positif dan teori tentang kewarganegaraan.

Keputusan pengadilan tidak hanya memiliki karakter deklarasi seperti yang terkadang diasumsikan. Pengadilan tidak hanya ”menemukan” das Recht finden,

hukum yang sudah selesai diciptakan; fungsi pengadilan bukan sekedar sebagai ”yurisdiksi”, yakni keputusan hukum dalam pengertian deklaratif. Penemuan hukum hanya terjadi ketika norma umum yang akan diterapkan dalam kasus konkret mesti

16 Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.01-HL.03.01 Tahun 2006 tentang Tata

Cara Pendaftaran Untuk Memperoleh Kewarganegaraan RI Berdasarkan Pasal 41 dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan RI Berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI.


(29)

dipastikan; dan bahkan pemastian ini memiliki karakter konstitusi, bukan hanya deklarasi. 17 Oleh sebab itulah penelitian ini mengacu kepada teori yurisdiksi, karena setiap orang baik WNI, WNA ataupun mereka yang memiliki kewarganegaraan ganda yang berada di wilayah hukum Indonesia harus tunduk kepada peraturan hukum di Indonesia.

Masyarakat Internasional mengakui bahwa setiap negara mempunyai hak eksklusif karena adanya prinsip kedaulatan negara dalam batas wilayah negara yang bersangkutan tanpa adanya keterikatan atau pembatasan dari hukum internasional. Yuridiksi ini bersumber pada kedaulatan negara yang melahirkan kewenangan/kekuasaan negara berdasarkan hukum internasional untuk mengatur segala sesuatu yang terjadi dalam negara tersebut. Oleh karena itu arti yuridiksi secara umum adalah “suatu kekuasaan, kemampuan, otoritas, hak serta wewenang formal untuk mengambil tindakan melalui perangkat yang ada seperti pengadilan, perundang-undangan berdasarkan hukum.

Menurut Aristoteles tujuan hukum utama adalah keadilan yang meliputi distributif, komutatif, vindikatif, kreatif, protektif dan legalis.18 Teori keadilan menurut Aristoteles, merumuskan bahwa negara hukum adalah negara yang berdiri diatas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup untuk warga negara dan sebagai daripada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga

17 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, (Bandung:Penerbit Nusamedia & Penerbit Nuansa,

2006), hlm.261.


(30)

negara yang baik. Peraturan yang sebenarnya menurut Aristoteles ialah peraturan yang mencerminkan keadilan bagi pergaulan antar warga negaranya.

Penggunaan hukum sebagai sarana implementasi kebijakan publik dikarenakan hukum memiliki beberapa kelebihan, yaitu hukum bersifat rasional, integratif, memiliki legitimasi, didukung oleh adannya mekanisme pelaksanaan dan memiliki sanksi.19

Hukum telah lama ada dan keberadaannya telah diakui serta digunakan untuk berbagai keperluan. Tetapi hukum yang benar – benar otonom di masyarakat kita masih menjadi pertanyaan besar karena makna yang ada dibalik hukum yang terbentuk (baik undang-undang ataupun peraturan lainnya) seringkali lebih dominan, seperti unsur politik, ekonomi dan kepentingan lain dibandingkan makna hukum yang bercirikan keadilan. Otonomi hukum perlu ditumbuhkan agar hukum sebagai suatu sistem tersendiri mempunyai kebebasan untuk mengembangkan dirinya sesuai dengan kebutuhan masyarakat berupa keadilan dan tuntutan ilmu pengetahuan berupa timbulnya teori hukum yang lebih komprehensif.

Hukum adalah tata aturan sebagai suatu sistem aturan-aturan tentang perilaku manusia beserta semua kondisi yang terkait dengan perilaku manusia. Dengan demikian hukum tidak menunjuk pada satu aturan tunggal tetapi seperangkat aturan yang memiliki suatu kesatuan, sehingga dapat dipahami sebagai suatu sistem. Obyek dari hukum adalah norma hukum yang didalamnya mengatur perbuatan manusia, baik dengan kondisi maupun konsekuensi dari kondisi tersebut. Hubungan antar manusia

19 A. G. Peters. “Hukum Sebagai Proyek”, dalam Mulyana W Kusumah dan Paul S. Baut (ed),


(31)

hanya menjadi obyek dari hukum sepanjang hubungan tersebut diatur dalam norma hukum. Tata aturan yang adil adalah tata aturan yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan manusia akan kebahagiaan sosial.

Hukum dari waktu ke waktu mengalami perkembangan. Sejak jaman Yunani dan Romawi sampai sekarang hukum mengalami perkembangan yang luar biasa yang mungkin saja orang Yunani dan Romawi dahulu tidak akan dapat memperkirakan hal – hal yang terjadi sekarang dalam bidang hukum. Perkembangan ini tidak bisa dilepaskan dari sifat hukum yang selalu berada di tengan-tengah masyarakat sedangkan masyarakat itu sendiri senantiasa mengalami perkembangan.

