yang lain, ini tidaklah dianggap ada perbedaan. Untuk mengetahui pekerjaan yang terhormat atau kasar, ini dapat diukur dengan kebiasaan setempat. Adakalanya
pekerjaan terhormat di satu tempat kemungkinan dipandang tidak terhormat di tempat lain, mereka menganggap ukuran kufu’ menurut pekerjaan adalah
berdasarkan hadist di bawah ini
30
L -
Bﺱ B 8 4?
Mﺽ ?
? GGGGGGGGGGG
-ﻡ O -P E
Artinya : Dari ibnu Umar ra, berkata : Mawalli sekufu bagi mawalli lainnya kecuali tukang bekam. Riwayatkan oleh hakim
31
5. Kekayaan
Dalam kehidupan di masyarakat manusia tidak bisa lepas dari kebutuhan kesehariannya, untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka akan terlihat perbedaan
dalam segi harta untuk mencukupi kebutuhannya. Sehingga semakin besar kebutuhan seseorang dapat menunjukkan kekayaannya
Kekayaan menjadi ukuran kafaah menurut Ulama Syafi’iyah karena suami yang fakir tidak sama nafkahnya dengan orang kaya. Pendapat ini
dikuatkan oleh ulama Hanafiah yang mengatakan tentang kekayaan Sebagai ukuran kafaah, maka yang dianggap sekufu ialah seorang laki-laki yang dianggap
sanggup membayar mas kawin dan uang belanja, apabila tidak sanggup membayar mas kawin dan nafkah atau salah satunya maka tidak dianggap
sekufu.
32
30
Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah jilid 2, Beirut, Dar El Fikri, 1983, h. 131
31
Assaidil Imam Muhammad Bin Ismail Al-Kahlani, Subulussalam juz 3, Bandung: Dahlan, 1183, h. 128
32
Muhammad Thalib, Terjemah Fiqih Sunnah, h. 22
Hal ini sebagaimana riwayat Imam At-Tirmidzi bahwa Rasulullah bersabda :
LQKR1 -
ﺱ 6 ﺱ ? B 8 =ﺱ . =?
=A B
S B
T UHVW X
UY ﻡ V
Artinya :Dari samarah bahwa Rasulullah SAW “berkata kebangsawanan adalah pada kekayaan dan kemuliaan pada takwa Riwayatkan oleh Tirmizi”.
33
Seorang laki-laki dianggap mampu memberikan nafkah dengan melihat kekayaan ayahnya. Sehingga harta merupakan ukuran kufu’ dikarenakan kalau
perempuan yang kaya bila berada di tangan suami yang melarat akan mengalami bahaya. Sebab suami menjadi susah dalam memenuhi nafkahnya dan jaminan
anak-anaknya.
34
6. Tidak Cacat
Dengan cacatnya suami, istri dapat menuntut fasakh karena dianggap tidak sekufu. Meskipun cacatnya tidak menyebabkan fasakh, tetapi hal itu akan
membuat orang tidak senang mendekatinya, seperti buta, terpotong atau rusak anggota tubuhnya. Ulama Hanafiah dan Hanabilah berpendapat cacat fisik tidak
dapat dijadikan sebagai ukuran kafaah dalam perkawinan
35
Ibnu Qadamah sebagaimana di kutip oleh Hamdani berpendapat, syarat tidak cacat itu bukan faktor kafaah, karena tidak ada pendapat yang menyatakan
bahwa perkawinan akan batal dengan tidak adanya kafaah, tetapi siperempuan serta walinya berhak meminta khiyar pilihan untuk meneruskan atau
membatalkan perkawinan, karena kerugian akan diterima pihak perempuan,
33
Imam At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, Al-Maktabah Al-Syamilah http:www. al-islam.com juz, II, h. 73
34
Ibid, h. 48
35
H. S.A Al Hamdani, Risalah Nikah, h. 104
sehingga wali boleh mencegah apabila seorang perempuan kawin dengan laki-laki yang berpenyakit kusta, supak atau gila.
36
Perempuan mempunyai hak untuk menerima atau menolaknya, karena resiko tentu akan dirasakan oleh pihak perempuan. Adapun bagi wali perempuan
boleh mencegah untuk kawin denga laki-laki gila, tangannya buntung atau kehilangan jari-jari.
37
B. Landasan Hukum dan Ukuran Kafaah