Aliran hukum positif mendapatkan dasar-dasar filsafatnya dari aliran filsafat Positif (Positivism) pada awal abad 19 yang dipelopori oleh antara lain Saint Simon, Aguste Comte dari Prancis dan Herbert Spencer dari Inggris. Perkembangan secara fundamental aliran hukum positif dipelopori oleh dua tokoh terkemuka di bidang itu yaitu John Austin dan Hans Kelsen.20

Menurut Austin, pertama, hukum merupakan perintah penguasa (law is a command of the law given). Kedua, hukum merupakan sistem logika yang bersifat tetap dan tertutup (closed logical system). Ketiga, hukum positif harus memenuhi beberapa unsur, yaitu adanya unsur perintah, sanksi, kewajiban, dan kedaulatan. Penegasan lain diberikan oleh Hans Kelsen, yaitu pertama, hukum haruslah dibersihkan dari anasir-anasir bukan hukum, seperti anasir etika, sosiologi, politik dan sebagainya. Kedua, hukum termasuk dalam sollenskatagori (hukum sebagai

20 Lili Rasjidi, I.B. Wyasa Putra, Hukum sebagai suatu Sistem, (Bandung:CV. Mandar Maju,


(32)

keharusan), bukan seinskatagori (hukum sebagai kenyataan). Orang menaati hukum karena memang harus menaati hukum sebagai perintah negara. Ketiga, hukum sebagai kesatuan sistem peringkat (stifentheorie) yang sistematis menurut keharusan tertentu.21

Aliran hukum positif berdasar pada pandangan bahwa hukum tidak berdasar dari Tuhan ataupun alam, melainkan dari manusia itu sendiri berdasar kemampuannya untuk merumuskan ketentuan hukum yang sumbernya dapat digali dari nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat. Hukum lahir untuk mengikat masyarakat karena adanya perjanjian sosial. Aliran hukum positif memandang perlu untuk memisahkan secara tegas antara hukum dan moral. Dalam pandangan kaum positivisme, tidak ada hukum kecuali perintah penguasa, bahkan aliran positivitas legalisme menganggap bahwa hukum identik dengan undang-undang. Pandangan positivis berpegang teguh pada teori korespondensi tentang kebenaran. Menurut teori ini, kebenaran adalah kesamaan antara teori dengan dunia nyata.

Hukum positif muncul bersamaan dengan berkembangnya tradisi keilmuan yang mampu membuka cakrawala baru dalam sejarah umat manusia yang semula terselubung cara-cara pemahaman tradisional. Hukum positif mengajarkan bahwa hukum positiflah yang mengatur dan berlaku di atas norma yuridis yang telah ditetapkan oleh otoritas negara yang didalamnya terdapat kecenderungan untuk memisahkan antara kebijaksanaan dengan etika dan mengidentikkan antara keadilan dengan legalitas yang didasarkan norma yuridis yang telah ditetapkan oleh otoritas negara yang didalamnya terdapat kecenderungan untuk memisahkan antara


(33)

kebijaksanaan dengan etika dan mengidentikkan antara keadilan dengan legalitas yang didasarkan atas aturan-aturan yang ditetapkan oleh penguasa negara. Jadi pengertian kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi mengandung dua pembatasan penting dalam dirinya yaitu :

1. Kekuasaan terbatas pada batas wilayah negara yang memiliki kekuasaan itu; 2. Kekuasaan itu berakhir ketika kekuasaan suatu negara lain dimulai.22

Dalam konteks hubungan internasional prinsip kedaulatan negara (state souveregnity) merupakan salah satu prinsip penting di dalam hukum internasional bahkan termasuk salah satu prinsip atau doktrin juscogens.

Berbeda dengan Bodin, Hugo Grotius yang menulis sebuah karya “De Jure Belli ac Pacis” melihat doktrin kedaulatan dari aspek eksternnya yaitu kedaulatan dalam hubungannya dengan negara-negara lain, bahwa satu negara berada di dalam suatu masyarakat negara dimana setiap negara mempunyai kemerdekaannya serta adanya persamaan derajat. Pada masa kini hampir setiap negara di dunia menyadari arti pentingnya hubungan antar negara di dalam masyarakat negara (state society). Kalau Bodin berpendapat bahwa kedaulatan itu adalah sebagai kekuasaan mutlak (absolute) dan berada diatas hukum, maka Grotius berpendapat sebaliknya, yaitu adanya pembatasan-pembatasan terhadap fungsi kedaulatan dalam hubungan antar negara. George Jellineck mengemukakan doktrin pembatasan sendiri oleh negara (the doctrine of the self-limitation of the state) yaitu :23

22 Mochtar Kusumaatmaja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional,

(Bandung:Alumni, 2003), hlm. 16-18.

23 Friedmann W., Legal Theory, Fourth Edition, (London:Steven & Sons Limited, 1960), hlm.


(34)

Pada prinsipnya aliran hukum positif adalah aliran pemikiran hukum yang memberi penegasan terhadap bentuk hukum (undang-undang), isi hukum (perintah penguasa), ciri hukum (sanksi, perintah, kewajiban, dan kedaulatan), dan sistematisasi norma hukum.

Di dalam teori kewarganegaraan, syarat-syarat untuk berdirinya suatu negara adalah adanya penduduk yang menetap (baik warga negara maupun orang asing), memiliki daerah teritorial (wilayah yang diakui oleh negara lain), dan memiliki pemerintahan yang berdaulat.

Menurut Austin Ranney, warga negara sebagai salah satu syarat berdirinya suatu negara memiliki arti orang-orang yang memiliki kedudukan resmi sebagai anggota penuh suatu negara dimana mereka dituntut untuk memberikan kesetiaannya kepada negara itu, menerima perlindungan darinya, serta menikmati hak untuk ikut serta dalam proses politik.

Pedoman untuk menentukan kewarganegaraan seseorang dapat dibagi menjadi 2 (dua) asas yaitu :

1. Penentuan kewarganegaraan berdasarkan kelahiran 2. Penentuan kewarganegaraan berdasarkan perkawinan24.

Untuk mencegah melebarnya permasalahan menjadi tidak fokus maka penulis hanya akan membahas mengenai penentuan kewarganegaraan berdasarkan kelahiran saja.

Penentuan kewarganegaraan seseorang berdasarkan kelahiran dapat dibedakan menjadi 2 (dua) asas, yaitu ius soli dan ius sanguinis yang masing-masing


(35)

menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan tempat kelahiran orang tersebut dan menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan garis keturunan / hubungan darah.

Ius soli berasal dari bahasa latin “ius” dan “solum” yang berarti pedoman untuk menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan tempat, daerah, domisili, negara dimana orang tersebut lahir. Secara historis, ius soli merupakan asas kewarganegaraan yang paling tua. Sebelum banyak terjadinya perpindahan umat manusia yang bergerak di suatu negara ke negara lain, dianggap apabila seseorang dilahirkan di suatu negara maka orang tersebut otomatis menjadi warga negara dari negara tersebut25.

Namun seiring dengan perkembangan zaman, dimana kemajuan umat manusia berdampak pada makin tingginya mobilitas antar negara, maka teori ini dianggap tidak memadai lagi sebagai satu-satunya teori yang menentukan kewarganegaraan seseorang. Atas dasar pertimbangan tersebut maka lahirlah teori lain untuk menentukan kewarganegaraan seseorang, salah satunya adalah ius sanguinis.

Sama seperti ius soli, ius sanguinis pun berasal dari bahasa latin “ius” dan “sanguinis” yang memiliki arti pedoman untuk menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan hubungan darah atau garis keturunan. Bila suatu negara menganut asas ini, maka siapapun anak dari warga negara tersebut, di manapun ia dilahirkan, otomatis akan menjadi warga negara dari negara tersebut26.

25Ibid, hlm. 154.

26Direktorat Jenderal Imigrasi, Bahan Sosialisasi Undang-Undang No.12 Tahun 2006, tentang


(36)

Konvensi Dewan Umum PBB pada tanggal 20 Nopember 1989 tentang Hak-Hak Anak pada artikel 7 menyebutkan bahwa anak harus didaftarkan segera setelah kelahiran dan hak untuk memperoleh kebangsaan. Negara harus menjamin implementasi hak-hak ini sehubungan dengan hukum nasional dan kewajibannya di bawah pengawasan perangkat internasional yang relevan di bidang ini, khususnya di mana anak di lain pihak tidak memiliki kewarganegaraan. Merujuk pada artikel di atas, dapat dikatakan bahwa setiap anak mempunyai hak atas sebuah nama saat lahir dan anak tersebut juga mempunyai hak untuk memperoleh kewarganegaraan. Pemerintah Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI telah mengakomodir isi dari Konvensi Dewan Umum PBB tentang Hak-Hak Anak, di mana status personal anak yang lahir di wilayah Indonesia, otomatis diakui sebagai warga negara Indonesia.

Sejak disahkannya Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang baru pada tanggal 11 Juli 2006, selain menganut kedua teori kewarganegaraan tersebut di atas, Indonesia juga menganut suatu teori kewarganegaraan lain yaitu ganda terbatas, dimana Indonesia mengakui adanya kewarganegaraan ganda namun hanya diperuntukkan bagi anak subyek kewarganegaraan ganda terbatas seperti yang diatur dalam Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, dan huruf l dan Pasal 5 Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI. Mereka diperbolehkan untuk mengikuti kewarganegaraan kedua orang tua / walinya, namun terbatas hanya sampai mereka berusia dewasa (18 tahun dan mendapat tenggang waktu 3 tahun hingga berusia 21 tahun). Setelah itu mereka harus memilih salah satu dari kewarganegaraan yang dimilikinya.


(37)

2. Konsepsi

Guna menghindari perbedaan penafsiran maka digunakan definisi operasional sebagai berikut:

1. perkawinan campuran ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.27

2. Keimigrasian, adalah hal ihwal lalu lintas orang yang masuk atau ke luar wilayah Negara Republik Indonesia dan pengawasan orang asing di wilayah Negara Republik Indonesia. 28

3. Warga Negara adalah warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan.29

4. Kewarganegaraan adalah segala hal ihwal yang berhubungan dengan warga negara.30

5. Pewarganegaraan adalah tata cara bagi orang asing untuk memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia melalui permohonan.31

6. Menteri adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Kewarganegaraan Republik Indonesia.32

27 UU No. 1 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Perkawinan pasal 57 28 UU No. 9 tahun 1992 tentang Keimigrasian, pasal 1 ayat (1) 29 UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, Pasal 1 ayat (1) 30 UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, Pasal 1 ayat (2) 31 UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, Pasal 1 ayat (3) 32 UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, Pasal 1 ayat (4)


(38)

7. Pejabat adalah orang yang menduduki jabatan tertentu yang ditunjuk oleh Menteri untuk menangani masalah Kewarganegaraan Republik Indonesia.33 8. Setiap orang adalah orang perseorangan, termasuk korporasi.34

9. Perwakilan Republik Indonesia adalah Kedutaan Besar Republik Indonesia, Konsulat Jenderal Republik Indonesia, Konsulat Republik Indonesia, atau Perutusan Tetap Republik Indonesia.35

G. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan metode yuridis normatif36, artinya cenderung menggunakan data sekunder yang diperoleh berdasarkan dari bahan hukum primer yaitu peraturan perundang undangan yang berkaitan dengan kewarganegaraan ganda terbatas.

Spesifikasi yang digunakan adalah deskriptif analitis, yaitu menggambarkan permasalahan mengenai persamaan hak bagi anak hasil perkawinan campuran yang lahir sebelum dan sesudah berlakunya Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia dan lebih lanjut menganalisis permasalahan tersebut berdasarkan asas-asas dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

1) Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini dilakukan melalui tahap-tahap sebagai berikut:

a) Penelitian kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data berupa :

33 UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, Pasal 1 ayat (5) 34 UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, Pasal 1 ayat (6) 35 UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, Pasal 1 ayat (7)

36 Lili Rasjidi dan Liza Sonia Rasjidi, Filsafat Ilmu, Metode Penelitian dan Karya Tulis


(39)

(1) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah berupa peraturan perundang-undangan beserta peraturan pelaksanaannya, yaitu Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 mengenai Keimigrasian, Undang-Undang nomor 62 Tahun 2006 mengenai Kewarganegaraan, Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Menteri Hukum dan HAM tentang Tata Cara Pendaftaran Untuk Memperoleh Kewarganegaraan RI, Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.80-HL.03.01 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pencatatan, dan Pemberian Fasilitas Keimigrasian sebagai WNI yang Berkewarganegaraan Ganda, Surat Edaran Menteri Hukum dan HAM Nomor M.09-IZ.03.10 Tahun 2006 tentang Fasilitas Keimigrasian Bagi Anak Subyek Kewarganegaraan Ganda Terbatas yang Lahir Sebelum Undang Undang Nomor 12 Tahun 2006 dan lain sebagainya.

(2)Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti hasil-hasil penelitian (tesis dan desertasi), jurnal, makalah seminar dan karya ilmiah lainnya yang berkaitan dengan keimigrasian.

(3)Bahan Hukum Tertier

Bahan hukum tertier adalah bahan yang berkaitan dengan bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus, ensiklopedia dan lain sebagainya. b) Penelitian Lapangan


(40)

Dilaksanakan dengan cara mengumpulkan data, meneliti dan menyeleksi data primer yang diperoleh langsung dari lapangan, terutama dari Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Utara, Kantor Imigrasi Medan, praktisi hukum dan pihak terkait lainnya.

Guna mendukung penelitian, dilakukan pengumpulan data berupa studi dokumenter dan wawancara. studi dokumenter dilakukan melalui bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Wawancara dilakukan dengan beberapa pihak yang terkait dengan materi pokok penelitian, yaitu para Pejabat Imigrasi dan beberapa ahli hukum dan lain sebagainya, dalam rangka memverifikasi dan melengkapi hasil kajian dan observasi serta informasi yang diperoleh.

2) Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil penelitian selanjutnya dianalisis secara yuridis kualitatif. yaitu bahwa perundang-undangan yang diberlakukan antara satu dengan yang lain tidak saling bertentangan. Selain itu juga memperhatikan hierarki perundang-undangan dan memperhatikan kepastian hukum. Artinya, menganalisis persoalan-persoalan hukum keimigrasian baik dari aspek substansinya maupun aspek implementasinya yang didasarkan pada prinsip konsistensi, sinkronisasi, hierarki perundang-undangan dan prinsip kepastian hukum dengan menggunakan teori-teori, konsep-konsep dan kaidah-kaidah hukum sebagaimana yang terdapat dalam kerangka pemikiran guna memberikan jawaban terhadap identifikasi masalah37

37 Muhammad Indra, Perspektif Penegakan Hukum Dalam Sistem Hukum Keimigrasian


(41)

BAB II

IMPLEMENTASI PRINSIP-PRINSIP KEWARGANEGARAAN DALAM BIDANG KEIMIGRASIAN DI INDONESIA

A. Keimigrasian 1. Definisi Imigrasi

Pengertian keimigrasian mengandung atau terdapat beberapa arti. Perpindahan manusia dari suatu tempat ke tempat lain, telah berlangsung lama, hal ini dari waktu kewaktu masa yang lalu, dapat kita pelajari melalui penelusuran sejarah peradaban umat manusia.

Perpindahan manusia tersebut, dapat disebabkan beberapa alasan atau faktor, antara lain : untuk memperbaiki dan meninggalkan taraf kehidupan ekonomi yang lebih sejahtera.

Dalam perkembangan, migrasi manusia tersebut, dapat berupa masuk atau keluar dari wilayah suatu negara. Perpindahan orang dari suatu tempat dan masuk ke wilayah suatu negara disebut imigrasi, sedangkan sebaliknya emigrasi merupakan perpindahan orang dari dalam suatu negara ke luar menuju ke negara lain.

Istilah imigrasi berasal dari bahasa latin migratio yang artinya perpindahan orang dari suatu tempat atau negara menuju ke tempat atau negara lain. Ada istilah

emigratio yang mempunyai arti berbeda, yaitu perpindahan penduduk dari suatu wilayah atau negara keluar menuju wilayah atau negara lain. Sebaliknya, istilah

immigratio dalam bahasa latin mempunyai arti perpindahan penduduk dari suatu


(42)

negara untuk masuk kedalam negara lain. Pada hakekatnya emigrasi dan imigrasi itu menyangkut yang sama yaitu perpindahan penduduk antar negara, tetapi yang berbeda adalah cara memandangnya. Ketika seseorang pindah ke negara lain, peristiwa ini dipandang sebagai peristiwa emigrasi, namun bagi negara yang didatangi orang tersebut peristiwa itu disebut sebagai peristiwa imigrasi.38

Definisi imigrasi menurut Oxford Dictionary of Law adalah “Immigration is the act of entering a country other than one’s native country with the intention of living there permanently”. Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa perpindahan itu selalu mempunyai arti yang pasti, yakni untuk tinggal menetap dan mencari nafkah di tempat yang baru. Oleh karena itu, bagi orang asing yang datang ke suatu negara untuk tujuan wisata, bisnis, membawa misi kesenian atau misi olah raga, tugas dari negaranya, atau hal-hal yang sejenis lainnya tidak dapat dikatakan sebagai

immigrant.

Sebuah Konferensi Internasional yang dilaksanakan di Roma pada tahun 1924 tentang migrasi dan imigrasi, memberikan definisi tentang imigrasi sebagai berikut :

“Emmigration and Immigration is human mobility to enter a country with its purpose to make a living or for residence”. Dari kalimat tersebut, pengertian emigrasi dan imigrasi adalah gerak pindah manusia memasuki suatu negara dengan niat untuk tinggal menetap dan mencari nafkah di negara tersebut.

Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor: 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, bahwa keimigrasian adalah hal ihwal lalu lintas orang

38 Muhammad Iman Santoso, Perspektif Imigrasi, Dalam Pembangunan Ekonomi dan


(43)

yang masuk atau keluar wilayah RI dan pengawasan orang asing di wilayah negara RI.

Dari perumusan ketentuan Pasal 1 ayat (1) tersebut diatas, bahwa keimigrasian memuat 2 (dua) hal pokok yaitu:

a. Lalu lintas orang, baik orang asing maupun warga negara Indonesia yang meliputi:

1) Mengatur setiap orang yang masuk ke wilayah Indonesia, baik warga negara Indonesia maupun orang asing;

2) Memberikan legalitas keberadaan orang asing;

c) Mengratur setiap orang yang keluar wilayah Indonesia, baik warga Negara Indonesia maupun orang asing.

b. Pengawasan orang asing di wilayah Indonesia, berupa pengawasan terhadap orang asing yang masuk, keberadaan, kegiatan dan keluar dari wilyah Indonesia, antara lain dapat menimbulkan 2 (dua) kemungkinan yakni:

1. Orang asing menaati peraturan yang berlaku dan tidak melakukan kegiatan yang berbahaya bagi keamanan dan ketertiban umum, hal ini tidak menimbulkan masalah keimigrasian maupun kenegaraan.

2. Orang asing menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, hal ini menimbulkan tindakan hukum, berupa:

(a) Tindakan hukum pidana berupa penyidikan keimigrasian yang merupakan bagian daripada rangkaian integrated criminal justice system, sistem peradilan pidana (penyidikan, penuntutan, peradilan) dan atau;


(44)

(b) Tindakan hukum administrasi negara berupa tindakan keimigrasian adalah tindakan administratif dalam bidang keimigrasian di luar proses peradilan. Termasuk bagian daripada tindakan keimigrasian ini adalah diantaranya deportasi terhadap orang asing untuk keluar dari wilayah yurisdiksi negar kesatuan Republik Indonesia.39

Dari berbagai uraian mengenai pengertian umum keimigrasian diatas, maka dapat dinyatakan bahwa pada hakekatnya keimigrasian merupakan suatu rangkaian kegiatan dalam rangka pemberian pelayanan dan penegakan hukum, serta pengamanan terhadap lalu lintas keluar masuknya orang dari dan ke dalam wilayah suatu negara, serta pengawasan atas keberadaan dan kegiatan orang asing selama berada di negara tersebut.40

Bila dikaitkan dengan negara kesatuan Republik Indonesia, secara operasional peran keimigrasian di Indonesia dapat diterjemahkan ke dalam konsep Tri Fungsi Imigrasi.41 Konsep ini menyatakan bahwa sistem keimigrasian baik ditinjau dari sisi budaya hukum keimigrasian, materi hukum keimigrasian, lembaga keimigrasian organisasi, aparatur, mekanisme hukum keimigrasian, sarana dan prasarana hukum keimigrasian, dalam operasionalnya selalu mengandung fungsi pelayanan, fungsi penegakan hukum dan fungsi pengamanan.

39Yusril Ihza Mahendra, Deportasi Sebagai Instruyen Penegakan Hukum dan Kedaulatan

Negara di Bidang Keimigrasian, (Jakarta: PT.Adi Kencana Aji, 2004), hlm.3.

40 Muhammad Iman Santoso, Perspektif Imigrasi, Dalam Pembangunan Ekonomi dan

Ketahanan Nasional, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2004), hlm. 21.

41 Direktorat Jenderal Imigrasi, Lintas Sejarah Imigrasi Indonesia, (Jakarta: Departemen


(45)

Adapun penjelasan mengenai peran instansi Imigrasi dalam suatu rangkaian yang komprehensif dapat diterjemahkan dalam konsep Tri Fungsi Imigrasi yang mencakup beberapa hal sebagai berikut:

a. Fungsi Pelayanan Masyarakat, dimana Imigrasi berfungsi sebagai penyelenggara pemerintahan atau administrasi negara yang mencerminkan aspek pelayanan.

b. Fungsi Penegakan Hukum, dimana Imigrasi berperan sebagai aparat pelaksana penegakan aturan hukum keimigrasian kepada semua orang yang berada di wilayah RI baik WNI maupun WNA.

c. Fungsi Petugas Keamanan, dimana Imigrasi berperan sebagai penjaga pintu gerbang negara.

Di dalam perkembangan Tri Fungsi Imigrasi dapat dikatakan mengalami suatu pergeseran bahwa pengertian fungsi keamanan dan penegakan hukum merupakan satu bagian yang tak terpisahkan karena penerapan penegakan hukum di bidang keimigrasian berarti identik dengan menciptakan kondisi keamanan yang kondusif atau sebaliknya. Sedangkan fungsi baru42 yaitu sebagai fasilitator pembangunan ekonomi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan fungsi keimigrasian lainnya. Hal ini terlihat ketika jasa keimigrasian telah menjadi bagian dari infrastruktur perekonomian.

2. Peraturan Perundang-undangan Keimigrasian Indonesia


(46)

Dalam ilmu hukum diakui perbedaan ilmu hukum pidana. Ilmu hukum perdata, ilmu hukum tata negara dan ilmu hukum internasional. Jika dikaitkan dengan ilmu hukum yang menjadi induknya, hukum keimigrasian adalah bagian dari ilmu hukum tata negara, khususnya merupakan cabang dari hukum administrasi.43 Hal itu terlihat dari fungsi keimigrasian yang dilaksanakannya, yaitu fungsi penyelenggara pemerintahan atau administrasi negara dan pelayanan masyarakat: bukan fungsi pembentuk undang-undang dan bukan juga fungsi peradilan.

Dalam model hukum dan pembangunan bertumpu pada dua faktor yaitu birokrasi dan masyarakat yang merupakan bagian tak terpisahkan yang saling mempengaruhi dan saling interdependensi. Birokrasi dituntut agar menjalankan tugas dan kewajiban sesuai peraturan dan penyelenggaraan berdasarkan prinsip-prinsip

good governance (transparansi, akuntabilitas, akses masyarakat serta masyarakat dituntut kesadaran untuk taat). Dalam konteks membangun sistem hukum keimigrasian Indonesia, kedua fungsi hukum dalam pembangunan seyogyanya dijadikan pertimbangan pembentuk undang-undang. Dalam konteks penerapan fungsi hukum tersebut peranan penghalusan hukum dalam penyusunan undang-undang keimigrasian sangat penting dan strategis. Disarankan dalam proses penghalusan hukum agar menggunakan tiga pendekatan, yaitu sociological jurisprudence, positivisme hukum atau legal positives dan pragmatic legal realism. Ketiga pendekatan tadi dapat didayagunakan untuk meningkatkan dan mengendalikan

43 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2003,

hlm. 13, menyatakan bahwa: Bidang hukum administrasi sangat luas karena hukum administrasi merupakan perangkat hukum yang diciptakan dalam bentuk undang-undang, peraturan-peraturan, perintah, dan keputusan-keputusan untuk melaksanakan kekuasaan dan tugas-tugas pengaturan/mengatur dari lembaga yang bersangkutan.


(47)

kualitas penerapan sistem hukum keimigrasian. Sistem pengendalian bertujuan agar hukum keimigrasian dilandaskan pada standar minimum hukum keimigrasian internasional yang sudah diadopsi ke dalam peraturan perundang-undangan di bidang keimigrasian.

Berkaitan dengan perkembangan hukum keimigrasian yang bersifat internasional, hukum keimigrasian tidak lagi sekedar mengatur lalu lintas manusia ke luar masuk dan pengawasan orang asing di suatu negara, tetapi telah bertalian juga dengan pencegahan orang ke luar wilayah Indonesia dan penangkalan orang masuk wilayah Indonesia.44

Hukum keimigrasian sebagai bagian dari hukum administrasi negara adalah hukum yang mengatur tata cara menjalankan pemerintahan yang mencakup dua hal pokok. Pertama mengatur tata cara administrasi negara yang mencampuri kehidupan masyarakat seperti tata cara bepergian ke luar negeri, tata cara warga asing masuk dan tinggal di dalam negeri, tata cara warga negara mendatangkan dan mengeluarkan orang asing, tata cara persyaratan kewarganegaraan dan lain sebagainya. Kedua mengatur tata cara melindungi masyarakat dari tindakan administrasi negara atau untuk mencegah pelanggaran hak warga negara, tata cara pengenaan tindakan keimigrasian baik pendeportasian atau pedetensian (administratif).

Oleh karena itu peraturan perundang-undangan di bidang keimigrasian harus mengikuti dan tunduk pada asas-asas dan kaidah hukum administrasi negara umum.

44 Bagir Manan, “Hukum Keimigrasian dan Sistem Hukum Nasional”, (makalah) disampaikan

Rakernas Keimigrasian, (Jakarta: Departemen Hukum dan Perundang-undangan, 14-15 Januari 2000), hlm. 7.


(48)

Dua asas utama yang harus diterapkan dalam setiap implementasi peran keimigrasian adalah:

1. Asas-asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang baik (general principles of good administration), mencakup asas persamaan perlakuan, asas kepastian hukum, asas keseimbangan dan asas keterbukaan. Oleh sebab itu setiap tindakan yang bertentangan dengan asas ini dapat dijadikan dasar tuntutan bagi koreksi dan pelaksanaan kewajiban hukum aparatur keimigrasian;

2. Asas legalitas, yaitu setiap tindakan pejabat administrasi negara dilakukan menurut ukuran hukum yang berlaku mencakup ukuran kewenangan, ukuran isi tindakan atau isi keputusan, oleh sebab itu keputusan yang bertentangan dengan asas legalitas dapat mengakibatkan keputusan yang bersangkutan batal demi hukum.

Dalam pelaksanaan tugas keimigrasian, keseluruhan aturan hukum keimigrasian ditegakkan kepada setiap orang yang berada di dalam wilayah hukum negara RI baik itu WNI atau WNA. Secara operasional fungsi penegakan hukum juga mencakup penolakan pemberian izin masuk, izin bertolak, izin keimigrasian, tindakan keimigrasian. Semua itu merupakan bentuk penegakan hukum yang bersifat administratif.45

Pembahasan peran dan fungsi keimigrasian dilandaskan pada perubahan paradigma fungsinya yang semula Tri Fungsi Imigrasi yaitu pelayanan masyarakat, penegakan hukum dan keamanan kemudian berubah menjadi:


(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku

Adrian Soetrisno, Wisda Purnamasari, Adhya Pandunagri Mochtar dkk, Buku Kumpulan Peraturan Keimigrasian, Akademi Imigrasi Pusat Pendidikan dan Latihan Pegawai Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta, 2006;

A, Garner Bryan, Black’s Law Dictionary, Eightth Edition, Thomson West, USA, 2004;

Arif, Mohamad, Keimigrasian di Indonesia, Suatu Pengantar, Pusdiklat Pegawai Dep. Kehakiman, Jakarta, 1997;

Asshiddiqie, Jimly, Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demorasi,Cetakan I, Konstitusi Perss, Jakarta, 2005;

Bari, Abdul Azed, Intisari Kuliah-Masalah Kewarganegaraan, Cetakan 1, IndoHill Co., Jakarta, 1995;

Erna dan Mukhtar, Konsumsi Kearah Penelitian Deskriptif, Avirouz, Jogjakarta, 2000;

Huijbers, Theo, Filsafat Hukum, Pustaka Filsafat, Kansius, 1995;

Ihza, Yusril Mahendra, Deportasi Sebagai Instruyen Penegakan Hukum dan Kedaulatan Negara di Bidang Keimigrasian, PT.Adi Kencana Aji, Jakarta 2004;

Iman, Muhammad Santoso, Perspektif Imigrasi: Dalam United Nation Convention Againts Transnational Organized Crime, Perum Percetakan Negara RI, Jakarta, 2007;

____________________, Perspektif Imigrasi, Dalam Pembangunan Ekonomi dan Ketahanan Nasional, Universitas Indonesia Perss, Jakarta, 2004;

Kaelan dan Achmad Zubaidi, Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi, Edisi Pertama, Paradigma, Yogyakarta, 2007;


(2)

Kansil, Hukum Tata Negara Indonesia, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1986;

Kartasapoetra, R.G, Sistematika Hukum Tata Negara, Cetakan 2, Rineka Cipta, Jakarta, 1993;

Kelsen, Hans, Teori Hukum Muirni, Penerbit Nusamedia & Penerbit Nuansa, Cetakan II, Bandung, 2007;

Mertoskusumo, Sudikno, Penemuan Hukum sebuah pengantar, Liberty, Yogyakarta,1996;

Nawawi, Barda Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2003;

Oppenheim L., M.A.LLD: International Law;

Otje, R.Salman, Ikhtisar Filsafat Hukum, Armico, Bandung, 1986;

Paulus, B.P.Kewarganegaraan RI Ditinjau dari UUD 1945 (Khususnya Kewarganegaraan Peranakan Tionghoa), Cetakan 1, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983;

Parthiana, Wayan, Pengantar Hukum Intemasional, Mandar Maju, Bandung, 1990;

Peters, A.G. “Hukum Sebagai Proyek”, dalam Mulyana W Kusumah dan Paul S. Baut (ed), 1988, Hukum Politik dan Perubahan Sosial, YLBHI, Jakarta: 1997

Raharjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991;

Rasjidi, Lili dan Liza Sonia Rasjidi, Monogaf: Filsafat Ilmu, Metode Penelitian dan Karya Tulis Ilmiah Hukum, Bandung, 2007;

dan I.B. Wyasa Putra, Hukum sebagai suatu Sistem, CV. Mandar Maju, Bandung, 2003;

Renshon A. Stanley, Dual Citizenship and American Nationality Identity, Center for Immigration Studies, Washington DC., 2001;

Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2008;

Soeprapto, Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan, Dasar-Dasar dan Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, 1998;


(3)

Soepratwiro, Koernianto, Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996;

Sitompul, D.TH. ”Kewarganegaraan”, Bahan Perkuliahan Pada Akademi Imigrasi, Jakarta, 2003;

Strake, J G, Introduction to International Law, Tenth Edition, Butterworth & Co Ltd, London, 1989

, Pengantar hukum Internasional,Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta, 1992

, Pengantar Hukum Internasional, terjemahan Bambang Iriana Djajaatmadja, Sinar Grafika, Jakarta, 2000.

______________, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan ke-4, Cetakan ke-2, Yarsif Watampone, Jakarta, 2003;

Subekti, R, Pokok-Pokok Hukum Perdata,Intermassa, Jakarta, 1992;

Sugono, Bambang. Hukum dan Kebijaksanaan Publik, Sinar Grafika, Jakarta, 1994;

Syahrin, Alvi , Beberapa Masalah Hukum, PT. Sofmedia, Medan, 2009;

Tahir, Muhammad Azhary, Negara Hukum, Suatu Studi Tentang Prinsip-prinsipnya, Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Bulan Bintang, Jakarta, September 1992;

Tunggal, Djohan dan Arif, Peraturan Perudang-undangan Kewarganegaraan RI Tahun 1950-1996, Harvindo, 1998;

Ukun, Wahyudin dan Ihza, Yusril Mahendra, Deportasi Sebagai Instrumen Penegakan Hukum dan Kedaulatan Negara di Bidang Keimigrasian, PT. Adi Kencana Aji, Jakarta, 2004;

Wan, Kho Sik, De Meervoudige Nationalteit, A.W. Sijthoff’s Uitgeversmaatschappij, N.V. Leiden, 1957;

W, Friedmann, Legal Theory, Fourth Edition, Steven & Sons Limited, London, 1960;


(4)

B. Sumber-Sumber Lain

Abdikoro, Perkawinan Campur Internasional Sebagai Masalah Hukum Perdata Internasional, Jakarta, 2005

Amir, Firdaus, Bahan Sosialisasi UU No. 12 Tahun 2006 Serta Implementasinya Terhadap Tugas-tugas Keimigrasian, Makalah, Beijing, 2007; Arinanto, Satya, Makalah pada Lokakarya “Perlindungan Hak Perempuan dan

Hak Anak dalam RUU Kewarganegaraan RI”, diselenggarakan oleh Alida Centre, Jakarta, 30 Nopember 2005;

Bhakti, Yudha Adhiwisastra, Imunitas Kedaulatan Negara di Forum Pengadilan Asing, Bandung, 1999;

Direktorat Jenderal Imigrasi, Buku Kenangan 50 Tahun Ditjen Imigrasi, Ditjen Imigrasi, Jakarta, 2005;

Direktorat Jenderal Imigrasi, Lintas Sejarah Imigrasi Indonesia, Ditjen Imigrasi, Jakarta, 2005;

Direktorat Jenderal Imigrasi, Penerapan Sistem e-office Menandai era Baru Pelayanan Keimigrasian, Ditjen Imigrasi, Jakarta, 2008.

Gautama, Sudargo, Warganegara dan Orang Asing, Cetakan 6, Alumni, Bandung, 1997;

Indra, Muhammad, Perspektif Penegakan Hukum Dalam Sistem Hukum Keimigrasian Indonesia, Ringkasan Disertasi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta 2008;

Junita Sitorus, Perkawinan Campuran Dalam Hukum di Indonesia,Pintu Gerbang (No.49.th XV.2004):15-16.

Kusumaatmaja, Mochtar dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2003;

Manan, Bagir, Hukum Keimigrasian dan Sistem Hukum Nasional, Makalah disampaikan pada Rakernas Keimigrasian, Departemen Hukum dan Perundang-undangan, Jakarta, 14-25 Januari 2000;

Pedoman Legislatif untuk Pelaksanaan Konvensi PBB tentang Kejahatan Transnasional Terorganisasi, Resolusi Sidang Umum 55/25, Anex 1, 15 Nopember 2000;


(5)

Said, M. Nizar, Aspek Anti Diskriminasi Terhadap Undang-undang Kewarganegaraan dan Kebijakan Pemerintah RI-Suatu tinjauan Hukum Internasional, Makalah pada Seminar ‘Mencari Pemahaman Komprehensif Tentang Kewarganegaraan yang Diperlukan Untuk Membangun dalam Konteks Nation and Character Building’, KOMNAS HAM RI, Jakarta, 20 Februari 2006;

Sari, Tirta, Akademi Imigrasi,”Dampak Perkawinan Campuran Terhadap Status Kewarganegaraani”, Jakarta, 2006;

Sukresno, Iwan P., Tulisan Lepas Mengenai “Pertimbangan-pertimbangan dalam Permasalahan Dwikewarganegaraan”, Kasubdit Naturalisasi, Direktorat Tata Negara, Ditjen AHU, Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta, 15 Februari 2006;

Syihabudin, Asyhari, Dwi Kewarganegaraan Terbatas, Tulisan Lepas Sebagai Kasubdit Tata Negara pada Direktorat Tata Negara, Ditjen Administrasi Hukum dan Umum, Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta, April 2006;

, Pemahaman UU No.12 Tahun 2006 serta Implikasi pada bidang keimigrasian, Jakarta, 2007.

Wiramiharja, Saleh, Matriks Tabulasi Komparasi UU/Hukum Kewarganegaraan di 22 Negara, APAB, 2005;

Zulfa Djoko Basuki, Perkawinan Campuran Serta Permasalahan Hukumnya di Indonesia Dewasa Ini, Volume 1 No. 3, Jurnal Hukum Internasional, Jakarta, April 2004;

C. Peraturan Perundang-undangan

Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M. 02-IZ.01.10 Tahun 1995 Tentang Visa Singgah, Visa Kunjungan, Visa Tinggal Terbatas, Izin Masuk, dan Izin Keluar;

Peraturan Pemerintah RI No.2 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan, dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan RI;

Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.01-HL.03.01 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pendaftaran Untuk Memperoleh Kewarganegaraan RI;


(6)

Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. M. 80-HC. 04. 01 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pendaftaran, Pencatatan, dan Pemberian Fasilitas Keimigrasian sebagian WNI yang Berkewarganegaraan Ganda;

Surat Edaran Menteri Hukum dan HAM RI No. M. 09-1Z 03.10 Tahun 2006 Tentang Fasilitas Keimigrasian Bagi Anak Subyek Kewarganegaraan Ganda Terbatas Yang Lahir Sebelum UU No. 12/2006 Tentang Kewarganegaraan RI.

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Indonesia;

Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, Lembaran Negara RI Tahun 1984 No. 29, Tambahan Lembaran Negara No. 3277;

Undang-Undang No. 9 tahun 1992 Tentang Keimigrasian;

Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia;

Undang-undang No. 23 tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan;

D. Internet

Setiadi Wicipto, Pembaharuan Undang-undang Kewarganegaraan RI http://www.legalitas.org/ di akses 12 Juni 2010


Dokumen yang terkait

AKIBAT HUKUM STATUS KEWARGANEGARAAN GANDA ANAK YANG LAHIR DARI PERKAWINAN CAMPURAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN

2 213 16

PPELAKSAN PELAKSANAAN PENDAFTARAN UNTUK MEMPEROLEH KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA ANAK HASIL PERKAWINAN CAMPURAN YANG LAHIR SEBELUM DAN SESUDAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA.

0 2 11

PENDAHULUAN PELAKSANAAN PENDAFTARAN UNTUK MEMPEROLEH KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA ANAK HASIL PERKAWINAN CAMPURAN YANG LAHIR SEBELUM DAN SESUDAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA.

0 14 29

PENUTUP PELAKSANAAN PENDAFTARAN UNTUK MEMPEROLEH KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA ANAK HASIL PERKAWINAN CAMPURAN YANG LAHIR SEBELUM DAN SESUDAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA.

0 2 5

PENULISAN HUKUM/SKRIPSI PROSES PENYELESAIAN PERMOHONAN PENDAFTARAN MEMPEROLEH KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 BAGI ANAK HASIL PERKAWINAN CAMPURAN YANG LAHIR SEBELUM TANGGAL 1 AGUSTUS 2006.

0 3 13

PENDAHULUAN PROSES PENYELESAIAN PERMOHONAN PENDAFTARAN MEMPEROLEH KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 BAGI ANAK HASIL PERKAWINAN CAMPURAN YANG LAHIR SEBELUM TANGGAL 1 AGUSTUS 2006.

0 2 15

PENUTUP PROSES PENYELESAIAN PERMOHONAN PENDAFTARAN MEMPEROLEH KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 BAGI ANAK HASIL PERKAWINAN CAMPURAN YANG LAHIR SEBELUM TANGGAL 1 AGUSTUS 2006.

0 4 5

STATUS DAN KEDUDUKAN ANAK HASIL PERKAWINAN CAMPURAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN RI.

0 0 76

STATUS DAN KEDUDUKAN ANAK HASIL PERKAWINAN CAMPURAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN RI SKRIPSI

0 0 44

STATUS DAN KEDUDUKAN ANAK HASIL PERKAWINAN CAMPURAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN RI SKRIPSI

0 0 44